Menjaga Ukhuwah Tanpa Cacian dan Ghibah

Segala puji bagi Allah Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini – dengan izin Allah – laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling  mencintai. Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.

Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebab, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap dai. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap Muslim.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:197].

Takwa merupakan sebab pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda, ilmu, isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan dunia dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَـلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ

Barangsiapa  bertakwa kepada Allah, niscaya Allah membuatkan baginya jalan keluar dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan, dan Allah akan menganugerahkan rezeki kepadanya dari arah yang tidak ia duga.[1]

Jadi, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allah bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam hati. Setiap Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri dengan takwa dalam semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benteng bagi seorang Muslim dari segala perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah kita baca dalam Al-Qur`an surah al-Ahzâb:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا ﴿٧٠﴾ يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. [al-Ahzâb /33:70-71].

Seorang penuntut ilmu, jika ia pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta dapat memeganginya dengan teguh dalam semua sisi kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allah– ia akan dapat mewujudkan takwa ini pada diri orang lain.

Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia tekankan kepada orang lain.

Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah bahwasanya harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap kawan (shadîq), setiap muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh pada dirinya. Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya.

Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Begitu juga Al-Qur`an pun memerintahkannya. (Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:)

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah (bersaudara); karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu. [al-Hujurat/49:10].

Kata “ikhwah” (bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang mukmin itu ikhwah (bersaudara)”, adalah kalimat yang tidak mudah. Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar mukmin) ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan ini bisa  lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang mengikat persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki, ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang hakiki.

Sebab banyak orang mengikat persaudaraan dengan orang lain, atau berkawan dan bersahabat dengan orang lain disebabkan oleh kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika kepentinganya muncul. Namun, jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau bahkan mencaci-makinya.

Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh jujur terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak berbasa-basi. Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri sahabatku, maka aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan nasihat yang membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya tidak mau berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang sungguh-sungguh, nasihat yang ia butuhkan.

Jika aku lihat ia tidak taat kepada Allah, atau suka membicarakan ulama, atau suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan menggunakan istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah, sehingga kawan ini tidak rusak.

Ada kaidah agung yang termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allah, jika kaidah ini tidak terwujud pada diri kita masing-masing, niscaya kita akan memiliki cacat dalam menjalin tali ukuwah. Yaitu, jika seseorang tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang dirinya berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini merupakan salah satu kaidah di antara kaidah agama. Yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya.[2]

Sayang sekali, kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika seseuatu itu ia peroleh, kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.

Sebenarnya kita memiliki suri tauladan yang baik pada para salafush-shalih t , tentang bagaimana persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin persaudaraan, bagaimana mereka mengutamakan orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan perkataan-perkataan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang pada setiap atsar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh nyata dalam berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut semua urusan hidup.

Demi Allah, tidak ada sesuatu pun kecuali Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali menjadikan kita berada pada hujjah yang demikian jelas, malam harinya laksana siang harinya; tidak akan menyimpang dari hujjah ini kecuali orang yang binasa.

Demikianlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua urusannya, dalam masalah ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk, dalam masalah berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali telah mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum Muslimin meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allah, dan akan dikuasai oleh musuh.

Oleh sebab itu, saya anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya ada pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya  berisi orang-orang yang senang jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini, hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat juga menjadi sempurna.

Demikian pula, saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  juga akan mewujudkan  ukhuwah yang sesungguhnya. Jika Anda melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah, maka hendaklah Anda segera jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka Anda harus akrabi dia.

Demi Allah, para penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak, kaum Muslimin tidak dilemahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan para musuh tidak dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin sudah terlalu jauh dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kalian semua mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu?

Pertama, ikhlas. Yaitu jika amal perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah (keridhaan) Allah. Tetapi apakah ini cukup?

Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!

Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima?

Yaitu (yang kedua, pent.) apabila amal perbuatan yang sudah dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan mengikuti Sunnah Rasul  Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Namun bagaimanakah kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh sebab itu, Allah melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum Muslimin.

Lihatlah bermacam bid’ah, khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan) merajalela. Bahkan banyak orang dibikin menjauh dari pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini keras, tidak umum, menentang arus … dan seterusnya”.

Ibnul-Qayyim rahimahullah mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan menghidupkannya (sekarang) lebih utama daripada mengarahkan anak-anak panah ke leher musuh.

Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim sampai mengatakan kalimat demikian!

Sekarang, orang-orang mulai bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan berbagai amal perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang sekali, sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi terhadap seseorang.

Maka, demi Allah, wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan Sunnah (ajaran) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Demi Allah, (di samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah amal itu selaras dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seseorang tidak dapat dipuji agama dan semua urusannya kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.

Karena itu, bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah untuk meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di antara sesama kalian. Kalian janganlah saling  berseteru. Jika seorang penuntut ilmu melihat kesalahan pada diri saudaranya (sesama Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya dengan cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik. Sebab, inilah ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; kata-kata yang baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan agama yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.

Setiap kita mungkin memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting dalam kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan dengannya, kita bisa mendapat pahala.

Apa ruginya jika engkau tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang sahabat pernah mengatakan: “Saya tidak pernah melihat wajah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dalam keadaan tersenyum”.

Tersenyum itu berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu, ada pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama penuntut ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan kotor. Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik dalam tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan terhadap Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi, kalian harus melaksanakan Sunnah.

Sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini harus diperhatikan dan dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah manusia dengan persoalan-persoalan ini, tetapi (masing-masing penuntut ilmu harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat mengajarkan Sunnah kepada orang lain.

Jagalah ukhuwah yang hakiki oleh kalian. Ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita bohong. Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila mendengar fatwa tentang seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari kejelasan dan kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang berdosa bila ia menceitakan setiap apa yang ia dengar.[3]

Sebagian orang, setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini, begitu, melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat penuntut ilmu.

Pertama kali, kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap kawan-kawannya. Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka terhadap mereka. Tidak berburuk sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan tuduhan kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah,  jangan langsung menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau menghendaki sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya untuk suatu urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa “orang ini serupa, sama-sama ahli bid’ah“, maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui hatinya?

Seperti sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan La ilaha Illallah tatkala orang yang dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah?

Ia menjawab,”Sebab orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apakah engkau membelah dadanya?”.

Demkianlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allah. Tiba-tiba engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan semacam ini. Jelaslah, itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik, memberi nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak layak terlalu keras seraya mengatakan “Sayalah satu-satunya pengikut Sunnah, orang lain bukan pengikut Sunnah”.

Jadi, semestinya ia mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk tata cara bergaul dengan orang lain dan melakukan pergaulan dengan orang kafir. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita  bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup kita.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad, kapan kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang menjadi kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat di masjid. Melihat ini, ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah jelas berdasarkan bukti bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat adalah kufur. Tetapi, apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak, sebab siapa tahu ia shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia baru masuk Islam, atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah seperti ini.

Seorang penuntut ilmu harus menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah ‘aqidah, membaca kitab-kitab ‘aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui bahwa jalan pertama menuju surga ialah tauhid. Demi Allah, seseorang tidak akan  masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mekkah selama 13 tahun mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar ‘aqidah yang benar.

Ada sebagian orang dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman, ia tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut Murji`ah,  ia tidak tahu. Ia tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir (hukum mengafirkan orang),  ia tidak tahu. Tentang pedoman jihad, ia  tidak tahu. Apa arti wala` wal-bara`, ia mengerti tidak tahu. Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham. Padahal ia berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali ilmu secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Ada orang yang menghukumi kafir kepada setiap orang, terutama penguasa yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah. Ini tidak benar!

Saya termasuk salah satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir menyimpang, yang melakukan peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para penjahat yang menghabisi diri sendiri dan menghabisi orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup. Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat terhadap banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar ilmiah, kosong!.

Demi Allah, jika mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka memahami wala` wal-bara` dan bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang baik), tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan itu.

Saudaraku, andaikata penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau laksanakan. Apalagi jika penguasa itu seorang muslim.

Orang tidak bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar engkau bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang kafir, egkau akan dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan orang kafir tersebut.

Wahai saudaraku, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan makna muwalah kepada kita. Al-Qur`an juga telah menjelaskannya kepada kita. Sementara itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya– mempergauli orang Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.

Lalu bagaimanakah dengan kita (kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit diri kita sendiri dan mempersulit orang lain? Mengapa banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang menjadikan orang lain antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras yang tidak bedasarkan petunjuk dari Allah? Mengapa demikian? Terutama yang berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala` wal-bara`, mengapa tidak mengikuti manhaj RasûlullâhShallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Demikianlah untaian nasehat Syaikh ‘Abdul-‘Aziz –hafizhahullah– selanjutnya memberikan contoh tentang sikap para ulama yang lemah lembut dalam mempergauli orang lain, seperti Syaikh bin Baz rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

Begitu pula pada bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh ‘Abdul-‘Aziz –hafizhahullah– menekankan agar setiap penuntut ilmu bersungguh-sungguh mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam melalui bimbingan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah, seseorang akan dapat mengikuti Sunnah dan ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara benar. Sehingga tidak akan melakukan penyimpangan-penyipangan, termasuk tindakan anarkhis dan merugikan orang lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk, bahkan di kalangan kaum Muslimin awam.

Demikianlah kandungan bagian akhir dari nasihat Syaikh ‘Abdul-‘Aziz –hafizhahullah– yang terpaksa kami ringkas, karena nasihat tersebut masih agak panjang. Semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin.

Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

(Ceramah Syaikh Prof. Dr. ‘Abdul-‘Aziz al-Ahmadi –hafizhahullah-. Daurah Syar’iyyah yang diadakan di Lawang, Malang, Jawa Timur, 7 – 14 Rajab 1428H/22 – 29 Juli 2007M. Penerjemah Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin. Adapun judul di atas dari Redaksi)

Read more https://almanhaj.or.id/14044-menjaga-ukhuwah-tanpa-cacian-ghibah.html

Menjaga Tali Persaudaraan Sesama Muslim

Allah memberkahi umat Islam dengan kekuatan agama dan persaudaraan.

 

Allah memberkahi umat Islam dengan kekuatan agama dan persaudaraan. Maka, para Muslim diharuskan untuk selalu menjaga tali silaturahim dan menghindari perpecahan antarumat Islam.

Habib Ali Zainal Abidin bin Abubakar Alhamid mengatakan, persatuan serta persaudaraan merupakan nikmat paling besar yang Allah berikan dalam satu komunitas masyarakat. Sebaliknya, perselisihan dan permusuhan merupakan malapetaka besar yang dialami masyarakat.

“Dalam perjalanan dakwah Nabi, misi utamanya saat di Madinah adalah menyatukan umat Islam. Menyatukan antara Muhajirin dan Anshar,” ujarnya dalam Taklim Akbar bertema “Merajut Ukhuwah Dalam Perbedaan” di Masjid Raya Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, belum lama ini.

Menjaga ikatan persaudaraan, kata dia, sesuai firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepa da mu, agar kamu mendapat petunjuk nya.”

“Dalam perjalanan dakwah Nabi, misi utamanya saat di Madinah adalah menyatukan umat Islam. Menyatukan antara Muhajirin dan Anshar,” ujarnya dalam Taklim Akbar bertema “Merajut Ukhuwah Dalam Perbedaan” di Masjid Raya Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, belum lama ini.

Menjaga ikatan persaudaraan, kata dia, sesuai firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepa da mu, agar kamu mendapat petunjuk nya.”

Pemimpin Majelis Darul Murtadzo Malaysia itu menyatakan, dalam Islam diperbolehkan berbeda pendapat sebab setiap orang memiliki pemahaman berbeda. Mustahil untuk menyatukan ide semua orang, apalagi kemampuan akal setiap orang pun berbeda.

Ia melanjutkan, ada beberapa perkara dalam Islam yang boleh berbeda pendapat sepanjang tidak memutus tali persaudaraan antar-Muslim. “Kehidupan sahabat di zaman Rasulullah SAW cukup menjadi bukti bagaimana mereka tetap bersatu, tapi berbeda pendapat,” katanya.

Habib Ali Zainal bercerita, suatu hari Siti Aisyah berbeda pendapat dengan Abu Hurairah yang telah meriwayatkan banyak hadis. Abu Hurairah menyebutkan, berdasarkan hadis nabi, shalat akan batal bila di depannya ada perempuan, anjing, dan keledai.

Mendengar itu, Siti Aisyah protes karena disamakan dengan anjing dan ke ledai. Salah satu istri Nabi Muhammad SAW tersebut ke mudian mengatakan, shalat tidak batal bila di depannya ada perempuan.

“Aisyah kemudian mengata kan hujjahnya (alasannya), kata dia, suatu hari Nabi shalat di rumah menghadap kiblat lalu di depannya ia tidur, dan Nabi tetap shalat sehingga tidak batal. Ini menunjukkan betapa sempitnya rumah Nabi kala itu. Entah berapa kali sahabat berbeda pendapat, tapi mereka tetap saling menghormati dan tidak saling memusuhi,” ujar Habib Ali Zainal.

Dia menegaskan, seorang Muslim tidak boleh merasa paling benar. Pa salnya, sikap tersebut merupakan ajaran Firaun. Dia beranggapan, bila sikap paling benar dimiliki oleh orang tidak berilmu, bisa berdampak pada kesalahan besar. Bahkan Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Jika kebodohan adalah mahluk, akan aku sembelih.”

“Baginda Rasulullah SAW pun sering bermusyawarah dan meminta pendapat orang lain. Terkadang justru mengambil pendapat orang lain dibandingkan pendapat sendiri. Dalam Perang Badar, mi salnya, Rasul lebih menerima strategi yang disampaikan oleh para sahabat,” kata Habib Ali Zainal.

Menurut dia, sikap saling menghargai pendapat tersebut diperlukan dalam masyarakat saat ini supaya ikatan persaudaraan Muslim makin kuat. Sayang nya, ia menilai sekarang umat Muslim mudah terpecah hanya karena perbedaan pendapat, misalnya saja terkait perbedaan jumlah rakaat shalat Tarawih. “Bagaimana bisa kita menjadi muslim yang praktikkan Islam kalau kita sendiri yang merusak bagian bawah karena si buk pada akarnya. Keharmonisan harus terwujud oleh sesama Muslim,” katanya.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Terjalinnya Persaudaraan Antara Kaum Muhajirin Dengan Kaum Anshâr

Secara umum, Islam menyatakan seluruh kaum muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Azza wa Jalla surat al-Hujurât/49 ayat 10, yang artinya: Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara. Konsekwensi dari persaudaraan itu, maka Islam mewajibkan kepada umatnya untuk saling tolong-menolong dalam al-haq. Namun yang menjadi fokus pembicaraan kita kali ini bukan persaudaraan yang bersifat umum ini, tetapi persaudaraan yang bersifat khusus antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr. Persaudaraan antara kaum Muhajirîn dan kaum Anshâr yang deklarasikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki konsekwensi lebih khusus bila dibandingkan dengan persaudaraan yang bersifat umum.

Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan[1]. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru.

Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:

أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلَّا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَنْ يَضُمُّ أَوْ يُضِيفُ هَذَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَا فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلَّا قُوتُ صِبْيَانِي فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ فَجَعَلَا يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلَانِ فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَقَالَ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ أَوْ عَجِبَ مِنْ فَعَالِكُمَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ

Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: “Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]

Bagaimanapun pengorbanan dan keikhlasan kaum Anshâr membantu saudaranya, namun permasalahan kaum Muhajirin ini tetap harus mendapatkan penyelesaian, agar mereka tidak merasa sebagai benalu bagi kaum Anshâr. Disinilah tampak nyata pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang cerdas dan bijaksana. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshâr.

Peristiwa ini, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tempat deklarasi persudaraan ini -sebagian ulama mengatakan- di rumah Anas bin Mâlik,[2] dan sebagian yang lain mengatakan di masjid.[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dua dua, satu dari Anshâr dan satu lagi dari Muhajirin.

Ibnu Sa’ad dengan sanad dari syaikhnya, al-Waqidi rahimahullah menyebutkan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara sebagian kaum Muhajirin dengan sebagian lainnya, dan mempersaudarakan antara kaum Anshâr dengan kaum Muhajirin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka dalam al-haq, agar saling menolong, saling mewarisi setelah (saudaranya) wafat. Saat deklarasi itu, jumlah mereka 90 orang, terdiri dari 45 kaum Anshâr dan 45 kaum Muhajirin. Ada juga yang mengatakan 100, masing-masing 50 orang.

Imam Bukhâri meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu, ketika kaum Muhajirin baru tiba di Madinah, kaum Muhajirin bisa mewarisi kaum Anshâr karena persaudaraan yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan dzawil-arhâm (kerabat yang bukan ahli waris) tidak.

Di antara contoh praktis buah dari persaudaraan yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu kisah ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu dengan Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu . Sa’ad Radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu : “Aku adalah kaum Anshâr yang paling banyak harta. Aku akan membagi hartaku setengah untukmu. Pilihlah di antara istriku yang kau inginkan, (dan) aku akan menceraikannya untukmu. Jika selesai masa ‘iddahnya, engkau bisa menikahinya”.

Mendengar pernyataan saudaranya itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku tidak membutuhkan hal itu. Adakah pasar (di sekitar sini) tempat berjual-beli?”

Lalu Sa’ad Radhiyallahu anhu menunjukkan pasar Qainuqa’. Mulai saat itu, ‘Abdurrahmân Radhiyallahu anhu sering pergi ke pasar untuk berniaga, sampai akhirnya ia berkecukupan dan tidak memerlukan lagi bantuan dari saudaranya.[4]

Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَٰئِكَ مِنْكُمْ ۚ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. [al-Anfâl/8 : 75]

Dan firman-Nya :

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا

Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah). [al-Ahzâb/33 : 6]
.
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.

Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah [5] .

Di antara bukti yang menunjukkan persaudaraan ini terus berlanjut namun tidak saling mewarisi, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu dengan Abu Darda’ Radhiyallahu anhu . Padahal Salmân Radhiyallahu anhu masuk Islam pada masa antara perang Uhud dan perang Khandaq. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempersaudarakan antara Muawiyah bin Abi Sufyân Radhiyallahu anhu dengan al-Hattât at-Tamîmi Radhiyallahu anhu . Juga antara Ja’far bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu dengan Mu’adz bin Jabar Radhiyallahu anhu . Semua peristiwa ini terjadi setelah perang Uhud. Ini menunjukkan persaudaraan itu masih disyariatkan namun tidak saling mewarisi.

Pelajaran dan Hikmah
Sikap Abdurrahmân bin ‘Auf Radhiyallahu anhu terhadap tawaran saudaranya, yaitu Sa’ad bin Rabi’ Radhiyallahu anhu , merupakan iffah atau menjaga harga diri dengan tidak meminta-minta. Tampak kesiapan mental kaum Muhajirin untuk melakukan pekerjaan yang sanggup mereka lakukan.

Sumber:
– As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya` al-Umari.
– As-Sîratun-Nabawiyyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. As-Sîratun-Nabawiyah ash-Shahîhah, hlm. 241.
[2]. Ucapan ini disampaikan sendiri oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu , sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Fath (10/41, no. 2294) dan Muslim (4/196/2529). Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[3]. Ucapan ini dibawakan oleh Abu Sa’id dalam Syaraful-Musthafa sebagaimana juga disebutkan Ibnu Hajar dalam al-Fath (15/130). Dr. Akram Dhiya’ al-Umari mengatakan: “Nampaknya –wallahu a’lam- antara pendapat-pendapat ini tidak saling bertentangan. Karena persaudaraan itu tidak tuntas hanya dalam sekali pertemuan, namun tergantung dengan kedatangan orang yang baru (masuk) Islam dan yang baru tiba di Madinah. Riwayat yang terdapat dalam kitab shahîh didahulukan dari yang lainnya. Teks hadits riwayat Muslim mengisyaratkan, awal deklarasi dilakukan di rumah Anas bin Malik Radhiyallahu anhu “. Lihat as-Sîratun-Nabawiyah fi Dhau`il Mashâdiril-Ashliyyah, hlm. 302.
[4]. Hadits ini selengkapnya bisa dilihat dalam Shahîh al-Bukhâri, al-Fath, 9/133-134, no. 2048.
[5]. Lihat, Shahîh Muslim, 4/1960.

 

sumber: AlManhaj

Tunaikan Hak Ukhuwah Islamiyyah, dan Rasakan Keindahannya…

Terkadang kita tidak sadar,ternyata ada banyak hikmah nan indah di sekitar kita..

Cobalah tengok sekawanan burung yang bisa terbang sejauh ribuan kilo dengansebab kebersamaan. Mereka saling membantu satu sama lain dengan membentuk formasi “huruf V” agar tidak mudah kelelahan..

Atau cobalah saksikan serombongan semut yang saling bahu membahu dalam mencari makanan. Saling memberi informasi tatkala terjumpainya santapan. Saling menebarkan salam dengan berpagutan, bahkan saling membantu ketika mengangkat beban..

Sebenarnya, ada sebuah kata yang dapat mewakili semua hikmah perumpa
maan yang telah disebutkan. Kata tersebut adalah Ukhuwah (persaudaraan).

 

Pentingnya Ukhuwah(Persaudaraan)

Adakah keraguan dalam diri kita bahwa Islam adalah syariat yang sempurna? Jelas, sama sekali tidak. Islam mengatur segalanya, tak terkecuali pula soal ukhuwah.

Kita jumpai banyak ayat-ayat di dalam AlQur’an yang memotivasi orang beriman untuk senantiasa menjaga hangatnya ukhuwah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat:10).Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya),“Dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal:1).

 

Bahkan sebaliknya, Islam justru melarang keras pada perpecahan dan permusuhan. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya),“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali ‘Imran:103).Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari dari jalan-Nya.” (QS. Al An’am:153).

 

 

Indahnya Ukhuwah

Sejatinya, ukhuwah inilah yang menjadi salah satu rahasia kekuatan dan kekokohan umat Islam. Oleh karenanya, orang-orang yang beriman diibaratkan semisal bangunan. Nabishallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesunguhnya seorang mukmin dengan mukmin lain ialah seperti bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya” (HR. Bukhari)

Sejatinya, ukhuwah inilah yang menjadi salahsaturahasia keindahan umat Islam. Dengannya akan musnah rasa fanatisme kesukuan dan kebangsaan. Sehingga muslim seduniabernaung dibawah bendera yang satu. Itulah fungsi ukhuwah yang menjadi pemersatu. Bahkan, sampai-sampai Nabishallallahu ‘alaihi wasallam mengibaratkannyasebagai satu tubuh. Beliau bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam belas kasih dan kasih sayang diantara mereka ialah laksana satu tubuh. Ketika ada anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lainpun akan ikut merasakan sakit dan demam.” (HR.Bukharidan Muslim).

Syaikh ‘Abdurrahman As Sudais menuturkan, “Hubungan persaudaraan antar manusia itu berbeda-beda berdasarkan maksud dan tujuannya. Akan tetapi, ada sebuah hubungan persaudaraan yang paling kuat pegangannya, paling kental hubungannya, paling erat jalinannya, dan paling utuh kasih sayangnya. Ia merupakan hubungan yang tiada pernah luntur dan lapuk, tiada pernah lekang oleh tempat dan waktu. Justru, ia mampu menyatukan orang-orang yang ada di daerah yang berjauhan. Ketahuilah, hubungan tersebut ialah ukhuwah (persaudaraan) atas dasar aqidah dan keimanan.” (lihatKaukabatul Khuthabil Munifah Min Minbar Al Ka’bah Asy Syarifah).

 

Hak-Hak Persaudaraan

            Indahnya ukhuwah dapat dirasakan dengan cara menunaikan hak-hak persaudaraan. Dalam kitab Huquq Da’at ilaihal Fithrah wa Qarraratha Asy Syari’ah, Syaikh ‘Utsaiminrahimahullah menjelaskan hak-hak persaudaraan berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hak muslim atas muslim lainnya ada enam” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Apa itu wahai Rasulallah?” Beliau pun menjawab, “Jika engkau menjumpainya, maka ucapkanlah salam. Jika ia mengundangmu, maka penuhilah. Jika ia meminta nasehatmu, maka nasehatilah. Jika ia bersin lantas ia memuji Allah, maka jawablah. Jika ia sakit, maka jenguklah. Dan jika ia meninggal, maka iringilah jenazahnya” (HR. Muslim).

 

Hak Pertama: Menebarkan Salam Kepada Saudaranya

Mengucapkan salam merupakan sunnah yang sangat ditekankan, yang merupakan salah satu sebab terjalinnya kecintaan diantara sesama orang beriman. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian, aku tunjukkan satu perkara yang jika kalian kerjakan niscaya akan tumbuhlah perasaan saling mencintai? Tebarkanlah salam diantara kalian” (HR. Muslim).

Hak Kedua: Memenuhi Undangan Ketika Diundang

Syaikh ‘Utsaimin menjelaskan bahwa memenuhi undangan dapat menjadikan terhiburnya hati orang yang mengundang, menimbulkan rasa kasih sayang serta keterikatan. Nabishalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bila salah seorang diantara kalian diundang, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut, baik acara pernikahan ataupun yang lainnya” (HR. Muslim).

Hak Ketiga: Memberi Nasehat Ketika Saudaranya Meminta untuk Dinasehati

Jika saudara kita meminta kepada kita untuk dinasehati, maka kita wajib menunaikan haknya yakni dengan memberinya nasehat. Begitu juga ketika saudara kita tidak mendatangi dan tidak pula meminta nasehat kepada kita, sedang ia dalam keadaan madharat (bahaya) ataupun ketika hendak berbuat dosa, maka kita wajib untuk menasehatinya. Karena sesunggunya hal ini termasuk bagian dari agama, sebagaimana sabda dari suri tauladan kita, ”Agama adalah nasehat” (HR.Muslim).

Hak  Keempat: Menjawab dengan Doa Ketika SaudaranyaBersin

Dalam Islam disyariatkan untuk mendoakan saudara muslim yang bersin. Doa ini hanya ditujukan kepada orang yang memuji Allah (dengan ucapan ‘Alḥamdulillāh’) setelah bersinnya. Adapun jika ia tidak memuji Allah setelah bersinnya maka ia tidaklah berhak untuk dijawab dengan doa tersebut.Lafazh doa yang diucapkan ketika mendengar seorang yang bersin kemudian memuji Allah ialah“Yarḥamukallāh(Semoga Allah merahmatimu). Kemudian setelah didoakan saudaranya, orang yang bersin tadi juga dituntunkan untuk balik mendoakan saudaranya dengan doa, “Yahdiikumullāhu wa yushliḥu baalakum(Semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu)”.

Hak Kelima: Menjenguk Ketika Saudaranya Sakit

Menjenguk orang sakit dan mengunjunginya merupakan hak seorang muslim atas muslim lainnya. Apalagi orang yang sakit tersebut memiliki hak kekerabatan, maka tentunya ia lebih berhak lagi untuk dijenguk, dikunjungi, dan didoakan. Diantara doa yang dianjurkan untuk dibaca ketika menjenguk orang sakit ialah, “Laa ba-sa thohuurun Insyaa Allāh (Tidak mengapa, sakitmu ini akan menjadi permbersih dosa-dosamu insyaa Allah)”

Hak Keenam: Mengiringi Jenazahnya Ketika Saudaranya Meninggal

Mengiringi jenazah juga hak sesama muslim yang semestinya ditunaikan, yang padanya juga terdapat ganjaran pahala yang begitu besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengiringi jenazah hingga menyalatkannya, maka baginya satu qirath. Dan barangsiapa mengiringinya hingga dikuburkan, maka baginya dua qirath” Lalu ditanyakan pada beliau, “Dan apakah itu dua qirath itu?” Lantas dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Semisal dua gunung yang amat besar” (HR. Muslim)

 

Masih Banyak Hak-hak Lainnya

Hak-hak yang harus ditunaikan sesama saudara muslim tidak hanya sebatas enam perkara yang disebutkan sebelumnya. Masih banyak lagi hak-hak yang harus diketahui, diperhatikan, dan ditunaikan. Misalnya, menahan diri dari mengganggu dan menyakiti saudaranya. Karena sesungguhnya dalam mengganggu dan menyakiti, terdapat dosa yang besar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang menyakiti mereka yangberiman,laki-laki dan perempuan, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kedustaan serta dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab:58).

Cukuplah sebuah nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamsebagai pemacu dan pemicu kita untuk senantiasa menjaga indahnya ukhuwah, “Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Penutup

Akhir-akhir ini, banyak kita jumpai perselisihan, pertikaian, dan maraknya permusuhan. Bisa jadi penyebab ini semua ialah karena dilalaikannya hak-hak persadaraan. Meskipun terlihat sederhana, justru hak-hak ukhuwahinilah yang memberikan keindahan persaudaraan sesama orang beriman.Tapi terkadang, kita lalai dalam menunaikan hak sesama muslim. Padahal ada satu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mungkin kita sering terlupa padanya, “Seorang muslim ialah saudara bagi muslim lainnya” (HR. Muslim).

Marilah kita tunaikan hak-hak ukhuwah, agar kita dapat senantiasa merasakan indahnya persaudaraan. Karena ukhuwah (persaudaraan) karena Allah itu ialah diantara bunga hati yang senantiasa dapat tumbuh mekar meski tanpa bantuan air, cahaya, dan musim. Semoga Allah Ta’alamenjaga dan mengokohkan persaudaraan kita sesama kaum muslimin, tidak hanya di dunia akan tetapi juga hingga di surga. Aamiin.

 

Penulis             : ErlanIskandar, S.T. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah        : Ustadz Abu Salman, B.I.S

 

sumber: Islam.or.id