Muhammad bin Sirin, Tabi’in Yang Utama

Selalu banyak ibroh dari perjalanan kehidupan seorang shaleh. Tindakan mereka adalah teladan. Ucapan mereka tuntunan. Bahkan takdir yang mereka alami pun membuahkan faidah pelajaran. Seorang tabi’in (murid para sahabat Nabi) yang bernama Muhammad bin Sirin rahimahullah adalah salah satu di antara mereka.

Ayahnya masuk ke wilayah Islam dengan status seorang budak tawanan perang. Tapi dari sanalah jariyah sang ayah dilahirkan. Anaknya, Muhammad, hidup di tengah sahabat Rasulullah. Terlahir dengan status sebagai anak budak menyandang status sosial terendah. Kemudian melejit melampaui bintang tsurayya di langit sana. Sang anak menjadi seorang faqih, ahli hadits, dan Syaikhul Islam. Inilah di antara kejaiban-keajaiban takdir Allah untuk manusia.

Kisah Awal Kehidupan

Muhammad bin Sirin al-Anshari al-Anasi al-Bashri berkun-yah Abu Bakr. Ia adalah seorang imam panutan dan Syaikhul Islam. Ayahnya adalah bekas sahaya Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Anas membelinya dari Khalid bin al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar. Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila ia mampu membayar sejumlah uang. Sirin pun berhasil melunasinya hingga menjadi seorang yang merdeka. Adapun Ibu Muhammad bin Sirin bernama Shaffiyah. Sang ibu pernah menjadi sahaya Abu Bakar.

Nasab dan status sosial rendah tidak menghalangi seseorang dari kemuliaan. Kedua orang tua Muhammad bin Sirin adalah bekas budak, namun sang anak menjadi tokoh terkemuka. Diingat hingga sekarang, belasan abad lamanya. Siapa yang nasabnya tinggi, memiliki jabatan dan kedudukan, tapi jauh dari ketakwaan, hal itu hanyalah kebanggaan yang tak bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ومن بطع به عمله لم يسرع به نفسه

“… Siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim, No. 6299).

Anas bin Sirin -saudara Anas- berakta, “Saudaraku, Muhammad, dilahirkan dua tahun sebelum kekhalifahan Umar berakhir. Sedangkan aku dilahirkan satu tahun setelahnya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/606).

Mengenal Muhammad bin Sirin

Diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqat-nya bahwa Muhammad bin Sirin adalah seorang yang sibuk setiap harinya (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Beliau adalah seorang yang sering was-was. Sampai-sampai kalau berwudhu, ia mencuci kakinya hingga betis (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/618).

Di zaman dulu, orang-orang membuat stempel (bisa mewakili tanda tangan) dengan cincin yang mereka pakai. Karena itu, cincinnya biasanya diberi nama. Muhammad bin Sirin pun demikian. Ia menamai cincinnya dengan kun-yahnya Abu Bakr. Dan ia kenakan cincin itu di tangan kirinya (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/618). Ia juga terbiasa menggunakan syal. Di musim dingin ia memaki jubah putih, imamah putih, dan pakaian dari kulit hewan (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153). Sulaiman bin al-Mughirah mengatakan, “Aku melihat Ibnu Sirin mengenakan pakaian tebal, syal, dan imamah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153).

Kehati-hatian Dalam Mencari Rezeki

Dari as-Sirri bin Yahya, ia berkata, “Muhammad bin Sirin pernah meninggalkan nilai keuntungan 40.000 dalam suatu permasalahan yang masih diperselisihkan oleh seorang ulama.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar Salaf ash-Shalih. Tahqiq Dr. Karom bin Hilmi. Cet. Dar ar-Rayah li an-Nasyr wa at-Tauzi, Riyadh. Hal: 920).

Terkadang ada suatu permasalahan yang diperselisihkan hukum fikihnya. Apakah ini mubah atau makruh. Kasus lainnya, ini makruh atau haram. Dalam kasus Muhammad bin Sirin, banyak ulama menyebutkan keuntungan dari usaha yang ia lakukan adalah sah. Namun ada minoritas ulama yang menyebutkan cara memperoleh keuntungan tersebut adalah cara yang tidak sah. Artinya, keabsahannya diperselisihkan. Walaupun dominannya menyatakan sah. Tapi untuk kehati-hatian Muhammad bin Sirin lebih memilih meninggalkannya.

Kerendahan Hati

Muhammad bin sirin adalah seseorang yang dikenal memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Suatu hari Ma’mar berkata, “Ada seseorang yang datang menemui Ibnu Sirin. Ia berkata, ‘Aku melihat dalam mimpiku ada seekor merpati memakan mutiara. Keluarlah dari merpati itu sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia makan. Aku lihat merpati lain yang juga memakan Mutiara. Kemudian keluar sesuatu yang lebih kecil dari apa yang dia makan. Setelah itu, kulihat merpati lain memakan Mutiara. Kemudian keluar darinya sesuatu yang sama besarnya dengan yang ia makan.” Muhammad bin Sirin berkata, “Yang pertama, itu adalah al-Hasan. Ia mendengar hadits dan ia perbagus pengucapannya. Kemudian ia dapatkan hikmah-hikmahnya. Adapun yang kecil, itu adalah aku. Aku mendengar hadits, namun aku lupa hadits tersebut. Adapun yang keluar sama dengan yang masuk, itu adalah Qatadah. Ia adalah orang yang paling kuat hafalannya.” (Khalid ar-Ribath/Sayid Azat Id: al-Jami’ li Ulumi al-Imam Ahmad, 18/469).

Mimpi Ma’mar ini ditafsirkan oleh Muhammad bin Sirin dengan bagaimana para pewarta (perawi) hadits tatkala menerima hadits. Di antara nama yang beliau sebutkan adalah al-Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi, dan beliau sendiri. Yang paling terbaik dalam menerima hadits adalah al-Hasan. Ia hafal teksnya secara utuh. Dan mampu memahami kandungannya dengan baik. Sementara Qatadah di bawah al-Hasan. Dan ia sendiri menyatakan bahwa dua tabi’in tersebut lebih baik darinya.

Berbakti Pada Ibu

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin sendiri bahwa setiap ibunya memandang dan berbicara dengannya, pasti ia menunduk dan merendah pada ibunya (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf ash-Shalih. Hal: 923).

Hisyam bin Hasan berkata, Hafshah binti Sirin (saudari Muhammad) berkata, “Ibu Muhammad bin Sirin adalah ibu Muhammad al-Hijaziyah. Sang ibu sangat suka dengan pakaian yang diwantek. Apabila Muhammad bin Sirin membeli pakaian, ia akan belikan pakaian terbaik untuk ibunya. Saat tiba hari Id, ia wantek pakaian itu. Aku tak pernah melihatnya meninggikan suara kepada ibu. Saat ia bicara dengannya, ia bicara penuh dengan kelembutan.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/216).

Diriwayatkan, apabila Muhammad bin Sirin bersama ibunya dan orang yang tak mengenalnya melihat hal itu, pastilah orang orang itu menyangka dia sedang sakit. Karena ia menundukkan suaranya saat berbicara dengan sang ibu.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/148).

Wara’ (Menjauhi Yang Haram dan Syubhat)

Wara’ secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan wara’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.

Dari Bakr bin Abdullah al-Mazini, ia berkata, “Siapa yang senang melihat orang yang paling wara’ di zamannya, maka lihatlah Muhammad bin Sirin. Demi Allah, kami tidak menemui orang yang lebih wara’ melebihi dirinya.” (al-Ka’bi: Qubul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/213).

Dari Ashim al-Ahul, ia mendengar Muriqan al-Ujli berkata, “Aku tak pernah melihat seorang yang paling paham tentang wara’ dan paling wara’ dalam fikihnya melebih Muhammad bin Sirin.” (al-Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 3/283).

Dari Hammad bin Zaid, dari Utsman al-Buti, ia berkata, “Tidak ada seorang pun di Kota Bashrah yang paling berilmu tentang hukum melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/608).

Asy’ats berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin ditanya tentang perkara halal dan haram, rona wajahnya berubah. Sampai orang-orang berkata, ‘Seakan-akan itu bukan dia’.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/153).

Ketika orang mendesaknya untuk memutuskan hukum suatu permasalahan, apakah halal, haram, mubah, atau makruh, ia tidak senang dengan hal itu. Karena ia tidak bermudah-mudahan dalam berfatwa.

Hisyam bin Hasan, “Suatu hari Muhammad bin Sirin tampak murung dan bersedih. Ada yang bertanya, ‘Mengapa murung seperti ini, Abu Bakr (kun-yah Ibnu Sirin)?’ Ia menjawab, ‘Kesedihan ini dikarenakan dosa yang kulakukan 40 tahun yang lalu’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/226).

Dari ucapan Ibnu Sirin ini, kita mengetahui dari mana datangnya perasaan sedih dan gundah yang sering kita alami. Itu adalah buah pahit dari dosa yang telah kita lakukan. Bedanya adalah kita tidak mengetahui gundah tersebut akibat dosa yang mana. Karena terlalu banyak kita melakukan perbuatan dosa. Kita tak mampu menunjuk dari dosa mana kesedihan itu berasal. Sedangkan Muhammad bin Sirin, ia bisa tahu gundah itu berasal dari dosa yang mana. Karena sedikitnya perbuatan dosa yang ia lakukan, masyaallah… Seperti halnya Nabi Ibrahim, ia mampu mengingat jumlah kebohongannya. Karena beliau sedikit sekali berbohong. Sementara kita tak bisa menghitung lagi berapa jumlah kebohongan kita. Karena terlalu banyak untuk diingat.

Muhammad bin Sirin berkata, “Sungguh aku tahu dosa mana yang membuatku memiliki utang. 40 tahun yang lalu aku pernah berkata pada seseorang, ‘Hai orang yang bangkrut’.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 43/545-546). Ucapan ini serupa dengan riwayat sebelumnya. Menunjukkan betapa beliau sedikit berbicara. Kalaupun berbicara, ia jaga lisannya sehingga sedikit terjatuh dalam salah ucapan.

Sufyan bin Uyainah rahimahullah berkata, “Tidak ada orang Kufah atau Bashrah yang memiliki sifat wara’ semisal Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/610).

Ibnu Syubrimah berkata, “Aku berjumpa dengan Muhammad bin Sirin di Wasath. Aku tak pernah melihat seorang yang ‘pelit’ dalam fatwa dan paling mampu menafsir mimpi melebihi dirinya.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614). Ini menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab permasalahan agama. Walaupun ia seorang ulama yang diakui keilmuannya.

Yunus bin Ubaid berkata, “Apabila Muhammad bin Sirin dihadapkan pada dua perkara tentang jaminan/perjanjian, pastilah ia ambil salah satu yang paling yakin ia mampu tunaikan.” (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/614).

Hisyam berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang paling teguh pendiriannya di hadapan penguasa melebihi Ibnu Sirin.” (Adz-Dzahabi: Tarikh al-Islam, 3/155).

Teguh pendirian di hadapan penguasa tidaklah mudah. Kita sendiri saja sering goyah ketika berhadapan dengan teman kita. Teman kita meminta suatu hal, padahal urusan tersebut menimbulkan dosa, tapi karena merasa tidak enak, kita pun melakukannya. Banyak orang yang tahu hukum jabat tangan dengan non mahram itu haram, tapi karena tidak enak beda sendiri, ia pun jabat tangan non mahram tersebut. Baru diuji dengan teman saja kita sudah tak mampu mempertahankan prinsip. Apalagi diuji berhadapan dengan penguasa. Wallahul musta’an.

Menjaga Kehormatan dan Wibawa

Ada yang mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin tidak makan di hadapan banyak orang. Saat ia diundang, ia akan datang namun tidak makan. Apabila Muhammad bin Sirin diundang ke sebuah acara, beliau masuk ke rumahanya dan berkata, “Beri aku sedikit minuman.” Orang-orang bertanya mengapa hanya sedikit saja. Ia menjawab, “Aku tidak suka memuaskan rasa laparku dengan mengambil jatah makan orang.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 921). Mungkin kondisi di zaman dulu, jamuan makan itu tidak sebanyak di zaman sekarang. Sehingga ia lebih mengedepankan orang lain dibanding dirinya.

Muhammad bin Sirin mendengar seseorang yang mencela al-Hajjaj bin Yusuf, ia datangi orang tersebut dan berkata, “Ada apa? Di akhirat nanti, dosa terkecil yang pernah kau lakukan lebih berat bagimu dari dosa terbesarnya al-Hajjaj. Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Bijaksana dan Maha Adil. Kalau Allah menyiksa al-Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang lain, pasti Allah juga akan mengadzab seseorang yang menzalimi al-Hajjaj. Karena itu, jangan sibukkan dirimu dengan mencela seorang pun.” (ash-Shufdi: al-Wafi bil Wafiyat, 11/241).

Pemimpin yang zalim akan dihisab bahkan diadzab karena kezalimannya. Tapi hal itu tidak membuat mencelanya dihadapan orang-orang atau di sosial media menjadi halal dan legal. Mencela orang tetaplah perbuatan tercela. Dan akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Ibadahnya

Ibnu Sirin punya kebiasaan membaca tujuh wirid di malam hari. Kalau ada bacaan tersebut yang ia lewatkan, maka akan ia baca di siang hari (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/149). Ia terbiasa berpuasa satu hari dan tidak puasa di hari berikutnya (puasa Dawud) (Ibnu Asakit: Tarikh Dimasyq, 53/210). Hal ini menunjukkan konsistennya dalam menunaikan amalan hariannya. Dan amalan yang utama adalah amalan yang dilakukan secara konsisten.

Dari Bisyr bin Umar, ia berkata, “Ummu Ibad istri dari Hisyam bin Hasan menyampaikan padaku, ‘Kami pernah singgah bersama Muhammad bin Sirin di suatu tempat. Kami mendengar tangisnya di malam hari dan tawanya di siang hari’.” (Jamaluddin al-Mizzi: Tahdzib al-Kamal fi Asma-i ar-Rijal, 25/352). Artinya, saat ia menyendiri dengan mengagungkan Allah, ia menunjukkan rasa takut dan merenungi kesalahan-kesalahannya. Saat bersama dengan manusia di siang hari, ia menunjukkan wajah yang ceria. Bukan sebaliknya. Ia tidak bersedih-sedih menampilkan keshalehan dan rasa takut saat bersama orang-orang. Tapi, saat sendiri tak ada manusia yang melihat malah berbuat dosa.

Kalau lewat di pasar dan bertemu orang-orang, ia ingatkan mereka untuk bertasbih mensucikan Allah dan mengingat-Nya Azza wa Jalla (Khatib al-Baghdadi: Tarikh Baghdad, 2/420). Inilah di antara gambaran pasa di zaman salaf. Aktivitas pedagang dan pengunjung tidak hanya membicarakan dunia semata. Tapi juga tetap berdzikir bahkan terdapat riwayat mereka ngobrol-ngobrol permasalahan fikih di pasar. Masyaallah…

Diriwayatkan pula bahwa Muhammad bin Sirin rahimahullah tidaklah memasuki pasar di siang hari kecuali dalam keadaan bertakbir, bertasbih, dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Kemudian seseorang berkata padanya, “Hai Abu Bakr, apakah di waktu seperti ini?” Ia menjawab, “Ini adalah waktu dimana banyak orang sedang lalai.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 923).

Allah Ta’ala memuji orang-orang yang demikian:

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An Nur: 37)

Bercanda

Dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian. Penasihat. Kuat memegang kebenaran. Semua itu bukan berarti beliau tak memiliki selera humor yang baik. Bahkan ia dikenal sebagai seorang yang suka tertawa dan bercanda. (al-Ka’bi: Qabul al-Akhbar wa Ma’rifati ar-Rijal, 1/215).

Sebagian orang kalau sudah menjadi tokoh hilanglah selera humornya. Ia menganggap wibawanya akan jatuh kalau sesekali bercanda dan tertawa. Padahal canda tan tawa adalah pemanis interaksi. Dan merekatkan hubungan. Selama itu tidak berlebihan.

Tafsir Mimpi

Sebagian orang dikaruniakan Allah memiliki ketajaman firasat dan kemampuan menafsirkan mimpi dengan tepat. Di antara orang tersebut adalah Muhammad bin Sirin. Pernah ada seseorang bertanya padanya, “Aku bermimpi bahwa aku menjilat madu dari sebuah gelas minum yang terbuat dari permata.” Ibnu Sirin menjawab, “Bertakwalah kepada Allah. Ulangilah hafalan Alquranmu. Karena sesungguhnya engkau membacanya kemudian melupakannya.”

Ada seorang yang bertanya, “Aku bermimpi buang air kecil darah.” Ia menjawab, “Apakah kau mendatangi istrimu dalam keadaan haidh?” “Iya”, jawabnya. “Bertakwalah kepada Allah dan jangan kau ulangi hal itu,” kata Ibnu Sirin.

Ibnu Sirin bermimpi seolah melihat bintang al-jauza mendahului bintang tsurayya. Kemudian ia berwasiat. Dan berkata, “al-Hasan al-Bashri akan wafat. Kemudian aku. Dan dia lebih mulia dariku.” (Ismail al-Ashbahani: Siyar as-Salaf as-Shalihin, Hal: 924-925).

Ada seseorang yang berkata pada Ibnu Sirin, “Aku bermimpi bahwa aku memegang gelas terbuat dari kaca yang berisi air. Kemudian gelas itu pecah. Tapi airnya tetap ada.” Ibnu Sirin menanggapi, “Bertakwalah pada Allah. Engkau tidak mimpi apapun.” “Subhanallah,” kata orang tersebut. Ibnu Sirin melanjutkan, “Siapa yang dusta, aku tidak menanggungnya. Tapi istrimu akan melahirkan kemudian meninggal. Sementara anaknya tetap hidup.” Saat orang tersebut pergi, ia berkata, “Demi Allah, aku memang tak memimpikan apapun.” Kemudian istrinya melahirkan dan meninggal (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 53/232).

Wafat

Sejarawan sepakat kalau Muhammad bin sirin wafat di Kota Bashrah pada tahun 110 H. Tepat 100 hari setelah wafatnya al-Hasan al-Bashri. Muhammad bin Zaid berkata, “Hasan wafat di awal Rajab tahun 110 H. Kemudian Muhammad bin Sirin wafat 9 hari setelah berlalu bulan Syawal tahun 110 H (An-Nawawi: Tadzhib al-Asma wa al-Lughat, 1/84 dan adz-Dzahabi: Tarikh al-Islami, 3/159).

Wasiat Muhammad bin Sirin rahimahullah untuk keluarganya sepeninggalnya adalah agar mereka bertakwa kepada Allah. Dan memperbaiki hubungan sesama mereka. Kemudian agar mereka menaati Allah dan Rasul-Nya kalau mereka benar-benar orang yang beriman. Ia juga mewasiati keluarganya dengan wasiat Ibrahim dan Ya’qub kepada keluarganya:

يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”

Ia juga mewasiatkan agar keluarganya menjadi saudara yang saling menolong dan mencintai di atas agama. Dan mengatakan bahwa menjaga kesucian diri dan jujur adalah lebih baik, lebih kekal, dan lebih mulia dari zina dan dusta (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 7/153-154).

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)


KISAH MUSLIM

Hasan al-Bashri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan bin Abil Hasan al-Bashri, salah satu imam tabi’in terkemuka yang ucapan hikmahnya menyerupai perkataan seorang nabi, seorang yang kafah dan rupawan yang telah menghabiskan seluruh umurnya untuk ilmu dan amal.

Nama ayah beliau adalah al-Yasar maula Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu sahabat pilihan dan penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, ibu beliau adalah Khoiroh maula Ummul Mukminin Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau lahir di masa Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, tepatnya dua tahun terakhir beliau menjadi khalifah.

Kelahiran al-Hasan sangat menggembirakan Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bahkan sang ibunda (Khoiroh) menyerahkan kepada Ummu Salamah radhiallahu ‘anha untuk memberikan nama pada anaknya. Ummu Salamah radhiallahu ‘anhu pun memberi nama dengan nama yang beliau senangi, al-Hasan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha begitu sangat mencintai al-Hasan sehingga takala sang ibu keluar untuk memenuhi hajat ummul mukminin, maka beliaulah yang mengasuh, mendiamkan tangisnya bila ia menangis, bahkan ia menyusuinya. Karena besarnya kasih sayang Ummu Salamah radhiallahu ‘anha kepada al-Hasan hingga air susunya keluar membasahi kerongkongannya sehingga Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menjadi ibu susuan al-Hasan setelah sebelumnya ia adalah ibu bagi seluruh kaum muslimin. Maka tinggallah ia di bawah kepengasuhan. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak ilmunya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kurang lebih sebanyak 387 hadis telah ia hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah seorang wanita yang mampu baca tulis sejak masa jahiliah sehingga al-Hasan kelak akan menjadi seorang pemuda yang gagah, rupawan, dan pemberani yang akan mewarisi warisan nubuwwah berupa ilmu dan amal.

Demikian pula kegembiraan itu tampak pada keluarga Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu karena al-Yasar adalah orang yang sangat ia cintai.

Setelah al-Hasan mencapai usia baligh, ia dan keluarganya pindah ke Bashrah sehingga ia dikenal sebagai al-Hasan al-Bashri.

Al-Imam AAdz-Dzahabi berkata, “Al-Hasan adalah seorang pemuda yang tampan, gagah, dan pemberani.”

Pujian Ulama Kepada Hasan al-Bashri

Setelah al-Hasan tumbuh menjadi seorang pemuda. Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kecerdasan kepadanya, maka beliau menimba ilmu kepada para sahabat kibar (senior) seperti Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan sejumlah sahabat kibar lainnya radhiallahu ‘anhum. Dengan kemapanan ilmu dan kesungguhan dalam ibadah hal itu semakin menambah keutamaan bagi al-Hasan. Sehingga tidak heran bila Qotadah mengatakan, “Al-Hasan adalah orang yang paling mengetahui tentang halal dan haram.”

Abu Burdah berkata, “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih serupa dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibanding beliau.”

Humaid bin Hilal berkata, “Suatu hari Abu Qotadah berwasiat kepada kami, “Tekunilah Syaikh ini, karena aku tidak melihat seorang yang pendapat-pendapatnya lebih mirip dengan pendapatnya Umar selain beliau.”

Anas bin Malik berkata, “Bertanyalah kalian kepada al-Hasan, karena beliau selalu ingat tatkala kami lupa.”

Potret Ibadah Beliau

Ibrahim bin Isa al-Yaskuri berkata, “Aku tidak melihat seseorang yang selalu berada dalam kesedihan (takut akhirat ed.) kecuali al-Hasan. Aku tidak melihatnya melainkan seperti seorang yang baru terkena musibah.”

As-Surri bin Yahya berkata, “Adalah al-Hasan selalu berpuasa bidh, puasa pada bulan-bulan haram (mulia), demikian juga puasa Senin dan Kamis.”

Dari Syu’aib ia berkata, “Aku pernah melihat al-Hasan tengah membaca Alquran sedang ia menangis sampai mengalir air matanya membasahi jenggotnya.”

Sikap Beliau Terhadap Fitnah

Di kala itu, kepemimpinan kaum muslimin jatuh ke tangan seorang pemimpin zalim, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Karena kezalimannya banyak kaum muslimin yang dibunuh secara zalim. Sebagian orang tidak sabar melihat kekejaman dan kezaliman pemimpin mereka itu di saat mereka seharusnya memberikan ketaatannya kepada kholifah kaum muslimin. Di antara mereka adalah sebagian kelompok yang dipimpin oeh Ibnu Asy’ats yang tengah merekrut dan menyusun kekuatan untuk mengkudeta pemimpin mereka al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi. Di tengah gejolak fitnah besar yang merata semacam itu, seorang muslim akan diuji siapakah di antara mereka yang tetap berada dalam jalan selamat yang ditunjukkan oleh syariat dan tampaklah orang-orang yang tidak sabar lalu meninggalkan syariat. Oleh karena itu, mari kita menimba ilmu dari seorang alim tabi’in tentang bagaimana sikap seorang muslim dalam menghadapi fitnah.

Dari Sulaiman bin Ali ar-Rab’i ia berkata, “Tatkala terjadi fitnah Ibnu Asy’ats yang hendak meemrangi al-Hajjaj, pergilah Uqbah bin Abdil Ghafir, Abul Jauza, dan Abdullah bin Ghlalib untuk menemui al-Hasan dan meminta fatwa kepada beliau. Mereka memerangi seorang thaghut ini (al-Hajjaj bin Yusuf, pen.) yang telah menumpahkan darah yang haram untuk ditumpahkan, dan merampas harta yang haram untuk dirampas, telah meninggalkan shalat, dan telah melakukan ini dan itu…’ (Mereka menyebutkan semua tindak-tanduk dari al-Hajjaj bin Yusuf). Lalu al-Hasan berkata, ‘Namun, aku berpendapat kalian jangan memeranginya. Karena kalaulah ia adalah suatu hukuman untuk kalian, maka sekali-kali kalian tidak akan mampu menolak hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pedang-pedang kalian, namun bila ia adalah musibah dan ujian untuk kalian, maka bersabarlah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hukum kepada kalian dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik yang memutuskan hukum.’ Namun, mereka tidak menggubris perkataan al-Hasan bahkan mengatakan, ‘Apakah kita akan menaati perkataan keledai liar itu..!? (Hajaj)’ Mereka pun tetap nekad keluar bersama Ibnu Asy’ats hingga akhirnya mereka terbunuh semua.”

Beliau juga mengatakan, “Seandainya manusia tatkala diuji dari sisi pemimpinnya mereka mau bersabar, tentu mereka akan mendapat jalan keluarnya. Namun, mereka begitu tergesa-gesa menghunus pedang-pedang mereka. Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidaklah mereka datang dengan membawa kebaikan.”

Beberapa Perkataan Mutiara Hasan al-Bashri

Dari Imran bin Khalid bahwa al-Hasan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Mukmin yang sesungguhnya adalah yang selalu merasa sedih baik di kala pagi maupun sore, karena dia akan selalu di antara dua rasa takut, antara dosa yang sebelumya telah ia perbuat sedang ia tidak atahu apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala akan perbuat kepadanya dan ajal yang akan menjemputnya yang juga ia tidak tahu apa yang akan menimpanya dari kebinasaan.”

Dari Hazm bin Abi Hazm ia mengatakan, “Aku pernah mendengar al-Hasan berkata, ‘Sungguh jelek dua sahabat ini yaitu dinar dan dirham, karena keduanya tidak akan memberi manfaat kepadamu sampai keduanya berpisah darimu’.”

Beliau juga mengatakan, “Tidaklah seorang yang memuliakan dirham kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.”

Dari Zuraik bin Abi Zuraik ia berkata bahwa al-Hasan pernah mengatakan, “Sesungguhnya fitnah apabila datang maka akan diketahui oleh setiap yang alim dan apabila ia lenyap baru diketahui oleh setiap yang jahil.”

Wafatnya Beliau

Dari Abdul Wahid bin Maimun maulah Urwah bin Zubair radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Datang seorang kepada Ibnu Sirin seraya mengatakan, ‘Aku bermimpi melihat seekor burung mengambil kerikilnya al-Hasan di masjid.’ Lalu Ibnu Sirin berkata, ‘Seandainya yang kamu ucapkan benar maka berarti al-Hasan akan meninggal dunia.’ Tidak berselang lama lalu meninggallah al-Hasan.”

Dari Hisyam bin Hassan, “Kami sedang duduk-duduk bersama Muhammad bin Sirin pada sore hari di hari Kamis. Tiba-tiba datang seorang laki-laki selepas shalat Asar seraya mengabarkan bahwa al-Hasan telah meninggal dunia, maka Muhammad bin Sirin mendoakannya dan sepontan raut mukanya berubah kemudian diam seribu basaha. Beliau tidak berbicara sampai tenggelam matahari.”

Al-Hasan al-Bashri meninggal dunia pada bulan Rajab tahun 110 H dalam usia 88 tahun. Jenazahnya disaksikan oleh semua orang. Ia dishalatkan setelah selesainya shalat Jumat di Bashrah, dan orang-orang berdesak-desakan sampai-sampai shalat Asar tidak ditegakkan di masjid jami’ tersebut.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Hasan al-Bashri dengan rahmat yang luas dan memasukkan kita semuanya ke surga-Nya yang tinggi yang buah-buahnya begitu dekat untuk diraih. Amin.

Mutiara Teladan

Beberapa teladan yang dapat kita petik dari imam besar ini di antaranya.

  1. Kegagahan dan ketampanan serta nasab bukanlah tolok ukur keutamaan seseorang. Ketakwaan, ilmu, dan amal seseorang itulah yang menjadi landasan penilaian keutamaan.
  2. Kewajiban rakyat adalah tetap wajib menaati pemimpinnya, sekalipun mereka berbuat zalim kepada kita, selama mereka tetap muslim dan melaksanakan shalat, karena hal itu membawa maslahat yang lebih umum, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada umatnya dalam mengahdapi pemimpin yang zalim: “Hendaklah kalian tetap mendengar dan taat kepada pemimpin sekalipun ia menzalimimu dan mengambil hartamu, maka tetaplah kalian wajib mendengar dan menaatinya,” (HR. Muslim)
  3. Sikap seorang mukmin tatkala terjadi fitnah adalah bersikap wara’ dan menjauhkan diri dari fitnah. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat kepada kita tentang hal ini dalam sabdanya,

Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih utama dari orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, dan orang yang berjalan masih lebih baik dari yang memiliki andi di dalamnya.” (HR. At-Tirmidzi: 4/486)

Maka jalan yang selamat tatkala terjadi fitnah adalah berusaha menjauhkan diri dari fitnah sejauh-jauhnya dan jangan sekali-kali menceburkan diri dalam fitnah tersebut karena hal itu berarti kebinasaan. Wallahul muwaffiq.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H

KISAH MUSLIM

60 Ulama Besar dari Masa Tabi’in Hingga 1000 Hijriyah

Ulama adalah pewaris para Nabi. Dari para ulama, kita belajar agama. Terlebih para ulama besar yang menjadi teladan mengamalkan Islam, ilmunya dalam, karyanya tersebar luas dan  murid-muridnya sangat banyak.

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ

Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Berikut ini 60 ulama besar dari masa tabi’in hingga tahun 1000 hijriyah. Syaikh Ahmad Farid memilih mereka dan memasukkan dalam bukunya Min A’lam As Salaf.

“Saya berusaha dengan sungguh-sungguh memilih para tokoh dalam buku biografi ini adalah ulama yang konsen dalam bidang fiqih, para pemimpin madzhab, imam hadits, imam jarh wa ta’dil serta para pemimpin kezuhudan dan ibadah yang sangat layak ditiru. Yakni orang-orang yang telah mempraktikkan sunnah dengan sebenar-benarnya,” tulis Syaikh Ahmad Farid dalam mukaddimahnya.

Siapa saja 60 ulama besar tersebut? Berikut ini nama-nama serta tahun lahir dan wafat, urut berdasarkan tahun wafatnya. Untuk biografi lengkap yang telah tersedia, bisa diklik link nama ulama tersebut.

1. Masruq bin Al Ajda’  

Nama lengkap: Maruq bin Al Ajda’ Al Hamadani Al Wadi’i Abu Aisyah Al Kufi

Lahir: 1 Hijriyah
Wafat: 63 Hijriyah

2. Said bin Musayyab

Nama lengkap: Said bin Musayyab bin Hazn bin Abi Wahb Ibnu Amir bin A’id bin Imran bin Makhzum Al Qurasy Al Makhzumi Al Madani

Lahir: 19 H
Wafat: 94 H

3. Urwah bin Az Zubair

Nama lengkap: Urwah bin Az Zubair bin Al Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai Al Qurasy Al Asadi Al Madani

Lahir: 29 H
Wafat: 94 H

4. Said bin Jubair

Nama lengkap: Said bin Jubair bin Hisyam Al Asadi Al Walibi

Lahir: 46 H
Wafat: Sya’ban 95 H

5. Umar bin Abdul Aziz

Nama lengkap: Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al Hakam bin Abi Al ‘Ash bin Umayyah bin Abdimanaf bin Qushay Al Qurasy

Lahir: 61 H
Wafat: 5 Rajab 101 H

6. Amir bin Syarahil

Nama lengkap: Amr bin Syarahil bin Abdu Asy Sya;bi Au Amr Al Kufi

Lahir: 21 H
Wafat: 110 H

7. Thawus bin Kaisan     

Nama lengkap: Thawus bin Kaisan Al Yamani Al Humairi

Lahir:
Wafat: 9 Dzulhijjah 106 H

8. Hasan Al Bashri                           

Nama lengkap: Al Hasan bin Abi Al Hasan Yasar Al Bashri

Lahir: 22
Wafat: Rajab 110 H

9. Muhammad bin Sirin

Nama lengkap: Muhammad bin Sirin Al Anshari Abu Bakar bin Abi Umrah Al Bashri

Lahir:
Wafat: Syawal 110 H

10. Imam Az Zuhri                           

Nama lengkap: Muhammad bin Muslim bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah Al Harits bin Zuhrah bin Kilab Al Qurasy Az Zuhri Al Madani

Lahir: 50 H
Wafat:

11. Ayyub As Sakhtiani

Nama lengkap: Ayyub bin Abi Tamimah Kaisan As Sakhtiani Abu Bakar Al Bashri

Lahir: 68 H
Wafat: 131 H

12. Sulaiman bin Mihran Al A’masy

Nama lengkap: Sulaiman bin Mihran Al Asadi Al Khalili Abu Muhammad Al Kufi Al A’masy

Lahir: 61 H
Wafat: Rabiul Awwal 148 H

13. Imam Abu Hanifah      

Nama lengkap: Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan At Taimi Al Kufi

Lahir: 80 H
Wafat: Sya’ban 150 H

14. Abdurrahman bin Amr Al Auza’i       

Nama lengkap: Abdurrahman bin Amr bin Muhammad Asy Syami Al Auza’i

Lahir: 88 H
Wafat: Shafar 157 H

15. Syu’bah bin Al Hajjaj              

Nama lengkap: Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Ward Al ‘Ataki Al Azdi Abu Bistham Al Wasathi

Lahir: 82 H
Wafat: Muharram 160 H

16. Sufyan Ats Tsauri     

Nama lengkap: Sufyan bin Said bin Masruq Ats Tsauri bin Rafi’ bin Abdillah bin Muhabah bin Abi Abdillah Al Kufi

Lahir: 77 H
Wafat: Sya’ban 161 H

17. Hammad bin Salamah           

Nama lengkap: Hammad bin Salamah bin Dinar Al Bashri

Lahir: 91 H
Wafat: Dzulhijjah 167 H

18. Al Laits bin Sa’ad      

Nama lengkap: Laits bin Sa’ad bin Abdirrahman Al Fahmayyu Abu Harits Al Mashri

Lahir: 74 H
Wafat: Sya’ban 175 H

19. Hammad bin Zaid    

Nama lengkap: Hammad bin Zaid bin Darham Al Azdi Al Jahdhami Al Bashri

Lahir: 98 H
Wafat: Ramadhan 179 H

20. Imam Malik

Nama lengkap: Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amr bin Amr bin Al Harits bin Ghainam bin Al Khutsail bin Amr bin Harits Al Madani

Lahir: 93 H
Wafat: Rabiul Awwal 179 H

21. Abdullah bin Mubarak          

Nama lengkap: Abdullah bin Al Mubarak bin Wadhih Al Hanzhali At Tamimi

Lahir: 118 H
Wafat: Ramadhan 181 H

22. Fudhail bin Iyadh     

Nama lengkap: Abu Ali Al Fudhail bin Iyadh bin Mas’ud bin Bisyr At Tamimi Al Yarbu’i

Lahir: 106 H
Wafat: Muharram 187 H

23. Waqi’ bin Al Jarrah 

Nama lengkap: Abu Sufyan Waqi’ bin Al Jarrah bin Malih Ar Ruasi Al Kufi

Lahir: 129 H
Wafat: Muharram 197 H

24. Sufyan bin Uyainah

Nama lengkap: Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran Maimun Al Hilali Al Kufi

Lahir: 107 H
Wafat: Rajab 198 H

25. Abdurrahman bin Mahdi      

Nama lengkap: Abu Said Al Bashari Al Lu’lu’i Abdurrahman bin Mahdi bin Hisan bin Abdirrahman Al Anbari

Lahir: 135 H
Wafat: Rajab 198 H

26. Yahya bin Said Al Qaththan 

Nama lengkap: Abu Said Al Bashari Yahya bin Said bin Farraukh Al Qaththan At Tamimi Al Ahwal Al Hafizh

Lahir: 120 H
Wafat: Shafar 198 H

27. Imam Syafi’i   

Nama lengkap: Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim

Lahir: 150 H
Wafat: Sya’ban 204 H

28. Yazid bin Harun Al Wasithi 

Nama lengkap: Abu Khalid Yazid bin Harun bin Zadzi bin Tsabit As Sulami Al Wasithi

Lahir: 118 H
Wafat: Rabiul Akhir 206 H

29. Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam

Nama lengkap: Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam bin Abdullah bin Al Adib Al Faqih Al Muhaddits

Lahir: 157 H
Wafat: 224 H

30. Yahya bin Ma’in       

Nama lengkap: Yahya bin Ma’in bin Aun bin Ziyad bin Bastham bin Abdirrahman

Lahir: 158 H
Wafat: Dzulqa’dah 233 H

31. Ali bin Al Madini      

Nama lengkap: Ali bin Abdillah bin Ja’far bin Nujaih bin Bakar bin Sa’ad As Sa’adi

Lahir: 161 H
Wafat: Dzulqa’dah 234 H

32. Ishaq bin Rahawaih

Nama lengkap: Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim bin Abdillah bin Mathar bin Ubaidillah bin Ghalib bin Warits At Tamimi Al Hanzhali

Lahir: 161 H
Wafat: Nisfu Sya’ban 238 H

33. Imam Ahmad bin Hambal    

Nama lengkap: Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Auf

Lahir: Rabiul Awwal 164 H
Wafat: 12 Rabiul Awwal 241 H

34. Imam Bukhari

Nama lengkap: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah

Lahir: 13 Syawal 194 H
Wafat: 1 Syawal 256 H

35. Imam Muslim                            

Nama lengkap: Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Wardi bin Kawisyadz Al Qusyairi An Naisaburi

Lahir: 204 H
Wafat: Rajab 261 H

36. Imam Abu Dawud    

Nama lengkap: Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ats bin Syidad bin Amr bin Amir As Sijistani

Lahir: 202 H
Wafat: 16 Syawal 275 H

37. Abu Hatim Ar Razi   

Nama lengkap: Muhammad bin Idris bin Al Mundzir bin Dawud bin Mahran Al Hanzhali Al Hafizh

Lahir: 195 H
Wafat: Sya’ban 277 H

38. Imam Tirmidzi           

Nama lengkap: Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Adh Dhahak As Sulami At Tirmidzi

Lahir: 210 H
Wafat: 13 Rajab 279 H

39. Ibrahim bin Ishaq    

Nama lengkap: Abu Ishaq Ibrahim bin Ishaq bin Ibrahim bin Busyair bin Abdillah bin Daisam

Lahir: 198 H
Wafat: Dzulhijjah 285 H

40. Imam An Nasa’i        

Nama lengkap: Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al Khurasani An Nasa’i

Lahir: 215 H
Wafat: 13 Shafar 302 H

41. Muhammad bin Nashr Al Marwazi  

Nama lengkap: Abu Abdillah Muhammad bin Nashr bin Al Hajjaj Al Marwazi Al Imam Al Hafizh Syaikhul Islam

Lahir: 202 H
Wafat: Muharram 294 H

42. Imam Ath Thabari     

Nama lengkap: Abu Ja’far Muhammad bin jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Ath Thabari

Lahir: 224 H
Wafat: Syawal 310 H

43. Ibnu Khuzaimah

Nama lengkap: Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah bin Shalih bin Bakar As Silmi An Naisaburi Asy Syafi’i

Lahir: 223 H
Wafat: 311 H

44. Imam Ath Thabrani                 

Nama lengkap: Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mathir Al Lakhami Asy Syami Ath Tabarani

Lahir: Shafar 260 H
Wafat: 29 Dzulqa’dah 360 H

45. Ad Daruquthni                              

Nama lengkap: Abu Al Hasan Ali bin Ahmad bin Mas’ud bin An Nu’aim bin Dinar bin Abdillah Al Baghdadi

Lahir: 306 H
Wafat: 23 Dzulqa’dah 385 H

46. Ibnu Mandah             

Nama lengkap: Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq bin Muhammad bin Yahya bin Mandah

Lahir: 310 H
Wafat: Dzulqa’dah 395 H

47. Imam Al Hakim         

Nama lengkap: Abu Abdillah Al Hakim Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Na’im bin Al Hakam An Naisaburi

Lahir: 3 Rabiul Awwal 321 H
Wafat: Shafar 405 H

48. Abu Muhammad bin Hazm                 

Nama lengkap: Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalaf bin Sa’dan bin Sufyan bin Yazid

Lahir: Ramadhan 384 H
Wafat: 28 Sya’ban 456 H

49. Abu Bakar Al Baihaqi

Nama lengkap: Ahmad bin Al Husain bin Ali bin Musa Al Khazraujirdi Al Khurasani Al Baihaqi

Lahir: Sya’ban 384 H
Wafat: 10 Jumadil Ula 458 H

50. Ibnu Abdil Barr

Nama lengkap: Yusuf bin Abdillah bin Muhammad bin Abdil Barr Al Ashim An Namri Al Andalusi Al Qurthubi Al Maliki

Lahir: Rabiul Akhir 368 H
Wafat: Rabiul Akhir 463 H

51. Al Khatib Al Baghdadi                            

Nama lengkap: Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Muhdi Al Khatib Al Baghdadi

Lahir: 25 Jumadil Akhir 392 H
Wafat: 7 Dzulhijjah 463 H

52. Abu Al Qasim bin Asakir                       

Nama lengkap: Ali bin Al Hasan bin Hitabillah bin Abdillah bin Al Husain Abu Qasim Ad Dimasqy Asy Syafi’i

Lahir: Muharram 499 H
Wafat: 11 Rajab 571 H

53. Abu Faraj bin Al Jauzi             

Nama lengkap: Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Ubaid bin Abdillah bin Hamadi Al Baghdadi

Lahir: 509 H
Wafat: 13 Ramadhan 597 H

54. Al Hafizh Abdul Ghani Al Maqdisi

Nama lengkap: Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdil Wahid bin Ali bin Sarur bin Rafi’ Al Maqdisi

Lahir: Rabiul Awal 541 H
Wafat: 23 Rabiul Awal 606 H

55. Al Izzu bin Abdissalam          

Nama lengkap: Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab

Lahir: 577 H
Wafat: Jumadil Ula 660 H

56. Imam An Nawawi

Nama lengkap: Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah Ad Dimasyqi

Lahir: Muharram 631
Wafat: 24 Rajab 676

57. Ibnu Taimiyah                           

Nama lengkap: Ahmad bin Abdil Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Al Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin Abdillah bin Taimiyah

Lahir: 10 Rabiul Awal 661 H
Wafat: 20 Dzulqa’dah 728 H

58. Al Hafizh Adz Dzahabi

Nama lengkap: Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qayimaz bin Asy Syaikh Abdullah Ad Dimasyqi Adz Dzahabi

Lahir: Rabiul Akhir 673 H
Wafat: 13 Dzulqa’dah 748 H

59. Ibnu Qayyim Al Jauziyah

Nama lengkap: Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa’ad bin Hariz bin Makki Az Zuri Ad Dimasqi

Lahir: Shafar 691 H
Wafat: 13 Rajab 751 H

60. Ibnu Hajar Al Asqalani                           

Nama lengkap: Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al Asqalani

Lahir: 22 Sya’ban 773 H
Wafat: 28 Dzulhijjah 852 H

Demikian 60 ulama besar dari masa tabi’in hingga tahun 1000 hijriyah. Untuk biografi yang telah tersedia (dan tentunya dari beberapa referensi), bisa diklik link pada nama ulama tersebut. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMA DAKWAH

Banyak Ulama Besar tak Menikah, Apa Alasan Mereka?

Para ulama membaktikan hidup mereka untuk ilmu.

Dalam sejarah banyak didapati fakta para ulama yang memutuskan tidak menikah, salah satunya adalah Imam an-Nawawi dan Ibn al-Jawzi. Menurut Syekh Abd al-Fattah Abu Ghaddah, dalam Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj, keputusan membujang mereka bukanlah bentuk pengingkaran terhadap sunah Rasulullah SAW, yaitu menikah.

Apalagi jika menengok dampak negatif akibat membujang, kecil kemungkinan mereka melakukannya begitu saja tanpa sebab. Lantas mengapa mereka memutuskan pernikahan, ibadah yang sangat ditekankan agama itu? 

Menurut Syekh Abu Ghadah, keputusan tersebut adalah jalan yang sangat personal yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Dengan naluri dan mata hati mereka yang sangat tajam, mereka memilih antara dua pilihan yang sama-sama berat yaitu menikah atau atau tetap membujang dengan berbakti pada kebaikan ilmu.

Dan yang penting digarisbawahi, para ulama tersebut tidak pernah mengajak, mengampanyekan, dan mempropagandakan jalan membujang yang mereka tempuh. 

Sekalipun juga tidak pernah mengklaim bahwa membujang lebih baik dibandingkan menikah. Apa yang mereka lakoni juga sama sekali tak ada hubungannya dengan pandangan sebagian filsuf Abad Pertengahan bahwa menikah dan berketurunan adalah kriminalitas, mereka beranggapan berketurunan berarti membukakan pintu kerusakan dan malapetaka yang ada di dunia ini dengan sengaja bagi anak-anak. 

Kehidupan membujang justru sebaliknya, di mata para tokoh ulama tersebut, semakin mendekatkan kecintaan mereka terhadap ilmu Allah SWT.”Ilmu sudah menjadi ruh bagi jasad mereka, menjelma bak air bagi tanaman, dan layaknya udara bagi kehidupan,” tutur dia.

Para ulama itu, terlepas dari keutamaan dan keistimewaan menikah, beranggapan jika mereka menikah justru akan membuat mereka lemah dan semakin menjauh dari semangat menggali ilmu.

KHAZANAH REPUBLIKA