Salah Satu Gerakan Sholat ini Terbukti Menjadi Penangkal Covid-19

Wabah covid 19 yang semakin meluas menyebabkan para dokter dan ahli kesehatan kewalahan dalam menangani pasien. Berbagai cara pun mereka teliti untuk mengurangi pertumbuhan angka positif Corona. Di antara cara itu adalah penanganan terhadap kegagalan pernafasan yang menjadi salah satu ciri-ciri covid-19. Penanganan tersebut bisa dilakukan memposisikan tubuh seperti sedang sujud.

Bagi seorang muslim, sujud adalah posisi berlutut atau membungkuk dengan penuh penghayatan di hadapan Sang Pencipta. Rasullah bersabda: “Aku diperintah (oleh Allah) bahwa aku sujud di atas tujuh anggota; di atas dahi dan diisyarat dengan tangannya di atas hidungnya, dan dua tangan dan dua lutut dan perut-perut anak jari dua kaki.” (HR.Muttafaqun Alaih).

Posisi sujud adalah saat yang paling dekat dengan Allah Ta’ala, gerakannya sebagai bukti pengabdian, menyatakan kehinaan manusia di kehadapan-Nya, orang yang paling mulia adalah orang yang paling suka berlama-lama dalam sujud, memurnikan penyembahan hanya kepada Allah, memohon kepada-Nya di saat yang mustajab.

Para ahli telah meneliti dan menemukan manfaat besar dari posisi sujud. Sebuah posisi yang mirip dengan gerakan yoga, yakni child’s pose. Dalam posisi tersebut tubuh menungging dengan meletakkan kedua siku di depan kepala serta menempatkan lutut, ujung kaki, dan dahi pada lantai.ketika di posisi tersebut akan terjadi pengiriman oksigen ke bagian bawah paru-paru. Covid-19 akan menyerang ke bagian bawah paru-paru, membentuk cairan tebal yang akan memblokir paru-paru dan menyebabkan lemas serta berujung pada kegagalan pernafasan.para ahli telah membuktikan bahwa cara terbaik untuk mengirim oksigen ke paru-paru adalah dengan posisi tengkurap (sujud).

Dan ketika posisi tadi bisa ditambah dengan berdehem (batuk-batuk) pagar lendir tebal tadi bisa segera mencair, berpindah dan tersaring di paru-paru. Cara ini di dalam ilmu kedokteran disebut dengan teknik proning. Tetapi, tehnik ini bukanlah solusi untuk menyembuhkan covid-19 secara total. Melainkan hanya sebagai langkah yang dilakukan tim medis untuk menyelamatkan kegagalan pernapasan pada pasien berciri-ciri atau bahkan positif Covid-19.

Namun meskipun kegiatan sujud itu merupakan hal kecil, jangan disepelekan begitu saja. Karena pada kenyataannya banyak sekali manfaat yang terkandung di dalamnya.kitapun sudah sepatutnya untuk menjadikan posisi itu sebagai kebiasaan. Dan posisi itu pun sebenarnya sudah kita terapkan setiap hari, bahkan beberapa kali dalam sehari. Yakni pada saat kita shalat. Ketika kita bisa berada pada posisi sujud yang sempurna, maka kita juga telah mempraktekkan teknik proning dengan sempurna. Sehingga, secara tidak langsung kita telah ikut membantu para dokter, ahli kesehatan, dan tim medis dalam memperkecil angka positif covid-19 di dunia.

ISLAM KAFFAH

Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Ajaran Islam yang paripurna telah mengakomodir seluruh lini kehidupan untuk menjadi pedoman dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tidak terkecuali dengan kondisi umat manusia dewasa ini yang sedang dihadapkan dengan sebuah musibah besar yang bernama Covid-19.

Sudah satu tahun lebih pandemi ini membersamai kehidupan manusia. Wabah yang kemudian menjelma menjadi musibah yang sangat berat bagi sebagian besar manusia. Dua aspek pokok kehidupan yang paling terkena imbas covid-19 adalah kesehatan dan perekonomian. Seluruh dunia saat ini fokus untuk memperbaiki kondisi kesehatan dengan melakukan berbagai ikhtiar agar terhindar dari virus serta melakukan berbagai upaya agar kondisi perekonomian kembali stabil.

Sebab, kesehatan dan perekonomian bisa menjadi washilah menuju kematian. Orang yang tidak menjaga kesehatan dan orang yang tidak mendapatkan jalan untuk bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan ekonomi masa pandemi ini juga rentan terhadap kematian baik yang disebabkan oleh penyakit maupun akibat kelaparan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 155)

Dalam tafsir As-Sa’di dijelaskan bahwa musibah/cobaan telah menjadi keharusan untuk ditimpakan kepada manusia untuk diuji dan memperjelas beda antara orang-orang yang benar dan orang yang berdusta serta antara orang yang sabar dan orang kufur.

Apabila kita telisik lebih rinci bentuk-bentuk musibah tersebut. Maka dapat kita simpulkan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi ujian bagi manusia, yaitu: ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, serta kekurangan buah-buahan. Berbagai ujian tersebut saat ini sedang kita hadapi bersama. Bagaimana cara kita menyikapi berbagai cobaan itu kemudian yang akan menjadi ukuran kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala.

Ujian Ketakutan dan Kematian

Banyak informasi yang kita dengar tentang perkembangan Covid-19 melalui berbagai sumber media. Umumnya kita ketahui bahwa varian virus yang bermutasi semakin cepat dan lebih menular. Maka berbagai perilaku manusia pun ikut berubah menyesuaikan dengan dinamisnya perkembangan virus mulai dari pengetatan protokol kesehatan, pembatasan kegiatan masyarakat, hingga penggunaan double mask yang kini menjadi tren.

Mari sejenak kita renungkan, bukankah kondisi demikian menjadi bukti bahwa manusia saat ini sedang dalam ketakutan? Apakah yang ditakuti sebenarnya?

Tentu saja, kematian. Kekurangan jiwa pada ayat di atas juga dimaknai sebagai hilangnya jutaan nyawa akibat dari Covid-19. Upaya dilakukan oleh manusia agar terhindar dari serangan virus yang mematikan itu merupakan hal yang wajar dan memang kita dianjurkan untuk melakukannya. Namun, tentu saja jika upaya yang dilakukan dengan niat untuk menghindar dari kematian adalah hal yang keliru. Sebab kematian merupakan sesuatu yang pasti. Allah Ta’ala telah menegaskan tentang kematian dalam firman-Nya,

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa : 78)

Artinya bahwa dalam kondisi apapun tetap saja kematian menjadi hal yang niscaya bagi umat manusia. Namun, segala ikhtiar untuk menggapai suatu akhir kehidupan yang husnul khotimah sudah barang tentu menjadi inti doa orang-orang yang beriman.

Meletakkan rasa takut di kala musibah yang sedang menimpa semestinya dikuatkan dengan keyakinan bahwa Allah sedang memberikan ujian kepada manusia melalui pandemi ini. Ketakutan yang kita rasakan kiranya merupakan manifestasi dari kekhawatiran akan pahala amal ibadah kita yang masih kurang, sedangkan dosa dan kemaksiatan kita banyak sehingga bekal untuk menghadapi kematian amatlah sedikit.

Oleh karenanya, ketakutan dan kekhawatiran terhadap pandemi kini kiranya dapat membawa kita untuk lebih dekat dengan Allah Ta’ala. Sebab, dalam keadaan yang serba kritis ini, notifikasi kematian dari orang-orang yang kita kenal semakin intens yang semestinya menggerakkan jiwa dan raga ini untuk lebih taat kepada-Nya.

Kelaparan, Kekurangan Harta dan Jiwa

Kondisi pandemi ternyata juga memberikan dampak terhadap hilangnya banyak lapangan pekerjaan. Para pekerja yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kerja serta merta mendapati perputaran roda perekonomian semakin perlahan bahkan ada yang terhenti. Ancaman kelaparan pun menjadi permasalahan baru sebab sumber-sumber ekonomi semakin sulit untuk dicari. Maka, statistik angka kemiskinan di berbagai belahan bumi pun menanjak naik yang dibarengi pula dengan semakin bertambahnya masyarakat miskin sebab pandemi.

Oleh karenanya, tidak jarang kita melihat bendera putih di beberapa rumah sengaja diletakkan di depan halaman pertanda bahwa ahlul bait di dalamnya sedang mengalami permasalahan serius yang berkaitan dengan pangan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ

Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. an-Nahl : 112)

Ayat yang agung ini sangatlah bermakna. Maha Benar Allah, bukankah sebelumnya kita merasakan aman dan tenteram?. Tetapi, tiba-tiba kita menghadapi suatu cobaan kelaparan dan ketakutan melalui musibah wabah yang mematikan yang bahkan hingga saat ini pun kita belum berada pada titik aman. Allah menegaskan alasannya, tiada lain adalah sebab kekufuran kita terhadap nikmat-nikmat Allah Taala dengan kalimat فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ .

Hikmah Mulia di Balik Musibah

Manusia memang cenderung dekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Sebagaimana janji Iblis yang senantiasa menggoda manusia hingga hari kiamat.

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS, Al-A’râf:16-17)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (HR. Ahmad (III/198); at-Tirmidzi (no. 2499); Ibnu Majah (no. 4251) dan al-Hakim (IV/244)).

Maka dengan ke-Mahamurahan-Nya, Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempatan untuk mendapatkan pahala yang besar dan ampunan yang melimpah dari-Nya. Di antara cara Allah dalam memberikan pahala dan ampunan tersebut kepada hamba-Nya adalah diberikannya ujian yang berat. Ujian tersebut pula menjadi pertanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Oleh karenanya, kesabaran dalam menghadapi setiap musibah dan ujian yang melanda merupakan ikhtiar untuk mendapatkan rida Allah. Sedangkan orang yang tidak sabar dan tidak rida terhadap ketetapan Allah dalam musibah ini, Allah pun akan murka kepadanya. Naudzubillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang rida, maka ia yang akan meraih rida Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, dihasankan oleh Syekh Al-Albani).

Ujung dari pada memahami hakikat musibah pandemi covid-19 ini tiada lain adalah kesabaran. Sabar pula yang dapat menuntun kita agar mendapatkan rida dan ampunan dari Allah Ta’ala. Oleh karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui cara bagaimana agar kita dapat mengaplikasikan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam menghadapi wabah ini.

Berkaitan dengan kesabaran, Imam al-Ghazali rahimahullah pernah berkata,

والصبر على اوجه صبر على طاعة الله وصبر على محارمه وصبر على المصيبة

Sabar terdiri dari beberapa bagian, yaitu (1) sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, (2) sabar dalam menjahui larangan-larangan Allah,  (3) sabar dalam menerima musibah. (Mukasyafatul Qulub Hlm 10).

Sabar dalam Melakukan Ketaatan kepada Allah

Umumnya pengertian terhadap sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah mengandung makna bahwa hendaklah kita melaksanakan segala perintah Allah dengan rasa sabar tanpa rasa mengeluh sedikit pun. Akan tetapi, dalam situasi pandemi seperti ini ketika sebelumnya kita sudah mulai merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah dengan melaksanakan salat lima waktu secara berjamaah di masjid, menghadiri majelis ilmu dan berbagai ibadah syar’i yang bersifat jamaah serta merta kenikmatan ibadah tersebut dengan berat hari harus kita tinggalkan demi keselamatan jiwa dari keganasan virus. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kondisi dan keadaan yang mengharuskan kita melakukannya. Sebagaimana kaidah,

درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح

Menolak sesuatu yang mendatangkan kerusakan didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.

Maka level kesabaran kita kiranya lebih ter-upgrade dengan sendirinya. Kita harus bersabar untuk tetap taat kepada Allah Ta’ala dalam kondisi apapun. Ibadah di rumah, mengikuti kajian Islam secara online serta melakukan berbagai amaliah lainnya yang lebih individualistik sesuai dengan anjuran para ulama kita hafidzahumullah.

Sabar dalam Menjahui Larangan-Larangan Allah

Begitu juga kesabaran dalam menjauhi larangan-larangan Allah mengandung makna bahwa dalam keadaan perekonomian yang cukup sulit saat ini. Celah-celah untuk berbuat dosa seperti penipuan, pencurian, perjudian dan berbagai bentuk dosa lainnya tetap saja terbuka lebar. Oleh karenanya, kita dituntut untuk menahan diri dan bersabar tidak melakukan kekeliruan itu semua. Masih banyak cara lain yang halal dan lebih berkah untuk mencari nafkah. Kita harus yakin bahwa kasih sayang Allah Ta’ala terhadap orang yang menjaga kesuciannya amatlah besar, bagaimana mungkin pula Allah menelantarkannya?!

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Sabar dalam Menerima Musibah

Adapun kesabaran dalam menghadapi musibah dapat kita wujudkan dengan memahami dengan baik bahwa di balik wabah yang Allah timpakan ini, terdapat pahala yang besar dan ampunan yang luas dari Allah kepada kita. Allah Ta’ala memberikan kita kesempatan untuk mendapatkan pahala dan ampunan tersebut tanpa batas. Di sisi lain, dengan memahami bahwa notifikasi kematian dalam pandemi ini adalah hal yang nyata. Kita pun wajib bersyukur karena dengannya akan mendorong diri kita untuk senantiasa instrospeksi dalam meningkatkan perbekalan menuju Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kepada kita kekuatan sabar, baik dalam ketaatan terhadap perintah-perintah-Nya, maupun dalam menjauhi larangan-larangan-Nya, serta kesabaran dalam menghadapi musibah, khususnya pandemi covid-19 yang sedang melanda. Semoga dengan seiring berjalannya waktu, kita semakin dekat dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dengannya Allah Ta’ala dengan ke-Mahamurahan-Nya mengakhiri ujian musibah ini. Amin.

Sumber: https://muslim.or.id/67693-pandemi-kepastian-janji-allah-dan-ujian-bagi-orang-orang-sabar.html

Menaati Pemerintah pada Masa Wabah, Apa Salahnya!?

Harus diakui bahwa sampai detik ini, masih banyak umat Islam, khususnya di Indonesia, yang sama sekali tidak mau sungguh-sungguh menaati pemerintah, khususnya kaitannya dengan kebijakan untuk memberantas wabah Covid-19. Hal ini bisa dilihat dari pendapat yang mencuat di berbagai kesempatan, termasuk yang ramai di media sosial.

Banyak penceramah yang tidak percaya Covid-19 itu, ada juga yang dengan garang menyebutkan bahwa Covid-19 tak perlu ditakuti sampai menuduh kebijakan pemerintah terkait penanganan Covid-19 sebagai upaya untuk membendung dakwah Islam lantaran di beberapa wilayah, masjid ditutup.

Akibat dari sikap dan pandangan itu, banyak warga yang nekat tetap menggelar shalat berjamaah tanpa menerapkan prokes ketat. Di luar ritual keagamaan, kita juga menyaksikan betapa banyaknya masyarakat yang abai terhadap himabaun pemerintah untuk tetap di rumah, tidak berkerumun, memakai masker dan lain sejenisnya.

Artinya, banyak masyarakat yang abai terhadap aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Mereka lebih mengedepankan kesenangan pribadi. Padahal, sikapnya itu sejatinya membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Dalam situasi seperti ini, seharusnya tokoh agama mengkampanyekan kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga keselamatan jiwa bersama, bukan malah memprovokasi dan mencela pemerintah.

Sebut saja aturan PPKM Darurat, sebagai kebijakan teranyar dari pemerintah dalam menyikapi lonjakan gelombang Covid-19 kedua ini, apakah di dalamnya ada perintah untuk bermaksiat? Tentu saja tidak ada. Yang ada justru, pemerintah sedang menjalankan tugas dan kewajibannya, yakni menjaga jiwa rakyatnya.

Dalil Wajib Menaati Pemerintah untuk Kemashlahatan

Berbicara tentang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, harus dimaknai secara luas pula. Misalnya, bersungguh-sungguh menaati pemerintah pada masa wabah. Yang demikian ini bukan berarti sikap dan pilihan yang buruk. Justru menaati pemerintah dalam hal ma’ruf (yang baik) termasuk ibadah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-Nisa: 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ulama otoritatif seperti Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/345) menyebutkan bahwa ayat di atas mencakup setiap pihak yang menjadi ulil amri, baik pemerintah maupun ulama. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap anknya, Nabi Ismail. Beliau lebih mengedepankan perintah Allah ketimbang egonya sendiri.

Begitu juga dalam konteks wabah yang masih membuncah seperti saat ini, menaati pemerintah dalam perkara ma’ruf merupakan prinsip utama dalam ajaran Islam. Untuk itu, ketika seorang Muslim menaati pemerintah, niatkan dengan penuh ikhlas dan sungguh-sungguh sebagai ibadah.

Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa tidak taat kepada pemerintah termasuk perbuatan maksiat. Rasulullah bersabda:

Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah. Barang siapa memaksiatiku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa menaati pemimpin, sungguh dia telah menaatiku. Dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpin, sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).

Ulama kenamaan dan reputasinya tak diragukan lagi seperti Ibnu Hajar Asqalani menjelaskan bahwa hadis tersebut merupakan salah satu dalil wajibnya menaati pemimpin atau pemerintah (penguasa), dengan syarat/catatan dalam perkara yang bukan maksiat. Ibnu Hajar juga menjelaskan lebih lanjut bahwa diantara hikmahnya adalah terjaganya persatuan kaum muslimin. Dan jika dikontekstualisasikan, maka hikmahnya adalah untuk menjaga jiwa umat.

ISLAM KAFFAH

Nasihat Kematian di Tengah Pandemi

INNALILLAHI WA ILAIHI RAJIUN. Sebulan terakhir ini seringkali kita mendapatkan berita dukacita dari media sosial, online, televisi, dan pengumuman lewat pengeras suara di masjid atas meninggalnya seseorang. Sebenarnya ada ataupun tidak ada pandemi, bahwa kematian itu akan senantiasa ada. Berita tersebut sejatinya sebagai sebuah nasihat tentang kematian.

Kematian akan menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS al-A’raf [7]: 34).  Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun berusaha menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.

Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi ﷺ bersabda;

“Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketika Nabi ﷺ ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).

Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi ﷺ bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).

Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi ﷺ. Seperti Ka’ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.”

Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah ﷺ mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga saudara-saudara kita yang meninggal dunia, baik sebab Covid-19 maupun tidak, diampuni salah dan dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan. Amin.

*/H. Imam Nur SuharnoPengurus Korps Mubaligh Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat

HIDAYATULLAH

Saya Gak Takut Covid, Hanya Takut pada Allah, Benarkah Pernyataan Itu?

Tepat dua hari lalu saya telah menyelesaikan isolasi mandiri di pesantren setelah sebelas hari sebelumnya dinyatakan positif virus Covid-19. Sebenarnya, saya adalah tipe orang yang sangat jarang sakit. Bahkan, saya tidak ingat entah berapa tahun lalu terakhir merasakan sakit. Teman-teman sampai punya candaan jangan-jangan saya ini cucu Fir’aun yang terkenal tak pernah sakit. Hanya takut pada Allah, jangan takut pada covid-19.

Di seberang tempat saya berbaring, terdengar suara ustadz kondang dari salah satu smartphone santri yang bilang begitu, hanya takut pada Allah sajalah, jangan takut sama Covid-19. Ustadz kondang tersebut tengah terengah-engah menyampaikan pemikirannya itu dengan nada khas sedikit berapi-api.

Jujur saja, selama menjalani isolasi mandiri saya merasakan sakit luar biasa. Padahal, saya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Terbayang sudah, bagaimana rasa sakit mereka yang sebelum terkena Covid telah tercatat memiliki riwayat penyakit berat.

Saya hanya tersenyum mendengar pendapat ustadz tersebut. Pikiran saya tiba-tiba entah mengapa menolak. Padahal, seperti yang pembaca pikirkan, pendapat ustadz tersebut sangat dapat diterima. Kemudian saya teringat nasehat Al-Imam al-Syafi’i bahwa penerimaan akal pikiran menjadi kunci.

إذا ذكرت لكم دليلا أو برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبله لأن العقل مضطر لقبول الحق.

Jika aku menyampaikan argumenku kepada kalian lantas akal pikiran kalian menolak, jangan kalian terima karena akal menjadi kunci niscaya penerimaan kebenaran”.

Lalu, apa sebenarnya alasan saya menolak pemikiran ustadz kondang tadi? Semua berawal dari diskusi dengan sesama teman pondok sekaligus guru pribadi sesama mahasiswa jurusan tafsir. Unik memang, sepertinya hanya di pondok pesantren ada seseorang yang mengangkat teman seangkatannya sendiri sebagai mahaguru pribadi.

Dia memulai diskusi dengan menceritakan hasil bacaannya dari buku terjemahan The Message of The Quran karya Muhammad Asad. Teman sekaligus guru saya ini berujar bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan tidak akan merusak suatu kelompok masyarakat hanya karena dzalim dengan catatan masyarakat tadi berbuat kebaikan terhadap sesama.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ.

Karena, Pemeliharamu tidak akan pernah membinasakan suatu masyarakat karena [kepercayaan] zalim [semata], selama penduduknya berbuat kebajikan [satu sama lain]. (Hud [11] : 117)

Dzalim pada ayat ini biasa diartikan oleh kebanyakan mufasir klasik sebagai kemusyrikan. Akan tetapi Muhammad Asad berpendapat agak unik. Dia menyatakan bahwa dzalim di sini tidak hanya musyrik, melainkan juga perilaku buruk terhadap sesama manusia.

Untuk menyokong argumennya, Asad mengutip pendapat mufasir klasik lain daripada yang lain. Mufasir yang dikutip oleh Asad adalah al-Razy pemilik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib. Setelah berdiskusi, saya mengecek pendapat al-Razy yang dikutip Asad. Benar saja, saya mengangguk takjub atas apa yang disampaikan oleh al-Razy.

والمَعْنى أنَّهُ تَعالى لا يُهْلِكُ أهْلَ القُرى بِمُجَرَّدِ كَوْنِهِمْ مُشْرِكِينَ إذا كانُوا مُصْلِحِينَ في المُعامَلاتِ فِيما بَيْنَهم، والحاصِلُ أنَّ عَذابَ الِاسْتِئْصالِ لا يَنْزِلُ لِأجْلِ كَوْنِ القَوْمِ مُعْتَقِدِينَ لِلشِّرْكِ والكُفْرِ، بَلْ إنَّما يَنْزِلُ ذَلِكَ العَذابُ إذا أساءُوا في المُعامَلاتِ

Ayat tadi bermakna bahwa Allah tidak akan menghancurkan masyarakat “hanya” karena musyrik dengan catatan mereka berbuat baik terhadap sesama (manusia dan alam). Karenanya, sungguh adzab Allah yang membinasakan tidak akan turun hanya karena masyarakatnya berkeyakinan musyrik dan kafir. Malah, Allah menurunkan adzab tadi disebabkan jika suatu masyarakat berbuat buruk dalam bergaul terhadap manusia lain dan alam (mu’amalat).”

Menurut saya, pendapat al-Razy ini sangat logis dan masuk akal. Bahwa meskipun -mohon maaf-  suatu masyarakat tidak takut kepada Allah (musyrik, kafir) akan tetapi berbuat ishlah kebaikan terhadap sesama, Allah tidak akan membinasakannya.

Kita bisa berkaca pada peradaban Eropa yang tidak menakuti Allah karena kebanyakan dari mereka non-muslim akan tetapi menakuti Covid karena mereka sadar bahwa Covid akan mengacaukan kondisi ekonomi, sosial mereka. Lalu mereka berbahu-bahu mulai dari pemerintahan sampai masyarakat kelas bawah untuk menangani virus ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi canggih menciptakan vaksin.

Hasilnya? Apakah Allah mengadzab mereka karena tidak beriman? Yang ada adalah karena penanganan dari pemerintah maksimal lalu berefek positif kepada masyarakat, sekarang mereka sudah bisa memadati stadion sepak bola dan berkurumun hanya untuk merayakan tim nasional mereka sukses di turnamen Euro. Turnamen sepak bola empat tahunan di Eropa.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakatnya kesulitan berkerumun padahal tujuannya sangat penting, untuk beribadah. Ironis memang, di saat stadion sepak bola mulai padat, Masjidil Haram tempat Ka’bah berada masih harus kosong melompong. Karena untungnya, pemerintah Saudi masih sadar diri bahwa penanganan virus negara-negara mayoritas muslim masih kalah jauh dengan penanganan di Eropa.

Ini akibat, secara mu’amalah atau hubungan antara sesama manusia dalam konteks penanganan Covid di negara muslim sangat rendah jika dibandingkan dengan di wilayah Eropa. Padahal, hal semacam ini sudah sangat jelas terang benderang dalam al-Qur’an kitab suci yang katanya menjadi pedoman hidup masyarakat muslim. Anehnya, cahaya al-Qur’an lebih terang di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Al-Razy menambahkan, sebab ayat ini para ahli fikih klasik mewanti-wanti dengan ungkapan bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu lebih ketat dibanding pergaulan kepada Allah.

 قالَ الفُقَهاءُ إنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعالى مَبْناها عَلى المُسامَحَةِ والمُساهَلَةِ، وحُقُوقَ العِبادِ مَبْناها عَلى الضِّيقِ والشُّحِّ.

 Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Ini Cerita Imam Adz-Dzahabi, Masjid di Masa Silam Pernah Tutup Karena Wabah

Ada sebagian DKM atau takmir masjid memasang spanduk di pintu masuk masjidnya:

“Tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang melarang atau menghalangi, apalagi sampai mengusir orang untuk shalat di masjid kecuali setan, iblis, bukan manusia.”

Nasihat kami untuk para pengurus masjid, DKM, dan takmir:

Pertama:

Hujan deras saja termasuk uzur, boleh shalat di rumah. Padahal ke masjid tidak kena bahaya besar. Pergi ke masjid saat hujan paling hanya basah kuyup saja.

Kedua:

Sedangkan, keadaan saat ini jauh berbeda. Ini virus pak, bukan air hujan. Anda tidak terkapar virus covid di masjid, itu betul. Namun, pulang ke rumah jatuh sakit dan malah menyebarkan virus pada orang-orang rumah. Apa tidak kasihan, Pak?

Ketiga:

Tidak ada yang mengusir jamaah dari masjid, Pak. Ini hanya untuk menjaga keselamatan bersama.

Ingat, hadits ini njih …

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan yang sakit dengan yang sehat.” (HR. Bukhari, no. 5771 dan Muslim, no. 2221)

Meninggalkan shalat berjamaah itu boleh selama ada uzur sebagaimana kata Imam Syafii rahimahullah:

وَ أَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Adapun shalat berjamaah, aku tidaklah memberikan keringanan untuk meninggalkannya kecuali jika ada uzur.” (Ash-Shalah wa Hukmu Taarikihaa, hlm. 107).

Keempat:

Umat Islam saat menghadapi pandemi Covid-19 ternyata ada yang terkena sindrom “mabuk beragama”. Menganggap kesalehan ibadah hanya bisa diwujudkan dengan berjamaah di masjid dalam situasi apapun, baik itu bencana alam, perang, konflik, epidemi atau normal. Pakai kacamata kuda.

Kelima:

Imam Adz-Dzahabi (hidup dari 673 – 748 H, sekitar 700 tahun silam) menyatakan masjid pernah ditutup di masa silam karena wabah

Imam Adz-Zahabi rahimahullah menceritakan yang terjadi pada tahun 448 H,

‎وكان القحط عظيما بمصر وبالأندلس وما عهد قحط ولا وباء مثله بقرطبة حتى بقيت المساجد مغلقة بلا مصل وسمي عام الجوع الكبير

“Dahulu terjadi musim paceklik besar-besaran di Mesir dan Andalus, kemudian terjadi juga paceklik dan WABAH di Qordoba sehingga MASJID-MASJID DITUTUP dan tidak ada orang yang shalat. Tahun itu dinamakan tahun kelaparan besar.” (Siyar A’lam An-Nubala, 18:311, Penerbit Muassasah Ar-Risalah)

Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

إنَّ اللَّبِيبَ إذَا بَدَا مِنْ جِسْمِهِ مَرَضَانِ مُخْتَلِفَانِ دَاوَى الْأَخْطَرَا

“Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:54).

Kaidah yang bisa disimpulkan adalah,

ارْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

“Mengambil bahaya yang lebih ringan.”

Kaidah di atas diambil dari ayat dalam surah Al-Kahfi,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79)

Ada dua mudarat di masa pandemi yang kasus covidnya semakin melonjak dahsyat, bahkan banyak jatuh korban jiwa saat ini:

  1. Meninggalkan shalat berjamaah karena memilih shalat di rumah saat wabah.
  2. Jika keluar masjid, bisa terkena wabah covid karena wabah ini begitu samar, bisa tersebar dari orang-orang tanpa gejala (OTG).

Manakah dua mudarat yang lebih ringan dari dua hal di atas? Kami memilih yang lebih ringan adalah meninggalkan shalat berjamaah dan memilih shalat di rumah. Karena menyelamatkan nyawa itu lebih penting dan kita masih bisa beribadah di rumah. Nah, itulah yang dulu dipraktikkan di masa silam seperti disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi rahimahullah.

Lima catatan ini semoga cukup sebagai surat cinta kami kepada DKM, pengurus masjid, dan para takmir. Moga kita tidak kena sindrom “mabuk beragama”, alias ghuluw, yang berawal karena kurang memiliki ilmu yang mendalam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Muhammad Abduh Tuasikal 

Gunungkidul, 26 Dzulqa’dah 1442 H, 5 Juli 2021

Artikel Rumaysho.Com

Sumber https://rumaysho.com/28692-ini-cerita-imam-adz-dzahabi-masjid-di-masa-silam-pernah-tutup-karena-wabah.html

Melonjak Korban Meninggal Covid-19, Bolehkah Digabung dalam Satu Kuburan?

Covid-19 tampaknya belum juga usai di Indonesia. Alih-alih berangsur pulih, justru kian hari kian bertambah orang yang terjangkit virus dan meninggal dunia. Pada Jumat (2/7) kemaren tercatat rekor bertambah 25.830 orang positif Covid-19. Di sisi lain, kasus meninggal bertambah 539 orang, sehingga angka totalnya menembus 59.534 orang.

Pada sisi lain, varian varian delta Covid-19, yang proses penularnnya kian  cepat bisa jadi akan menimbulkan tsunami Covid-19. Hal itu mungkin saja akan menimbulkan korban meninggal terus bertambah. Sementara itu, ketersediaan lahan tanah pemakaman kian susut, terutama di daerah perkotaan.

Lantas akibat melonjak korban meninggal Covid-19,—menurut hukum fikih Islam—, bolehkah jenazah tersebut digabung dalam satu kuburan?

Menurut Syek Samsyuddin bin Muhammad bin Muhammad Khotib Asy Syarbini dalam kitab Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’  bahwa para ulama berbeda pendapat dalam persoalan menggabungkan jenazah dalam satu kuburan. Imam Syarkhosi menyebutkan haram. Sementara Imam Mawardi bilang hukumnya makruh. Akan tetapi para ulama mengatakan boleh menggabungka mayat dalam satu lubang kubur ketika darurat. Khatib Syarbini berkata;

.ولا يدفن اثنان في قبر واحد إلا لحاجة) أي الضرورة كما في كلام الشيخين كأن كثر الموتى وعسر إفراد كل ميت بقبر فيجمع بين الاثنين والثلاثة والاكثر في قبر بحسب الضرورة

Artinya:  Jangan dikuburkan dua mayat dalam satu kuburan, Kecuali ada hajat, artinya ada pengecualian kondisi darurat, seperti yang disampaikan oleh Syeikhoini (baca; merujuk pada Imam Rafi’i dan Imam Nawawi), seperti keadaan manakala terdapat banyak mayat, dan sulit untuk mengubur jenazah satu per satu dalam liang kubur, maka hendaknya dikumpulkan atau digabungkan—dua atau tiga mayat atau lebih—dalam satu liang kuburan, tentu dengan mempertimbangkan ukuran kondisi darurat itu.

Sementara itu, dalam Kitab Syarah Ushul I’itiqadu Ahli as Sunati lil Alkai, yang ditulis oleh Syekh Hasan Abu Asybal Az Zahiri, ketika ditanya terkait hukum menggabungkan mayat dalam satu kuburan, beliau menjawab hukumnya boleh. Hal itu pernah diperbuat oleh Nabi Muhammad dalam perang Uhud. Baginda Nabi menguburkan sahabat dalam satu liang kubur.  Ia berkata;

هل يجوز دفن أكثر من ميت في قبر واحد؟
نعم .كما هو واقع في قتلى أحد، فالنبي عليه الصلاة والسلام دفن الجماعة في قبر واحد، ومسألة أن كل ميت له قبر مسألة مستقرة، لكن إذا تعذر الأمر وكثر الموتى وقلت القبور جاز للضرورة دفن أكثر من واحد في قبر واحد، ويقدم أكثرهم قرآناً أو علماً بالسنة.والإمام الشافعي عليه رحمة الله قال: وإن ضاقت المسألة ولا بد من دفن الرجل مع المرأة أو المرأة مع الرجل فلا بأس بذلك للضرورة على أن يكون بينهما ساتر، ساتر من رمال أو تراب أو غير ذلك، مع أنه لا يخاف الفتنة والحالة هذه،

Artinya; Apakah boleh menggabungkan banyak mayat dalam satu liang kubur? (Syekh Hasan Asybal Zahiri menjawab), ya boleh. Sebagaimana pernah terjadi dalam peperangan Uhud. Maka Nabi Muhammad menanam para sahabat dalam satu liang kubur, dan masalah  bahwa setiap satu jenazah, maka hendaknya baginya satu kuburan merupakan ketetapan hukum.

Akan tetapi persoalannya apabila dalam keadaan uzur (ada kesulitan) dan ada banyak yang meninggal , dan sempit tanah lahan makam,  boleh hukumnya (menggabung mayat dalam satu kuburan), dan dikubur lebih dari satu mayat dalamsatu kuburan, dan terlebih dahulu orangyang ditanam yang banyak hafalan Qur’an dan pengetahuannya terhadap ilmu hadis.

Imam Syafi’i berkata, Dan jika masalah semakin komplek, dan mesti ditanam atau dikubur seorang laki-laki digabung dengan seorang wanita, atau seorang perempuan dengan seorang laki-laki, maka tidak mengapa memperbuat demikian. Pasalnya karena ada darurat.

Tetapi hendaknya dibuat di antara laki-laki dan perempuan itu satir (pembatas), pembatas itu dari pasir atau tanah atau selain itu. Dan juga penggabungan itu hendaknya tidak menimbulkan fitnah.

Demikian penjelasan terkait hukum penggabungan jenazah dalam pandangan hukum Islam. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Arab Saudi Umumkan Memulai Umroh dengan Kapasitas 75 Persen

Kementerian Haji dan Umrah, bekerja sama dengan pihak berwenang terkait, mulai melaksanakan tahap kedua dari dimulainya kembali umrah dan kunjungan secara bertahap, karena menerima peserta Umrah (warga dan warga) dari di dalam Kerajaan, sementara itu akan menerima jamaah pada Sholat Al-Fajr (sholat subuh), pada hari Ahad 18 Oktober 2020.

Dilansir dari Saudi Agency Press, Sabtu (18/10), tahap kedua memungkinkan memperoleh empat jenis izin, yaitu melakukan ritual umroh, melakukan sholat di dalam Al-Rawdah Al-Sharifah (area antara makam Nabi Muhammad dan mimbar), melakukan sholat di dalam Masjid Nabi Muhammad (alaihissalam). Dia) dan salam Nabi (SAW) dan para sahabatnya.

Hal ini terjadi dalam pelaksanaan arahan kerajaan untuk secara bertahap memungkinkan pelaksanaan umroh dan kunjungan menurut empat tahap, sambil mengambil tindakan pencegahan kesehatan yang diperlukan sebagai tanggapan atas aspirasi banyak Muslim di dalam Kerajaan atau di luar negeri untuk melakukan ritual umrah dan kunjungan.

Menurut rencana eksekutif yang dibuat oleh instansi pemerintah, tahap kedua dimulainya kembali umroh dan kunjungan akan menyaksikan jumlah yang lebih besar dari pada tahap pertama, dengan maksimal 15.000 umat umrah dan 40.000 jamaah per hari, sebagai warga negara dan penduduk. diperbolehkan untuk melakukan umrah sebesar 75% dari kapasitas yang diperhitungkan dengan memperhatikan tindakan pencegahan kesehatan di seluruh Masjidil Haram, dan setiap kelompok akan diberikan waktu 3 jam hanya untuk menyelesaikan ritual umrah, dan mereka juga akan diizinkan untuk sholat di Al-Rawadah Al-Sharifah, di dalam Masjid Nabi Muhammad (SAW) dan menyapa Nabi dan para sahabatnya dengan 75% dari kapasitas yang memperhitungkan tindakan pencegahan kesehatan di Al-Rawadah Al-Sharifah Masjid Nabawi.

IHRAM

Kasus Covid-19 Meningkat, Menag: Patuhi Protokol Kesehatan

Kasus covid-19 di beberapa wilayah mengalami peningkatan.

Kasus positif Covid-19 di beberapa wilayah mengalami peningkatan. Sejumlah pimpinan daerah memperketat aturan untuk mencegah penularan dan penyebaran Covid-19.

Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi mengimbau umat untuk mematuhi aturan pemerintah daerah dan dan Gugus Tugas Covid-19 dalam melaksanakan protokol kesehatan. Untuk wilayah dengan kasus Covid-19 yang tinggi atau zona merah, Menag imbau umat agar membatasi beraktivitas di luar dan melaksanakan ibadah di rumah.

“Kami imbau, umat yang tinggal di kawasan dengan kasus positif Covid-19 yang tinggi, agar sementara membatasi aktivitas di luar, serta beribadah di rumah dulu,” kata Menag melalui pesan tertulis yang diterima Republika, Jumat (11/9).

Menag juga mengajak umat agar menjadi teladan yang disiplin mematuhi protokol kesehatan. Tugas seorang hamba Tuhan adalah mewujudkan kemaslahatan bagi sesama. Karenanya, kepatuhan dan disiplin terhadap protokol kesehatan harus diyakini sebagai bagian dari wujud pelaksanaan ajaran agama.

“Teladan itu akan memberi kontribusi besar dalam menghadapi pandemi Covid-19 di negeri kita,” ujarnya.

Menag mencontohkan kepatuhan penduduk Syam terhadap pesan Gubernur Amru bin Ash saat dilanda wabah Tha’un dalam sejarah Islam. Menurut Amru bin Ash, wabah bagaikan api yang menjilat dan bisa membakar siapa saja. Karenanya, harus dijauhi hingga api itu padam. Arahan ini dipatuhi penduduk Syam hingga wabah Tha’un hilang.

“Mari, sama-sama kita patuhi arahan pemerintah daerah dan Gugus Tugas Covid-19, semoga pandemi ini segera berakhir,” jelas Menag.

Imbauan serupa juga banyak disampaikan tokoh agama. Menag menilai, mematuhi anjuran tokoh agama dan pemerintah untuk tetap di rumah serta menerapkan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 adalah bentuk kesalehan sosial sebagai umat beragama sekaligus tanggung jawab sebagai warga negara.

“Sebagai umat beragama, kita perlu mengutamakan menjaga keselamatan jiwa atau hifdzu an-nafs. Menjaga keselamatan jiwa merupakan salah satu substansi dan kewajiban utama dalam beragama,” kata Menag.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ulama Kharismatik Aceh Sembuh Covid-19, Begini Resepnya

Ulama kharismatik Aceh brbagi pengalaman sembuh dari Covid-19..

Seorang ulama karismatik di Provinsi Aceh HB (71 tahun) yang sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainoel Abidin Banda Aceh karena terinfeksi Covid-19 dinyatakan sembuh, dan kini sudah dipulangkan ke rumahnya.

Direktur RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, dr Azharuddin, di Banda Aceh, Ahad (2/8) membenarkan informasi kesembuhan ulama tersebut, dan bahkan menegaskan bahwa ulama terkemuka itu telah dipulangkan kembali bersama keluarganya di Kabupaten Bireuen.

“Iya benar sudah sembuh, pada Jumat (31/7) kemarin sore dipulangkan,” kata Azharuddin melalui Koordinator Pelayanan Tim Penyakit Infeksi Emerging (PIE) RSUDZainoel Abidin dr Novina Rahmawati.

Dia menjelaskan, ulama Aceh itu berinisial HB itu merupakan salah satu pimpinan dayah (pesantren) di kawasan Samalanga, Kabupaten Bireuen. Pasien ini dirujuk dari Bireuen ke RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, Selasa (21/7) malam.

Setelah sekitar 10 hari menjalani perawatan medis di ruang respiratory intensive care unit (RICU) rumah sakit setempat, akhirnya pasien Covid-19 ke-151 di Aceh itu dinyatakan terbebas dari virus corona. “Saat dipulangkan kondisi klinisnya membaik, baliau sudah tidak lemas lagi, dan tidak sesak nafas lagi,” katanya.

Sementara itu, ulama Aceh HB bersyukur dirinya diberi kesembuhan oleh Allah SWT, berkat doa yang tulus dari seluruh masyarakat, sehingga telah dibolehkan pulang dan melanjutkan isolasi mandiri selama 14 hari di rumahnya.

“Alhamdulillah atas izin dari Allah SWT dan doa yang tulus tidak henti-hentinya dari semua masyarakat, saya sudah dibolehkan pulang dari ruang isolasi RICU RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh,” katanya, dalam keterangan video yang direkam oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Aceh.

Dia menyebutkan bahwa wabah Covid-19 itu nyata adanya. Apa yang dirinya alami sejak hari pertama dirawat di rumah sakit bukan sebuah rekayasa.

“Gejala lemas, pusing, dan penurunan nafsu makan adalah salah satu dari gejala yang mengarahkan kepada Covid-19, pada orang diabetes seperti saya, begitulah yang dokter ahli jelaskan,” katanya.

Lebih lanjut dia menjelaskansetelah dinyatakan positif Covid-19 dirinya langsung mengikuti anjuran dokter. Hal itu merupakan sebuah wujud ikhtiar terbaik yang harus dijalani saat kita dinyatakan positif Covid-19.

“Bukan menghindari, mencari-cari kesalahan ataupun mencari pembenaran. Hal demikian akan mengganggu kinerja dokter dan pemerintah dalam menekan angka penularan wabah ini,” katanya.

Ia juga berterima kasih kepada Pemerintah Aceh dan seluruh tenaga kesehatan yang telah memonitor perkembangan kesehatannya setiap saat selama dirawat di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. “Saya berpesan pandemi ini jangan dianggap remeh, protokol kesehatan jangan diabaikan. Semuanya demi kemaslahatan kita semua,” katanya.

KHAZANAH REPUBLIKA