Khutbah Jumat: Pedoman Bagi Umat Islam dalam Bertoleransi

Tidak boleh atas nama toleransi dan keinginan menciptakan perdamaian, berujung pada keyakinan bahwa membenarkan keyakinan semua agama, inilah ringkasan khutbah Jumat  agar jadi pedoman umat Islam

Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil

Hidayatullah.com | HARI RAYA merupakan syiar (simbol) yang terkait erat dengan agama. Karenanya, Islam melarang untuk turut campur dalam bentuk apa pun dalam perayaan agama lain, khutbah Jumat kali ini memberikan pedoman bagi umat Islam tentang toleransi menurut Al-Quran.

Inilah teks lengkap khutbah Jumat kali ini;

Khutbah Jumat pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Ma’asyiral Muslimin Jamaah Jumat yang berbagahia

Di Tanah Air kita ada 6 (enam) agama yang diakui oleh negara. Terdiri dari Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Masing-masing agama juga memiliki hari raya sesuai kepercayaan.

Islam dengan Idul Fitri dan Idul Adha. Kristen Protestan dan Katolik dengan Natalnya. Budha dengan Waisak. Hindu dengan Nyepi dan Khonghucu dengan Imleknya.

Semua rakyat Indonesia berhak mengikuti keyakinan atau agamanya, tanpa ada paksaan dari pihak mana saja. Inilah yang tertuang dalam sila pertama Pancasila.

Segala bentuk pemaksaan atau bujukan untuk memeluk agama tertentu merupakan perbuatan yang menciderai semangat kerukunan antar umat beragama yang selama ini sudah berjalan dengan cukup baik.

Perbedaan agama di antara penduduk tanah air menjadi ajang untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, saling menjaga kerukunan dan menjalankan keyakinannya tanpa saling memusuhi.

Karena kita adalah sama-sama anak bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan agama, dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia memiliki peran yang sangat vital dalam mewujudkan masyarakat yang rukun, damai, dan toleran. Toleransi yang diajarkan dalam Islam sarat dengan nilai-nilai persatuan dan keharmonisan.

Karenanya, pedoman toleransi dalam kehidupan beragama perlu menjadi rujukan agar  tidak disalahartikan menjadi sikap melepas semangat keislaman dan kedaulatan iman dalam diri kita.

Sekurang-kurangnya ada empat panduan dalam mengamalkan toleransi.

Pertama, tidak memandang perbedaan agama dengan pandangan permusuhan. Kita perlu menanamkan kepada siapa saja bahwa perbedaan agama dan keyakinan tidak berarti boleh untuk memusuhi pihak lain.

Namun juga tidak boleh atas nama toleransi dan keinginan luhur dalam menciptakan perdamaian, berujung pada keyakinan bahwa semua agama sama, sama-sama benar, sama-sama masuk surga. Ini jelas merupakan sesuatu pemikiran yang sesat dan menyesatkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran : 85)

Kaum Muslimin jamaah Jumat yang berbahagia

Kedua, tidak mencela Tuhan dan konsep agama lain. Setiap celaan dan penghinaan kepada agama apa pun merupan perbuatan yang dikecam dalam Islam. Itulah toleransi dalam Islam.

Dalam bertoleransi, umat Islam di mana pun tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang menjurus kepada penghinaan dan penistaan terhadap agama di luar Islam. Ini adalah sesuatu yang sudah diwanti-wanti dalam Al-Quran.

Menghina, mencela, menista keyakinan kaum agama lain akan menyinggung perasaan dan bisa memicu permusuhan serta pertengkaran. Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sernbah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap urnat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al An’am : 108)

Yang sering terjadi dalam beberapa tahun belakangan di negara kita adalah penghinaan dan penistaan terhadap Islam. Ada yang mengolok-olok Al-Quran, menyebut kalimat zikir dengan iringan cacian serta makian dan terlalu banyak untuk kita sebutkan di sini.

Ketiga, tidak boleh memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam. Kebenaran agama Islam, bagi kita kaum beriman, adalah harga mati.

Kita meyakini bahwa jalan keselamatan itu hanya bisa melalui Islam. Ini keyakinan yang tak terbantahkan.

Namun keyakinan seperti ini tidak berarti kita dibenarkan untuk memaksa orang lain agar masuk Islam. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk Islam, betapa pun kita sangat meyakini kebenarannya. Allah ﷻ berfirman :

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS Al Baqarah : 256)

Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah

Keempat, memberikan hak beribadah kepada penganut agama lain. Sebagaimana tidak boleh ada pemaksaan untuk memeluk agama Islam, demikian pula halnya tidak boleh kita menghalang-halangi orang-orang kafir yang akan menunaikan ibadat sesuai keyakinan mereka.

Masing-masing agama sudah memiliki tata cara beribadah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Ada yang melaksanakan ibadat di gereja, vihara, pura, kelenteng, dan masjid bagi yang beragama Islam.

Perkara ubudiyah tidak boleh dicampur-campur, masing-masing penganut agama harus menjalankan peribadatan menurut keyakinannya masing-masing. Allah ﷻ berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَلا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ، وَلا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ، وَلا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ، لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS Al Kafirun [109]: 1-6)

Hari raya merupakan syiar (simbol) yang terkait erat dengan agama. Karenanya, Islam melarang untuk turut campur dalam bentuk apa pun dalam perayaan agama lain. Bahkan, sebagian ulama menyatakan bahwa ucapan selamat hari raya kepada umat lain berpotensi menyebabkan pengucapnya keluar dari aqidah Islam jika disertai niat memuliakan hari raya atau agama mereka.

Demikian pula dilarang melakukan segala bentuk partisipasi dalam hari raya non-muslim. Sayidina Umar bin Khathab pernah berkata:

اجتنبوا أعداء الله اليهود و النصارى يوم جمعهم في عيدهم، فإن السخط ينزل عليهم، فأخشى أن يصيبكم

“Jauhi musuh-musuh Allah yaitu kaum Yahudi dan Nashrani ketika berkumpul pada hari raya mereka. Kemurkaan Allah turun kepada mereka, dan aku khawatir kemurkaan itu akan menimpa kalian.” (HR. Baihaqi).

Demikianlah sekurang-kurangnya empat panduan dalam bertoleransi, untuk menjalani kehidupan berbangsa yang terdiri dari berbagai agama dan keyakinan. Mari kita hidup berdampingan dalam perbedaan dengan tetap memegang erat-erat keyakinan kita bahwa Islamlah satu-satunya agama yang haq yang membawa keselamatan di dunia sampai akhirat.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Jumat Kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى سيدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن. اَمَّا بَعْدُ :

فَيَا اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعَالىَ وَذَرُوا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ وَمَا بَطَنْ، وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ.

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ، فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاً عَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ،

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ وَالجُنُونِ والجُذَامِ وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى والتُّقَى والعَفَافَ والغِنَى، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Khutbah Jumat ini ditulis Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil. Arsip lain terkait Khutbah Jumat bisa diklik di SINI. Artikel lain tentang toleransi agama bisa dibuka www.hidayatullah.com

6 Alasan Mengapa Tidak Boleh Ikut Merayakan Natal dan Tahun Baru

Khotbah Pertama

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَركَاتُهُ

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

أَشْهَدُ أَنْ لَاۧ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى مَحَمَّدٍ الْمُجْتَبٰى، وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَهْلِ التُّقٰى وَالْوَفٰى. أَمَّا بَعْدُ

فَيَأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ! أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فَقَدْ فَازَ مَنِ اتَّقَى

فَقَالَ اللهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Ma’asyiral muslimin, jemaah masjid yang dimuliakan Allah.

Mengawali khotbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan para jemaah sekalian agar kita senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Karena tidaklah kita itu semakin mulia, kecuali dengan takwa. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.”

Ingatlah, ketakwaan tidak dapat diperoleh, kecuali dengan belajar dan menuntut ilmu. Sehingga ketika seseorang itu semakin memahami agama, maka ketakwaannya pun akan semakin meningkat. Selawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi mulia, suri teladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga, dan para sahabatnya.

Ma’asyiral muslimin, jemaah Jumat yang dimuliakan Allah.

Hari-hari akhir tahun Masehi ini mungkin kita akan sering mendengar dan mendapati ucapan “Merry Christmas”, “selamat natal” berdengung dan tercantum di dalam beberapa iklan maupun tulisan di jalanan. Sebagian orang pasti menganggap hal ini merupakan hal lumrah yang sah-sah saja untuk diikuti dan diramaikan. Namun, hal ini pada hakikatnya akan menjadi masalah yang sangat besar jika diucapkan oleh seorang muslim.

Mengapa? Sejak pertama kali agama Islam ini turun kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala sudah mewanti-wanti dan menguatkan bahwa sembahan kita umat Islam ini hanyalah satu, yaitu Allah Yang Mahaesa, Allah Ta’ala yang tidak dilahirkan dan melahirkan. Allah Ta’ala sendirilah yang mengatakan hal itu, yaitu di dalam surah Al-Ikhlas, surah yang sangat populer, yang menjadi asas utama serta pembeda agama ini dengan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَد ، ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ، لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ، وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Mahaesa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Mengucapkan selamat natal, memberikan ucapan selamat kepada perayaan orang Nasrani ini sama saja dengan menyetujui bahwasanya Allah Ta’ala memiliki anak, menyetujui bahwa ada sesembahan lain yang berhak selain Allah. Ini merupakan sebuah kekufuran serta sebuah penolakan terhadap ayat Allah Ta’ala!

Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menjadikan hal tersebut haram hukumnya dilakukan oleh seorang muslim:

Pertama, merayakan hari raya natal merupakan salah satu kebid’ahan yang tidak ada contohnya dari nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam serta tidak terdapat syariatnya pada agama kita, sedangkan Rasulullah telah melarang kita untuk melakukan kebid’ahan/ hal baru di dalam agama. Beliau bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan hal baru yang tidak ada contohnya dari kami (Nabi Muhammad), maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, tidaklah seorang muslim mengkhususkan satu hari pun untuk bergembira dan berpesta, kecuali harus ada dalilnya yang jelas baik dari Al-Qur’an maupun hadis.

Kedua, seorang muslim tidak boleh berhari raya, kecuali dengan hari raya yang disyariatkan dan diizinkan oleh agama kita. Allah melalui lisan Nabi-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kita dua hari raya. Diriwayatkan dari Abu Dawud dan An-Nasa’i di dalam riwayat yang sahih dari sahabat Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Ketika Nabi Muhammad datang ke kota Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari yang mana mereka gunakan untuk bermain atau bersukacita, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),

“Allah Ta’ala telah menggantikan dua hari ini dengan sesuatu yang lebih baik, yaitu hari Idulfitri dan Iduladha.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membatalkan hari raya mereka agar tidak menyerupai perayaan kaum muslimin. Sehingga jika para pemimpin dan ulama bermudah-mudahan di dalam membolehkan ikut perayaan orang kafir, dikhawatirkan orang yang awam akan lebih mengagungkannya, serta menganggap perayaan tersebut bagian dari perayaan kaum muslimin.

Ketiga, di dalam merayakan hari lahir Al-Masih, terdapat sifat berlebih-lebihan di dalam mencintainya, dan ini sangatlah tampak pada syiar-syiar orang Nasrani pada hari tersebut. Padahal, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

لا تطروني كما أطرت النصارى بن مريم فإنما أنا عبده فقولوا عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan kepada Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah, ‘hamba Allah dan Rasul-Nya.’!” (HR Al-Bukhari)

Syariat ini melarang dari menyucikan para nabi berlebihan di dalam mencintainya serta beribadah kepada mereka dan mengangkat mereka melebihi kedudukannya.

Keempat, merayakan perayaan mereka dapat menumbuhkan rasa cinta dan mengikuti mereka di dalam melakukan ritual-ritual yang batil, serta membuat mereka merasa bahwa mereka itu berada di dalam kebenaran, dan semua itu merupakan hal yang haram dan termasuk dosa yang besar. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51)

Ini adalah kondisi jika seorang muslim tidak bermaksud rida terhadap agama mereka dan menyetujui prinsip agama mereka, baik itu trinitas, menyembelih untuk selain Allah ataupun memasang salib. Adapun jika seorang muslim benar-benar bermaksud kepada semua itu, maka dia telah kafir dan telah murtad dari agama ini menurut kesepakatan ulama. Maka, wajib hukumnya bagi seorang muslim untuk menjauhi gereja-gereja dan tempat ibadah orang Nasrani pada hari perayaan maupun hari-hari lainnya.

Kelima, merayakan perayaan mereka merupakan bentuk tasyabbuh/menyerupai orang-orang Nasrani karena di dalamnya terdapat hal-hal spesifik dan khusus yang merupakan identitas mereka. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud)

Menyerupai mereka di dalam hal-hal yang tampak, baik itu pakaian maupun kebiasaan dan rutinitas mereka tentu akan menghantarkan pelakunya ke dalam menyerupai mereka pada hal-hal yang sifatnya keyakinan, serta menimbulkan kecintaan dan rasa suka di antara orang yang menyerupai dan yang diserupai. Oleh karena itu, agama yang mulia ini memutus semua wasilah yang dapat menimbulkan rasa takjub dan kagum terhadap orang kafir serta rida terhadap agama mereka.

Keenam, perayaan yang disyariatkan di dalam Islam merupakan bentuk sebuah rasa syukur dan rasa senang setelah menyelesaikan sebuah ibadah. Idul Fitri disyariatkan setelah menyelesaikan ibadah puasa dan Idul Adha disyariatkan setelah melangsungkan ibadah haji dan setelah lewat sepuluh hari bulan Dzulhijjah. Dan itu semua merupakan bentuk kebahagiaan, ibadah, serta syukur untuk Allah Sang Mahapencipta, bukan untuk makhluk. Prinsip inilah yang tidak ada pada perayaan Kelahiran Al-Masih/ Natal. Maka, hal ini bertentangan dengan ajaran ini sehingga kita pun diharamkan untuk meramaikannya.

Demikian itu adalah 6 alasan, mengapa seorang muslim tidak boleh ikut serta merayakan ataupun mengucapkan selamat natal kepada orang-orang Nasrani. Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan kita hidayah dan taufik-Nya sehingga dengan kedua hal itu kita menjadi seorang muslim yang tidak mudah ikut-ikutan meramaikan sesuatu, apalagi hal tersebut sangat bertentangan dengan akidah kita yang berasas pada Tauhid.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khotbah Kedua.

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ

فَيَأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ

اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penulis: Muhammad Idris, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71469-6-alasan-mengapa-tidak-boleh-ikut-merayakan-natal-dan-tahun-baru.html

Menerima Hadiah Natal, Bolehkah?

Hukum saling memberi dan menerima hadiah dari orang kafir

Saling memberi dan menerima hadiah dari orang kafir hukum asalnya boleh. Tindakan itu bahkan bisa menjadi sarana dakwah kepada non muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah memberi dan menerima hadiah dari orang kafir.

Di antara riwayat yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberi hadiah orang kafir adalah kisah sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

ما سُئِلَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ علَى الإسْلَامِ شيئًا إلَّا أَعْطَاهُ، قالَ: فَجَاءَهُ رَجُلٌ فأعْطَاهُ غَنَمًا بيْنَ جَبَلَيْنِ، فَرَجَعَ إلى قَوْمِهِ، فَقالَ: يا قَوْمِ أَسْلِمُوا، فإنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِي عَطَاءً لا يَخْشَى الفَاقَةَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah diminta apa saja yang beliau miliki melainkan beliau akan berikan.”

Anas melanjutkan cerita, “Pernah seorang datang meminta kepada beliau, lalu beliau berikan seluruh kambing beliau yang berada di antara dua gunung. Saat orang itu kembali ke kaumnya, dia berseru, “Hai rakyatku, ayo masuk Islam. Karena sesungguhnya Muhammad telah memberi pemberian yang beliau tidak takut miskin.” (HR. Muslim no. 2312)

Kemudian riwayat yang menceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dari orang kafir adalah riwayat dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan,

أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ وَكَسَاهُ بُرْدًا وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

“Raja negeri Ailah menghadiahkan seekor keledai putih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi beliau pakaian burdah (pakaian yang berfungsi juga sebagai selimut) dan beliau menulis surat untuknya di negeri mereka.” (HR. Bukhari no. 1387)

Juga riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah daging kambing yang dicampuri racun dari seorang wanita bergama Yahudi.

Baca Juga:

Bagaimana jika bertepatan dengan momen hari raya orang kafir?

Yang menjadi masalah adalah bagaimana jika hadiah kepada kita tersebut bertepatan momen hari raya natal atau hari raya orang kafir lainnya?

Jawabannya adalah boleh, silahkan diterima. Asalkan jangan memakan hadiah yang berupa daging sembelihan. Karena bisa dipastikan mereka menyembelih hewan itu bukan atas nama Allah, tetapi atas nama sesembahan mereka.

Alasannya adalah:

Pertama, menerima hadiah dari orang kafir, meskipun hadiah itu atas nama hari raya meraka, adalah bagian dari berbuat baik (al-Birru) kepada mereka, yang disinggung di dalam firman Allah Ta’ala,

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Menerima hadiah dari mereka, tentu adalah tindakan muamalah yang baik kepada mereka. Bisa membuka hati mereka menerima Islam.

Kedua, disebut di dalam sebuah riwayat bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menerima hadiah orang Majusi bertepatan dengan hari Nairuz (hari raya mereka). (Riwayat ini dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah)

Ketiga, riwayat Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau pernah ditanya oleh seorang wanita,

إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا 

“Kami memiliki beberapa wanita yang menyusui anak-anak kami, mereka beragama Majusi. Sebentar lagi mereka merayakan hari raya, dan akan memberi hadiah kepada kami.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab,

أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم 

“Hadiah berupa daging sembelihan, jangan dimakan. Makanlah hadiah yang menempel di pohon (simbol hari raya) mereka.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)

Para sahabat dan juga para ulama berfatwa boleh menerima hadiah orang kafir di hari raya mereka, karena memang dalam hal itu tidak ada nilai mendukung atau ikut serta perayaan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah setelah menukil sejumlah riwayat di atas menerangkan,

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم

“Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa hari raya orang kafir tidak menjadi pengaruh larangan menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima hadiah saat hari raya mereka atau hari biasa, sama bolehnya. Karena menerima hadiah tidak ada unsur menolong kemungkaran atau syiar mereka.” (Iqtidho’ As-Sirot Al-Mustaqim, hal. 544-545)

Berbeda dengan hukum memberi hadiah kepada orang kafir di saat momen hari raya mereka, nah ini yang dihukumi haram. Karena hal tersebut mengandung unsur dukungan kepada kekufuran atau kesyirikan yang mereka lakukan. Terlebih bila hadiah itu dapat membantu mereka merayakan hari raya mereka, maka lebih diharamkan lagi.

Wallahul Muwaffiq.

Baca Juga:

Salatiga, 19 Jumada I 14423 H

****

Penulis: Ahmad Anshori, Lc.

Sumber: https://muslim.or.id/71400-menerima-hadiah-natal-bolehkah.html

Pernak-Pernik Ucapan Selamat Hari Raya Non-Muslim

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa la haula wa la quwwata illa billah, amma ba’du,

Definisi “ucapan selamat”

Definisi “ucapan selamat” adalah menyampaikan ungkapan yang menggembirakan terkait dengan momen tertentu. Maksud ucapan selamat adalah menyatakan kasih sayang dan menampakkan kegembiraan.

Dengan demikian, mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim hakekatnya adalah ikut serta bergembira dengan hari raya mereka. Dan hal ini pada umumnya menunjukkan pengakuan dan rida terhadapnya.

Sepakat ulama dahulu hukumnya haram!

Hukum seorang muslim mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim adalah haram. Hal ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama rahimahumullah  zaman dahulu.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah,

“Adapun ucapan selamat terkait syiar-syiar khusus kekafiran, maka hukumnya haram. Ulama sepakat akan hal ini.

Contoh:

Seseorang mengucapkan selamat terkait hari raya dan puasa (ibadah) kaum nonmuslim dengan mengatakan, “Hari raya yang semoga anda diberkahi padanya” atau mengucapkan, “Selamat hari raya” kepada nonmuslim dan ucapan lain yang semisalnya.

Terkait dengan hal ini, seandainya pengucapnya selamat dari kekafiran pun, maka tetap diharamkan dan statusnya sama seperti seseorang mengucapkan selamat kepada nonmuslim terkait dengan sujudnya (ibadah mereka) kepada salib.

Bahkan, dosa ucapan selamat hari raya nonmuslim ini lebih besar dan lebih dibenci di sisi Allah daripada ucapan selamat minum miras/khamr, selamat membunuh, selamat berzina, dan yang semisalnya. Banyak orang-orang yang tidak memiliki perhatian baik kepada agama Islam terjerumus dalam masalah ini, sedangkan ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya.

Barangsiapa yang memberi ucapan selamat maksiat, bid’ah, atau kekufuran kepada pelakunya, maka ia akan terancam mendapatkan kebencian dan kemurkaan Allah.” Demikian tegas Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah.

Alasan diharamkannya

Alasan Pertama: Terkandung pengakuan terhadap syiar kekafiran dan rida terhadapnya

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim itu terkandung pengakuan terhadap syiar kekafiran dan rida terhadapnya, meski ia tidak rida syiar kekafiran tersebut untuk dirinya, namun tetap haram ia rida syiar kekafiran tersebut untuk orang lain.

Bahkan, hari raya nonmuslim termasuk ajaran agama mereka yang paling khusus dan syiar agama mereka yang paling nampak. Sehingga, mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim itu terkandung pengakuan dan rida terhadap:

– ajaran agama mereka yang termasuk paling khusus,

– syiar kekafiran yang termasuk paling nampak.

Padahal, Allah Ta’ala tidak rida kepada kekafiran,

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 7)

Hanya Islam agama yang Allah ridai,

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagi kalian, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama kalian.” (QS. Al-Maidah : 3)

Alasan Kedua : Termasuk tasyabbuh (meniru kekhususan) nonmuslim

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim termasuk bentuk menyerupai kekhususan nonmuslim karena hari raya keagamaan termasuk syiar yang paling khusus suatu agama.

Padahal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa menyerupai atau meniru-niru kekhususan suatu kaum menyebabkan pelakunya digolongkan ke dalam golongan kaum tersebut dalam hal yang ditiru tersebut.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.’” (HR. Abu Dawud, Syekh Al-Albani menyatakan Hasan Sahih.]

Oleh karena itu, haram bagi kaum muslimin meniru nonmuslim dalam kekhususan agama mereka. Contohnya haram:

-ikut serta merayakan hari raya non muslim,

-saling tukar menukar hadiah atau membuat kue-kue dalam rangka ikut merayakannya,

-meliburkan diri demi mengagungkan hari raya mereka dan agar bisa menggunakan waktu liburan untuk ikut serta bersukaria dengan hari raya mereka,

– dan semacamnya.

Mengapa tasyabbuh dengan orang nonmuslim dalam kekhususan mereka itu dilarang?

– Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarangnya,

– Karena meniru kekhususan keagamaan mereka ini bisa melahirkan rasa suka terhadap kebatilan akidah mereka sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Alasan Ketiga: Sarana mereka senang dengan keyakinan kekafiran dan tetap berada di dalamnya

Mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim termasuk sebab pendorong mereka senang dengan keyakinan kekafiran. Bahkan, bisa bangga dengannya dan tetap berada di dalam kekafiran, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak rida terhadap kekafiran.

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

“Jika kalian kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar : 7)

Dan Allah melarang kita saling tolong menolong dalam kemaksiatan, sedangkan kekafiran adalah kemaksiatan yang terbesar. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim yang hal ini menjadi sarana mereka senang dengan keyakinan kekafiran dan tetap berada di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan! Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)

Alasan Keempat : Bertentangan dengan kewajiban mendakwahi dan memberi pencerahan kepada orang yang berada dalam kekafiran sebagai bentuk Islam rahmatan lil’alamin.

Dalam Islam, kekafiran adalah dosa terbesar, sedangkan tatkala kita melihat perkara kekafiran, kita diperintahkan untuk mendakwahi manusia agar senantiasa mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, meninggalkan kekafiran dan kesyirikan, dan tidak membiarkannya berada dalam kebatilan tanpa pencerahan dan dakwah. Dan hakekatnya mendakwahi mereka dan memberi pencerahan kepada mereka adalah bentuk kasih sayang kita kepada mereka agar mereka mendapatkan keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jauh dari murka-Nya. Dan ini juga bentuk kebaikan terbesar dari seorang muslim kepada nonmuslim. Ini adalah salah satu bukti Islam rahmatan lil’alamin.

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah (Wahai Nabi Muhammad), ‘Ini adalah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (manusia) kepada Allah di atas basirah (ilmu syar’i). Mahasuci Allah. Dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf : 108)

Catatan :

Tentunya, mendakwahi dan memberi pencerahan kepada orang yang berada dalam kekafiran ini dengan lembut dan bijaksana, dengan metode dakwah yang simpatik, serta bukan dengan kekerasan. Namun, tampakkan keindahan tauhid dan tidak benarnya kesyirikan dan kekafiran sehingga diharapkan mereka meninggalkan syirik dan kekafiran dan mentauhidkan Allah Ta’ala dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan kita berdakwah dengan bijaksana (hikmah),

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”  (QS. An-Nahl : 125)

Bagaimana jika sebabnya hanya basa-basi, malu, sungkan, dan rasa sayang, atau semisalnya?

Barangsiapa melakukan hal-hal terlarang di atas (mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, ikut serta merayakan hari raya nonmuslim, saling tukar menukar hadiah, atau membuat kue-kue dalam rangka ikut merayakannya, meliburkan diri demi mengagungkan hari raya mereka ,dan perbuatan semacamnya baik hal-hal itu dilakukan hanya sekedar basa-basi, malu, sungkan, karena rasa sayang, ataupun alasan semisalnya, maka ia tetap berdosa karena termasuk bentuk basa-basi dalam perkara yang terlarang dan bisa menyebabkan mereka berbangga dengan kekafiran mereka.

Bagaimana jika pihak nonmuslim yang memberi ucapan selamat hari raya mereka kepada seorang muslim?

Apabila seorang muslim mendapatkan ucapan selamat hari raya nonmuslim dari seorang nonmuslim, maka kita tidak boleh membalasnya dengan mengucapkan selamat hari raya karena itu bukan hari raya kaum muslimin dan Allah tidak mensyariatkan merayakan hari raya tersebut. Bahkan, itu adalah hari raya yang tidak Allah ridai.

Allah berfirman,

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran : 85)

Haramnya ucapan selamat hari raya nonmuslim BUKAN berarti menunjukkan bolehnya menzalimi mereka!

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama (kalian) dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Ulama menjelaskan bahwa selama orang nonmuslim tersebut adalah seorang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin, mereka hidup damai bersama kaum muslimin seperti contohnya keumuman masyarakat kita di NKRI yang kita cintai ini, maka seorang muslim tidak boleh menzalimi nonmuslim, tidak pada jiwa, harta, maupun kehormatannya. Karena ia menunaikan hak kepada seorang muslim, maka tidak boleh seorang muslim menzaliminya baik tidak menzhaliminya pada hartanya, misalnya dengan tidak mencuri, tidak berkhianat, dan tidak menipunya. Tidak pula seorang muslim menzaliminya pada badannya, misalnya dengan tidak memukul dan selainnya.

Meski seorang muslim tetap berprinsip tegas, tidak mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, namun tetap berlaku baik dan tidak berlaku zalim.

Jadi, profil seorang muslim adalah Tegas dalam hal prinsip, namun tetap baik dan tidak zalim.

Haramnya ucapan selamat hari raya nonmuslim BUKAN berarti tidak toleransi kepada mereka!

Dalam agama Islam, toleransi yang baik itu harus sesuai dengan Syariat Islam dan bukan dengan melanggar Syariat Islam, bukan pula dengan mengorbankan akidah Islam dan menukarnya dengan akidah batil!

Umat Islam adalah umat moderat (pertengahan). Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah :143,

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai ”umat moderat (pertengahan)” agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”

Toleransi itu harus moderat (pertengahan), tengah-tengah antara ifroth (melampui Batasan Syariat Islam) & tafrith (mengurangi Batasan Syariat Islam)! Toleransi itu:

-tidak boleh kebablasan (ghuluw), tidak boleh berlebihan, dan tidak boleh keterlaluan! Atau dengan istilah lain tidak boleh ifroth (melampui Batasan Syariat Islam).

-Tidak boleh menelantarkan, tidak boleh teledor, dan tidak boleh meninggalkan toleransi kepada nonmuslim. Atau dengan istilah lain tidak boleh tafrith (mengurangi Batasan Syariat Islam).

Moderat yang benar itu tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal.

Sesuatu yang di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dinilai syirik, sekarang pun tetap syirik, dan yang dulu dinilai maksiat, sekarang pun juga  tetap maksiat. Ini baru moderat, karena moderat bukan dengan merubah Syariat!

Toleransi yang benar adalah toleransi sesuai Syari’at Islam. Contohnya di NKRI yang kita cintai ini, kita bertoleransi kepada umat nonmuslim dengan tidak mengganggu ibadah mereka, tidak boleh menzalimi mereka, tidak boleh mengganggu keamanan mereka, tidak boleh bersikap keras dan memaksa mereka masuk ke dalam Islam, dan tetap berbuat baik, simpatik, bijaksana, dan lembut dalam rangka mendakwahi mereka dan menampakkan keindahan Islam kepada mereka.

Toleransi yang tidak tepat, contohnya: ikut mengucapkan ucapan selamat hari raya nonmuslim, ikut merayakan hari raya mereka, ikut ibadah mereka di tempat ibadah mereka, berdoa dengan cara doa mereka, dan mengucapkan kalimat-kalimat ritual mereka.

Haramnya ucapan selamat hari raya non muslim TIDAKLAH berdampak kepada antipatinya mereka terhadap agama Islam, selama kaum muslimin bersikap baik dan toleran, sesuai ajaran Islam kepada mereka, insyaAllah!

Dikarenakan Islam ajaran yang adil, indah, lengkap, serta sempurna, selama kaum muslimin bersikap baik dan toleran sesuai ajaran Islam, maka sikap tidak mau mengucapkan selamat hari raya nonmuslim itu justru menunjukkan kesan positif bahwa kaum muslimin punya prinsip agama yang benar dan tegas, tidak basa-basi dengan mengorbankan akidah yang hak dan menukarnya dengan kekafiran, serta tidak mengakui dan tidak rida terhadap kekafiran.

Di sisi lainnya, akan lahir kesan positif bahwa kaum muslimin adalah umat yang berlaku baik dan simpatik, kaum muslimin adalah umat yang toleran, bahkan suka menolong umat lainnya ketika mereka berada dalam kesulitan dan tertimpa musibah demi menampakkan indahnya Islam dan saling tolong menolong dalam perkara yang bermanfaat dan tidak melanggar Syariat Islam.

Dengan demikian, citra Islam dan kaum muslimin justru positif meski tidak mau mengucapkan selamat hari raya nonmuslim, asalkan tetap bersikap baik dan toleran sesuai Syariat Islam, insyaAllah!

Mari kita hidup indah, tanpa menggadaikan akidah!   

Dan hidup damai tanpa saling bertikai!

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ و لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ و اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Referensi:

  1. https://www.alukah.net/spotlight/0/131914/
  2. https://Islamqa.info/ar/answers/947
  3. http://www.binbaz.org.sa/node/290

Sumber: https://muslim.or.id/71402-pernak-pernik-ucapan-selamat-hari-raya-non-muslim.html

Ucapan Selamat Natal, Ulama Dahulu dan Sekarang

Coba kita lihat hari ini, banyak yang disebut ustadz/ustadzah di TV ucapin selamat natal dan katakan ini khilaf, ada perselisihan di antara para ulama.

Coba bandingkan saja keilmuan dan kewara’an ulama dahulu dan ulama saat ini. Yang disebut ulama di masa kini, mereka berkata bahwa dalam ucapan selamat natal bagi musim terdapat khilaf (ada beda pendapat). Namun ulama di masa silam katakan tidak ada beda pendapat sama sekali atau itu adalah Ijma’ (kesepakatan ulama).

Coba lihat saja perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah,

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”

Bahkan jauh-jauh hari saja para sahabat Nabi sudah katakan jauhilah perayaan non-muslim, bukan malah dekati.

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Yang disebut ulama saat ini malah ada yang turut masuk gereja untuk merayakan natal dan ucapkan selamat natal.

Kami lebih tentram dengan pendapat ulama masa silam. Mereka berpendapat di atas ilmu, di atas kewara’an dan bukan ingin cari simpati orang. Kalau mau bandingkan ilmunya pun bagaikan langit dan …. .

Tapi itulah musibah di akhir zaman, banyak muncul ustadz-ustadz selebriti yang asal berfatwa.

Hamdun bin Ahmad pernah ditanya, ” Mengapa ucapan ulama salaf lebih berkesan dibanding ucapan kita?” Jawabnya,

لأنهم تكلموالعز الإسلام ونجاة النفوس ورضا الرحمن ، ونحن نتكلم لعزالنفوس وطلب الدنيا ورضا الخلق

“Karena mereka berbicara untuk kemuliaan Islam, keselamatan jiwa manusia dan keridhaan Ar-Rahman. Sedangkan kita berbicara untuk kemuliaan diri sendiri, mencari dunia dan keridhaan manusia.” (Shifatush Shafwah, 4: 122)

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

إنما الفقيه من يخشى الله

“Orang yang faqih (berilmu) adalah yang takut pada Allah.” Dinukil dari Talbisul Iblis karya Ibnul Jauzi. Cukup nasehat ini menjadi isyarat bagi kita manakah orang yang berilmu dan manakah orang yang cuma cari kemasyhuran dan ketenaran.

Wallahu waliyyut taufiq.

Disusun di pagi di Panggang, Gunungkidul, 22 Safar 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: https://muslim.or.id/19376-ucapan-selamat-natal-ulama-dahulu-dan-sekarang.html

Para Murid Nabi Isa AS dan Mengapa Alquran Abadikan Mereka?

Alquran mengabadikan para murid Nabi Isa AS dalam surah Ali Imran.

Alquran merupakan kitab suci bagi umat Islam yang wajib dipercaya. Alquran berisi tentang tuntunan, adab, sains, dan keilmuan, hingga argumentasi sejarah. Salah satu argumentasi sejarah yang diisyaratkan Alquran adalah mengenai hawariyyun atau biasa dikenal dengan sebutan murid-murid Nabi Isa AS.

Dalam kitab al-Mizan fi Tafsir al-Quran karya Sayid Muhammad Husain, kata hawariyyun dalam bahasa Arab berasal dari kata huur yang berarti sangat putih. 

Sedangkan dalam Alquran, kata hawariyyun adalah sebutan untuk murid-murid Nabi Isa AS yang berjumlah 12 orang. Meski, kata hawariyyun sendiri tak berarti 12.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Ali Imran ayat 52-53 berbunyi: 

فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ رَبّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْت وَاتَّبَعْنَا الرَّسُول فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

“Falamma ahassa Isa minhumul-kufra qala man anshari ilallahi qalal-hawariyyuna nahnu ansharahum aamanna billahi wasyhad bi-anna muslimun. Rabbana aamanna bima anzalta wa-ttaba’na ar-rasula faktubna ma’a syahidin,”.

Yang artinya: “Setelah Isa menyadari akan kekafiran mereka, ia berkata: Siapakah yang akan menjadi pembelaku di jalan Allah? Para murid pun berkata: Kami lah pembela-pembela Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang tunduk. Tuhan, kami beriman kepada apa yang Engkau wahyukan dan kami mengikuti Rasul, maka masukkanlah kami bersama mereka yang memberi kesaksian,”.

Kata hawariyyun yang disebutkan di dalam ayat tersebut, menurut Musadiq Marhaban dalam bukunya berjudul Yudas Pengkhianat atau Penyelamat? menjabarkan, para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai makna kata tersebut. Sebagian mufassir (ahli tafsir) berpendapat bahwa makna hawariyyun adalah untuk menjelaskan pakaian murid-murid Isa AS yang serba putih.

Sedangkan mufassir lainnya berpendapat bahwa kata hawariyyun di sana adalah sebutan untuk murid-murid Isa AS berdasarkan kelompok dan status sosialnya. Sebab, murid-murid Nabi Isa AS dikenal berasal dari kelompok atau kelas masyarakat yang berbeda-beda di kalangan masyarakat saat itu.

Menurutnya, pandangan pertama dari kalangan mufassir tidak dilandasi fakta sejarah yang jelas. Sedangkan pandangan kedua menyebutkan bahwa mereka berasal dari kelas atau kelompok masyarakat yang berbeda seperti nelayan, pengusaha, rohaniawan, dan lainnya.

Lebih lanjut dia menjabarkan, sebab dan fungsi penyampaian kisah hawariyyun dalam Alquran, tanpak bahwa penjelasan kisah hawariyyun ini sebenarnya bukan sekadar pembuktian tentang keberadaan mereka sebagai kelompok yang pernah membantu Nabi Isa AS dalam menjalankan misi kerasulannya. Namun, Alquran juga menjelaskan mengenai keadaan mereka di saat mengalami masa-masa sulit yang pernah terjadi bersama Nabi Isa AS.

Tujuan utama pemberitaan Alquran adalah untuk menceritakan kembali tentang pilihan yang telah diambil hawariyyun ketika dihadapkan pada suatu kondisi yang sulit. Saat itu, hawariyyun telah diminta untuk menunjukkan komitmen iman dan kesetiaan di dalam merespons permintaan yang disampaikan Isa AS.

Jawaban hawariyyun sebagaimana yang termaktub dalam Alquran di surah Ali Imran pada ayat yang telah disebutkan tadi. Hal itu membuktikan bahwa redaksi Alquran membantah tuduhan dalam kitab-kitab Injil yang menyatakan bahwa murid-murid Yesus (Isa AS) telah kabur di saat Yesus membutuhkan bantuan mereka.

Dalam buku ini juga dijabarkan bahwa kata hawariyyun dalam Alquran pun sebenarnya tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat materialistik (pakaian atau latar sosial mereka). 

Akan tetapi untuk menjelaskan kembali tentang kepribadian mereka yang suci dan bersih atas segala tuduhan umat Yahudi kala itu.

Landasan mengenai hal ini adalah hadirnya ayat lain dalam Alquran yang mengisyaratkan makna dari kata tersebut. Kata hawariyyun yang berasal dari kata huur ini disebut dalam Alquran tentang keindangan dari pasangan hidup manusia di surga.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah ad-Dukhan ayat 54 berbunyi: 

كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ

“Kadzalika wa zawajnahum bi hurin ‘ain,“. Yang artinya: Demikianlah, dan Kami berikan kepada mereka bidadari,”. 

Lalu dalam Alquran surah ar-Rahman ayat 72 berbunyi: 

 حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ 

“Huurun maqshuratun fil-khiyam,”. Yang artinya: “Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dari rumah,”.

Kata huur pada ayat tersebut tidak pernah ditujukan untuk menerangkan tentang uraian-uraian fisik dari pasangan hidup manusia di surga. Namun menjelaskan tentang sifat dan kondisi pasangan-pasangan hidup manusia di surga itu sangat berbeda dari cara pandang serta pemahaman manusia tentang keindahan yang disediakan Allah di dalamnya.

Dengan demikian, kata hawariyyun dalam Alquran juga merupakan sebutan dari Allah untuk menunjukkan sifat dan keadaan murid-murid Nabi Isa AS yang suci. Mereka sesungguhnya bebas dari tuduhan yang dilontarkan para penganut agama tertentu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Menyoal Kembali Arti Toleransi dalam Momentum Perayaan Natal

Di bulan Desember ini, persoalan toleransi kembali menemukan momentum untuk dibicarakan. Seolah menjadi ajang diskusi rutin tahunan, isu-isu yang bertemakan toleransi beragama menjadi topik hangat yang mengundang komentar dan sikap dari banyak kalangan. Hal itu karena di bulan Desember ini, Umat Kristiani merayakan hari natal pada tanggal 25 Desember.

Sebenarnya, garis toleransi dalam Islam telah demikian jelas. Ia terangkum dalam firman Allah, “Lakum diinukum wa liya diin.” (untukmu agamamu dan untukku agamaku).

Ulama asal Tunisia, Samahatu al Ustadz Muhammad Thahir Asyur rahimahullah dalam Tafsirnya yang fenomenal, “Tafsiru al Tahrir wa al Tanwir” berkata mengenai ayat diatas, “Dalam kedua kalimat diatas, nampak didahulukan musnad (lakum/liya) atas musnad ilaihnya (diinukum/diin), untuk menegaskan pembatasan. Artinya, agamamu, hanya terbatas untukmu, tidak melampauimu sehingga menjadi milikku. Dan agamaku juga terbatas untukku, tidak melampauiku sehingga menjadi milikmu. Maksudnya, karena jelas mereka tidak menerima Islam. Al Qashr (pembatasan dalam ayat ini) termasuk qashr ifraad. Dan huruf ‘laam’ dalam kedua kalimat diatas bermakna kepemilikan, yaitu keshususan dan keberhakan.

Adapun ‘Diin’ bermakna akidah dan millah, ia adalah hal-hal yang diketahui dan diyakini oleh seseorang, dimana amal perbuatan dilandaskan kepadanya.” (vol. 30, hal. 648)

Dari ayat ini, toleransi seharusnya dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai eksistensi non-muslim dan agama yang dianutnya, tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam karena tidak ada paksaan dalam agama, memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinannya, tidak mengganggu dan mengusik ketenangan pemeluk agama lain, namun juga mengambil sikap tegas untuk berlepas diri dalam urusan-urusan yang termasuk ranah akidah dan agama mereka.

Penting untuk dicermati, toleransi tidak boleh dimaknai sebagai upaya mencampuradukkan keyakinan, ritual ibadah, tradisi dan simbol-simbol antar agama-agama. Karena itu berarti menghancurkan sendi-sendi agama. Toleransi hendaknya dilandaskan pada pengakuan terhadap keberagaman (pluralitas), bukan dibasiskan pada pengakuan ideologi semua agama adalah sama dan benar (pluralisme).

Dengan demikian, seorang muslim tidak dibenarkan meyakini hal-hal yang ada dalam keyakinan agama lain, melakukan ritual ibadah agama lain, ikut serta meramaikan tradisi agama lain, urun rembuk mensukseskan perayaan hari besar agama lain dan mengenakan simbol-simbol serta atribut-atribut agama lain. Menjadi haram hukumnya dan berdampak serius pada akidah seorang muslim, jika ia melakukan hal-hal seperti itu.

Syaikh al ‘Allamah Muhammad al Amin Asy Syanqithi rahimahullah ketika menafsirkan surat al Kafirun berkata, “Dalam surat ini terkandung sebuah garis tegas reformasi; yaitu sikap menolak segala bentuk pencampuradukkan (agama). Karena mereka (orang-orang kafir) sebelumnya menawarkan opsi untuk melakukan serikat dalam ibadah, yang dalam logika mereka, merupakan solusi pertengahan, karena masing-masing agama memiliki kemungkinan benar. Sehingga datanglah sebuah counter yang tegas melarang, karena dalam opsi itu termuat penyamaan antara yang benar dan salah, penggantungan masalah, pengakuan atas kebatilan, jika beliau menyepakati mereka walau pun hanya sesaat. Surat ini menjadi garis pembeda antara kedua belah pihak, akhir dari rekonsiliasi, sekaligus awal perseteruan.” (Tatimmah Ahdwaa` al Bayaan, vol. 9, hal. 585)

Diantara prinsip seorang muslim adalah, meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah (lihat: QS. Ali Imran: 19). Siapa saja yang beragama dengan selain Islam, maka agamanya akan tertolak (lihat: QS. Ali Imran: 85). Hal ini sangat gamblang diterangkan dalam Kitab suci umat Islam, al Qur`an al Karim. Prinsip ini kemudian terformulasi dalam konsep al Wala (loyalitas) dan al Bara (antiloyalitas) dalam akidah Islam. Loyal kepada Islam dan kaum muslim, serta antiloyal kepada agama selain Islam dan non-muslim. Dan diantara perwujudannya, adalah hanya membatasi diri dalam soal keyakinan, ritual ibadah, perayaan, tradisi, simbol dan atribut Islam, serta menjauhkan diri dari semua yang ada pada agama lain dalam urusan-urusan tersebut, tanpa menghalangi untuk saling berinteraksi, bermasyarakat, bekerjasama dalam kebaikan, hidup berdampingan dan bahkan memperlakukan mereka dengan cara yang baik selama dalam koridor urusan dunia.

Toleransi dalam wujud ini, diantaranya Allah terangkan dalam firman-Nya (yang artinya),

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Itulah kiranya pula yang menjadi alasan para ulama melarang umat Islam mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, apalagi menghadiri perayaannya, membantu mereka dalam urusan agama mereka dan memakai atribut-atribut agama mereka seperti memakai baju atau topi sinterklas pada momen natal seperti sekarang ini yang sangat disayangkan, atas nama toleransi beragama, sejak beberapa tahun kebelakang telah ditradisikan oleh sejumlah perusahaan pada para karyawan dan karyawati mereka, khususnya para pelayan toko, restaurant dan mall, yang notabene beragama Islam.

Untuk itu, penulis mengajak kepada segenap kaum muslimin, agar kembali mengokohkan jati diri kita sebagai umat Islam. Ikut-ikutan meramaikan tradisi dan perayaan agama lain adalah sikap imperior yang seharusnya tidak eksis dalam dada-dada kita. Karena kita yakin, sekali lagi, agama yang benar dan kelak akan mengantarkan kita ke surga hanyalah Islam. Wallahu a’lam.

Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/23963-menyoal-kembali-arti-toleransi-dalam-momentum-perayaan-natal.html

Umat Islam Dilarang Menyerupai Kafir

MENGKUTI dan menyerupai mereka (orang kafir) maka bukan golongan kami. Kami sampaikan dua hadis untuk menegaskan hal ini.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No.33016, dll)

Dari Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.” (HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudhai, Musnad Asy Syihab No. 1191)

Ketika menjelaskan hadis-hadis di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al Alqami tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim, Aunul Mabud, 11/51)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan: “Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadis ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin.” (Ibid, 11/52)

Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.

Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.

Dari Mughirah bin Syubah Radhiallahu Anhu, katanya: “Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.” (HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam). Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi. Syaikh Abul Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan: “Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 5/377)

Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain, saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadis ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)

INILAH MOZAIK

Surat Maryam Ayat 33 Apakah Dalil Bolehnya Ucapan Selamat Natal?

Mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani adalah sebuah kesalahan dan merupakan perbuatan yang terlarang dengan kata sepakat dari para ulama. Karena hari Natal dan juga keyakinan-keyakinan yang terkait dengannya, yaitu bahwa Isa ‘alaihissalam adalah anak Tuhan, bahwa ia adalah salah satu tiga Tuhan, bahwa ia disalib selama dua hari dua malam, dan sebagainya adalah hal-hal yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Maka bagaimana mungkin kita ucapkan selamat atas hal itu?

Namun sebagian orang yang dengan hawa nafsunya berpendapat bahwa boleh mengucapkan selamat Natal, mereka beralasan dengan satu ayat dalam surat Maryam. Yaitu ayat:

وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam: 33).

Sehingga mereka mengatakan boleh mengucapkan selamat Natal asalkan ucapan selamat tersebut diniatkan untuk Nabi Isa, atau ucapan semisal. Benarkah alasan ini?

Tafsiran para ulama

Mari kita lihat pemahaman para ahli tafsir mengenai ayat ini:

  • Imam Ath Thabari menjelaskan: “Maksud salam dalam ayat ini adalah keamanan dari Allah terhadap gangguan setan dan tentaranya pada hari beliau (Nabi Isa) dilahirkan yang hal ini tidak didapatkan orang lain selain beliau. Juga keselamatan dari celaan terhadapnya selama hidupnya. Juga keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Juga keselamatan dari kepanikan dan kebingungan ketika dibangkitkan pada hari kiamat sementara orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu” (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 18/193).
  • Al Qurthubi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku] maksudnya keselamatan dari Allah kepadaku -Isa-. [pada hari aku dilahirkan] yaitu ketika di dunia (dari gangguan setan, ini pendapat sebagian ulama, sebagaimana di surat Al Imran). [pada hari aku meninggal] maksudnya di alam kubur. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] maksudnya di akhirat. karena beliau pasti akan melewati tiga fase ini, yaitu hidup di dunia, mati di alam kubur, lalu dibangkitkan lagi menuju akhirat. Dan Allah memberikan keselamatan kepada beliau di semua fase ini, demikian yang dikemukakan oleh Al Kalbi” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an, 11/105).
  • Dalam Tafsir Al Jalalain (1/399) disebutkan: “[Dan keselamatan] dari Allah [semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali]”.
  • Al Baghawi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan] maksudnya keselamatan dari gangguan setan ketika beliau lahir. [pada hari aku meninggal] maksudnya keselamatan dari syirik ketika beliau wafat. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] yaitu keselamatan dari rasa panik” (Ma’alimut Tanzil Fi Tafsiril Qur’an, 5/231).
  • As Sa’di menjelaskan: “Maksudnya, atas karunia dan kemuliaan Rabb-nya, beliau dilimpahkan keselamatan pada hari dilahirkan, pada hari diwafatkan, pada hari dibangkitkan dari kejelekan, dari gangguan setan dan dari dosa. Ini berkonsekuensi beliau juga selamat dari kepanikan menghadapi kematian, selamat dari sumber kemaksiatan, dan beliau termasuk dalam daarus salam. Ini adalah mu’jizat yang agung dan bukti yang jelas bahwa beliau adalah Rasul Allah, hamba Allah yang sejati” (Taisir Kariimirrahman, 1/492).

Dan yang paling istimewa adalah penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini. Beliau menjelaskan: “Dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5-230).

Demikianlah penjelasan para ahli tafsir, yang semuanya menjelaskan makna yang sama garis besarnya. Tidak ada dari mereka yang memahami ayat ini sebagai dari bolehnya mengucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani apalagi memahami bahwa ayat ini dalil disyariatkannya memperingati hari lahir Nabi Isa ‘alaihis salam.

Sanggahan

Oleh karena itu, kepada orang yang mengatakan bolehnya ucapan selamat natal atau bolehnya natalan dengan ayat ini, kita katakan:

Pertama: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menerima ayat ini dari Allah tidak pernah memahami bahwa ayat ini membolehkan ucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani atau bolehnya merayakan hari lahir Nabi Isa ‘alahissalam. Dan beliau juga tidak pernah melakukannya, padahal ada kaum Nasrani yang hidup di masa beliau. Namun tidak pernah diriwayatkan beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengucapkan atau mengirim ucapan selamat natal kepada mereka.

Kedua: para sahabat Nabi ridwanullah ‘alaihim, generasi terbaik umat Islam, yang ada ketika Nabi menerima ayat ini dari Allah, mereka memahami isi dan penerapan ayat ini, pun tidak pernah mengucapkan selamat natal kepada kaum Nasrani. Bahkan Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mengatakan:

أَعْدَاءَ اللَّهِ ؛ الْيَهُودَ , وَالنَّصَارَى ، فِي عِيدِهِمْ يَوْمَ جَمْعِهِمْ , فَإِنَّ السَّخَطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ , فَأَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ

“jauhilah perayaan-perayaan kaum musuh Allah yaitu Yahudi dan Nasrani. Karena kemurkaan Allah turun atas mereka ketika itu, maka aku khawatir kemurkaan tersebut akan menimpa kalian” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, sanadnya hasan).

Ketiga: Ayat ini bukti penetapan ubudiyah Isa ‘alaihis salam kepada Allah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Karena beliau hidup sebagaimana manusia biasa, bisa mati, dan akan dibangkitkan pula di hari kiamat sebagaimana makhluk yang lain. Dan beliau mengharap serta mendapat keselamatan semata-mata hanya dari Allah Ta’ala. Ini semua bukti bahwa beliau adalah hamba Allah, tidak berhak disembah. Sehingga ayat ini justru bertentangan dengan esensi ucapan selamat natal dan ritual natalan itu sendiri, yang merupakan ritual penghambaan dan penyembahan terhadap Isa ‘alaihissalam. Jadi tidak mungkin ayat ini menjadi dalil ucapan selamat natal atau natalan.

Keempat: ulama menafsirkan السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ‘keselamatan dari Allah‘, bukan ucapan selamat. Andai kita terima bahwa السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ucapan selamat, lalu kepada siapa ucapan selamatnya? Ayat menyebutkan السَّلامُ عَلَيَّ ‘as salaam alayya (kepadaku)’, berarti ucapan selamat seharusnya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Bukan kepada orang Nasrani. Dan andai kita ingin mendoakan keselamatan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, maka waktunya luas, bisa kapan saja dan di mana saja tanpa harus dikhususkan pada perayaan Natal dan di depan orang Nasrani.

Kelima: jika ada yang mengatakan “biarlah mereka memahami bahwa kita mengucapkan selamat Natal kepada mereka, namun niat kita di dalam hati ingin mendoakan Nabi Isa“. Maka kita katakan:

  1. Ini adalah tauriyah. Tauriyah adalah seseorang meniatkan perkataannya berbeda dengan ucapan zahirnya. Kata para ulama tauriyah itu termasuk dusta, dibolehkan jika ada kebutuhan dan tidak mengandung kezaliman. Sedangkan dalam kasus ini tidak ada kebutuhan bagi seorang Muslim untuk mengucapkan selamat Natal dan juga terdapat kezaliman di dalamnya. Karena kezaliman yang terbesar adalah mempersekutukan Allah dengan makhluk-Nya.
  2. Dengan melakukan tauriyah demikian, maka di dalam anggapan orang Nasrani, Muslim yang mengucapkan selamat natal telah menyetujui esensi dari perayaan natal dan akidah-akidah yang batil di dalamnya.

Keenam: andai kita terima “tafsiran” mereka bahwa dari ayat ini dibolehkan mengucapkan selamat natal pada hari lahir Nabi Isa. Maka pertanyaannya adalah, mana bukti otentik bahwa Nabi Isa lahir tanggal 25 Desember?? Para ahli perbandingan agama menyatakan tidak ada bukti otentik dan dalil landasan bahwa perayaan hari lahir Isa ‘alaihissalam adalah tanggal 25 Desember.

Andrew McGowan, seorang pendeta Nasrani dekan di Yale Divinity School, dalam tulisan ilmiah berjudul “How December 25 Became Christmas” mengatakan: “Celebrations of Jesus’ Nativity are not mentioned in the Gospels or Acts; the date is not given, not even the time of year. The biblical reference to shepherds tending their flocks at night when they hear the news of Jesus’ birth (Luke 2:8) might suggest the spring lambing season; in the cold month of December … The extrabiblical evidence from the first and second century is equally spare: There is no mention of birth celebrations in the writings of early Christian writers such as Irenaeus (c. 130–200) or Tertullian (c. 160–225)

Artinya: “Perayaan kelahiran Yesus tidak disebutkan di dalam kitab Gospel dan kitab Acts. Tidak ada tanggal yang disebutkan di situ, bahkan tahun lahir saja tidak ada. Referensi yang ada adalah mengenai pengembala yang mengembalakan ternak mereka di malam hari ketika mereka mendengar Yesus lahir (Luke 2:8), ini mungkin menjadi ide awal dimunculkannya sangkaan waktu musim semi masa-masa beternak kambing di bulan Desember… Dan bukti-bukti di luar injil di abad pertama dan kedua menyimpulkan hal yang serupa: bahwa tidak disebutkan mengenai perayaan kelahiran dari tulisan-tulisan para penulis kristen terdahulu seperti Irenaus (130-220M) atau Tertullian (160-225M)”

Beliau juga mengatakan sebagai kesimpulan tulisannya: “In the end we are left with a question: How did December 25 become Christmas? We cannot be entirely sure. Elements of the festival that developed from the fourth century until modern times may well derive from pagan traditions. Yet the actual date might really derive more from Judaism“.

Artinya: “Akhir kata, kita masih meninggalkan pertanyaan: mengapa tanggal 25 Desember bisa menjadi hati perayaan natal? Kita belum yakin secara pasti. Elemen dari festival yang berkembang mulai dari abad ke 4 hingga sekarang bisa jadi merupakan turunan dari tradisi kaum pagan. Bahkan yang ada pada masa ini bisa jadi merupakan turunan dari tradisi Judaisme (Yahudi)” 1.

Jadi perayaan ini sebenarnya tidak ada asalnya! Nabi Isa ‘alaihissalam pun ternyata tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengadakan ritual demikian. Mengapa sebagian kaum muslimin malah membela bahwa ritual natalan itu ada dalilnya dari Al Qur’an, dengan pendalilan yang terlalu memaksakan diri?

Penutup

Pembahasan ini semata-mata dalam rangka nasehat kepada saudara sesama muslim. Kami meyakini sebagai muslim harus berakhlak mulia bahkan kepada non-muslim. Dan untuk berakhlak yang baik itu tidak harus dengan ikut-ikut mengucapkan selamat natal atau selamat pada hari raya mereka yang lain. Akhlak yang baik dengan berkata yang baik, lemah lembut, tidak menzhalimi mereka, tidak mengganggu mereka, menunaikan hak-hak tetangga jika mereka jadi tetangga kita, bermuamalah dengan profesional dalam pekerjaan, dll. Karena harapan kita, mereka mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam. Dengan ikut mengucapkan selamat natal, justru membuat mereka bangga dan nyaman akan agama mereka karena kita pun jadi dianggap ridha dan fine-fine saja terhadap agama dan keyakinan kufur mereka.

Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/29156-surat-maryam-ayat-33-apakah-dalil-bolehnya-ucapan-selamat-natal.html

Nabi Isa Masih Hidup dan tak Pernah Disalib

ALLAH telah menjelaskan dalam Alquran bahwa orang Yahudi tidak membunuh Nabi Isa ‘alaihi salam. Beliau tidak disalilb. Namun orang lain, yang Allah serupakan dengan Nabi Isa, itulah yang disalib.

Meskipun demikian, Yahudi tetap mengklaim bahwa Nabi Isa telah disalib, dan anehnya, orang nasrani membenarkannya tanpa ada rasa permusuhan terhadap mereka.

Allah jelaskan dalam Alquran:

“Di antara penyebab Yahudi kafir adalah klaim mereka bahwa kami telah membunuh Nabi Isa bin Maryam, sang utusan Allah. Padahal mereka tidaklah membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” (QS. An-Nisa: 157)

Aqidah kaum muslimin, bahwa Nabi Isa alaihis salam masih hidup dan belum mati. Beliau diangkat oleh Allah jasad dan ruhnya. Sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-Nya:

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 158)

Dua ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak dibunuh, tidak disalib, tapi Allah selamatkan jasad dan ruhnya, dengan Allah angkat ke langit. Kemudian di akhir zaman, nabi Isa akan Allah turunkan untuk membunuh Dajjal.

Kehadiran beliau bukan membawa syariat baru, tapi mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Barulah setelah itu, beliau wafat dan dimakamkan di bumi. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis: dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Saya orang yang paling berhak untuk memuliakan Isa bin Maryam, karena tidak ada nabi antara zamanku dengan zaman beliau(kemudian beliau menjelaskan turunnya Nabi Isa, dan melanjutkan sabdanya), Nabi Isa tinggal di bumi dalam kurun waktu sesuai yang dikehendaki Allah, kemudian beliau wafat dan disalati oleh kaum muslimin, lalu mereka memakamkan beliau.” (HR. Ahmad 9349 dan dishahihkan Al-Albani)

Ibnu Athiyah (w. 542 H) beliau mengatakan dalam tafsirnya Al-Muharrar Al-Wajiz:

Umat Islam sepakat untuk mengimani kandungan hadis yang mutawatir bahwa Nabi Isa hidup di langit. Beliau akan turun di akhir zaman, membunuh babi, mematahkan salib, membunuh Dajjal, menegakkan keadilan, agama Nabi Muhammad menjadi menang bersama beliau, Nabi Isa juga berhaji” (Al-Muharrar Al-Wajiz, 3:143)

Allahu alam.

 

[Ustaz Ammi Nur Baits]

INILAH MOZAIK