Nafisah Binti Hasan: Ulama Perempuan Bergelar “Permata Ilmu”

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Dzahabi, termasyhur dengan Imam al Dzahabi, sejarawan sekaligus ulama pakar hadis dalam Siyar A’lam al Nubala berkata: “(faktanya) tidak sedikit kalangan tabi’in yang belajar ilmu kepada para sahabat perempuan”.

Kalaupun jarang (hampir tidak ada) kita jumpai karya-karya ulama perempuan; tafsir, hadis, ushul fikih dan fikih yang dikaji serius di pusat-pusat pendidikan Islam seperti di pesantren, tidak berarti tidak ada satupun kalangan perempuan yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu agama. Bahkan, banyak kalangan sahabat perempuan (shahabiyah) yang menjadi guru kalangan tabi’in seperti dikatakan al Dzahabi.

Satu diantaranya adalah Nafisah binti Hasan (cicit Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Kisah Nafisah ditulis oleh Umar Ridho Kahalah dalam karyanya A’lam al Nisa fi ‘Alamai al Arab wa al Islam.

Nama lengkapnya Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Lahir di Makkah tahun 145 H. Dibesarkan di Madinah. Pernah ke Mesir bersama suaminya, Ishaq bin Ja’far al Shadiq. Pendapat lain mengatakan, ia ke Mesir bersama ayahnya, Hasan, yang ditunjuk oleh Abu Ja’far al Mansur untuk menjadi salah seorang Gubernur Mesir.

Setelah lima tahun menjabat gubernur, Abu Ja’far al Mansur memecatnya, menyita seluruh asetnya dan memenjarakannya di Baghdad. Hasan baru dibebaskan setelah Abu Ja’far al Mansur meninggal dunia. Pengganti al Mansur, yakni al Mahdi membebaskan Hasan dan mengembalikan kekuasaannya semula.

Tentang sosok Nafisah, ia seorang hafidzah (hafal al Qur’an) dan ahli tafsir. Diceritakan, Imam Syafi’i disaat ke Mesir sering mengikuti halaqah keilmuan yang dipimpin Nafisah. Salah seorang pendiri madhab fikih ini banyak mendengar hadis dari ulama perempuan yang masyhur dengan “Nafisah al ilmu”. Diyakini, ilmu yang diperoleh dari Nafisah memberi pengaruh besar terhadap pemikiran fikih Imam Syafi’i waktu di Mesir.

Disamping seorang yang mumpuni ilmu agamanya, Nafisah juga sosok yang sangat wara’ dan zuhud. Ia banyak menangis (meratapi dosa dan minta ampun kepada Allah), selalu bangun malam untuk beribadah, selalu berpuasa di siang hari, sehari semalam hanya makan sekali, yaitu pada sepertiga malam (sahur), dan tidak makan kecuali apa yang diberikan oleh suaminya.

Nafisah melakukan ibadah haji sebanyak tiga puluh kali. Sebanyak itu pula, ia menangis sejadi-jadinya sambil bergelayut pada kiswah Ka’bah dan berkata: “Ya Allah, hiasilah dan bahagiakanlah diriku dengan ridha-Mu”.

Zainab binti Yahya berkata, “Saya menjadi pembantu di rumah bibi Nafisah selama empat puluh tahun. Selama itu, saya tidak pernah melihat Nafisah tidur malam dan makan di siang hari. Saya bertanya kepadanya, “Wahai Nafisah: apakah engkau tidak khawatir terhadap kesehatanmu”? Nafisah menjawab: “bagaimana aku bisa khawatir, sementara dihadapanku ada siksa yang menanti, tidak akan selamat dari siksa tersebut kecuali orang-orang yang beruntung”.

Bisyri bin Harits al Hafi, guru Imam Ahmad bin Hanbal pernah menuntut ilmu kepada Nafisah. Pada saat Bisyri sakit Nafisah datang menjenguknya. Tak lama kemudian Imam Ahmad bin Hanbal datang juga untuk menjenguk gurunya yang sedang sakit. Melihat perempuan yang sangat disegani oleh gurunya, Imam Ahmad bertanya kepada Bisyri “Siapa wanita ini”? Gurunya menjawab, “Dia adalah Sayyidah Nafisah, kesini untuk menjengukku”.

Sontak, Imam Ahmad yang telah mendengar nama besar Sayyidah Nafisah kemudian berbisik kepada gurunya, “Minta supaya dia mendoakan kita”. Sayyidah Nafisah dengan senang hati mendoakan mereka berdua: “Ya Allah, sesungguhnya Bisyri bin Harits dan Ahmad bin Hanbal meminta perlindungan kepada-Mu dari api neraka, selamatkanlah keduanya, ya Allah”.

Sayyidah Nafisah hanya seorang dari sekian ulama-ulama perempuan. Masih banyak kaum hawa yang seperti Sayyidah Nafisah. Walaupun karya-karyanya tidak banyak dikenal, namun sejarah membuktikan tidak sedikit kalangan perempuan yang mumpuni dalam bidang ilmu agama.

ISLAM KAFFAH

Syekh Nawawi Al Bantani; Guru Besar Asal Indonesia Paling Populer di Makkah

Syekh Nawawi bin Umar merupakan salah satu ulama asal Indonesia yang memiliki gelar “Sayyid al-Ulama al-Hijaz”. Sebutan Syekh Nawawi al Bantani cukup populer dikalangan para penggiat ilmu keislaman. Namanya banyak tertera di berbagai kitab kuning dalam beberapa fan ilmu agama. Nama lengkapnya adalah Muhammad Nawawi bin Umar bin Arbi al-Jawi al-Bantani. 

Al-Jawi adalah nisbat dari tanah kelahirannya yang mana ketika itu daerah Jawa lebih dikenal sebagai nama sebuah negara daripada negara Indonesia sendiri. Hal ini, karena dikala itu Indonesia masih belum terbentuk sebagai suatu negara. Sedangkan Al-Bantany adalah nisbatnya pada kota Banten, kota kelahiran beliau. 

Di samping juga untuk membedakan beliau dengan ulama lain yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Nawawi, seperti Syekh Abi Zakariyya Muhyiddin Ibn Sharaf al Nawawi yang berasal dari Nawa, Damaskus. 

Syekh Nawawi Al Bantani lahir di Tanara, Serang, Karasidenan Banten tahun 1230 H/1813 M. Beliau adalah anak seorang penghulu, pemimpin masjid dan pesantren di Serang, Banten. Apabila ditelisik dari garis keturunannya, beliau termasuk keturunan ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, sunan Gunung jati, Cirebon. Sebagai anak seorang tokoh agama, beliau hidup dalam lingkungan keluarga yang agamis. 

Sejak usia lima tahun, beliau sudah berangkat ke pesantren di beberapa Pondok pesantren di Jawa. Hanya sekitar 5-7 tahun beliau belajar di pesantren, muncul berita duka yang mengabarkan bahwa ayahandanya telah meninggal dunia. Hal ini yang membuatnya menjadi pemimpin pesantren untuk menggantikan posisi ayahnya di usia 13 tahun. Usia yang relatif sangat muda untuk bisa memimpin pesantren. 

Sebab kecerdasannya, beliau semakin dikenal dan masyhur dikalangan masyarakat Banten. Sehingga, para santri datang berbondong-bondong untuk belajar kepadanya. Sulitnya hidup di masa ketika kolonial Belanda menguasai kesultanan Banten tidak membuatnya menjadi patah semangat.

Kesulitan ini beliau jadikan sebagai salah satu latar belakang berkobarnya semangat beliau untuk memperjuangkan perkembangan Islam di Indonesia dengan melahirkan para ulama yang hampir keseluruhan adalah generasi cendekiawan yang memunculkan gerakan Islam pada awal abad ke 20. 

Seperti KH. Kholil (Bangkalan, Madura), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa timur), KH. ‘Asy’ari (Bawean, Gersik, Jawa timur), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan para tokoh-tokoh gerakan Islam mancanegara. 

Setelah 2 tahun memimpin pesantren, beliau akhirnya melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji sekaligus untuk memperdalam ilmunya sebagai salah satu bentuk usahanya memperjuangkan kemajuan Islam di nusantara. Beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan tanah airnya karena melihat kondisi saat itu mulai terjadi campur tangan kekuasaan pemerintahan oleh kolonial Belanda yang sangat membatasi ruang gerak umat Islam. 

Syekh Nawawi Al Bantani sempat kembali ke Indonesia sebelum memutuskan kembali ke Makkah lagi untuk mengembangkan pesantren peninggalan ayahnya bersama adiknya. Namun, pemerintah sudah diambil alih oleh mereka kolonial Belanda yang semakin mengusik gerak gerik umat Islam.

Beliau lebih memperdalam ilmunya lagi di Mekkah dengan tujuan agar bisa melawan Belanda dan terus memajukan perkembangan Islam sebelum mereka menjajah terang-terangan dengan kekerasan. Di sanalah beliau belajar hingga menjadi guru besar di Masjidil Haram dan melahirkan murid-murid anti penjajah yang banyak menjadi cendikiawan gerakan Islam. 

Selama di Mekkah beliau juga mulai melahirkan karya-karyanya tentang berbagai fan ilmu agama. Diantaranya : Kasyifatus saja ( 1292 H) dalam bidang ilmu kalam dan akhlak, Nihayah az Zain dan Uqud Al Alujain (1297 H) dalam bidang fikih, Tafsir Al Munir Li Mu’allim Al Tanzil (1305 H) dan masih banyak yang lain dalam berbagai bidang ilmunya. Beliau mengarang hingga akhir hayatnya. Beliau pun wafat tatkala menyelesaikan kitabnya yaitu Syarah Minhaj at Thalibin karya Yahya bin Syaraf. 

Bertepatan pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1897 M, Syekh Nawawi al Bantani wafat di kampung Syi’ib Ali, Makkah al-Mukarromah. Beliau dimakamkan di Ma’la, berdekatan dengan makam Ibnu Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Ash- Shiddiq. Tercatat dalam sejarah oleh Azyumardi Azra seorang pakar sejarah, bahwa Syekh Nawawi termasuk diantara ulama guru besar asal Indonesia paling populer di Makkah. 

Memang, beliau dan juga teman-teman ulama sejawatnya di Makkah tidak secara fisik melawan Belanda. Namun secara spiritual mereka menjunjung tinggi semangat juangnya untuk memajukan perkembangan Islam dan kemerdekaan Indonesia. Di antaranya dengan cara mendidik murid-muridnya menjadi kader-kader anti penjajah dan membangkitkan semangat untuk melawan penjajah. 

BINCANG SYARIAH

Hari ini, 99 Tahun Wafatnya KH Ahmad Dahlan

“Sekarang setannya tambah satu. Tadi Pak dokter, sekarang kamu, Bu,” ujarnya pelan sambil merapikan tas berisi buku-buku yang akan dipakainya untuk berceramah.

Sedianya dokter meminta sang istri untuk memastikan dia istirahat sementara waktu karena sakitnya. Namun, bukan KH Ahmad Dahlan namanya kalau larangan untuk berdakwah diiyakannya.

Sekalipun dalam keadaan sakit, ia tetap melakukan perjalanan ke Tretes, Malang, untuk menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah 1923.

Sepulang dari Malang, kondisi kesehatannya kian menurun, hingga Dr. van De Burne, Dr. Ofringa dan Dr. Somowidagdo yang merawatnya meminta keluarga untuk membatasi tamu yang membezoeknya.

Di tengah perjuangannya memikirkan kondisi umat, Allah mencukupkan tugasnya di bumi dengan memanggilnya pada hari Jumat 23 Februari 1923, di usia yang masih relatif muda untuk ukuran umat Muhammad, 54 tahun.

Bumi menangis. Seorang mujahid berpulang, menyisakan duka yang mendalam. Kabar duka itu segera menyebar. 

Inna lillahi wainna ilaihi radji’oen.

Kabar duka itu ditulis majalah Soewara Moehammadijah No. 2 dan 3., Tahun ke-4, Februari-Maret 1923, halaman 74-75.

Dengan hati jang sedih kami beritahoekan pada saudara-saudara teroetama kaoem Moehammadijah dan Sarikat Islam, bahwa pada hari Djoemoeah menghadap malam Saptoe 23/24 Februari 1923 kira poekoel 11.45 u, Kejahi Achmad Dachlan Ketib Amin, ketoea dari perserikatan Moehammadijah dan Adviseur Centraal Sarikat Islam telah berpoelang ke rachmatoellah.

Dari pada itoe, marilah kita bersama-sama memoedji kepada Allah moedah-moedahanlah arwach marhoem Kejahi A. Dachlan itoe dianoegerahi Sorga pahlanja.

Lagi poela dengan pengharapan sepenoeh-penoehnja soedikan apalah kiranja saudara-saudara sama bersolat Gaib adanja.

Setidaknya ada 4 koran berbahasa Belanda yang memuat berita itu. Yakni Soerabajasch Handelsblad, De Indische Courant, Bataviaasch Nieuwsblad, dan satu koran yang terbit di Belanda, Algemeen Handelsblad. 

Ada manusia-manusia besar yang Allah takdirkan menuliskan narasi besar. Bisa jadi ia meninggal sebelum narasi itu selesai dituliskannya, namun pemikirannya melintasi zaman.

Kiai Dahlan adalah salah satunya. Berawal dari dari keprihatinannya akan kondisi umat yang berada dalam kebodohan dan kejumudan, ia didik murid-muridnya di langgar (mushala kecil) di halaman rumahnya di kampung Kauman, Yogya. 

Dari satu sekolah, kini berkembang menjadi lebih dari 10.381 sekolah. 365 ponpes, 364 RS/klinik, 384 panti asuhan, dan banyak lagi asset lainnya. Dimulai dari Yogyakarta, kini menyebar ke 27 negara di dunia.

Hari ini, 99 tahun lalu jasadnya dikuburkan, namun pahala jariyah dan buah pikirnya tak akan lekang tergerus zaman.

Jakarta, 23/2/2022

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveller

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengenal Sosok Ulama Penerus Nabi

Tidak semua orang yang disebut ulama oleh masyarakat dapat meniru sikap dan teladan Nabi, meski barangkali ikhtiar mereka dalam meniru Nabi sudah matang.

Lantas siapakah ulama yang disebut penerus Nabi?

KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Islam di Amerika mengatakan sejumlah kriteria ulama yang disebut penerus Nabi. Kriteria pertama adalah dia memiliki ilmu agama Islam. Dimaksud dengan memiliki ilmu agama adalah bukan sekadar mengetahui ilmu agama Islam untuk diamalkan dirinya sendiri, melainkan juga mampu memberikannya kepada orang lain. 

Minimal dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang disampaikan orang lain. Ulama sebagai penerus Nabi adalah seorang yang dapat disebut ahli agama, bukan ahli dalam bidang kedirgantaraan, kelautan, kehutanan, pertanian, urusan tanah, dan sebagainya.

Sebab, kata Kiai Ali, Nabi pernah bersabda, “Ulama itu ahli waris para Nabi. Sementara para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah.

Sehingga Kiai Ali menjelaskan bahwa ulama penerus Nabi hanyalah orang-orang yang ahli agama Islam yang batasan mudahnya adalah mampu memahami Alquran dan hadis-hadis Nabi. Atau dengan kata lain, mereka mampu membaca kitab-kitab kuning.

Menurut Kiai Ali, orang yang tidak mampu membaca kitab kuning maka keahlian agamanya belum meyakinkan. Sementara kaum intelektual, cendikiawan, dan sebagainya, misalnya sarjana atau pakar kehutanan dapat saja disebut ulama hutan, tapi dalam batas pengertian ulama secara kebahasaan. Bukan secara terminologis ulama sebagai penerus Nabi.

KHAZANAH REPUBLIKA

TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Pendiri Nahdlatul Wathan dan Pejuang Kemerdekaan dari Nusa Tenggara Barat

Maulana Syekh Tuan Guru Kiai Haji (T.G.K.H.) Muhammad Zainuddin bin Abdul Madjid lahir di desa Pancor pada tahun 1908. Dan merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Pada saat kecil beliau memliki nama Muhammad Saggaf, namun pada usia sembilan tahun diubah menjadi Muhammad Zainuddin, ini karena ayah beliau T.G.H. Abdul Madjid mencari keberkahan dari ulama’ besar dari daerah Serawak yaitu Syekh Muhammad Zainuddin.

Semenjak kecil beliau sudah menjadi papadu (anak kebanggaan) dari ayahnya. Beliau sejak kecilnya sudah di gembleng untuk memahami beragam disiplin ilmu ilmu kegamaannya guna meningkatkan kapasitas agar lebih tajam dan komprehensif. Disamping mengikuti sekolah formal di Volkscholen yang dibangun pemerintah hinida Belanda, ia juga belajar dengan beberapa Tuan Guru yang ada di desa Pancor diantaranya TGH. Syarafuddin, TGH. Abdullah bin Amaq Dulaji,  TGH. Muhammad Said dan lainnya.

Pada tahun 1923, Maulana Syekh bersama saudara adiknya Muhammad Faisal diantar orangtuanya belajar ke Tanah suci Mekkah, tepatnya  di Madrasah ash-Shaulatiyah, madrasah yang sama dimana Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Hai Ahmad Dahlan belajar.  Madrasah yang didirikan pada 1219 H. oleh seorang ulama besar imigran India Syekh Rahmatullah Ibn Khalil al Hindi al Dahlawi. Tercatat sebagai madrasah pertama dalam dunia pendidikan di Arab Saudi.

Maulana Syekh masuk Madrasah Shaulatiyah pada 1345 atau 1927 M. saat itu mudir atau direkturnya adalan Syekh Salim Rahmatullah. Ia merupakan cucu pendiri Madarash Shaulatiyah. Pada saat belajar di Shaulatiyah, para guru beliau menilai Maulana Syekh memiliki ketekunan tinggi dalam belajar. Beberapa guru  mengakuinya sebagai murid yang tergolong cerdas. Syekh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi penilik madrasah Pemerintah Arab Saudi yang seringkali datang ke madrasah. Penilik adalah penganut Wahabi.

“Dan Zainuddin adalah satu satunya murid Madrasah ash-Shaulatiyah yang dianggap menguasai paham Wahabi dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan” kata aeorang teman sekelasnya, Syekh Zakariya Abdullah Bila, ulama besar di Tanah Suci Makkah.

Setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1933 M., Maulana Syekh kembali ke kampung halamannya. Melihat keadaan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang saat itu masih jauh dari akses pendidikan yang layak beliau merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan koloni Belanda melalui pendidikan. Pada tahun 1934 beliau mendirikan Pesantren Al Mujahidin.

Berselang tiga tahun, pada tanggal 22 agustus 1934 M beliau mendirikan madrasah khusus laki-laki yang dinamainya Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah atau disingkat NWDI, setelah madrasah NWDI meluluskan angkatan pertama tahun 1941 H. Untuk memperluas kader-kader pendidikan Maulana Syekh mendirikan Madrasah khusus kaum perempuan yang bernama Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah pada tahun 1941 H yang biasa di singkat NBDI. Kedua Madarasah ini merupakan madrasah pertama yang berdiri di Pulau Lombok, dan merupakan cikal bakal berdirinya semua madrasah yang bernaung dibawah organisasi Nahdlatul Wathan.

Melihat perkembangan Madrasah cabang dari NWDI dan NBDI yang cukup pesat, untuk lebih memudahkan dalam koordinasi, pembinaan, dan pengembangan madrasah-madarasah cabang tersebut, pada tanggal 1 Maret 1953 Maulana Syekh mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan (NW) yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.

Menjadi Tokoh Pejuang Kemeredekaan dari Nusa Tenggara Barat

Selain dikenal sebagai kiai kharismatik yang mencurahkan pemikiran dan pengetahuannya untuk pendidikan umat, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga dikenal sebagai tokoh perjuang kemerdekaan di Nusa Tenggara Barat. Penggunaan nama pesantren yang dibuat oleh beliau mensyiarkan semangat yang kuat untuk memajukan umat Islam dan membangkitkan negeri, dan tanah air. Ini tercermin dari arti kata Nahdlatul Wathan yang berarti kebangkitan Tanah Air.

Pada zaman penjajahan madrasah disamping sebagai tempat untuk belajar agama juga dijadikan oleh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot patriot bangsa yang siap bertempur melawan penjajah.

Pada tahun 1947, dipimpin oleh adik kandungnya beliau bersama santri santrinya menyerang markas NICA. Penyerangan ini menewaskan para santri, guru madarsah serta adiknya sendiri. Setelah itu beliau dengan Saleh Sungkar membentuk wadah politik untuk perjuangan dan memajukan rakyak bernama Persatuan Umat Islam Lombok (PUIL). Selain itu, beliau juga aktif sebagai anggota konstituante, Masyumi, Permus dan Golkar.

Atas jasa jasanya terhadap bangsa Indonesia, pada tahun 2017 beliau kemudian dianugrahkan gelar pahlawan oleh presiden Jokowi bersamaan dengan 4 tokoh dari daerah lainnya. TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai seorang ulama pejuang kemerdakaan, guru sufi dan ulama’ yang nasionalis.. Beliau wafat di Lombok pada 21 Oktober 1997. Lahu al Fatihah

BINCANG SYARIAH

Biografi Imam Qusyairi; Ulama Tasawuf yang Menolak Tasawuf

Salah satu tokoh tasawuf yang sangat populer (popular) dalam khazanah Islam adalah Imam Qusyairi. Dengan thariqah dan keilmuannya yang sangat luas, beliau mampu membawa ajaran-ajaran tasawuf laksana pengetahuan baru yang mampu memberikan motivasi kepada pembaca untuk lebih giat memperdalam salah satu ilmu Islam tersebut.

Nama lengkapnya adalah Imam Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad, sedangkan Abul Qasim merupakan nama kun-yahnya. Selain itu, ada banyak gelar yang disandang oleh Iman Qusyairi, di antaranya, (1) An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw;

(2) Al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut; (3) Al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa; dan (4) Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada mazhab Syafi’iyah yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M.

Tidak hanya itu, Imam Qusyairi juga memiliki banyak gelar kehormatan, antara lain, Al-Imam, Al-Ustadz, Asy-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

Imam Qusyairi lahir di Astawa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Ia mempunyai garis keturunan dari pihak Ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil as-Sulami, termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga As-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu, as-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan as-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah.

Beliau meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M, ketika berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syekh Abu Ali ad-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi.

Pada masa itu, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pada penguasa dan staf-stafnya berlomba-lomba memperberat tingkat pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa Imam Qusyairi untuk bercita-cita meringankan beban dari masyarakat. Beliau berpikiran pergi ke Naisabur untuk belajar hitung yang berkaitan pajak. Naisabur pada saat itu berposisi sebagai Ibukota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat tempat para ulama dan pengarang serta para pujangga.

Sesampainya di Naisabur, Imam Qusyairi belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisabur dan lebih dikenal dengan Imam ad-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, Imam Qusyairi sudah mengaguminya. Sementara Syekh ad-Daqaq sendiri juga berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilian. Karena itu, Syekh ad-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat beliau mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran pemerintahan dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan.

Selain Syekh Abu Ali Hasan bin Ali an-Naisaburi ad-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1) Abu Abdurrahman Muhammad bin Husin bin Muhammad as-Sulami an-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang beberapa kitab; (2) Abu Bakar Muhammad bin Husain bin Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang Imam dan pakar dalam Ushul Fiqh; (3) Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang Fiqh dan Ushul Fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Imam Qusyairi belajar belajar Ushuluddin (pokok-pokok agama) kepadanya; dan (4) Abu Manshur Abdur Qahir bin Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, Imam Qusyairi belajar tentang fiqih-fiqih mazhab Syafi’iyah kepadanya.

Dalam pengajaran, beliau memakai sistem majelis imla’ (dikte) dan majelis tazkir (mengingat). Beliau mengadakan majelis imla’ bidang hadits di Baghdad pada tahun 432 H/1040 M, beberapa paradigma yang dibuatnya dilampiri sejumlah gubahan puisi religius. Kemudian menghentikan kegiatan ini dan pulang ke Naisabur tahun 455 H/1063 M, untuk merintis kegiatan semacamnya.

Beliau sebagaimana dikatakan oleh Imam as-Subki adalah seorang ulama yang menguasai bidang ilmu, termasuk bahasa, sastra dan budaya. Karena itu beliau juga disebut seorang sastrawan sekaligus penulis. Ulama penyair ini banyak mengubah syair-syairnya secara improvisasi. Ali al-Bakhilzi banyak menyebut karya-karyanya dalam kitab Damiyatul al-Qashri.

Karya-karya Imam Qusyairi

Luasnya ilmu yang dimiliki oleh Iman Qusyairi tidak hanya dilihat dari fatwa dan nasihatnya yang disampaikan kepadanya masyarakat luas, akan tetapi juga dilihat dari banyaknya kitab-kitab yang telah beliau tulis. Sebagian riwayat mengatakan bahwa kitab tulisannya mencapai 29, di antaranya, Ahkamu asy-Syar’i, Adabus Shufiyah, Arba’un fi al-Hadits, Istifadah al-Mudharrat, Balaghah al-Maqashid fi at-Tasawuf, at-Tahbir fi at-Tazkir, Tartib as-Suluk fi Thariqi Allah, dan beberapa kitab-kitab lainnya.

Menolak Sufi pada Masanya

Imam Qusyairi tidak bisa diragukan lagi dalam luasnya Ilmu Tasawuf yang ada dalam dirinya, akan tetapi beliau merupakan salah satu ulama yang sangat menentang orang-orang tasawuf pada masa itu.

Beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Imam Qusyairi berkaitan dengan tasawuf antara lain adalah, pertama, menolak terhadap para sufi Syatahi, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan yang mengesankan terjadinya persatuan antara sifat-sifat ketuhanan dengan sifat-sifat kemanusiaan.

Kedua, mengemukakan ketidaksetujuan terhadap para sufi pada masanya yang mempunyai kegemaran untuk mempergunakan pakaian-pakaian orang-orang miskin, tetapi perilakunya bertolak belakang dengan pakaian yang mereka kenakan.

Pendapat al-Qusyairi di atas, sejatinya memberikan gambaran kepada kita bahwa tasawuf pada masa itu dianggap telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah, maupun dari segi moral dan tingkah laku. Imam Qusyairi ingin mengembalikan arah tasawuf pada doktrin Ahlussunah wal Jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriyah. Usaha yang dilakukannya merupakan pembuka jalan bagi Imam Al-Ghazali yang berafiliasi pada aliran yang sama yaitu al-Asy’ariyah.

Pendapat Imam Qusyairi tentang Hal dan Maqam

Sebagaimana tujuan yang telah disebutkan, Imam Qusyairi merupakan salah satu ulama yang hendak mengembalikan ruh tasawuf sebagaimana yang diajarkan oleh ulama-ulama tasawuf sebelumnya. Oleh karenanya, beliau memberikan beberapa komentar perihal salah satu hal pokok yang ada dalam ajaran tasawuf, yaitu hal dan maqam.

Imam Qusyairi berpendapat bahwa hal adalah sesuatu yang dirasakan manusia seperti rasa gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lain-lain, merupakan suatu pemberian atau karunia, sedangkan maqam diperoleh dari hasil usaha.

Hal datang dari yang ada dengan sendirinya, sementara maqam terjadi karena pencurahan perjuangan yang terus menerus. Pemilik maqam memungkinkan menduduki maqamnya secara konstan, sementara pemilik hal sering mengalami naik turun (berubah-ubah).

Beberapa maqam yang dikemukakan oleh al-Qusyairi yaitu,

  • Tobat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Kata tobat menurut bahasa berarti “kembali”, maka tobat artinya kembali dari sesuatu yang dicela dalam syariat menuju sesuatu yang dipuji dalam syariat itu sendiri.
  • Wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang subhat.
  • Khalwah dan uzlah, khaliyah merupakan sifat ahli sufi, sedangkan uzlah merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT. Imam Qusyairi juga menjelaskan bahwa ma’rifat menurut bahasa adalah ilmu. Maka setiap ilmu adalah ma’rifat dan setiap ma’rifat adalah ilmu. Setiap orang yang berma’rifat kepada Allah arif (orang bijak yang banyak pengetahuannya). Seorang orang arif adalah alim.

Referensi, Imam Qusyairi, Risalah al-Qusyairiah, [Bairut, Dârul Fikr, cetakan kedua: 1999], halaman 15-18.

BINCANG SYARIAH

Pendapat Syekh Albani Soal Jamaah Haji yang Mencukur Jenggot

Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam bukunya yang berjudul “Haji Nabi Muhammad SAW” mengatakan, “Mencukur jenggot bentuk kemaksiatan ini termasuk yang paling sering dilakukan oleh kaum muslimin di masa sekarang,” katanya.

Syekh Nashiruddin Al-Albani mengatakan, semua ini sebagai akibat dari penjajahan orang-orang kafir terhadap negeri-negeri Islam, yang menularkan kebiasaan maksiat itu kepada kaum Muslimin. Sementara kaum muslimin suka meniru budaya tersebut.

Padahal Rasulullah secara tegas telah melarang meniru orang-orang musyrik: 

“Lakukanlah yang bertolak belakang dengan yang dilakukan orang-orang musyrik. Cukur kumis dan biarkan jenggot menjadi panjang. “(Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits lain disebutkan. ” Lakukanlah yang bertolak belakang dengan yang dilakukan Ahlulkitab.”

Syekh Nashiruddin Al-Albani mengatakan, budaya buruk ini mengandung beberapa pelanggaran:

Pertama melanggar perintah Rasulullah yang secara tegas memerintahkan kita membiarkan jenggot menjadi panjang.

Kedua, meniru orang-orang kafir. Ketiga mengubah ciptaan Allah yang berarti menaati ucapan setan.

Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surah an-nisa ayat 119. 

“…dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah…” 

Keempat, meniru kaum wanita padahal Rasulullah SAW telah melaknat lelaki yang melakukan perbuatan itu. 

Syekh Nashiruddin Al-Albani menyarankan agar membaca detail tentang larangan ini yang hanya disebutkan secara global di dalam buku kami “Adabu’- Ziffaf fi s ‘Sunnati muthothoharah halaman 126-131.

Di antara realistis yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang memiliki tekad mempertahankan agamanya adalah bahwa mayoritas jamaah haji masih terlihat panjang-panjang jenggotnya saat berihram. Namun saat bertahallul mencukur jenggot. 

Mereka tidak menggunduli kepala seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW tetapi justru mencukur jenggot. Padahal Rasulullah memerintahkan kita membiarkannya panjang, sungguh perbuatan yang mencelakakannya.

IHRAM

Mungkinkah Ulama Menjadi Teroris? Inilah Kriteria Ulama yang Sebenarnya

Sebelum pertanyaan ini dijawab, lebih dulu harus tahu definisi ulama. Ulama secara etimologi merupakan bentuk jamak (plural) dari isim fa’il ‘aalim dari akar akata ‘ilmu yang berarti pengetahuan. ‘Aalim artinya orang yang berpengetahuan. Dengan demikian, ulama salah orang-orang yang memiliki pengetahuan. Dari makna bahasa ini maka semua orang yang pintar dalam disiplin ilmu apa saja disebut ulama. Namun, menurut istilah ulama kemudian lebih spesifik pada mereka yang pintar ilmu agama beserta pengamalannya.

Imam Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddinnya menjelaskan, ulama adalah orang-orang yang tekun mengerjakan ibadah, Zuhud, menguasai ilmu akhirat, mengerti kemaslahatan umat (ilmu dunia), dan mempergunakan ilmunya untuk mengabdi kepada Allah.

Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Ajibah, ulama adalah orang-orang yang pada dirinya melekat tiga karakter sekaligus. Yakni, ‘alim atau menguasai ilmu agama, ‘abid atau ahli ibadah dan ‘arif yang berarti meneladani akhlak Rasulullah, seperti zuhud (tidak memiliki ketergantungan kepada agama), wara’ (menjaga kehormatannya), hilm (toleran dan lapang hati) dan mahabbah (cinta kepada Allah dan kepada semua yang dicintai-Nya).

Dengan demikian, yang disebut ulama adalah mereka yang memahami ilmu keagamaan sampai ke dasarnya yang paling dalam, bukan mereka yang riuh dipermukaan. Orang-orang seperti ini yang disebut “Al Ulama Waratsatul Anbiya”.

Mungkinkah ulama menjadi teroris?

Karena ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan mendalam terhadap ilmu agama, maka seluruh tindakannya didasarkan kepada al Qur’an dan hadis dengan pembacaan yang syamil dan komprehensif.

Dalam konteks keragaman; agama, suku, etnis dan golongan, ulama pasti mendasarkan pada dua sumber hukum pokok dalam Islam yakni al Qur’an dan hadis.

Titah-Nya, “Kalau seandainya Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa semua manusia hingga mereka menjadi orang-orang beriman semua?”. (QS. Yunus: 99).

“Dan tidaklah kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta”. (QS. al Anbiya: 197).

Kalau begitu, umat Islam tidak perlu berdakwah? Tidak demikian. Justru tidak ada yang mampu menyamai ketulusan dan semangat dakwah Nabi. Amar makruf nahi mungkar yang dilakukan oleh Nabi tidak ada yang dapat membandingi, tetapi beliau tidak menggunakan cara-cara yang mungkar. Rasulullah selalu mendahulukan akhlak mulia dalam setiap dakwahnya. Bukan dengan kekerasan dan intimidasi. Justru karena itu, beliau sukses memikat manusia untuk memeluk agama Islam.

Ulama pewaris Nabi juga begitu. Setiap langkah dakwahnya selalu meniru Nabi. Mengedepankan keramahan, toleransi dan kearifan. Latar belakang penguasaan ilmu agama yang baik menjadi modal bagaimana cara berdakwah yang memang dituntunkan oleh Baginda Nabi. Tidak mencaci, serta ramah. Beda dengan penganut paham radikalisme yang selalu menuding pihak lain dalam posisi bersalah. Mereka melakukan justifikasi kebenaran yang dipahami sebagai kebenaran absolut. Padahal, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu agama yang baik.

Sampai disini telah jelas, ulama sejati tidak mungkin melakukan tindakan terorisme. Kemapanan ilmu agama yang dimiliki menjernihkan pemahaman mereka tentang ajaran Islam yang sangat membenci radikalisme dan terorisme karena memang bukan ajaran Islam. Maka, kalau baru-baru ini ada anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditangkap karena kasus terorisme, sejatinya ia adalah oknum yang disusupkan oleh kalangan kaum radikal ke tubuh MUI supaya tujuan jahat mereka lebih mudah untuk direalisasikan.

ISLAM KAFFAH

Aria Wangsakara Sosok Ulama dan Pahlawan Pengusir Kompeni di Tangerang

Hari ini 10 November 2021 Bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan sebagai bagian dari mengenang jasa para pahlawan untuk diteladani semangat perjuanganya dalam berjuang membebaskan bangsa dan rakyat dari belenggu keterjajahan baik secara fisik maupun secara non-fisik. Tema yang diambil adalah “Pahlawanku Inspirasiku”.

Para pahlawan wajib menjadi inspirasi generasi bangsa, untuk terus berjuang dalam membangun bangsa dan banyak sekali palawan yang patut untuk dijadikan inspirasi, salah satu pahlawan yang ditetapkan sebagai pahlawan bertepatan dengan Hari Pahlawan adalah Raden Arya Wangsakara.

Dilansir dari laman news.detik.com Rabu (10/11). Raden Wangsakara merupakan tokoh dari Lengkong Tangerang yang melawan kompeni Belanda di masa Kesultanan Banten abad ke-17. Di masa itu, ia juga dikenal sebagai imam di kesultanan karena ilmu agamanya.

Arya Wangsakara juga digelari Kiyai Mas Haji Wangsaraja. Ia memiliki peran khususnya dalam peperangan Banten di era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di Batavia.

Di buku ‘Catatan Masa Lalu Banten’ karya Halwany Michrob, pada 11 Mei 1658, Banten menyatakan perang kepada kompeni yang melakukan monopoli perdagangan. Pengumuman perang disampaikan oleh sultan dengan diikuti pengerahan pasukan ke daerah perbatasan-perbatasan dekat Batavia.

Pasukan perang yang dibentuk oleh kesultanan juga diikuti oleh para pembesar salah satunya Kartiduta, Aria Wangsakara dan Demang Narapaksa. Wangsakara yang dikenal alim duduk di atas tandu bersama pasukan. Mereka lalu berangkat ke Tangerang dan baru tiba di hari ke delapan lalu membuat barak di Tangerang dan Angke sebagai pusat pertahanan.

Pengerahan pasukan itu mendapat reaksi dari Belanda dengan mengumpulkan pasukan tentara dari berbagai daerah seperti Ternate, Bali, Bandan hingga Ambon. Pasukan ini juga ditempatkan di Angke dan saling berhadap-hadapan dengan pasukan Banten.

Di Angke itu, masing-masing pasukan awalnya hanya menahan diri meski dekat dan saling berhadap-hadapan. Baru pada hari ke delapan pertempuran keduanya pecah. Wangsakara di situ tulisnya memimpin doa agar pasukan Banten memenangkan perang dan menghancurkan kompeni.

“Setelah Haji Wangsaraja bedoa mohon perlindungan Allah untuk menghancurkan penindas, berangkatlah pasukan ke medan laga. Sepanjang hari pertempuran berlangsung hebat tanpa henti-hentinya,” tulis Halwani sebagaimana dikutip detikcom, Rabu (10/11/2021).

Di buku ‘Aria Wangsakara Tangerang, Imam Kesultanan Banten, Ulama Pejuang Anti Kolonialisme 1615-1681’ yang ditulis Mufti Ali, kedua pasukan ini tulisnya hanya dipisahkan kali Cisadane dan memang tidak memulai peperangan selama 7 hari pertama. Baru di hari kedelapan terjadi pertempuran hingga malam.

“Sengitnya pertempuran dilukiskan dengan jelas di Sajarah Banten. Gempar orang yang ada di dalam kota, suara tambur dari Meriam, bersahutan dengan ringkikan kuda, derit kereta kuda besar dan kecil, diejek yang tertinggal, kuda-kuda dipacu kencang, kilatan cahaya senapan, pedang tombak, dan peluru,” tulisnya.

Setelah perang sehari, kedua pasukan kemudian jeda selama tiga hari. Pasukan Banten kemudian sepakat menggunakan strategi perang dadali dengan menyebar pasukan mengelilingi daerah musuh. Ada yang ke arah timur mengelilingi Jakarta bahkan ada yang bertugas membakar perkebunan.

Strategi ini rupanya berhasil dan pasukan Banten dapat merebut beberapa benteng pertahanan milik Belanda. Ada yang menguasai benteng belanda di Sudimara, hingga ada yang bisa menerobos ke timur Ciangke.

Pertempuran itu berakhir begitu ada perjanjian damai pada Juli 1659. Salah satu perjanjian itu menyepakati batas wilayah kekuasaan antara Kesultanan Banten dan kompeni Belanda yang menguasai Batavia.

“Dalam salah satu pasal dari sepuluh pasal dalam perjanjian damai yang ditandatangani pada 10 Juli 1659 tersebut disebutkan bahwa kedua belah pihak bersepakat untuk menentukan batas wilayah Banten dan Batavia dengan tapal batas Sungai Cisadane sejak dari muara hingga daerah pegunungan sampai Ange-Tangerang yang jatuh ke tangan kompeni,” tulisnya.

Selain perang melawan Belanda, masa Sultan Ageng Tirtayasa juga berhasil menguasai Sumedang dari hegemoni Mataram dan VOC. Sultan oleh Mufti disebut memberikan ucapan ke Aria Wangsakara yang notabenenya dari sana dan mengatakan bahwa daerah itu telah kembali ke kekuasaan Banten.

ISLAM KAFFAH

KH. Ghazali Ahmadi: Pendidik Umat Yang Tidak Kenal Lelah

Bagi masyarakat Kangean, Kiai Ghazali tidak sekadar dikenal sebagai seorang kiai, ulama, pendidik, intelektual dan tokoh masyarakat. Tetapi juga dikenal sebagai sosok yang sederhana, santun, toleran dan egaliter sekaligus panutan/teladan bagi masyarakat. Sebab dalam kesehariannya, Kiai Ghazali tidak menampakkan sifat “ketokohannya” melainkan menunjukkan kebiasaan beliau, yakni gemar bekerja, membantu masyarakat, membersihkan halaman rumahnya hingga ruas jalan, dan lain-lain.

Meskipun demikian, kapasitas serta kepakarannya di bidang ilmu agama tidak ada seorang pun yang meragukannya. Dari saking “alimnya” di bidang ilmu agama, Kiai Ghazali menjadi rujukan utama bagi masyarakat Kangean tak terkecuali para da’i, pejabat dan lain-lain. Terbukti, dalem (rumah) beliau tak pernah sepi didatangi para tamu, mulai dari tamu kelas papan atas hingga akar rumput (masyarakat kelas bawah) dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Yang menarik dari Kiai Ghazali dalam mempelajari ilmu, beliau tidak sekadar mendalami ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum, seperti; ilmu politik, pemikiran Islam kontemporer, sejarah Indonesia, kajian orientalis, dan lain sebagainya. Maka tidaklah berlebihan, jika Kiai Ghazali dijuluki sebagai “raksasa genius” dari Pulau Kangean. Bahkan lebih dari itu, beliau adalah seorang filosof dan intelektual Islam kontemporer.

Selain itu, Kiai Ghazali juga termasuk ulama yang produktif dalam menghasilkan karya. Di antara karya yang lahir dari jari-jemari beliau, kurang lebih 10 kitab. Salah satunya adalah; Sabilul Jannah, kitab fiqih ibadah praktis dan mudah untuk dipahami. Menariknya, kitab ini ditulis berbentuk Arab pegon meskipun bahasanya menggunakan bahasa Madura. Tentu, tujuannya tidak lain dan tidak bukan; untuk mempermudah bagi para pemula yang hendak belajar kitab kuning, khususnya masalah ibadah. Dalam kolofonnya, kitab ini dianggit pada waktu Kiai Ghazali berada di Pondok Pesantren Sukorejo, Situbondo bersanding dengan karya K.H.R. As’ad Syamsul Arifin, bertajuk Isra’ Mi’raj.

Sebagai seorang yang alim khususnya di bidang ilmu agama, tentu Kiai Ghazali memahami betul bahwa ilmu yang dimilikinya bukan sekadar untuk pribadinya (tidak disebarkan). Tetapi, bagaimana bermanfaat terhadap orang lain. Karena, hakikat dari ilmu sendiri adalah untuk diamalkan dan disebar-luaskan kepada seluruh umat manusia.

Pun dalam menyebarkan ilmu (memberikan pendidikan) kepada masyarakat, tentu memerlukan suatu metode atau strategi yang tepat agar tujuan yang dikehendaki bisa tercapai. Begitu pula dengan Kiai Ghazali, beliau mencoba merumuskan metode yang layak digunakan sebagai strategi untuk menyebarkan ilmu disesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah; ceramah (Bil Lisan) dan keteladanan atau praktik (Bil Hal).

Dengan Bil Lisan, Kiai Ghazali memberikan pengajian kitab kuning (karya-karya ulama klasik) terhadap masyarakat. Di antara kitab yang diajarkan adalah; Safinatu an-Najah, Sulamu al-Taufik, Syarah al-Hikam, dan lain sebagainya. Selain melalui pengajian, beliau juga menempuh jalur “ceramah” dalam menyebarkan ilmu.

Yang tak kala menariknya dalam menyebarkan ilmu, Kiai Ghazali tidak melulu sekadar menempuh jalur “ceramah” dan “pengajian kitab kuning”. Tetapi, beliau juga memberikan keteladanan atau praktik konkret (Bil Hal) kepada masyarakat. Bahkan, Kiai Ghazali mengaksentuasikan praktik daripada ucapan. Sebab, menurut beliau, praktik lebih efektif dan mudah diterima ketimbang ucapan. Apalagi, objeknya masyarakat Kangean yang notabene masyarakatnya adalah pekerja-keras.

Namun, dalam menyebarkan ilmu tentu seseorang akan menemui pelbagai rintangan, ancaman dan cacian dari masyarakat begitu-pun dengan Kiai Ghazali. Bagi beliau, rintangan, ancaman dan cacian tersebut sudah menjadi “makan setiap harinya”. Bukan sedakar fisik melainkan juga psikis dan bahkan tak jarang beliau diserang melalui ilmu gaib. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dalam mendakwakan agama Islam kepada Masyarakat Arab.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menggoyahkan sedikit-pun girah Kiai Ghazali untuk menyebarkan ilmu. Karena, beliau memahami betul bahwa; mendidik umat bukanlah sesuatu hal yang mudah; tetapi memerlukan keteguhan, kesabaran, pengorbanan, dan ketabahan dengan disertai konsistensi yang kuat dalam diri seseorang.

Kegigihan yang kuat dengan ditopang sifat kesabaran dan ketabahannya, lambat laun masyarakat Kangean sudah mulai menerima kehadiran Kiai Ghazali. Alhasil, masyarakat yang awalnya ‘jahiliyah’ berubah menjadi masyarakat yang beradab, berakhlak serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan bahkan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya hingga saat ini.

ISLAM KAFFAH