Saya Gak Takut Covid, Hanya Takut pada Allah, Benarkah Pernyataan Itu?

Tepat dua hari lalu saya telah menyelesaikan isolasi mandiri di pesantren setelah sebelas hari sebelumnya dinyatakan positif virus Covid-19. Sebenarnya, saya adalah tipe orang yang sangat jarang sakit. Bahkan, saya tidak ingat entah berapa tahun lalu terakhir merasakan sakit. Teman-teman sampai punya candaan jangan-jangan saya ini cucu Fir’aun yang terkenal tak pernah sakit. Hanya takut pada Allah, jangan takut pada covid-19.

Di seberang tempat saya berbaring, terdengar suara ustadz kondang dari salah satu smartphone santri yang bilang begitu, hanya takut pada Allah sajalah, jangan takut sama Covid-19. Ustadz kondang tersebut tengah terengah-engah menyampaikan pemikirannya itu dengan nada khas sedikit berapi-api.

Jujur saja, selama menjalani isolasi mandiri saya merasakan sakit luar biasa. Padahal, saya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Terbayang sudah, bagaimana rasa sakit mereka yang sebelum terkena Covid telah tercatat memiliki riwayat penyakit berat.

Saya hanya tersenyum mendengar pendapat ustadz tersebut. Pikiran saya tiba-tiba entah mengapa menolak. Padahal, seperti yang pembaca pikirkan, pendapat ustadz tersebut sangat dapat diterima. Kemudian saya teringat nasehat Al-Imam al-Syafi’i bahwa penerimaan akal pikiran menjadi kunci.

إذا ذكرت لكم دليلا أو برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبله لأن العقل مضطر لقبول الحق.

Jika aku menyampaikan argumenku kepada kalian lantas akal pikiran kalian menolak, jangan kalian terima karena akal menjadi kunci niscaya penerimaan kebenaran”.

Lalu, apa sebenarnya alasan saya menolak pemikiran ustadz kondang tadi? Semua berawal dari diskusi dengan sesama teman pondok sekaligus guru pribadi sesama mahasiswa jurusan tafsir. Unik memang, sepertinya hanya di pondok pesantren ada seseorang yang mengangkat teman seangkatannya sendiri sebagai mahaguru pribadi.

Dia memulai diskusi dengan menceritakan hasil bacaannya dari buku terjemahan The Message of The Quran karya Muhammad Asad. Teman sekaligus guru saya ini berujar bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan tidak akan merusak suatu kelompok masyarakat hanya karena dzalim dengan catatan masyarakat tadi berbuat kebaikan terhadap sesama.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ.

Karena, Pemeliharamu tidak akan pernah membinasakan suatu masyarakat karena [kepercayaan] zalim [semata], selama penduduknya berbuat kebajikan [satu sama lain]. (Hud [11] : 117)

Dzalim pada ayat ini biasa diartikan oleh kebanyakan mufasir klasik sebagai kemusyrikan. Akan tetapi Muhammad Asad berpendapat agak unik. Dia menyatakan bahwa dzalim di sini tidak hanya musyrik, melainkan juga perilaku buruk terhadap sesama manusia.

Untuk menyokong argumennya, Asad mengutip pendapat mufasir klasik lain daripada yang lain. Mufasir yang dikutip oleh Asad adalah al-Razy pemilik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib. Setelah berdiskusi, saya mengecek pendapat al-Razy yang dikutip Asad. Benar saja, saya mengangguk takjub atas apa yang disampaikan oleh al-Razy.

والمَعْنى أنَّهُ تَعالى لا يُهْلِكُ أهْلَ القُرى بِمُجَرَّدِ كَوْنِهِمْ مُشْرِكِينَ إذا كانُوا مُصْلِحِينَ في المُعامَلاتِ فِيما بَيْنَهم، والحاصِلُ أنَّ عَذابَ الِاسْتِئْصالِ لا يَنْزِلُ لِأجْلِ كَوْنِ القَوْمِ مُعْتَقِدِينَ لِلشِّرْكِ والكُفْرِ، بَلْ إنَّما يَنْزِلُ ذَلِكَ العَذابُ إذا أساءُوا في المُعامَلاتِ

Ayat tadi bermakna bahwa Allah tidak akan menghancurkan masyarakat “hanya” karena musyrik dengan catatan mereka berbuat baik terhadap sesama (manusia dan alam). Karenanya, sungguh adzab Allah yang membinasakan tidak akan turun hanya karena masyarakatnya berkeyakinan musyrik dan kafir. Malah, Allah menurunkan adzab tadi disebabkan jika suatu masyarakat berbuat buruk dalam bergaul terhadap manusia lain dan alam (mu’amalat).”

Menurut saya, pendapat al-Razy ini sangat logis dan masuk akal. Bahwa meskipun -mohon maaf-  suatu masyarakat tidak takut kepada Allah (musyrik, kafir) akan tetapi berbuat ishlah kebaikan terhadap sesama, Allah tidak akan membinasakannya.

Kita bisa berkaca pada peradaban Eropa yang tidak menakuti Allah karena kebanyakan dari mereka non-muslim akan tetapi menakuti Covid karena mereka sadar bahwa Covid akan mengacaukan kondisi ekonomi, sosial mereka. Lalu mereka berbahu-bahu mulai dari pemerintahan sampai masyarakat kelas bawah untuk menangani virus ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi canggih menciptakan vaksin.

Hasilnya? Apakah Allah mengadzab mereka karena tidak beriman? Yang ada adalah karena penanganan dari pemerintah maksimal lalu berefek positif kepada masyarakat, sekarang mereka sudah bisa memadati stadion sepak bola dan berkurumun hanya untuk merayakan tim nasional mereka sukses di turnamen Euro. Turnamen sepak bola empat tahunan di Eropa.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakatnya kesulitan berkerumun padahal tujuannya sangat penting, untuk beribadah. Ironis memang, di saat stadion sepak bola mulai padat, Masjidil Haram tempat Ka’bah berada masih harus kosong melompong. Karena untungnya, pemerintah Saudi masih sadar diri bahwa penanganan virus negara-negara mayoritas muslim masih kalah jauh dengan penanganan di Eropa.

Ini akibat, secara mu’amalah atau hubungan antara sesama manusia dalam konteks penanganan Covid di negara muslim sangat rendah jika dibandingkan dengan di wilayah Eropa. Padahal, hal semacam ini sudah sangat jelas terang benderang dalam al-Qur’an kitab suci yang katanya menjadi pedoman hidup masyarakat muslim. Anehnya, cahaya al-Qur’an lebih terang di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Al-Razy menambahkan, sebab ayat ini para ahli fikih klasik mewanti-wanti dengan ungkapan bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu lebih ketat dibanding pergaulan kepada Allah.

 قالَ الفُقَهاءُ إنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعالى مَبْناها عَلى المُسامَحَةِ والمُساهَلَةِ، وحُقُوقَ العِبادِ مَبْناها عَلى الضِّيقِ والشُّحِّ.

 Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH