Ia tertunduk menangis. Air matanya tiada henti. Bathinnya terus dipenuhi kegelisahan. Gelisah atas nasibnya. Di mana harapan tercurah kepada Rabbnya. Ungkapannya tak pernah berhenti. Ia selalu menanyakan hakekat dirinya. Masih adakah maghfirah? Masih adakah kasih sayang? Masih adakah tempat yang layak bagi dirinya di akhirat nanti? Masih adakah kemuliaan yang akan menyertainya nanti?
Uwais al-Qarni adalah tokoh para ahli ibadah. Ia adalah pemimpin para ahli zuhud. Hidupnya hanya disibukkan dengan ibadah. Perhatiannya hanya tercurah kepada Khaliqnya. Uwais beruntung dapat bertemu dengan al-Faruq, Umar Ibn Khaththab. Bahkan, suatu ketika Umar meminta agar didoakan oleh Uwais. “Apakah orang sepertiku berhak memohonkan ampunan orang semisal dirimu, wahai Amirul Mu’minin?”, ucap Uwais. “Sekarang, mohonkanlah ampunan untukku”, sambut Umar.
Di tengah terik padang pasir yang terasa, Uwais pergi ke Kufah. “Engkau hendak ke mana?”, tanya Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu. “Aku hendak ke Kufah”, jawab Uwais. “Tidakkah aku terlebih dahulu menulis surat kepada gubernur Kufah tentang dirimu”, sela Umar. “Aku lebih senang berada di tengah-tengah rakyat jelata”, tegas Uwais.
Lelaki shaleh itu menempuh perjalanan panjang ke Kufah. Di tengah panasnya gurun pasir. Tanpa ditemani siapapun. Kecuali seekor unta. Perjalanan panjang. Menambah kuat hatinya. Menepiskan semua kecintaan kepada dunia. Di tengah-tengah padang pasir, yang sangat luas, dan terpaan angin yang keras, menyebabkan ia menjadi orang sangat bertawakal. Sampailah di Kufah. Sebuah kota yang sejuk dengan lebatnya tanaman kurma. Di sepanjang mata memandang, di sela-selanya hanya melihat pemandangan pohon kurma, yang lebat. Sungguh indah.
Hari demi hari yang indah. Ia menjalani kehidupan bersama-sama dengan rakyat di sekitarnya. Ia mengajar dan mendidik orang di sekitar Kufah. Nasihat-nasihatnya mendapatkan perhatian. Ucapannya lembut, penuh kejujuran dan keikhlasan. Di tengah majelisnya itu ada seorang yang bernama Asir bin Jabir. Ia sangat tersentuh dengan ucapan Uwais, sehingga ia sangat mencintainya. Dan, Asir selalu hadhir setiap majelis yang dihadiri oleh Uwais rahimahullah.
Suatu ketika Uwais tak nampak. Orang-orang yang ada di majelis itu menjadi bertanya-tanya. Asir ikut gelisah. Di mana Uwais hari itu tak hadhir. Lalu, ia menanyakan kepada orang-orang yang ada di majelis itu. “Tahukah anda laki-laki yang suka ceramah?, tanya Asir. Kemudian, yang ditanya menjawab: “Ya. Aku tahu. Dia adalah Uwais al-Qarni”, jawab orang itu. “Engkau tahu rumahnya?”, tanya Asir. “Ya”, jawab orang itu. “Kalau begitu aku antarkan ke rumah Uwais”, tambah Asir kepada mereka. Maka, Asir disertai orang-orang yang ada di majelis itu, bergegas menuju rumah Uwais.
Di saat mereka datang. Uwais menyambut mereka. Lelaki shaleh itu keluar dari rumahnya dan menyambut para tamu. “Wahai saudaraku! Mengapa engkau tidak datang ke majelis kita?”, tanya Asir dan orang-orang itu. “Aku tidak ada baju”, jawab Uwais. “Kalau begitu, ambillah pakaian ini!”, ujar Asir. “Jangan! Nanti mereka mencemoohku”, jawab Uwais. Memang, orang yang tidak tahu, suka menghina dan mencelanya. Namun, Uwais keluar dengan pakaian itu.
Orang-orang yang melihat Uwais memakai pakaian itu, berkata: “Siapakah orang yang bisa kamu tipu itu!”. Mendengar ucapan itu, Uwais mendatangi Asir seraya berkata: “Benar kan kataku!”, ujar Uwais. Menyaksikan peristiwa itu, Asir marah kepada orang-orang itu. Di tenggah kemarahan itu Asir berkata: “Apakah yang kalian inginkan dari pria ini. Kalian telah menghinanya! Seorang laki-laki yang kadang punya pakaian, dan kadang tidak punya pakaian”, cetus Asir. Begitulah orang yang dihina itu, tak lain, adalah Uwais, yang ahli zuhud, dan pemimpin para ahli ibadah, bahkan Umar radhillahu ‘anhu meminta didoakannya.
Kala sendirian, Uwais al-Qarni rahimahullah terus beribadah kepada Allah Ta’ala. Sehingga, memperlihatkan suatu keajaiban. Ibadahnya sangat kuat dan khusyu’, tunduk dan ikhlas. Manakala sore datang menjelang malam, Uwais bin Amir al–Qarni berkata: “Ini adalah malam ruku’ku”. Ia pun lalu ruku’ sampai subuh. Pada malam yang lain, ia berkata: “Ini adalah malam untuk sujudku”. Ia pun lalu sujud sampai subuh. Bila petang datang Uwais rahimahullah menyedekahkan makanan, pakaian, dan berkata: “Ya Allah. Barangsiapa yang mati karena kelaparan, janganlah Engkau menyiksaku karenanya. Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak memiliki pakaian, janganlah Engkau menghukum aku karenanya”, ungkap Uwais.
Kemurahan Uwais bukanlah karena ia kaya atau banyak memiliki harta, melainkan kemurahan orang yang miskin. Sungguh, suatu kemurahan yang indah. Kemuruhan yang tinggi, dari seorang ahli zuhud, yaitu Uwais al-Qarni. Dan, kezuhudan itu bertingkat-tingkat. Al-Qamah bin Martsad, berkata: “Kezuhudan itu berakhir sampai delapan (orang). Di antaranya adalah Uwais al-Qarni”, ujar Al-Qamah.
Uwais telah menthalak dunia dengan thalak yang tidak dapat ruju kembali.Uwais rahimahullah adalah seorang imam dalam zuhud, imam dalam wara’, imam dalam ibadah, imam dalam hikmah, dan imam dalam delapan ketaqwaan. Ia mencapai derajad yang luhur dengan ilmu dan amalnya.
Kezuhudannya dan kewara’an sang imam ini sampai membuatnya tidak pernah segan mengambil makanan dari tempat sampah, lalu ia membersihkannya, sebagian dimakan atau disedekahkannya. Apabila, ia mendatangi tempat sampah, lalu anjing menggonggong, ia berkata: “Makanlah yang ada didekatmu dan aku akan menyantap yang ada didepanku! Jika aku berhasil melintasi jembatan ‘shirat’ (di hari kiamat), berarti aku lebih baik darimu. Sebaliknya, manakala aku gagal melaluinya, engkau lebih baik dari diriku”, gumam Uwais.
Uwais sebagai hamba tetap gelisah. Menangis. Tertunduk dihadapan Rabbnya. Takut tidak mendapat tempat yang layak. Takut tidak mendapat manghfirah-Nya. Takut tidak dapat menemui Rabbnya dengan amal shaleh dan dihinakan-Nya. Padahal, Uwais seorang ahli ibadah, imam para orang-orang yang zuhud dan wara’.
Bagaimana orang-orang yang hidupnya penuh dengan gelimang dosa. Tapi, tak pernah merasa berdosa. Bahkan terus menumpuk-numpuk perbuatan dosa, yang tak terhitung. Bagaimana mereka ketika dihadapan Rabbnya kelak?
Wallahu ‘alam.