Ulama Akhirat Jauhi Penguasa

KHALIFAH Umar bin Abdul Azis suatu saat mengirim surat kepada Imam Al Hasan Al Bashri, ”Amma ba’du, tunjukkan untukku kaum agar aku meminta bantuan kepada mereka untuk urusan agama.” Maka Imam Al Hasan Al Bashri pun membalas,”Adapun para ulama, mereka tidak akan mau. Akan tetapi hendaklah Anda memilih para asyraf, sesungguhnya mereka menjaga kemuliaan mereka agar tidak terkotori dengan khianat.” (lihat Qut Al Qulub, 1/134).

Imam Al Ghazali mengomentari kisah di atas,”Demikian mengenai Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, orang yang paling zuhud di antara mereka yang hidup di masanya. Jika syarat bagi ulama lari darinya, bagaimana dengan meminta kepada selainnya dan berinteraksi dengannya?” (dalam Kita Ihya Ulumiddin, 1/256).

Peringatan bagi ulama agar tidak mendekat pada penguasa juga telah termaktub dalam Hadits:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ سَكَنَ البَادِيَةَ جَفَا، وَمَنْ اتَّبَعَ الصَّيْدَ غَفَلَ، وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتَتَنَ (رواه الترمذي: 2256, 4/93)

Artinya: Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah ﷺ bahwasannya beliau bersabda,”Barang siapa tinggal di pedalaman ia terkucil, barang siapa mengikuti buruan ia lalai, dan barangsiapa mendatangi pintu-pintu penguasa ia terfitnah.” (Riwayat At Tirmidzi dalam As Sunan (4/93) dan Ia berkata,” Ini adalah Hadits hasan”).

Imam Al Ghazali sendiri menyatakan, ”Dan dari tanda ulama akhirat adalah menjauh dari para penguasa, dia tidak akan mendatangi mereka sama sekali selama memiliki cara untuk lari dari mereka, bahkan harus menjaga untuk bergaul dengan mereka.” (dalam Ihya Ulumiddin, 1/250).

Peringatan agar tidak memasuki pintu-pintu para penguasa juga disampaikan oleh para ulama salaf, di mana Hudzaifah berkata, ”Jauhilah tempat-tempat fitnah.” Ada yang berkata,” Lalu apakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?” Hudzaifah berkata,”Pintu-pintu penguasa, salah satu dari kalian pintu penguasa, lalu membenarkannya dengan kebohongan dan berkata apa-apa yang tidak ada padanya.” (dalam Hilyah Al Auliya, 1/227).

Hal yang sama dinyatakan oleh Al A’masy, di mana ia memiliki banyak murid, ada yang berkata padanya, ”Anda telah menghidupkan ilmu dengan banyaknya penuntut ilmu yang belajar dari Anda.” Al A’masy pun menjawab, ”Janganlah kelian tergesa-gesa, sesungguhnya sepertiga dari mereka meninggal sebelum mengetahui, dan sepertiga memuliakan penguasa dan mereka lebih buruk dari yang meninggal dan sepertiga sisanya dari mereka tidak selamat, kecuali sedikit.” (dalam Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadhlihi, 1/641).

Sufyan Ats Tsauri berkata,”Jika kalian melihat ada seorang qari` yang berada di pintu penguasa, maka ketahuilah bahwasannya sesungguhnya ia adalah pencuri.” (dalam Syu`ab Al Iman, 12/36).  Disebut sebagai pencuri, karena ia memperoleh dunia dengan cara itu, sebagaimana pencuri memperoleh dunia dengan cara mengambil harta dari penyimpanannya. (dalam Faidh Al Qadir, 1/354).

Imam Suhnun juga berkata, ”Betapa buruknya seorang ulama, ketika di datangi di majelisnya ia tidak ada. Kemudian ada yang bertanya, maka dikatakan,’Ia sedang mengunjungi penguasa.’” (dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlihi, 1/641).

Yazid bin Maisarah juga berkata mengenai sifat ulama, ”Ulama juga berilmu maka ia beramal, jika ia beramal maka ia menyibukkan diri, jika ia menyibukkan diri ia tersembunyi, jika ia tersembunyi ia dicari, jika ia dicari ia pun berlari.” (dalam Hilyah Al Uliya, 5/234).

Sebaik-baik Penguasa adalah Penguasa yang Datang pada Ulama

Jika ulama yang buruk adalah ulama yang mendatangi penguasa, maka sebaliknya, penguasa yang baik adalah penguasa yang mendatangi ulama. Abu Hazim berkata, ”Sesungguhnya sebaik-baik dari para penguasa adalah siapa yang mencintai ulama. Sedangkan seburuk-buruk dari para ulama adalah siapa yang mencintai umara`.” (dalam Hilyah Al Auliya` 3/244).

Bergaul dengan Panguasa Cenderung kepada Kemunafikan

Sa`ad bin Abi Waqash tidak pernah mendatangi para penguasa, sebaliknya ia berusaha menjauh dari mereka. Hingga suatu saat anak-anaknya bertanya, ”Telah mendatangi para penguasa, siapa-siapa yang tidak sepertimu dalam bersahabat dengan Rasulullah ﷺ juga dalam awal masuk Islam, sekiranya engkau juga mendatangi mereka?”

Sa`ad pun berkata, ”Wahai anak-anaku, apakah aku akan mendatangi bangkai yang telah dikelilingi oleh kaum itu?” Demi Allah, jika aku mampu aku tidak akan mengikuti mereka dalam hal itu.”

Mereka pun berkata, ”Wahai ayah kami, kita akan mati dalam keadaan kurus.” Sa’ad pun menjawab,”Wahai anak-anakku, aku mati dalam keadaan sebagai mu’min yang kurus lebih aku cintai daripada aku mati sebagai munafiq yang gemuk.” (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/255).

Sa’ad bin Abi Waqash pun memilih beruzlah di Aqiq hingga wafat pada tahun 55 hijriyah. Lalu dimakamkan di Baqi`, Tempat di mana  bagian dari 10 sahabat yang memperolah kabar gembira masuk surga, yang wafat paling akhir. (dalam Al Ithaf, 1/391).

Imam Al Ghazali berkomentar mengenai kisah di atas, ”Hal ini merupakan isyarat bahwasannya siapa yang memasuki pintu-pintu penguasa, maka ia tidak selamat dari nifaq dan itu bertentangan dengan iman. (dalam Ihya` Ulumiddin, 1/255).

Kapan Ulama Boleh Memasuki Pintu Penguasa?

Meski para ulama memperingatan bahaya mendekatnya para ulama kepada penguasa namun ada hal yang membolehkan jika memiliki tujuan baik. Al Munawi mengatakan, ”Adapun kalau sekiranya kadang-kadang seorang ulama berinteraksi dengan penguasa demi kemaslahatan seperti memberikan syafa`at (pertolongan) dan membela kedzaliman, maka tidaklah mengapa. Allah Maha Tahu siapa pembuat kerusakan dan siapa pelaku perbaikan.” (dalam At Taisir bi Syarh Al Jami` Ash Shaghir, 1/98).*

HIDAYATULLAH