Saya Gak Takut Covid, Hanya Takut pada Allah, Benarkah Pernyataan Itu?

Tepat dua hari lalu saya telah menyelesaikan isolasi mandiri di pesantren setelah sebelas hari sebelumnya dinyatakan positif virus Covid-19. Sebenarnya, saya adalah tipe orang yang sangat jarang sakit. Bahkan, saya tidak ingat entah berapa tahun lalu terakhir merasakan sakit. Teman-teman sampai punya candaan jangan-jangan saya ini cucu Fir’aun yang terkenal tak pernah sakit. Hanya takut pada Allah, jangan takut pada covid-19.

Di seberang tempat saya berbaring, terdengar suara ustadz kondang dari salah satu smartphone santri yang bilang begitu, hanya takut pada Allah sajalah, jangan takut sama Covid-19. Ustadz kondang tersebut tengah terengah-engah menyampaikan pemikirannya itu dengan nada khas sedikit berapi-api.

Jujur saja, selama menjalani isolasi mandiri saya merasakan sakit luar biasa. Padahal, saya tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. Terbayang sudah, bagaimana rasa sakit mereka yang sebelum terkena Covid telah tercatat memiliki riwayat penyakit berat.

Saya hanya tersenyum mendengar pendapat ustadz tersebut. Pikiran saya tiba-tiba entah mengapa menolak. Padahal, seperti yang pembaca pikirkan, pendapat ustadz tersebut sangat dapat diterima. Kemudian saya teringat nasehat Al-Imam al-Syafi’i bahwa penerimaan akal pikiran menjadi kunci.

إذا ذكرت لكم دليلا أو برهانا لم تقبله عقولكم فلا تقبله لأن العقل مضطر لقبول الحق.

Jika aku menyampaikan argumenku kepada kalian lantas akal pikiran kalian menolak, jangan kalian terima karena akal menjadi kunci niscaya penerimaan kebenaran”.

Lalu, apa sebenarnya alasan saya menolak pemikiran ustadz kondang tadi? Semua berawal dari diskusi dengan sesama teman pondok sekaligus guru pribadi sesama mahasiswa jurusan tafsir. Unik memang, sepertinya hanya di pondok pesantren ada seseorang yang mengangkat teman seangkatannya sendiri sebagai mahaguru pribadi.

Dia memulai diskusi dengan menceritakan hasil bacaannya dari buku terjemahan The Message of The Quran karya Muhammad Asad. Teman sekaligus guru saya ini berujar bahwa dalam salah satu ayat al-Quran Allah menyatakan tidak akan merusak suatu kelompok masyarakat hanya karena dzalim dengan catatan masyarakat tadi berbuat kebaikan terhadap sesama.

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ.

Karena, Pemeliharamu tidak akan pernah membinasakan suatu masyarakat karena [kepercayaan] zalim [semata], selama penduduknya berbuat kebajikan [satu sama lain]. (Hud [11] : 117)

Dzalim pada ayat ini biasa diartikan oleh kebanyakan mufasir klasik sebagai kemusyrikan. Akan tetapi Muhammad Asad berpendapat agak unik. Dia menyatakan bahwa dzalim di sini tidak hanya musyrik, melainkan juga perilaku buruk terhadap sesama manusia.

Untuk menyokong argumennya, Asad mengutip pendapat mufasir klasik lain daripada yang lain. Mufasir yang dikutip oleh Asad adalah al-Razy pemilik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib. Setelah berdiskusi, saya mengecek pendapat al-Razy yang dikutip Asad. Benar saja, saya mengangguk takjub atas apa yang disampaikan oleh al-Razy.

والمَعْنى أنَّهُ تَعالى لا يُهْلِكُ أهْلَ القُرى بِمُجَرَّدِ كَوْنِهِمْ مُشْرِكِينَ إذا كانُوا مُصْلِحِينَ في المُعامَلاتِ فِيما بَيْنَهم، والحاصِلُ أنَّ عَذابَ الِاسْتِئْصالِ لا يَنْزِلُ لِأجْلِ كَوْنِ القَوْمِ مُعْتَقِدِينَ لِلشِّرْكِ والكُفْرِ، بَلْ إنَّما يَنْزِلُ ذَلِكَ العَذابُ إذا أساءُوا في المُعامَلاتِ

Ayat tadi bermakna bahwa Allah tidak akan menghancurkan masyarakat “hanya” karena musyrik dengan catatan mereka berbuat baik terhadap sesama (manusia dan alam). Karenanya, sungguh adzab Allah yang membinasakan tidak akan turun hanya karena masyarakatnya berkeyakinan musyrik dan kafir. Malah, Allah menurunkan adzab tadi disebabkan jika suatu masyarakat berbuat buruk dalam bergaul terhadap manusia lain dan alam (mu’amalat).”

Menurut saya, pendapat al-Razy ini sangat logis dan masuk akal. Bahwa meskipun -mohon maaf-  suatu masyarakat tidak takut kepada Allah (musyrik, kafir) akan tetapi berbuat ishlah kebaikan terhadap sesama, Allah tidak akan membinasakannya.

Kita bisa berkaca pada peradaban Eropa yang tidak menakuti Allah karena kebanyakan dari mereka non-muslim akan tetapi menakuti Covid karena mereka sadar bahwa Covid akan mengacaukan kondisi ekonomi, sosial mereka. Lalu mereka berbahu-bahu mulai dari pemerintahan sampai masyarakat kelas bawah untuk menangani virus ini dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengembangkan teknologi canggih menciptakan vaksin.

Hasilnya? Apakah Allah mengadzab mereka karena tidak beriman? Yang ada adalah karena penanganan dari pemerintah maksimal lalu berefek positif kepada masyarakat, sekarang mereka sudah bisa memadati stadion sepak bola dan berkurumun hanya untuk merayakan tim nasional mereka sukses di turnamen Euro. Turnamen sepak bola empat tahunan di Eropa.

Sementara itu, di belahan dunia lain, masyarakatnya kesulitan berkerumun padahal tujuannya sangat penting, untuk beribadah. Ironis memang, di saat stadion sepak bola mulai padat, Masjidil Haram tempat Ka’bah berada masih harus kosong melompong. Karena untungnya, pemerintah Saudi masih sadar diri bahwa penanganan virus negara-negara mayoritas muslim masih kalah jauh dengan penanganan di Eropa.

Ini akibat, secara mu’amalah atau hubungan antara sesama manusia dalam konteks penanganan Covid di negara muslim sangat rendah jika dibandingkan dengan di wilayah Eropa. Padahal, hal semacam ini sudah sangat jelas terang benderang dalam al-Qur’an kitab suci yang katanya menjadi pedoman hidup masyarakat muslim. Anehnya, cahaya al-Qur’an lebih terang di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.

Al-Razy menambahkan, sebab ayat ini para ahli fikih klasik mewanti-wanti dengan ungkapan bahwa pergaulan dengan sesama manusia itu lebih ketat dibanding pergaulan kepada Allah.

 قالَ الفُقَهاءُ إنَّ حُقُوقَ اللَّهِ تَعالى مَبْناها عَلى المُسامَحَةِ والمُساهَلَةِ، وحُقُوقَ العِبادِ مَبْناها عَلى الضِّيقِ والشُّحِّ.

 Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Terkait Warga Jakarta Barat Positif Corona Nekad Jadi Imam Tarawih, Ini Alasan Ulama Mengharamkannya

Seorang bapak berinisial O berusia 82 tahun di Tambora, Jakarta Barat, terdeteksi positif corona. Ia nekad menjadi imam tarawih di musala. Sontak  28 jamaah yang ikut menjadi makmum berstatus orang dalam pemantauan (ODP), sebagaimana diberitakan Detik.com.

Padahal ulama sudah memfatwakan bahwa Muslim yang positif terjangkit corona itu dilarang berjamaah di masjid. Terkait hal ini, mufti di Timur Tengah mengeluarkan fatwa larangan berkerumunan di ruang publik, termasuk saat sholat jamaah. Hal ini karena mempermudah penyebaran virus corona, terlebih lagi bila sudah ada yang terdeteksi terkena virus tersebut. 

Syekh Bin Bayyah, ulama Mauritania yang menjadi mufti di Uni Emirat Arab mengeluarkan fatwa mengenai larangan sholat berjamaah bagi Muslim yang sudah positif terjangkit virus corona. (Baca: Fatwa Syaikh Ibn Bayyah terkait Virus Corona). Ia lebih baik mengisolasi diri daripada berkerumunan dengan publik. Mengapa demikian? Simak penjelasan lengkapnya di sini.

BINCANG SYARIAH

Varian Delta, Bagaimana Kita Bersikap?

Sebagaimana beberapa negara di Asia, Indonesia mulai menghadapi lonjakan kedua kasus COVID-19 yang jauh lebih besar. Virus SARS-CoV-2 pada asalnya adalah virus dengan kemampuan mutasi yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan virus RNA yang lain. Penularan yang terus-menerus terjadi sampai saat ini menyebabkan virus SARS-CoV-2 memiliki banyak kesempatan untuk bermutasi. Mutasi-mutasi tersebut memunculkan varian-varian baru yang memiliki fitness (ketangguhan atau daya adaptasi terhadap lingkungan) yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian sebelumnya. Bagaikan hukum rimba, varian dengan fitness yang lebih tinggi akan menggeser dominasi varian sebelumnya dengan fitness yang lebih lemah, layaknya seleksi alam pada “dunia virus”. Data dari pemerintah Inggris menjadi salah satu bukti fenomena ini. Varian alpha terdeteksi mendominasi sejak akhir bulan Desember 2020. Namun sejak Juni 2021, dominasi tersebut telah diambil alih oleh varian delta.

Tulisan ini dihimpun dari berbagai data yang telah dipublikasikan sampai dengan tanggal 20 Juni 2021. Seiring dengan terbitnya penelitian-penelitian baru yang cepat dan dinamis, fakta dan data yang disajikan dalam tulisan ini mungkin dapat berubah, sehingga pembaca disarankan untuk selalu mengikuti perkembangan informasi terbaru melalui sumber-sumber terpercaya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Mengenal “Variant of Interest” (VOI) dan “Variant of Concern” (VOC)

Varian dari SARS-CoV-2 diklasifikan oleh WHO menjadi dua jenis kategori, yaitu “Variants of Interest” (VOI) dan “Variants of Concern” (VOC). Suatu varian virus SARS-CoV-2 dikategorikan sebagai VOI apabila susunan materi genetika dari SARS-CoV-2 varian tersebut memiliki satu set mutasi yang bersifat spesifik yang diduga atau terbukti menyebabkan perubahan fenotip (karakter biologis) dari SARS-CoV-2, serta telah diidentifikasi menyebabkan kejadian COVID-19 di suatu wilayah atau telah dilaporkan menyebar di berbagai negara. Contoh VOI adalah varian Zeta (P.2); Eta (B.1.525); dan varian Kappa (B.1.617.1).

Suatu varian dikategorikan dalam VOC apabila varian tersebut telah memenuhi kriteria VOI, ditambah adanya kaitan dengan salah satu karakteristik berikut ini:

Pertama, meningkatkan risiko penularan; atau:

Kedua, meningkatkan virulensi (keganasan) virus dengan adanya perbedaan manifestasi klinis pada pasien seperti gejala penyakit yang semakin berat; atau:

Ketiga, menurunkan efektivitas diagnosis (swab PCR), vaksin, atau obat-obat anti-virus.

Sampai saat ini ada empat varian yang termasuk dalam kategori VOC, yaitu varian Alpha (B.1.1.7); Beta (B.1.3.5.1); Gamma (P.1); dan Delta (B.1.617.2).

Untuk mendeteksi keberadaan varian, diperlukan teknologi yang disebut dengan whole genome sequencing (WGS). Teknologi ini bertujuan untuk membaca urutan genetik yang dimiliki oleh virus SARS-CoV-2 sepanjang kurang lebih 30 ribu basa nukleotida untuk melihat adanya mutasi. Hingga tanggal 20 Juni 2021, telah dilakukan whole genome sequencing (WGS) terhadap 2.230 sampel virus yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Dari 2.230 sampel tersebut, sebanyak 202 sampel dideteksi sebagai sebagai VOC, yaitu varian Alpha (45 kasus); Beta (6 kasus); dan Delta (151 kasus).

Sampai saat ini belum ada laporan varian Gamma yang terdeteksi di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa laporan varian SARS-C0V-2 di Indonesia tersebut bagaikan puncak gunung es (tip of the iceberg), karena kemampuan WGS kita di Indonesia yang masih terbatas, baik dari sisi jumlah laboratorium rujukan, sumberdaya manusia, dan juga ketersediaan reagen. Jumlah varian SARS-CoV-2 sesungguhnya di Indonesia mungkin jauh lebih banyak.

Dampak Varian Delta terhadap karakter biologis dari virus SARS-CoV-2

Varian Delta pertama kali dideteksi pada bulan Oktober 2020 di India. Berbagai penelitian, baik penelitian epidemiologis maupun laboratoris, telah banyak dilakukan untuk melihat dampak mutasi pada varian Delta

Pertama, keparahan penyakit yang diderita oleh pasien.

Sejak varian Delta terdeteksi, Inggris Raya adalah negara yang paling intensif melakukan berbagai penelitian terkait keparahan COVID-19 yang diakibatkan varian tersebut. Data penelitian di Inggris dan Skotlandia menunjukkan adanya peningkatan keparahan COVID-19 dan risiko masuk rumah sakit bagi pasien-pasien yang terinfeksi varian Delta dibandingkan dengan varian Alpha. Penelitian-penelitian lain mengenai keparahan COVID-19 akibat varian Delta ini masih terus dilakukan.

Kedua, risiko peningkatan penularan (risiko transmisi)

Penelitian melalui sistem permodelan komputer (in silico analysis) oleh para peneliti di India menunjukkan bahwa mutasi-mutasi khas pada varian Delta (L452R, E484Q, dan P681R) menyebabkan peningkatan daya ikat virus SARS-CoV-2 (melalui protein Spike) ke sel tubuh manusia (melalui reseptor ACE2). Data ini didukung oleh data epidemiologis di Inggris Raya yang menunjukkan jumlah penularan dari varian Delta yang lebih tinggi daripada  varian Alpha dan Kappa. Hal tersebut menunjukkan bahwa varian Delta meningkatkan risiko penularan. Penelitian-penelitian lain masih dilakukan untuk melihat risiko peningkatan penularan SARS-CoV-2 varian Delta tersebut.

Ketiga, deteksi oleh mesin PCR.

Saat tulisan ini disusun, belum ada bukti penelitian yang secara valid menunjukkan bahwa varian Delta tidak bisa dideteksi oleh metode PCR.

Keempat, efektivitas dari vaksinasi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vaksin Pfizer dan AstraZeneca cukup efektif untuk melindungi sebagian besar orang dari tertular atau mengalami COVID-19 yang bergejala berat akibat varian Delta jika orang tersebut telah mendapatkan 2 dosis vaksinasi. Efektivitas perlindungan kedua vaksin tersebut lebih rendah jika seseorang hanya mendapatkan 1 dosis saja. Bagaimana dengan vaksin Sinovac?  belum ada bukti penelitian terkait efektivitas perlindungan vaksin Sinovac terhadap varian Delta.

Lalu, bagaimana kita bersikap?

Saat ini kita menghadapi gelombang peningkatan kasus di berbagai daerah di DKI Jakarta, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Fasilitas kesehatan di wilayah tersebut mulai tidak dapat menampung lonjakan pasien COVID-19 yang bergejala berat. Dengan ditemukannya varian Delta di Indonesia yang mungkin dapat menimbulkan manifestasi COVID-19 yang lebih parah dan lebih mudah menular, maka masyarakat dan pemerintah wajib mendukung segala upaya untuk mengurangi penularan virus SARS-CoV-2, agar tidak semakin banyak korban yang berjatuhan akibat tidak mendapatkan fasilitas perawatan yang memadai.

Pertama, kewajiban sebagai individu.

Mutasi terjadi saat virus bereplikasi dalam sel tubuh manusia, baik manusia yang terinfeksi itu bergejala ataupun tidak. Potensi munculnya varian baru dari virus SARS-CoV-2 akan dapat dikurangi jika lebih sedikit orang yang tertular dan membawa virus SARS-CoV-2. Sehingga protokol kesehatan untuk pencegahan penularan menjadi sangat penting, selain untuk menurunkan jumlah penderita COVID-19, juga mengurangi potensi terjadinya mutasi.

Disiplin menegakkan protokol kesehatan di tingkat individu merupakan senjata utama untuk memutus mata rantai transmisi. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tetap tinggal di rumah jika merasakan gejala sakit, membatasi mobilitas keluar rumah, hanya keluar rumah jika diperlukan, menghindari kerumunan, serta mengikuti vaksinasi harus dilaksanakan dengan menghilangkan sikap keegoisan. Kita tidak pernah tahu pasti siapa yang akan terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau siapa mengalami COVID-19 berat hingga kematian. Lebih banyaknya orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 tanpa gejala atau hanya bergejala ringan justru membuat siapa pun mungkin dapat menjadi sang penular, tanpa terdeteksi, termasuk diri kita sendiri. Sehingga protokol kesehatan tidak hanya untuk melindungi diri sendiri, namun juga melindungi orang lain dari ancaman COVID-19 yang fatal dan  terjadinya mutasi virus SARS-CoV-2

Disiplin menjalankan protokol merupakan sebuah keniscayaan jika dilakukan dengan penuh kesadaran sebagai kebiasaan bukan keterpaksaan. Hendaknya kita menahan diri dari keinginan untuk “kumpul-kumpul” apa pun bentuknya, misalnya sekedar reuni dengan teman sekolah, acara makan-makan bersama keluarga besar yang datang berbagai daerah, dan kegiatan-kegiatan sejenis lainnya. Jangan mudah percaya dengan hoax dan misinformasi lainnya terkait vaksinasi. Mengajak semua orang untuk patuh pada protokol kesehatan memang sulit, namun mulailah dari diri sendiri, keluarga dan orang terdekat. Saling mengingatkan dan memberi contoh secara tekun, serta tidak permisif dengan tekanan lingkungan yang abai dengan protokol kesehatan. Karena yang populer dan yang diikuti orang banyak belum tentu benar, sehingga harus benar-benar ditelaah dengan akal.

Kedua, kewajiban pemerintah.

Pemerintah harus menegakkan aturan yang lebih tegas terkait pembatasan mobilitas masyarakat, pelaksanaan protokol kesehatan di masyarakat, dan perlu diputuskan segera apakah suatu daerah memerlukan karantina wilayah yang lebih luas. Dengan adanya penularan yang semakin meluas, tentu saja pembatasan skala mikro menjadi tidak efektif.  Aturan harus ditegakkan dengan konsisten dan juga butuh teladan perilaku dari aparatur pemerintah. Jika pemerintah tidak konsisten dalam penegakan aturan, maka kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan turun, hingga kelak mungkin dapat terjadi kondisi tatkala apapun aturan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan lagi diikuti oleh rakyat. Sementara itu, apapun upaya pemulihan perekonomian yang dilakukan, fakta menunjukkan bahwa ekonomi tidak akan bisa bangkit jika penularan wabah tidak dikendalikan.

Pemerintah harus meningkatkan kapasitas testing and tracing. Ini penting dilakukan untuk mendeteksi semaksimal mungkin orang-orang yang terinfeksi dan melakukan isolasi sedini mungkin sehingga menurunkan risiko penularan ke semakin banyak orang. Konsekuensinya, fasilitas isolasi mandiri juga perlu ditingkatkan. Pemerintah juga perlu mempercepat distribusi dan meningkatkan kecepatan program vaksinasi. Vaksinasi tidak hanya melindungi mereka yang divaksin dari infeksi SARS-CoV-2 dan keparahan COVID-19, namun juga menurunkan potensi penularan. Semakin cepat target cakupan vaksinasi bagi seluruh penduduk Indonesia dapat tercapai, maka potensi munculnya mutasi baru yang lebih kuat dan ganas dapat semakin diturunkan.

***

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD.

Sumber: https://muslim.or.id/66925-varian-delta-bagaimana-kita-bersikap.html

Perang dan Wabah: Penutupan Haji Dalam Lintas Zaman

Jauh sebelum virus asal Wuhan, China, yang dikenal dengan Covid-19 membayangi Makkah, sebenarnya berbagai wabah juga pernah menghampiri Makkah. Bahkan, paparan ini dalam catatan sejarah lazim adanya. Wabah penyakit tersebut menimbulkan kematian dengan angka yang tinggi pada umat Muslim dunia yang tengah menunaikan haji.

Di zaman lalu misalnya, Makkah dan Madinah (Tanah Haram) sebagai pusat pelaksanaan ibadah haji kerap dituduh sebagai pusat wabah dunia. Di masa kini pun, begitu tersebar isu bahwa kemasaan Air Zamzam tidak steril maka pemerintah Arab Saudi segera bertindak. Kawasan sumur zamzam langsung direnovasi, produksi, pengemasan, hingga sitribusi di awasi secara ketat. Arab Saudi tidak ingin ibadah haji tercemar dengan isu ancaman kesehatan hingga kemananan dan berbagai hal lain.

Apalagi setiap musim haji, Arab Saudi bisa mendapat devisa hingga sekitar Rp 1000 Triliun. Yang ini berarti hampir setengah besaran APBN Indonesia setiap tahun. Maka tidak akan ada toleransi bagi wabah selama musim haji. ‘No Way’ bagi Arab sebab mereka paham banyak negara yang meminta agar soal haji di urus oleh organisasi konfrensi negara Islam. Iran yang selama ini paling getol menyuarakannya.

                                            ****

Pada masa sekarang, yakni di awal dekade 2010-an, tepatnya pada 2012, keluarga virus corona muncul di Arab Saudi, yakni virus CoV. Penyakitnya disebut sebagai Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Orang di Arab lazim menyebut dengan nama “flu unta”. Makkah sebagai pusat ibadah umat Islam tak lepas dalam penyebaran virus ini.

Hingga saat ini terdapat dugaan kuat bahwa unta Arab atau dromedaris adalah spesies kunci dari penyebaran wabah MERS ke manusia. Sejak muncul pertama kali pada 2012, MERS telah ditularkan ke ribuan orang di lebih dari 26 negara.

WHO menyebut bahwa hingga November 2019, sekitar 2494 kasus dilaporkan terkait MERS, dengan 858 di antaranya sudah meninggal dunia. Sebagian besar kasus MERS terjadi di Arab Saudi.

Namun, jauh sebelum MERS, sejumlah wabah juga sempat membayangi Tanah Suci. Menurut Encyclopedia of Plague and Pestilence from Ancient Times to the Present (2008) yang ditulis George Childs Kohn, kolera menjadi wabah langganan yang selalu datang ke Makkah.

Kolera kerap kali dibawa oleh jamaah haji dari luar Arab Saudi, yang kemudian menularkan penyakit diare akibat infeksi bakteri itu ke jamaah haji dari berbagai belahan dunia lainnya. Negara Rusia, misalnya, pada akhir tahun 1800-an sangat mewaspadai jamaah haji dari negara yang pulang dari Makkah. Mereka melakukan pengawasan secara ketat kepada mereka.

“Makkah (kota suci Islam di Arab Saudi) adalah pusat difusi yang paling rawan dalam penyebaran kolera. Epidemi kolera di sana pecah sebanyak 33 kali antara 1830 dan 1912,” kata Kohn.

Menurut catatan Kohn, Makkah dan ritual ibadah haji tahunannya kerap memiliki “peran” dalam penyebaran kolera ke berbagai belahan dunia. Jamaah yang tertular di Makkah kemudian menularkan kolera ke kampung halamannya. Indonesia pun tidak luput dari kolera yang tertransmisikan di ibadah haji.

Kasus wabah yang salah satu penyebarannya diperbesar oleh aktivitas ibadah haji di Makkah di antaranya kasus wabah kolera Asia 1826-1837. Dua tahun terparah kolera yang menjangkiti Makkah adalah tahun 1831 dan 1865.

“Epidemi kolera paling parah di Makkah meletus pada tahun ritual tahunan haji. Ritual keagamaan mempercepat penyebaran kolera di seluruh Benua Afrika dan Eropa di sepanjang rute transportasi para jamaah,” tulis Kohn. 

Pada 1865-1875, wabah kolera yang kerap dibawa jamaah Muslim India bahkan menular ke 90 ribu jamaah. Sebanyak 30 ribu di antaranya meninggal. Jamaah yang tertular berasal dari Irak, Suriah, Palestina, Turki, dan Mesir. Dari Mesir, kolera ditularkan ke sebagian wilayah Eropa. Kasus kolera serupa terus terjadi, seperti pada 1902 hingga periode 1961-1975.

Selain oleh kolera, Makkah juga pernah dibayangi wabah Asia Afrika Accute Hemmorhagic Conjunctivist (AHC) pada 1969-1971. Pada tahun 1970-an, penyakit mata yang dibawa jamaah haji itu bahkan menular ke Jawa-Bali dan menjadikannya episentrum kedua wabah selain tanah Arab. 

Mundur ke tahun 1348-1349, Makkah juga terdampak Wabah Hitam Maut atau Black Death yang melenyapkan nyawa dua pertiga populasi Eropa saat itu (75 juta). Menurut Kohn, beberapa warga Eropa berusaha melarikan diri dari wabah mematikan ini ke Timur Tengah. Namun, mereka yang terjangkit kemudian menular ke jamaah haji yang mereka temui dalam perjalanan menuju Makkah dan menyebabkan kematian di Makkah.

Maka melihat semua itu pemerintah Arab Saudi masa kini sangat sensitif ketika muncul adanya pandemi wabah Corona. Makkah dan Madinah sampai hari ini diawasi secara ketat. Bahkan Masjidil Haram asih tertutup meski sudah menjelang  musim haji. Dan di sekitar hari ‘H’ pemerintah Arab Saudi menyatakan akan makin mengetatkan orang luar Makkah masuk. Jamaah haji harus terdaftar dan bahkan ketika masuk Makkah  mereka harus mendaftar melaui aplikasi khusus. Jamaah haji dibatasi hanya 10 ribu orang dan hanya boleh dilakukan oleh orang yang berusia di bawah 65 tahun dan tak punya penyakit bawaan.

”Pokoknya nanti berhaji di musim pandemi tak gampang bang. Jamaah begitu diatur ke luar masuk ke Masjidil Haram. Aneka peralatan pun saya dengan dari berita di media massa Arab juga terus dipasang. Dan sangsinya berat bagi yang berani melanggar, bagi warga Arab di denda sampai 1000 real dan bagi warga asing akan didopertasi. Sanksi ini juga berlaku di kota Makkah pada hari-hari ini. Polisi mondar-mandir terus melakukan patroli,” kata Mukimin Indonesia yang kini tinggal di kawasan Aziziah, Makkah.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

IHRAM

Puasa Ramadhan di Tengah Pandemi Corona Momentum Muhasabah

Puasa Ramadhan punya arti penting bagi umat Islam.

Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi menyatakan, berpuasa di tengah pandemi wabah corona atau Covid-19 seharusnya dijadikan sebagai momentum terbaik untuk mengoreksi atau muhasabah diri. Wabah virus dan kemunculan banyak penyakit harus dimaknai secara positif bahwa Allah sedang menguji dan menegur makhluk-Nya.

“Puasa punya arti penting bagi umat Islam (yaitu) untuk meningkatkan antibodi. Tak sedikit penyakit yang bisa diobati dengan puasa.Terutama penyakit hati dan perilaku tak terpuji yang sangat distruktif bagi imunitas tubuh manusia dan ketahanan mental spiritual,” tutur dia, Kamis (16/4).

Muhyiddin melanjutkan, sejarah juga mencatat bahwa bulan Ramadhan adalah bulan kemenangan umat Islam dalam melawan musuh, kezaliman, kesewenang-wenangan dan kesombongan umat manusia. Perang Badar, di mana umat Islam meraih kemenangan besar atas kaum musyrik terjadi di bulan Ramadhan. “Indonesia juga diproklamirkan kemerdekaannya di bulan Ramadhan,” ungkap dia.

Karena itu, menurut Muhyiddin, sangat naif untuk menjustifikasi atau mendukung permintaan seorang atau kelompok agar umat Islam tidak berpuasa dan cukup membayar fidyah sebagai kompensasinya. Padahal saat umat Islam dan umat manusia sedang mengalami cobaan berat wabah covid-19, puasa justru sangat dianjurkan sebagai sarana ditoksifikasi tubuh dari segala macam kotoran dalam tubuh.

“Dengan demikian, tubuh manusia akan terbebas dari semua disease, virus, bakteri dan penyakit, karena Allah telah melengkapi tubuh dengan antibodi yang kuat. MUI adalah pelayan umat Islam dan bangsa Indonesia, MUI juga mitra loyalis kritis pemerintah, bukan perpanjangan tangan pemerintah, apalagi rubber-stamp penguasa,” tuturnya.

Muhyiddin menjelaskan, permintaan larangan berpuasa di bulan Ramadhan tidak hanya terjadi sekarang. Beberapa tokoh dan pemimpin sempat melakukannya. Bapak negara Tunisia Habib Bourguiba, yang dikenal sangat nasionalis-sekuler kedua setelah Kamal Attaturk di Turki, pernah mengeluarkan kebijakan kontroversial tersebut.

“Alasannya bahwa puasa mengurangi tingkat produktivitas rakyat. Ternyata kebijakan tersebut tak terbukti dan salah sasaran. Negara tersebut tetap tak maju dan juga tak lebih modern dari negara tetangganya di Afrika utara,” ujarnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tetap Ingat Nikmat dari Allah Saat Virus Corona Mewabah

Umat Islam diingatkan untuk selalu ingat nikmat Allah kala ditimba musibah corona.

Ustaz Bendri Jaisyurrahman mengatakan kualitas iman seorang muslim dapat terlihat saat musibah datang menimpanya. Termasuk saat umat muslim yang saat ini juga tengah dilandah wabah corona.

“Momentum ini sekaligus menunjukan kualitas keimanan kita di antara yang lainnya,” ujar Ustaz Bendri dalam Tabligh Akbar Online, Jumat (3/4).

Dalam kondisi ini, terang Bendri, umat muslim bisa memanjatkan doa sebagaimana yang Rosulullah SAW ajarkan dan diriwayatkan oleh imam Abu Dawud. “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari penyakit baros (penyakit kulit terkelupas), penyakit Junun (penyakit gila), penyakit lepra atau kusta, dan terakhir dari penyakit ganas yang mewabah.”

“Dalam kondisi ini kita berdoa supaya kita dilindungi dari empat hal tadi (penyakit). Yang menarik Rosul menyisipkan agar kita terlepas dari penyakit gila, ini penyakit psikis,” terangnya.

Dalam doa tersebut, menurut Bendri, bukan hanya sekedar selamat dan bebas dari wabah corona saja tapi juga bebas dari tekanan psikis. Misalnya banyak yang jadi kehilangan penghasilan karena adanya wabah, atau banyak tuntutan karena pendapatan yang berkurang.

“Doa ini mengingatkan kita agar memohon pada Allah agar kita selamat dari penyakit fisik dan selamat dari penyakit psikis. Virus ketakutan ini yang (justru) paling fatal,” terangnya.

Oleh karena itu dalam kondisi pandemi Covid-19 ini, menurut Bendri, kualitas iman seorang muslim dapat terlihat. Apakah seseorang tersebut akan tetap bersyukur saat diberikan musibah atau justru berkeluh kesah.

“Sungguh ajaib, urusan seorang mukmin, sesungguhnya semua urusan itu baik, kenapa demikian, (karena) kalau dia ditimpa, dia akan mendapatkan rasa syukur, kalau ditimpa kesulitan dia akan bersabar. Jadi situasi ini hanya dua, bersyukur saat mendapatkan kesenangan dan sabar saat mendapatkan kesulitan,”terang Bendri.

Bendri lalu menceritakan tentang penyakit yang pernah menimpa Nabi Ayub AS, penyakit judzam atau penyakit kulit yang saat itu sampai membuat Nabi Ayub kurus dan diasingkan. Bahkan orang-orang di masa itu telah menyarankan Nabi Ayub agar meminta kepada Allah untuk mengangkat penyakit tersebut dan Allah tentu akan mengabulkan.

“Kenapa tidak meminta kepada Tuhanmu untuk kesembuhan, maka Nabi menjawab aku malu, aku diberikan nikmat (sehat) 70 tahun tapi ketika dikasih ujian dua pekan saja aku sudah protes, keluh kesah. Malu lah aku sama tuhanku,” ucap Bendri.

Dari kisah Nabi Ayub menerima cobaan ini terangnya, mengajarkan bagaimana saat Ayub ditimpa kesulitan Nabi Ayub justru menghitung nikmat Allah yang telah diterima begitu banyak. Nabi terus bersabar dan Ridho dengan penyakitnya.

Dalam konteks kekinian kata Bendri, maka penting supaya umat muslim menjaga lisan dari kata-kata dan kalimat yang tidak baik. Sebagaimana Rosulullah SAW, ajarkan agar dalam kesulitan Rosul tetap berucap Alhamdulillah ‘ala kulli haalin. Artinya segala puji bagi Allah dalam segala urusan

“Termasuk dalam situasi ditimpa musibah ini. Allah ingin melihat bagaimana kita dalam situasi ditimpa musibah ini, Allah ingin melihat sejauh mana kita, apakah kita masih (dapat) melihat banyaknya nikmat yang diberikan Allah kepada kita,” ucapnya.

Selain itu, Bandri juga berpesan agar umat muslim terus menunjukkan sikap optimis dan selalu berkata-kata baik. Karena kalimat positif itulah yang akan menjadi isyarat kehidupan dimasa datang.

“Lisan yang mengeluarkan (kata-kata) negatif atau sumpah serapa dalam situasi ini maka bisa jadi berdampak pada kehidupan kita buruk di masa depan. Makanya lisan ini bagian dari ketakwaan. Menjaga lisannya agar senantiasa baik,” jelasnya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Ingin Pahala Syahid Saat Terjadi Wabah Corona? Tetaplah Tinggal di Rumah

Dalam setiap kondisi, Allah menyediakan ladang pahala bagi hamba-hambaNya yang beriman. Pun saat terjadi wabah atau pandemi. Termasuk saat terjadinya wabah corona. Melalui sabda Nabi-Nya, kita mengetahui janji Allah berupa pahala syahid. Baik meninggal akibat kena wabah itu atau tidak meninggal.

Bagaimana cara mendapatkan pahala syahid saat terjadi wabah corona seperti saat ini? Sabar dan tetap tinggal di rumah. Tidak keluar dari daerahnya.

Sabda Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّهَا أَخْبَرَتْنَا أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِىُّ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَلَدِهِ صَابِرًا ، يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Yahya bin Ya’mar, dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya dia mengabarkan kepada kami bahwa dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang thaun, maka Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya ia (thaun) adalah adzab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun hamba yang ditimpa thaun lalu tetap tinggal di negerinya dalam keadaan sabar dan mengetahui tidak ada yang menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka baginya seperti pahala mati syahid.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Imam Ahmad, lebih spesifik digunakan kata baitihi (rumahnya) sebagai pengganti baladihi (negerinya).

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ كَانَ عَذَاباً يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِى بَيْتِهِ صَابِراً مُحْتَسِباً يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Dari Yahya bin Ya’mar, dari Aisyah ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang thaun, maka Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan, “Sesungguhnya ia (thaun) adalah adzab yang dikirim Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Lalu Allah menjadikannya rahmat bagi orang-orang yang beriman. Tidak seorang pun yang ditimpa thaun lalu tetap tinggal di rumahnya dalam keadaan sabar dan mengetahui tidak ada yang menimpa dirinya kecuali apa yang ditetapkan Allah untuknya, maka baginya seperti pahala mati syahid.” (HR. Ahmad)

Ringkasan Penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani

Meskipun pada hadits ini ada yaqauth thaa’uun yang diterjemahkan ditimpa thaun, Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan sesuai judul bab yang ditulis Imam Bukhari rahimahullah. Yakni baik thaun itu menimpanya atau terjadi di negeri tempat ia tinggal.

Thaun adalah azab (siksa) yang dikirim kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang dikehendakinya (من يشاء) ini maksudnya adalah dari golongan orang kafir dan pelaku maksiat. Adapun untuk orang mukmin, thaun bukanlah azab melainkan rahmat.

Mengutip hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, Ibnu Hajar menegaskan, “Hal ini sangat tegas menyatakan bahwa keberadaan thaun sebagai rahmat hanya untuk kaum muslimin. Apabila thaun menimpa orang-orang kafir maka ia adalah siksaan bagi mereka yang disegerakan di dunia sebelum akhirat.”

Lalu bagaimana dengan pelaku maksiat dari kalangan kaum muslimin? Ibnu Hajar memilih berhati-hati. “Ada kemungkinan orang seperti ini tidak akan diberi kemuliaan mati syahid karena keburukan perbuatannya berdasarkan firman Allah dalam Surat Al Jatsiyah ayat 21.”

Ibnu Hajar kemudian mengutip banyaknya hadits yang menjelaskan, thaun justru datang karena banyaknya kemaksiatan. Di antaranya adalah:

إذا ظهر الزنا والربا في قرية ، فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

“Apabila zina dan riba telah nampak (banyak terjadi) pada suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan azab Allah terhadap diri mereka” (HR. Hakim)

ولا ظهرت الفاحشة في قوم قط ، إلا سلط الله عليهم الموت

“Tidaklan kekejian tampak pada suatu kaum kecuali Allah menguasakan kematian pada mereka” (HR. Hakim)

لاَ تَزَالُ أُمَّتِى بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَفْشُ فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا فَإِذَا فَشَا فِيهِمْ وَلَدُ الزِّنَا فَيُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعِقَابٍ

“Umatku senantiasa dalam kebaikan selama anak zina belum menyebar di antara mereka. Apabila anak zina telah menyebar di antara mereka, dikhawatirkan Allah Azza wa Jalla akan menimpakan siksa kepada mereka” (HR. Hakim)

Orang yang akan mendapat pahala mati syahid saat terjadinya thaun adalah mukmin yang tetap tinggal di negerinya dengan sabar dan meyakini tidak ada yang menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah.

Sabar di sini, menurut Al Hafizh, adalah tidak panik akan meninggal karena wabah tersebut. Dia tinggal di negerinya dan tidak keluar melarikan diri darinya. “Yakni negeri terjadinya thaun tersebut,” terangnya. “Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan tetap tinggal di rumahnya.”

“Seandainya seseorang tetap tinggal di negerinya yang dilanda thaun dalam keadaan panik dan menyesal karena tidak bisa keluar, dan beranggapan jika keluar niscaya tidak akan ditimpa thaun, lalu dia tetap tinggal sehingga ditimpa wabah itu, maka orang seperti ini tidak mendapatkan pahala mati syahid.”

Ibnu Hajar kemudian menyimpulkan, orang yang akan mendapatkan seperti pahala mati syahid pada hadits ini ada tiga golongan. Pertama, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut lalu ditimpa thaun sampai meninggal. Kedua, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut lalu ditimpa thaun namun tidak meninggal. Ketiga, orang yang memiliki sifat-sifat yang disebutkan dalam hadits tersebut namun tidak ditimpa thaun namun meninggal karena sebab lain baik saat itu maupun sesudahnya.

Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah menjelaskan, tingkatan syahid bertingkat-tingkat. Sehingga sebagaimana hadits orang yang meninggal karena tha’un adalah syahid, untuk golongan pertama. Sedangkan mendapat pahala seperti mati syahid, untuk golongan pertama dan kedua.

Sabar dan Perbanyak Doa

Membaca hadits dan penjelasannya tersebut, insya Allah membuat kita lebih tenang. Yang paling utama adalah terjaganya iman kita. Karena bagi setiap mukmin, segala kondisi adalah baik.

Selain ikhtiar dengan menjaga kesehatan, meningkatkan imun, sangat penting memenuhi karakter dalam hadits tersebut. Sabar menghadapi masa pandemi corona ini dengan tetap tinggal di rumah masing-masing, jangan keluar kota apalagi keluar negeri, dan perkuat aqidah kita. Bahwa tidak ada yang menimpa kita kecuali atas apa yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita perbanyak doa pula agar kita semua diselamatkan dan dilindungi Allah. Dan semoga pandemi ini segera berlalu. Allah menjaga negeri kita dan seluruh negeri kaum muslimin. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

BERSAMADAKWAH

Teladan Nabi Muhammad Mencegah Wabah

Nabi Muhammad mencegah wabah.

Hari-hari ini dan mungkin dalam beberapa hari ke depan, pesan-pesan tentang pentingnya menjaga kesehatan menghampiri smartphone kita. Ada yang berupa meme, tausiyah, video, voice, dalil Alquran dan hadis, serta artikel pendek yang ditulis oleh pakar ataupun dari instansi atau lembaga terkait. Semua pesan itu muaranya sama, yakni mencegah terjadinya penyebaran wabah Covid-19.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, mestinya kita tahu bahwa pesan untuk selalu menjaga kebersihan sebenarnya telah disampaikan oleh Rasulullah SAW sekitar 14 abad yang lalu, baik melalui ucapan maupun teladan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Tujuanya agar umat manusia menjadi orang yang sehat dan kuat, baik jasmani maupun rohani. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Seorang mukmin yang kuat (fisik, mental, jiwa, dan raga) lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR Muslim).

Walaupun Nabi Muhammad SAW bukan seorang dokter, beliau atas bimbingan Allah SWT selalu mengingatkan umatnya untuk senantiasa menjaga kebersihan. Caranya, kita bisa aktif melakukan aktivitas membersihkan diri dan lingkungan sekitar agar tetap bersih. Bisa juga hal ini dilakukan dengan cara pasif, yakni tidak mengotori lingkungan sekitar dengan cara berdiam diri.

Ketika menghadapi wabah penyakit yang mematikan, Rasulullah SAW mengingatkan,”Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid).

Rasulullah juga menganjurkan untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada yang lain. Hal ini sebagaimana hadis: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dengan demikian, penyebaran wabah penyakit menular dapat dicegah dan diminimalisasi.

Aktivitas inilah yang sekarang dikenal dengan social distance, yakni suatu pembatasan untuk memutus rantai penyebaran wabah Covid-19. Caranya adalah jauhi kerumunan, jaga jarak, dan di rumah saja. Kegiatan social distance tak hanya dalam muamalah seperti pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, pemerintahan, dan sebagainya yang langsung berhubungan dengan sesama manusia, tetapi juga dalam ibadah.

Dengab demikian, shalat berjamaah di masjid boleh diganti dengan salat di rumah. Shalat Jumat pun boleh diganti dengan salat Zhuhur di rumah guna menghindari wabah penyakit. Inilah yang kemudian dalam hadis yang dijadikan kaidah fikih, yakni la dharara wala dhirar; ‘tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat’ (HR Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn ‘Abbas), dijadikan pedoman untuk menghindari mudarat yang lebih besar.

Nabi Muhammad juga sangat mendorong umatnya untuk mematuhi praktik higienis. Gaya hidup sehat akan membuat orang tetap sehat dan aman dari infeksi. Karena itu, dikatakan dalam hadis: “Kesucian itu sebagian dari iman.” Di antara cara menjaga kesucian adalah mencuci tangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Barang siapa tertidur dan di tangannya terdapat lemak (kotoran bekas makanan) dan dia belum mencucinya, lalu dia tertimpa oleh sesuatu, janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” (HR Abu Daud).

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seseorang dari kalian berwudhu, hendaklah memasukkan air ke dalam hidung, kemudian menyemburkannya. Siapa saja yang ber-istijmar (bersuci menggunakan batu), hendaklah mengganjilkan. Dan, jika seseorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah mencuci kedua (telapak) tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana tiga kali. Maka, sesungguhnya seseorang dari kalian tidak mengetahui ke mana tangannya bermalam.” (HR Bukhari).

Uraian tersebut menjelaskan tentang beberapa upaya preventif yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya wabah penyakit termasuk penyebarannya, yakni menjaga kebersihan, isolasi, dan cuci tangan. Namun, terkadang, penyakit tetap saja datang yang menyebabkan terjadinya sakit. Sehingga, harus ada upaya kuratif untuk mengatasi agar sembuh dari penyakit yang dialaminya.

Upaya kuratif yang dilakukan, sebagaimana disarankan oleh Rasulullah Muhammad SAW, adalah berobat. Terbukti bahwa penyakit akibat Covid-19 bisa disembuhkan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Aku pernah berada di samping Rasulullah SAW. Lalu, datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, ‘Wahai, Rasulullah, bolehkah kami berobat?’ Beliau menjawab, ‘Iya, wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab, Allah tidaklah meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.’ Mereka bertanya, ‘Penyakit apa itu?’ Beliau menjawab, ‘Penyakit tua.'” (HR Ahmad, Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi).

Melihat kondisi sekarang ini, dengan penyebaran wabah pandemik Covid-19 begitu masif, sementara di sisi lain fasilitas layanan kesehatan yang ada terbatats dan masih belum memadai seperti ruangan isolasi, peralatan medis, tenaga medis, dan vaksin; yang paling efektif adalah menjaga kesehatan diri kita sendiri. 

Hal itu lebih mudah, murah, dan efisien. Setidaknya dengan menjaga kesehatan diri, resiko yang mungkin akan timbul akan berkurang serta. Cara tersebut juga dapat membantu meringankan sesama.

Karena itu, menjaga kebersihan diri, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, tetap melakukan aktivitas dari rumah, menaati anjuran pemerintah sebagai otoritas yang berwenang, serta berdoa agar terhindar dari penyebaran penyakit menular merupakan ikhtiar yang bisa kita lakukan untuk mencegah agar terhindar dari wabah sebaran Covid-19. Wallahualam.

Oleh: Faozan Amar, Dosen Ekonomi Islam FEB Uhamka dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

KHAZANAH REPUBLIKA

Manfaat Jambu Biji Sudah Dijelaskan Ulama Besar Abad Ke-13

Ulama besar abad ke-13 telah menjelaskan manfaat jambu biji.

Manfaat dari jambu biji ternyata telah ditulis dalam kitab Ath-Thibb an-Nabawi atau Metode Pengobatan Nabi yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Kitab ini ditulis semasa hidup Ibnu Qayyim yang hidup pada abad ke-13 masehi.

Dalam kitabnya, Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa khasiat jambu biji adalah bisa menghilangkan dahaga, mengilangkan rasa mau muntah, memperlancar air seni, memadatkan kotoran, mengobati luka usus, dan memberhentikan pendarahan dan sejenisnya. Selain itu, bermanfaat menghilangkan rasa mual di samping juga mencegah naiknya uap tubuh bila dikonsumsi  sesudah makan. Bila batang dan daunnya dibakar, akan berkhasiat seperti daun strawberi.

Menurut Ibnu Qayyim, bila dikonsumsi sebelum makan, jambu biji bisa mengeraskan kotoran. Namun, bila dikonsumsi setelah makan bisa memperlunak kotoran dan mempermudah pencernaan terhadap makanan berat. Namun, bila dimakan terlalu banyak, bisa membahayakan syaraf dan menyebabkan diare. Bisa juga memberhentikan produksi carian empedu kuuning berlebih dalam lambung.

Ibnu Qayyim menjelaskan, yang terbaik adalah apabila dimakan setelah dipanggang atau dimakan dengan madu. Bijinya bermanfaat untuk mengobati kekakuan pada tenggorokan bahkan juga kelainan bronkus serta berbagai penyakit lainnya.

Minyaknya bisa mencegah keringat berlebih dan memperkuat lambung. Selai dari buah ini amat berguna memperkuat lambung dan lever serta menguatkan jantung dan menentramkan jiwa.

Mengenai Ibnu Qayyim sendiri, beliau adalah seorang cendekiawan dan ahli fiqih kenamaan dalam mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-13 M. Disamping itu, sosoknya juga dikenal sebagai seorang ahli tafsir, penghapal Alquran, ahli nahwu, ahli ushul fiqih, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid.

Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa’ad Zur’i ad-Damsyiq, bergelar Abu Abdullah Syamsuddin. Dilahirkan di Damaskus, Suriah pada tahun 691 H/1292 M, dan meninggal pada tahun 751 H/1352 M. Ayahnya, Abu Bakar, adalah seorang ulama besar dan kurator (qayyim) di Madrasah Al-Jauziyah di Damaskus. Dari jabatan ayahnya inilah sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diambil. 

Semasa hidupnya, Ibnu Qayyim berguru kepada banyak ulama untuk memperdalam berbagai bidang ilmu keislaman. Dia mendalami fiqih mazhab Hanbali, tafsir, ilmu hadits, ushul fiqih, nahwu, tasawuf, dan ilmu teologi.

Ia berguru ilmu hadits pada Syihab An-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru ilmu ushul fiqih kepada Syekh Shafiyuddin Al-Hindi; berguru ilmu fiqih dari Isma’il bin Muhammad Al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (faraidh) kepada ayahnya sendiri.

Namun, di antara sekian banyak gurunya itu, yang paling berpengaruh adalah Ibnu Taimiyah. Ia berguru kepada Ibnu Taimiyah selama 16 tahun. Ia merupakan murid Ibnu Taimiyah yang fanatik. Ia mengikuti metode sang guru untuk menentang dan memerangi orang-orang yang menyimpang dari agama.

Dalam Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve disebutkan, sebagaimana gurunya, Ibnu Qayyim sangat gencar menyerang kaum filsuf, Kristen, dan Yahudi. Ia juga kerap menyebarluaskan fatwa sang guru yang berseberangan dengan fatwa jumhur (mayoritas) ulama. Salah satunya adalah fatwa yang melarang orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Karena hal inilah dia kemudian mendekam di penjara Damaskus dan baru dibebaskan setelah gurunya wafat.

Penguasaannya terhadap ilmu tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ilmu ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits dan bidang-bidang ilmu Islam lainnya sulit ditemukan tandingannya. Sehingga dapat dikatakan ia amat menguasai berbagai bidang ilmu ini.

Karena pengetahuan yang dimilikinya, Ibnu Qayyim mempunyai murid yang tidak sedikit jumlahnya. Di antara murid-muridnya yang berhasil menjadi ulama kenamaan adalah Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy penyusun kitab Al-Bidayah wan Nihayah dan Ibnu Rajab Al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah.

Hukum Menghadiri Shalat Jamaah dan Shalat Jum’at di Masjid ketika Terjadi Wabah

Di tengah situasi ini, terdapat seruan untuk menghindari dan mengurangi aktivitas-aktivitas pengumpulan massa karena kerumuman massa tersebut dinilai sebagai faktor risiko tinggi terjadinya penularan virus corona.

Upaya Menghentikan Wabah Covid-19

Saat ini, dunia sedang berperang menghadapi pandemi virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) yang menyebabkan penyakit Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Sampai tulisan ini ditulis (tanggal 17 Maret 2020), virus SARS-CoV-2 telah mewabah di 150 negara (teritori), dengan jumlah orang yang terinfeksi mencapai 179,112 dan dengan angka kematian sebanyak 7,426 orang. Situasi ini terjadi hanya dalam waktu sekitar 2,5 bulan saja. [1]

Oleh karena itu, WHO memutuskan untuk menetapkan kondisi pandemi, kondisi wabah yang paling gawat karena menunjukkan penyebaran yang sangat luas di seluruh dunia dan sangat cepatnya penyebaran dan penularan penyakit dari manusia ke manusia (direct human-to-human transmission).

Di tengah situasi ini, terdapat seruan untuk menghindari dan mengurangi aktivitas-aktivitas pengumpulan massa karena kerumuman massa tersebut dinilai sebagai faktor risiko tinggi terjadinya penularan. Tentu saja, kondisi itu akan mempengaruhi aktivitas ibadah kaum muslimin, di antaranya adalah shalat jum’at dan shalat berjamaah di masjid. Tulisan ini akan membahas secara singkat hukum menghadiri shalat jum’at dan shalat berjamaah di masjid ketika terjadi pandemi SARS-CoV-2. 

Bolehkah Meninggalkan Shalat Berjamaah dan Shalat Jum’at di Masjid Ketika Terjadi Pandemi SARS-CoV-2?

Hukum menghadiri shalat berjamaah di masjid adalah fardhu ‘ain bagi laki-laki [2]. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban tersebut menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. Ketika terjadi pandemi SARS-CoV-2, terdapat dua kondisi yang mungkin menimpa seseorang:

Kondisi pertama, jika orang tersebut terbukti positif terinfeksi SARS-CoV-2.

Pada asalnya, jika seseorang sakit, itu adalah ‘udzur yang menyebabkan dirinya boleh meninggalkan shalat berjamaah di masjid. 

Ibnuda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha berkata,

أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال في مرَضِه : ( مُروا أبا بكرٍ يصلِّي بالناسِ )

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ketika sakit beliau bersabda, “Perintahkan Abu Bakar untuk shalat (mengimami) orang-orang.” (HR. Bukhari no. 7303)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhu juga mengatakan,

لقد رَأيتُنا وما يتخلَّفُ عن الصَّلاةِ إلا منافقٌ قد عُلِمَ نفاقُهُ أو مريضٌ

“Aku melihat bahwa kami (para sahabat) memandang orang yang tidak shalat berjama’ah sebagai orang munafik, atau sedang sakit.” (HR. Muslim no. 654)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang shalat Jum’at,

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang, hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)

Hadits-hadits di atas tegas menunjukkan bahwa orang sakit tidak wajib shalat jama’ah di masjid atuapun shalat Jum’at. Al-Mardawi rahimahullah berkata,

وَيُعْذَرُ في تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ وَيُعْذَرُ أَيْضًا في تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Orang sakit diberi ‘udzur untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah tanpa ada perselisihan. Dan juga diberi ‘udzur (untuk meninggalkan shalat Jum’at dan shalat jama’ah) karena khawatir terkena penyakit.” (Al-Inshaaf, 2: 300)

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,

لا أعلم خلافا بين أهل العلم أن للمريض أن يتخلف عن الجماعات من أجل المرض

“Aku tidak mengetahui adanya perselisihan di antara para ulama bahwa orang sakit boleh meninggalkan shalat berjamaah karena penyakitnya.” (Asy-Syarh Al-Kabiir li Ibni Qudamah, 2: 82) 

Akan tetapi, boleh jika dia menginginkan untuk tetap shalat berjamaah di masjid selama tidak membahayakan dirinya. Sebagaimana perkataan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Dan sesungguhnya ada orang -dari kalangan sahabat di zaman beliau- (yang sakit tidak bisa jalan) dipapah di antara dua orang sampai diberdirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)

Akan tetapi, jika penyakitnya tersebut adalah penyakit menular (semisal penyakit Covid-19), maka hukumnya menjadi haram. Hal ini dengan beberapa pertimbangan berikut ini:

Pertama, tidak boleh menghadiri shalat jamaah jika kehadirannya menyakiti kaum muslimin. 

Dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa tersakiti dari bau yang juga membuat manusia merasa tersakiti (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)

Juga dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا، فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah dia memisahkan diri dari kami atau memisahkan diri dari masjid kami, dan hendaklah dia duduk di rumahnya.” (HR. Muslim no. 564)

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang makan bawang merah dan bawang putih dilarang mengikuti shalat jama’ah di masjid karena alasan akan mengganggu dan menyakiti kaum muslimin dengan bau tidak sedap yang ditimbulkan. 

Jika menyakiti kaum muslimin dengan bau tidak sedap saja menyebabkan seseorang dilarang menghadiri shalat berjamaah di masjid, lalu bagaimana lagi jika dia mengidap penyakit menular berbahaya yang bisa merenggut nyawa? Tentu larangannya akan lebih keras lagi. 

Kedua, mengingat kaidah “tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja”.

Terdapat kaidah yang sudah dikenal,

لا ضرر و لا ضرار

 “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain, baik sengaja ataupun tidak sengaja.”

Orang yang memiliki penyakit menular berbahaya, akan menimbulkan bahaya bagi orang lain jika hadir shalat berjamaah di masjid. Apalagi jika di masjid tersebut terdapat orang-orang berisiko tinggi terinfeksi SARS-CoV-2 dengan komplikasi serius, seperti orang-orang berusia lebih dari 60 tahun. 

Ketiga, mengingat kaidah “menolak mudharat lebih didahulukan daripada meraih manfaat”.

Juga mengingat kaidah fiqhiyyah lainnya yang sudah dikenal,

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Menolak potensi bahaya (mudharat) itu lebih didahulukan daripada meraih manfaat.” 

Mendapatkan pahala shalat berjamaah merupakan suatu manfaat besar yang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, jika hal itu dapat menimbulkan mudharat berupa semakin meluasnya penyakit menular yang mengancam jiwa, maka mudharat tersebut lebih didahulukan. Sehingga tidak boleh bagi orang tersebut menghadiri shalat berjamaah di masjid karena akan menyebabkan mudharat bagi kaum muslimin. 

Keempat, mengingat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk,

لاَ يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

“Jangan dikumpulkan (unta) yang sakit dengan (unta) yang sehat.” (HR. Bukhari no. 5771 dan Muslim no. 2221)

Jika orang yang positif Covid-19 tetap berkumpul bersama jamaah kaum muslimin, tentu akan bertentangan dengan isi kandungan hadits di atas.

Kelima, orang-orang yang positif menderita Covid-19 akan diisolasi oleh petugas kesehatan atas instruksi pemerintah, sehingga wajib taat. 

Dalam kondisi pandemi, pasien yang terkena wabah perlu diisolasi agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain. Isolasi tersebut memang akan membuat tidak nyaman bagi si pasien, karena dia tidak bisa beraktivitas secara bebas, termasuk tidak bisa ke masjid. Akan tetapi, itu hanyalah mudharat yang sifatnya terbatas untuk si pasien saja. Sedangkan ancaman mudharat (dharar) bagi orang banyak harus lebih diutamakan, mengingat kaidah:

يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر العام

“Membiarkan dharar yang dampaknya terbatas untuk menghilangkan dharar yang dampaknya lebih luas.” 

Ketika diisolasi, pasien tersebut bisa jadi diisolasi di dalam rumah sakit atau diisolasi di dalam rumah masing-masing, sehingga tidak mungkin ke masjid.

Keenam, ‘udzur-‘udzur yang menyebabkan bolehnya tidak shalat berjamaah juga menyebabkan bolehnya tidak shalat Jum’at. 

Dalam kitab As-Siraj Al-Wahhaaj Syarh Matni Al-Minhaaj (1: 84), Al-Ghamrawi rahimahullah berkata,

وَلَا جُمُعَةَ عَلَى مَعْذُورٍ بِمُرَخِّصٍ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ

“Tidak ada (kewajiban) shalat Jum’at bagi orang yang mendapatkan ‘udzur dengan keringanan sebagaimana yang bisa (membolehkan meninggalkan) shalat berjamaah.”

An-Nawawi rahimahullah berkata,

كل ما أمكن تصوره في الجمعة من الاعذار المرخصة في ترك الجماعة، يرخص في ترك الجمعة.

“Semua perkara yang bisa digambarkan terjadi di waktu shalat Jum’at berupa ‘udzur-‘udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jamaah, maka perkara tersebut bisa membolehkan meninggalkan shalat Jum’at.” (Raudhatuth Thalibiin, 1: 540)

Ketujuh, jika selama sehat orang tersebut terbiasa menghadiri shalat berjamaah di masjid, dia akan tetap mendapatkan pahala meskipun dia tidak bisa ke masjid karena terjangkit Covid-19.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari no. 2996)

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 menyatakan,

“Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat zuhur, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.”

Dari fatwa di atas bisa kita pahami bahwa tidak hanya yang terbukti positif (confirmed case), akan tetapi orang-orang dengan status suspect atau dalam pengawasan, sebaiknya tidak menghadiri shalat jamaah dan shalat Jum’at di masjid.

Kondisi kedua, jika orang tersebut belum terbukti positif terinfeksi SARS-CoV-2 (masih sehat).

Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya, terdapat beberapa kondisi (‘udzur syar’i) yang menyebabkan kewajiban shalat berjamaah menjadi gugur, di antaranya adalah hujan deras, sakit, angin kencang, dan sebagainya. Adanya wabah, apalagi level pandemi, tentu bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan ‘udzur-‘udzur tersebut, boleh tidak shalat berjamaah di masjid. 

Di antara alasan lain, boleh meninggalkan shalat berjamaah ketika makanan sudah dihidangkan. Dalam kondisi perut sangat lapar (sangat membutuhkan makanan) dan makanan pun sudah terhidang, seseorang diperbolehkan menyantap makanan terlebih dahulu dan meninggalkan shalat jamaah. Namun dengan catatan, tidak dijadikan sebagai kebiasaan [3]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ العَشَاءُ، فَابْدَءُوا بِالعَشَاءِ

“Jika shalat hampir ditegakkan (iqamah sudah dikumandangkan, pen.), sedangkan makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (HR. Bukhari no. 5465 dan Muslim no. 557)

Hikmahnya adalah untuk menghilangkan semua sebab yang dapat mengganggu ke-khusyu’-an shalat kita, di antaranya adalah adanya nafsu dan kebutuhan terhadap makanan dan minuman. Jika demikian, maka ketakutan akan terkena penyakit juga dapat mengganggu ke-khusyu’-an shalat. Lebih-lebih rasa takut tersebut adalah rasa takut yang beralasan karena pandemi Covid-19 ini bisa menyebabkan kematian atau sakit berat.

Dan bolehnya tidak shalat berjamaah di masjid juga sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu:

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

“Menolak potensi bahaya (mudharat) itu lebih didahulukan daripada meraih manfaat.” 

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 merinci dalam dua kondisi wabah di suatu wilayah,

Pertama, “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi, berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia boleh meninggalkan shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya.”

Kedua: “Dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar COVID-19, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.”

Bahkan bisa jadi, kaum muslimin tidak diperbolehkan menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjamaah jika kondisi semakin gawat.

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 menyatakan,

“Dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan banyak orang dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat tarawih, dan ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.” 

Demikian pula ulama Lajnah Daimah telah mengeluarkan fatwa khusus,

وبناء على ما تقدم فإنه يسوغ شرعاً إيقاف صلاة الجمعة والجماعة لجميع الفروض في المساجد والاكتفاء برفع الأذان، ويستثنى من ذلك الحرمان الشريفان، وتكون أبواب المساجد مغلقة مؤقتاً، وعندئذ فإن شعيرة الأذان ترفع في المساجد، ويقال في الأذان: صلوا في بيوتكم؛ لحديث بن عباس أنه قال لمؤذنه ذلك ورفعه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، والحديث أخرجه البخاري ومسلم. وتصلى الجمعة ظهراً أربع ركعات في البيوت.

“Berdasarkan pertimbangan sebelumnya, maka dibolehkan secara syariat untuk meniadakan shalat Jum’at dan shalat jamaah untuk semua shalat wajib di masjid dan mencukupkan diri dengan mengumandangkan azan. Dikecualikan dari hal ini adalah masjidil haram dan masjid nabawi. Sehingga pintu-pintu masjid ditutup sementara waktu. Dalam masa ini, syariat azan dikumandangkan di masjid. Dan dikatakan ketiak azan,

صلوا في بيوتكم

“Shalatlah di rumah-rumah kalian.”

Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata kepada muadzinnya, dan status hadits tersebut tersebut adalah marfu’ (berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. (Sebagai pengganti shalat jum’at), maka shalat zuhur empat rakaat di rumah masing-masing.” [4]

Demikian pembahasan ini, semoga Allah Ta’ala segera mengangkat wabah ini dari kaum muslimin.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55274-hukum-menghadiri-shalat-jamaah-dan-shalat-jumat-di-masjid-ketika-terjadi-wabah.html