Fatwa MUI Tentang Salam Lintas Agama dan Toleransi

Jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.

oleh: Ainul Yaqin

Beberapa waktu terakhir ini satu perbincangan yang muncul di media adalah menyoal Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang salam lintas agama. Fatwa ini merupakan salah satu dari keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI VIII yang diselenggarakan di Bangka Belitung 28-31 Mei 2024.

Sebenarnya sebelum masalah ini menjadi bahasan Ijtima Ulama komisi Fatwa, sudah pernah disampaikan oleh Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur akhir 2019 yang lalu dalam bentuk taushiyah, dengan isi yang kurang lebih sama. Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-8 memberikan pendalaman pada pembahasannya.

Beberapa poin dari keputusan Ijtima tersebut di antaranya: (1) Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan; (2) Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain; (3) Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.

Keputusan Ijtima komisi Fatwa ini telah memantik tanggapan yang beragam, ada yang mendukung, ada yang menolaknya. Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Al Washliyah misalnya menyampaikan, “Tepat keputusan MUI, karena salam itu sakral.”

Komentar berbeda antara lain disampaikan Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin. Menurutnya, salam lintas agama merupakan praktik yang dapat mendorong kerukunan umat. Menebar damai sebagai ajaran substantif semua agama, dapat dilakukan melalui salam lintas agama (https://www.kemenag.go.id).

Tanggapan keras datang dari Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam pengantarnya, BPIP menilai terbitnya hasil ijtima tersebut bisa berpotensi merusak kemajemukan warga negara. Kemudian pada poin pernyataan, antara lain disampaikan bahwa hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa (https://news.detik.com/).

Munculnya tangapan beragam menyikapi fatwa Ijtima Ulama MUI, hal yang wajar saja, lebih-lebih dalam iklim demokrasi yang memberikan ruang adanya perbedaan pendapat. Namun jika fatwa dianggap berpotensi merusak kemajemukan warga negara atau lebih-lebih dikatakan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa, ini terlalu didramatisir, bahkan bisa disebut lebay.

Pancasila telah disahkan sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945. Khususnya dalam kaitan dengan kemajemukan agama telah terimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat pun sudah biasa dengan perbedaan dari masing-masing pemeluk agama.

Sementara itu, muculnya fenomena pengucapan sederet salam dengan redaksi agama-agama merupakan hal yang baru yang dulu tak pernah ada. Mungkin bisa dibilang baru dalam waktu tak lebih dari sepuluh tahun terakhir ini.

Justru munculnya fenomena inilah yang memantik adanya pertanyaan atau bahkan kegelisahan dari beberapa warga masyarakat ketika harus mengucapkan kalimat yang dipandangnya sebagai hal yang khusus di suatu agama tertentu lalu harus diucapkan pula oleh orang yang berbeda keyakinannya. Inilah yang sebenarnya melatarbelakangi MUI mengkajinya dari sudut pandang ajaran Islam dan kemudian menerbitkan fatwa.

Kata fatwa atau disebut al-futyaa, secara bahasa yang artinya penjelasan, atau penerangan. Secara istilah, misalnya merujuk pada Abd Karim Zaidan yang mendefinisikan bahwa fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan mufti (sebagai jawaban kepada orang yang bertanya kepadanya).(Ushuul al-Da’wah, hlm. 166). Sedangkan Syeikh Yusuf al-Qardlawi mendefinisikan, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ terhadap suatu masalah sebagai jawaban terhadap pertanyaan penanya, baik dikenal atau pun tidak, secara perseorangan maupun kolektif. (al-Fatwaa baina al-Indlibaath wa al-Tasayyub, hlm. 11)

Dari definisi di atas bisa dikatakan bahwa fatwa bersifat responsif, karena muncul untuk menjawab masalah atau menjawab pertanyaan yang disampaikan oleh mustafti (pihak penanya). Pihak yang meminta fatwa atau mustaftibisa perorangan, bisa pula lembaga atau badan. Permasalahan yang dijawab dengan fatwa bisa berupa pertanyaan langsung yang disampaikan oleh penanya (mustafti) ataubisa pula berupa permasalahan yang muncul di tengah-tengan masyarakat yang membutuhkan penjelasan dari sudut pandang agama.

Dari sisi keberlakuannya, seperti definisi dari Syeikh Musthafa al-Ruhaibaani yang menyebutkan tambahan bahwa fatwa bersifat tidak mengikat (Mathaalibu Ulii al-Nuhaa fii Syarh al-Ghaayah al-Muntahaa, hlm. 405). Di sinilah memang, fatwa berbeda dengan hukum positif yang mengikat kepada warga negara. Atau berbeda pula dengan putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang berperkara.

Meskipun demikian, kedudukan fatwa di tengah masyarakat khususnya umat Islam adalah penting. Adanya jawaban atas berbagai permasalahan keagamaan merupakan kebutuhan. Sebaliknya membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan suatu yang tidak semestinya terjadi. Fatwa akan terus dibutuhkan untuk memberikan jawaban terhadap berbagai masalah yang muncul seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang terus berlangsung.

Fenomena pengucapan sederet salam dari masing-masing agama yang dipraktikkan akhir-akhir ini wajar jika memantik adanya pertanyaan. Bagi umat Islam kata salam meskipun sifatnya tegur sapa, tapi mengandung makna do’a atau permintaan yang ditujukan kepada Allah Swt Sang Pencipta. Jika demikian, bisa masuk pada ranah ubudiyah, bukankah doa itu disebut inti ibadah.

Lalu bagaimana dengan adanya redaksi-redaksi khusus dari masing-masing agama yang memberti nuansa khusus dari sisi pemaknaannya. Misalnya ungkapan dari umat Hindu, “Om Swastiastu” yang bisa diartikan “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia  Sang Hyang Widhi”.  Demikian pula ungkapan Namo Budhaya, yang artinya terpujilah Sang Budha. Dalam kasus ini wajar jika ada pertanyaan dari umat Islam, bagaimana mengucapkan seperti ini jika yang melakukan orang  Islam. Di sinilah karena salah satu peran MUI adalah sebagai lembaga fatwa, maka MUI memberikan jawaban itu.

Fatwa MUI memperlihatkan sikap kehati-hatian memberikan jawaban kepada umat Islam, karena hal ini berkaitan dengan doktrin ajaran. Dapat dikatakan hal ini bersifat privat dan eksklisif bagi pemeluk agama Islam. Karena itu jawaban MUI cenderung pada tidak memperbolehkan, atau dengan kata lain haram. Lalu apakah hal itu disebut mencederai keragaman, atau bahkan dikatakan mengancap Pancasila. Maka perlu dicermati lagi makna tolerasi dalam keragaman.

Kata tolerasi berasal dari dari bahasa latin “tolerare”, yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu, menerima dengan sabar, atau menanggung. Toleransi juga bermakna daya tahan dan kelapangan dada. Kata toleransi digunakan dalam berbagai disiplin, menunjukkan adanya penerimaan terhadap kondisi yang berbeda atau yang bahkan tidak dikendaki, tetapi bisa diterima artinya bisa ditoleransi. Pada disiplin mikrobiologi misalnya ada istilah tolerensi mikroba terhadap antibiotik. Artinya meskipun antibiotik sesuatu yang dapat membunuh mikroba, pada dosis tertentu mikroba mempunyai daya tahan sehingga tetap hidup, sehingga dikatakan mikroba bisa menoleransi.

Dalam ranah sosiologis istilah toleransi merujuk pada situasi kompromi atas berbagai keadaan yang berbeda-beda, suatu kondisi kemajemukan, atau bahkan saling berhadapan atau berkonfrontasi. Kondisi kemajemukan itu disikapi dengan saling bergandeng, mengambil titik-titik kesamaan sebagai pengikatnya, dengan maksud untuk kepentingan yang lebih besar.

Maka hal-hal pebedaan yang bersifat privasi atau ekslusif dibiarkan berbeda, tidak dipaksa sama. Prinsinya adalah saling menghormati pihak-pihak yang berbeda. Dalam soal keyakinan misalnya, atau praktik menjalankan agama, toleransi artiinya masing-masing pemeluk agama dibiarkan melakukan sesuai dengan yang diyakini, tidak dihalang-halangi, tidak ada paksaan dalam agama.

Inilah justru yang menjadi pengejawantahan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Lebih-lebih lagi hak menjalankan agama menjadi hak kebebasan yang tidak bisa dibatasi. Maka justru menjadi aneh, demi tolerasi lalu seakan-akan memaksakankan hal yang sebenarnya berbeda untuk menjadi seragam. kemudian pihak yang tidak mau seakan-akan dibilang tidak toleransi, bahkan dianggap sebagai ancaman. Padalah dalam konteks salam, justru lebih elok jika dibiarkan masing-masing pemeluk agama mengucapkan sesuai dengan keyakinan yang dimilik. Di sinilah yang justru menunjukkan adanya kedewasaan menyikapi keragaman.*/Penulis merupakan peneliti Inpas

HIDAYATULLAH

Membaca Fatwa MUI tentang Dukungan terhadap Palestina dan Boikot Produk Israel

Pada 8 November 2023, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina sebagai respons terhadap konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Fatwa ini, dengan empat poin utama, menghadirkan pandangan yang tegas terkait agresi yang dianggap dilakukan oleh Israel.

Salah satu poin krusial dalam fatwa ini adalah haramnya mendukung agresi Israel, yang membawa implikasi bahwa umat Islam di Indonesia diharamkan untuk membeli atau menggunakan produk yang dapat diidentifikasi sebagai pendukung agresi militer Israel. Langkah ini, yang secara eksplisit menghubungkan konflik Palestina-Israel dengan keputusan konsumsi umat Islam, menandakan upaya MUI untuk memberikan dampak ekonomi dan menunjukkan solidaritas internasional terhadap rakyat Palestina.

Dalam fatwa tersebut dirujuk pendapat Sayyid Ramadhan al-Buthi dalam fatwanya : “Wajib ain untuk memboikot makanan dan produk dagang Amerika dan Israel, karena ini termasuk jihad yang mudah dilakukan bagi setiap orang Islam untuk menghadapi agresi dari Israel.”

Fatwa ini juga memberikan panduan mengenai distribusi zakat, infaq, dan sedekah untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan tidak hanya diukur dalam bentuk politik dan ekonomi, tetapi juga melalui kepedulian kemanusiaan yang diwujudkan melalui kontribusi finansial.

Dalam fatwa tersebut didasarkan pada salah satu hadist : Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata : Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim saudara terhadap sesama muslim, tidak menganiyayanya dan tidak akan dibiarkan dianiaya orang lain. Dan siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan menyampaikan hajatnya. Dan siapa yang melapangkan kesusahan seorang muslim, maka Allah akan melapangkan kesukarannya di hari qiyamat, dan siapa yang menutupi aurat seorang muslim maka Allah akan menutupinya di hari qiyamat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Di samping itu, poin hukum haramnya mendukung agresi Israel menegaskan bahwa dukungan terhadap penjajahan dan zionisme dianggap sebagai pelanggaran hukum dalam pandangan MUI. Ini menciptakan dasar hukum yang kuat untuk menegakkan fatwa dan memperingatkan umat Islam tentang dampak negatif dari keterlibatan dengan pihak yang mendukung Israel.

Rekomendasi yang disampaikan oleh MUI juga menciptakan landasan yang kuat untuk tindakan nyata. Umat Islam diimbau untuk mengambil langkah-langkah konkret, mulai dari menggalang dana kemanusiaan hingga mendoakan kemenangan dan melibatkan diri dalam shalat ghaib untuk para syuhada Palestina. Selain itu, pemerintah juga diingatkan untuk mengambil peran aktif dalam membantu perjuangan Palestina melalui langkah-langkah diplomatik, bantuan kemanusiaan, dan konsolidasi dengan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

Khususnya, imbauan untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel menunjukkan bahwa MUI memandang konflik Palestina-Israel sebagai isu yang relevan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Langkah ini dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan yang dapat memengaruhi secara langsung kebijakan ekonomi dan politik.

Secara keseluruhan, fatwa MUI menggambarkan ketegasan dan kejelasan pandangan terhadap konflik Palestina-Israel. Dengan memberikan pedoman hukum dan rekomendasi nyata, MUI memperkuat posisinya sebagai lembaga otoritatif dalam memberikan panduan moral dan etika kepada umat Islam di Indonesia. Melalui fatwa ini, MUI tidak hanya mengecam agresi Israel tetapi juga mengajak umat Islam untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.

Isi Fatwa MUI tentang Dukungan terhadap Palestina

Hukum dan Ketentuan Fatwa

  1. Wajib Mendukung Perjuangan Palestina: Fatwa menggariskan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel adalah kewajiban. Ini mencerminkan sikap tegas MUI terhadap apa yang mereka lihat sebagai tindakan agresi oleh Israel.
  2. Dukungan Melalui Zakat, Infaq, dan Sedekah: Fatwa mencakup dukungan finansial dengan mendistribusikan zakat, infaq, dan sedekah untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina. Dalam konteks ini, dana zakat diizinkan untuk didistribusikan ke tempat yang lebih jauh, termasuk untuk perjuangan Palestina, dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak.
  3. Haram Mendukung Agresi Israel: Fatwa dengan tegas menyatakan bahwa mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel, baik langsung maupun tidak langsung, hukumnya haram.

Rekomendasi dan Imbauan

  1. Dukungan Umat Islam: Umat Islam diimbau untuk mendukung perjuangan Palestina dengan berbagai cara, termasuk menggalang dana kemanusiaan, mendoakan kemenangan, dan melakukan shalat ghaib untuk para syuhada Palestina.
  2. Langkah Pemerintah: Rekomendasi mencakup imbauan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas, termasuk melalui jalur diplomasi di PBB, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan konsolidasi negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk menekan Israel menghentikan agresi.
  3. Menghindari Transaksi dan Produk Terafiliasi dengan Israel: Umat Islam diimbau untuk menghindari transaksi dan penggunaan produk yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme. Hal ini sejalan dengan tujuan fatwa untuk memberikan dampak ekonomi dan menunjukkan solidaritas internasional terhadap Palestina.

Download Fatwa MUI tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina di link bawah ini :

Fatwa MUI tentang

ISLAMKAFFAH

Ini Empat Seruan MUI Berpuasa di Tengan Wabah

Tinggal hitungan hari ummat Islam akan melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Ramadhan merupakan momentum menguatkan hubungan hablum minallah dan hablum minnas. Tinggal hitungan jari, seluruh ummat Islam di dunia, termasuk Indonesia akan menjalankan ibadah shaum sebulan penuh.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI HM Asrorun Niam Sholeh mengatakan, menjelang Ramadhan 1441 H ini, MUI menyampaikan Marhaban Yaa Ramadhan. “Semoga umat Islam diberi kekuatan untuk melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdlah maupun ibadah ghairu mahdlah. Puasa harus menjadi momentum umat Islam untuk meningkatkan hubungan ilahiyyah dan mengeratkan hubungan insaniyah,” ujarnya.

Untuk itu MUI menyeru empat hal yang  dilakukan ummat Islam saat menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi virus corona saat ini. Keempat hal itu adalah sebagai berikut:

1.Meningkatkan keimanan, mengajak umat Islam untuk menjadikan Ramadhan tahun ini sebagai momentum muhasabah meningkatkan keimanan, ketaqwaan, keikhlasan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT (taqarrub ila Allah), serta secara khusyu’ berzikir, bermunajat, memperbanyak membaca Alquran dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar pendemik Covid-19 dan wabah lainnya segera diangkat dan dihilangkan dari negara tercinta Indonesia.

Asrorun mengajak, kepada masyarakat yang berada di kawasan terdampak, untuk bersama membangun kebiasaan baru dalam beribadah menyesuaikan dengan kondisi pandemik dengan: menjadikan rumah sebagai pusat kegiatan ibadah, ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Kebiasaan ibadah di masjid dan mushalla saat tarawih, tilawah, kita geser syiar itu di kediaman masing. “Kita terangi rumah kita dengan ibadah dan tilawah,” seru Asrorun.

Tarawih di Rumah bersama keluarga inti. Menurutnya, ada dua manfaat Ibadah di Rumah. Pertama mencegah penyebaran penyakit, kedua memperkuat hubungan kekerabatan, ketiga perubahan kebiasaan ini tidak mengurangi satu senti pun ketaatan kita kepada Allah SWT.

“Ini adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Menjaga agama dan menjaga jiwa adalah dua komponen utama dalam Maqashid syariat, atau tujuan pembangunan hukum Islam. Tidak dibenarkan melaksanakan ibadah yang menimbulkan terancamnya jiwa,” katanya.

Asrorun menyampaikan, meski semua kegiatan ibadah digeser ke rumah masing-masing, masjid tetap menjadi pusat penyiaran, penanda waktu, adzan, dan pengumuman-pengumuman keagamaan. Muadzdzin dan Takmir masjid tetap mengumandangkan adzan, pusat infromasi kegiatan keagamaan, pusat informasi pencegahan dan penanggulangan covid.

“Masjid bisa dijadikan posko penanggulangan, hingga jika dimungkinkan, menjadi pusat isolasi mandiri,” katanya.

Serua kedua, MUI mengajak umat Islam menjaga imunitas dengan melakukan beberapa hal di antaranya: A. Berperilaku hidup bersih dan sehat. Puasa dan qiyamulail bida mendatangkan manfaat terhadap kesehatan.

B. Makan makanan yang seimbang.nMenyegerakan berbuka, dengan yang manis dan memperbanyak air putih, namun tetap tidak berlebihan. Dna mengakhirkan sahur, Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.

C. Sahur bersama keluarga juga dapat mendatangkan Tasahharu Fa Inna Fis Sahuuri Barakah.

D.Memperbanyak Dzikir. Menurutnya, dzikir melahirkan ketenangan. Ketenangan adalah separuh obat untuk sembuh. Ibnu Sina, Ahli Kedokteran Muslim mengingatkan “Ketenangan adalah separuh obat, dan Kepanikan adalah separuh penyakit.

Dzikir jugabmelahirkan kedekatan dengan Allah “fadzkuruuni Adzkurkum… “

Dzikir mengantarkan pada kewaspadaan, kewaspadaan akan melahirkan kehati-hatian. “Sak beja-bejaning wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo”

Seruan ketiga MUI mengajak umat Islam untuk menjaga keamanan diri dan orang lain, dengan cara melaksanakan Ibadah dengan Tetap mematuhi Protocol kesehatan sehingga bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Tetangga merasa tenang dan tenteram dengan kewaspadaan dan kehati-hatian kita. Mengimbau umat Islam untuk lebih meningatkan amal shalih, salah satunya dengan membantu fakir-miskin dan dhu’afa.

“Terutama di daerah sekitar ia tinggal, melalui penyaluran zakat, infak, dan shadaqah,” katanya.

Seruan kempat MUI, mengajak umat berdoa dan mengaminkan doa. Karena tidak ada suatu peristiwa yang lepas dari kehendak Allah SWT. Kita terdiam dengan ikhlas dan sabar. Ud’uni astajib lakum.

Selain itu MUI juga mendorong para pengelola media massa, khususnya TV dan radio, agar mempersiapkan berbagai acara siaran Ramadhan yang sejalan dengan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah dan semangat gotong royong, saling membantu dan berlomba dalam kebaikan.

“Sehingga tercipta di tengah masyarakat religiusitas dan kebersamaan untuk menghadapi dampak terjadinya pendemik covid-19,” katanya.

REPUBLIKA

Zakat Profesi Sesuai Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Berdasarkan fatwa MUI bahwa “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperbolehkan pekerjaan bebas lainnya. MUI merupakan lembaga yang mewadahi para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia,

Zakat profesi (maal mustafad) ini bukan bahasan baru, para ulama fikih sudah menjelaskan di kitab-kitab klasik, di antaranya adalah kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm), al-Mughni (Ibnu Quddamah), Nail al-Athar (asy-Syaukani), maupun di kitab Subul as-Salam (ash-Shan’ani).

Menurut mereka setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib zakat (wajib ditunaikan zakatnya). Diantara para ulama yang mewajibkan zakat profesi adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiah, ash-Shadiq, al-Baqir, an-Nashir, Daud Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, dan al-Auza’i.

Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-Maal al-Mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohnya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, olahragawan, artis, seniman dan sejenisnya.

Dan di Indonesia sejak tahun Juni 2003, Komisi Fatwa MUI sudah memfatwakan bahwa penghasilan itu termasuk wajib zakat. Hal ini mengacu pada pendapat MUI mengenai revisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ijtima’ Komisi Fatwa MUI merekomendasikan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat agar diubah menjadi Undang-Undang tentang Zakat.

Setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib ditunaikan zakatnya, karena ayat-ayat yang mewajibkan zakat terhadap setiap harta tanpa memilah jenis dan bentuknya, sesuai dengan maqasid ; semangat berbagi dan memenuhi hajat dhuafa. Sesuai dengan kaidah umum bahwa zakat diberlakukan untuk hartawan yang telah memenuhi nishab. Adapun pola penghitungannya bisa dihitung setiap bulan dari penghasilan kotor menurut pedapat Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Ghazali, dan lain-lain.

Sebagaimana juga disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya Ibnu Mas’ud, Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya.” Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberi upah kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya .. “

Pengertian Zakat Profesi
Profesi adalah pekerjaan di bidang jasa atau pelayanan selain bertani, berdagang, bertambang, beternak, dengan imbalan berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak, baik pekerjaan yang dilakukan langsung ataupun bagian lembaga, baik pekerjaan yang mengandalkan pekerjaan otak ataupun tenaga.

Zakat Profesi disebut juga zakat pendapatan adalah zakat harta yang dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang atau profesinya bila telah mencapai nishab. Seperti pendapatan karyawan, dokter, notaris dan lain-lain.

Kategori dan Karakteristik Profesi

Ada dua kategori pekerjaan yang menghasilkan upah/pendapatan, yaitu:
Setiap pekerjaan yang dilakukan (al-Mihan al-Hurrah), baik pekerjaan yang mengandalkan otak, seperti pengacara, penulis, intelektualitas, dokter, konsultan, pekerja kantoran dan sejenisnya (al-Mihaniyyun). Pekerjaan yang mengandalkan tangan atau tenaga, misalnya para perajin, pandai besi, tukang las, mekanik bengkel, tukang jahit buruh bangunan dan sejenisnya (ashabul hirfah)

Setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari lembaga, baik pemerintahan maupun swasta (kasb al-‘amal), seperti karyawan dan lain sebagainya.

Jadi karakteristik profesi adalah: “Segala jenis pekerjaan selain bertani, berdagang, bertambang, berternak. Pekerjaan yang lebih banyak bergerak di bidang jasa atau pelayanan, pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan berdasarkan basis ilmu dan teori tertentu.”

Imbalan atau penghasilannya berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap maupun tidak tetap. Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh para tenaga profesional tersebut, bila memenuhi syarat nishab dan haul, maka harus dikeluarkan zakatnya.

Landasan Syar’i Zakat Profesi

Berikut ini adalah dalil yang bermakna kewajiban zakat secara umum, yaitu:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At Taubah: 103)

Berikut ini juga terdapat dalil yang menjelaskan kewajiban zakat terhadap harta tertentu, yaitu:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, …”. (Q.S Al Baqarah: 267)

Ayat pertama di atas menunjukkan lafadz atau kata yang masih umum ; dari hasil apa saja, “.. infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik, ..” dan dalam ilmu fiqh terdapat kaidah “Al “ibrotu bi Umumi lafdzi laa bi khususi sabab”, “bahwa ibroh (pengambilan makna) itu dari keumuman katanya bukan dengan kekhususan sebab.” Dan tidak ada satupun ayat atau keterangan lain yang memalingkan makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk dalam ketegori ayat di atas.

Kesimpulan
1. Zakat profesi disebut juga zakat pendapatan adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang atau profesinya bila telah mencapai nishab.
2. Zakat profesi bukan bahasan baru
3. Zakat profesi sesuai fatwa MUI sejak tahun 2003

———————
Referensi Berdasarkan :

(1) Fatwa MUI tentang zakat penghasilan, dikeluarkan sejak tahun 2003
(2) Hukum Zakat hal. 469-472 dan 480-481 oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Cendikiawan Muslim Internasional, Presiden International Union of Muslim Scholars, Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian, dan Penerima Penghargaan Malaysia’s Hijra Award)
(3) Fikih Zakat Kontemporer oleh Dr. Oni Sahroni, dkk

Ditulis oleh:
Lembaga Amil Zakat Nasional Inisiatif Zakat Indonesia (IZI)
Jalan Raya Condet No 54 D-E Batu Ampar Jakarta Timur

Website: www.izi.or.id
Facebook: Inisiatif Zakat
Instagram: @inisiatifzakat
Twitter: @InisiatifZakat
Situs bayar zakat online termudah www.zakatpedia.com

KIBLAT NET

Kabid Fatwa MUI: Jangan Paksakan Belanja di Akhir Ramadhan

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Huzaemah Tahido Yanggo mengatakan, di akhir Ramadhan biasanya memang banyak masyarakat Indonesia yang berbelanja di mal atau tempat perbelanjaan. Menurut dia, selain berbelanja untuk kebutuhan dirinya, mereka juga berbelanja untuk mempersiapkan acara silaturrahim pada saat lebaran.

“Mengenai belanja akhir Ramadhan yang banyak itu mungkin karena keperluan lebaran. Itu juga karena persiapan untuk orang silaturrahim. Masak orang yang silaturrahim enggak dikasih apa-apa,” ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (6/6).

Namun, menurut dia, dalam berbelanja di akhir Ramadhan, sebaiknya umat Islam tidak memaksakan diri dan berlebih-lebihan. Karena, Allah sangat membenci terhadap orang boros atau israf. “Tidak apa-apa tapi jangan paksakan diri belanja di akhir Ramadhan. Tapi tentunya boros itu tidak boleh memang di Bulan Ramadhan,” ucap tokoh perempuan kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 30 Desember 1946 ini.

Guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menuturkan, sebaiknya di akhir Ramadhan ini umat Islam memperbanyak ibadah untuk lebih dekat kepada Allah SWT. Bukan justru sibuk untuk membeli kebutuhan yang sifatnya untuk bermewah-mewahan.

“Jadi yang benar itu adalah di akhir Ramadhan ini taqwanya ditambah bukan baju barunya. Walaupun itu budaya kita, secukupnya saja jangan berlebih-lebihan karena Idul Fitri itu bukan bajunya yang baru,” kata Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta ini.

Huzaemah juga mengimbau kepada umat Islam, khususnya kaum perempuan yang sedang berbelanja agar tidak konsumtif di akhir Ramadhan. Juga tidak memaksakan diri membeli makanan untuk menyambut tamu yang ingin bersilaturrahim di Bulan Ramadhan. “Diimbau kepada umat Islam terutama ibu-ibu yang senang berbalanja, supaya secukupnya saja dan semampunya. Jangan berlebih-lebihan dan memaksakan diri,” jelas Huzaemah.

 

REPUBLIKA

Soal Ucapan Selamat Natal, Ini Penjelasan MUI

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’di menyatakan, bahwa MUI tidak bisa melarang siapa pun yang memiliki pendapat bahwa mengucapkan selamat Natal itu hukumnya haram atau dilarang oleh agama. Karena, pendapat ini didasarkan atas pendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu bagian dari keyakinan agama.

Sebaliknya, kata dia, MUI juga tidak bisa melarang bagi yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal itu boleh dan tidak dilarang oleh agama. Karena, yang berpendapat seperti ini beranggapan bahwa ucapan selamat natal itu sebatas memberikan penghormatan atas dasar hubungan kekerabatan, bertetangga, teman sekerja atau relasi antarumat manusia.

“Para ulama dalam masalah ini juga berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada yang membolehkan. Sehingga MUI mempersilakan kepada umat Islam untuk memilih pendapat mana yang paling sesuai dengan keyakinan hatinya,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Senin (25/12).

MUI sendiri, lanjut dia, belum pernah mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan selamat natal karena ulama juga berbeda pendapat. Sehingga, MUI hanya mengembalikan kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sudah ada.

“Masalah tersebut di atas juga bisa menjawab viral yang beredar di masyarakat tentang adanya toko kue yang menolak untuk menuliskan ucapan selamat natal karena berkeyakinan itu haram hukumnya. Untuk hal tersebut MUI tidak bisa melarangnya. Tetapi jika ada toko kue yang mau melayani pembeli untuk menuliskan ucapan selamat natal, MUI juga tidak bisa menyalahkannya,” katanya.

Dalam momen perayaan natal di Indonesia, MUI mengimbau, kepada masyarakat untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut dan tidak menjadikan polemik yang justru bisa mengganggu harmoni hubungan antaruma beragama.

“MUI berpesan marilah kita terus menjaga ukhuwah atau persaudaraan diantara sesama anak bangsa. Baik persaudaraan keislaman maupun persaudaraan atas dasar kemanusiaan. Karena sebagaimana kata Imam Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahbahwa ‘mereka yang bukan saudaramu dalam iman, mereka adalah saudaramu dalam kemanusiaan,” tandasnya.

 

REPUBLIKA

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Aplikasi Andoid ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

MUI Rilis Fatwa Interaksi di Media Sosial, Ada 5 Hal yang Diharamkan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah di media sosial pada Senin (5/6/2017). Fatwa ini dibuat karena selama ini ada dampak positif maupun negatif dari penggunaan media sosial.

Asrorun Ni’am Sholeh selaku Sekretaris Komisi Fatwa MUI, berpendapat media sosial memiliki dua sisi. Pertama sisi positif, digunakan untuk kepentingan kehidupan sosial dan silaturahmi. Kedua sisi negatif, yang dapat memicu pelanggaran hukum dan keresahan sosial.

“Dilatarbelakangi oleh media digital yang memiliki nilai pemanfaatan untuk kepentingan silaturahni, kehidupan sosial, dan pendidikan. Akan tetapi di sisi lain memicu keresahan sosial, pelanggaran hukum, dan disharmoni antar sesama dan kestabilan nasional,” ujar Ashrorun, saat membacakan Fatwa Hukum Bermuamalah di Media Sosial, di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Senin (5/6).

 

Fatwa ini merupakan dasar pemikiran berbagai pihak baik dari para ulama, pemerintah, dan masyarakat luas.
“Dari berbagai pihak MUI bertujuan memberikan landasan pemanfaatan medsos dengan baik melalui fatwa ini,” imbuh Ashrorun. Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud muamalah adalah proses interaksi antar individu atau kelompok yang terkait dengan hablun minannas (hubungan antar sesama manusia) meliputi pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi), dan penggunaan informasi dan komunikasi.
Di dalam Fatwa MUI No 24 Tahun 2017 tersebut juga dijelaskan bahwa setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk:
  1. Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan;
  2. Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan;
  3. Menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup;
  4. Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i;
  5. Menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.
Dalam kesempatan ini, MUI memberikan secara simbolik fatwa kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Menkominfo Rudiantara mengapresiasi pemberian fatwa tersebut sebagai rekomendasi kepada pemerintah untuk menjaga dan meminimalisasi penyebaran konten-konten negatif di media sosial.
“Berdasarkan rekomendasi MUI ini bukan akhir tapi awal kerja sama dengan MUI. Mensosialisasikan fatwa ini, bagaimana menggunakan ini sebagai rujukan dari MUI untuk mengelola dan memanajemen konten-konten negatif di sosmed,” ujar Rudiantara.

Fatwa MUI: Hukum Membakar Petasan atau Kembang Api

KOMISI Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta dalam rapatnya pada tanggal 13 Ramadhan 1431 H. bertepatan dengan tanggal 23 Agustus 2010 M,

Memutuskan:

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya, sesudah mengkaji permasalahan tersebut dari al-Quran, Sunnah dan pendapat (qaul) yang mutabar, menyempurnakan dan menetapkan fatwa tentang Hukum Petasan dan Kembang Api (Fatwa MUI No. 31 Tahun 2000, penyempurnaan fatwa tanggal 24 Ramadhan 1395/30 Sep.1975), sebagai berikut:

1. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri, Tahun Baru dan Walimah (Resepsi), seperti yang dilakukan oleh umat Islam khususnya warga DKI Jakarta, atau menjadi bagian dalam ritual ziarah di TPU Dobo, adalah suatu tradisi atau kebiasaan buruk yang sama sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam, bahkan merupakan suatu perbuatan haram yang sangat bertentangan dan dilarang ajaran Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

a. Tradisi membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api adalah bersumber dari kepercayaan umat di luar Islam untuk mengusir setan yang dianggap mengganggu mereka. Hal ini jelas merupakan suatu kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk menghindari kepercayaan yang bertentangan dengan Aqidah Islam, karena hai itu dinilai sebagai langkah setan dalam menjerumuskan umat manusia, sebagaimana difirmankan dalam Qur’an:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. An-Nur[24] : 21)

b. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api merupakan pemborosan (tabdzir) terhadap harta benda yang diharamkan Allah, sebagaimana difirmankan :

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra [17] : 27)

c. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api sangat membahayakan jiwa, kesehatan, dan harta benda (rumah, pabrik, dan lain-lain). Padahal agama Islam melarang manusia melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana difirmankan dalam :

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]:195.)

Demikian juga sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:

“(Kamu) tidak boleh membuat bahaya bagi dirimu sendiri dan juga tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain”.

d. Membakar, menyalakan atau membunyikan petasan dan kembang api bahayanya (mudharat) lebih besar dari pada manfaatnya (kalau ada manfaatnya). Padahal di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Sebagaimana didasarkan pada makna umum ayat Al-Quran sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”

Dan hadits Rasulullah SAW:

“Di antara ciri-ciri orang muslim yang baik adalah orang yang mau meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat”.

2. Sehubungan dengan haramnya membakar atau menyalakan petasan dan kembang api, maka haram pula memproduksi, mengedarkan dan memperjualbelikannya. Hal ini didasarkan pada Kaidah Ushul Fiqh:

“Sesuatu yang menjadi sarana, hukumnya mengikuti sesuatu yang menjadi tujuan.”

 

 

[Sumber Web MUI DKI JAKARTA]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2349305/fatwa-mui-hukum-membakar-petasan-atau-kembang-api#sthash.HWyidhFt.dpuf

MUI Keluarkan Fatwa Pembakaran Hutan Haram

Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa tentang pembakaran hutan. Fatwa ini sendiri merupakan permintaan mendesak dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada enam ketentuan hukum yang berupa fatwa MUI, terkait pembakaran hutan berikut ini:

1. Melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan dan dampak buruk lain, hukumnya haram.

2. Memfasilitasi, membiarkan, dan atau mengambil keuntungan dari pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka satu, hukumnya haram.

3. Melakukan pembakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada angka satu, merupakan kejahatan dan pelakunua dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat kerusakan hutan dan lahan yang ditimbulkannya.

4. Pendendalian kebakaran hutan dan lahan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum hukumnya wajib.

5. Pemanfaatan hutan dan lahan pada prinsipnya boleh dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memperoleh hak yang sah untuk pemanfaatan
b. Mendapatkan izin pemanfaatan dari pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku
c. Ditujukan untuk kemaslahatan
d. Tidak menimbulkan kerusakan dan dampak buruk, termasuk pencemaran lingkungan

6. Pemanfaatan hutan dan lahan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud pada angka lima, hukumnya haram.

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Huzaimah Tohido Yanggo, membenarkan hukum yang mengatur pembakaran hutan di Indonesia sendiri memang sudah ada dan tertuang dalam UU. Maka itu, ia menekankan fatwa MUI ini akan menjadi ketentuan hukum tambahan yang diambil dari sisi moral, yang penentuannya didasarkan atas Alquran dan hadits.

“Fatwa MUI ini akan mengikat dari sisi moral, dan tentu didapati dari pertimbangan Alquran dan hadits,” kata Prof Huzaimah di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (13/9).

 

sumber: Republika Online