3 Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala telah mengumpulkan dalam diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa jawaami’ kalim, yaitu ucapan beliau yang singkat, namun penuh dengan makna dan faidah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki wasiat-wasiat yang agung, kalimat yang indah. Siapa pun yang berusaha menggali dan mengamalkannya, niscaya dia akan beruntung di dunia dan di akhirat.

Salah satunya adalah hadits yang diceritakan dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

عِظْنِي وَأَوْجِزْ

“Berilah aku nasihat, namun ringkas saja.”

Dalam riwayat lain dikatakan,

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ

“Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku ilmu yang singkat dan padat.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari). Dan kumpulkan rasa putus asa dari apa yang di miliki orang lain.” (HR. Ahmad no. 23498, Ibnu Majah no. 4171. Lihat Ash-Shahihah no. 401)

Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tiga perkara yang mengumpulkan seluruh kebaikan.

Pertama, wasiat untuk menjaga shalat dan mendirikan shalat dalam kondisi yang paling sempurna.

Wasiat yang pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa siapa saja yang hendak mendirikan shalat, hendaklah dia shalat sebagaimana shalat orang-orang yang hendak berpisah. Kita tentu mengetahui bahwa orang yang akan bepergian jauh dengan niat tidak akan pernah kembali, tentu berbeda kondisinya dengan orang yang bepergian namun akan segera kembali pulang.

Demikian pula orang yang sedang mendirikan shalat. Jika dia menghadirkan dalam hatinya, seolah-olah shalat tersebut adalah shalat yang terakhir, tentu dia akan berusaha untuk shalat sebaik mungkin, dia akan sungguh-sungguh, membaguskan gerakan dan bacaannya, dan berusaha khusyu’ dalam semua posisi shalat. Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin berusaha untuk memperhatikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang satu ini dalam setiap shalat yang dia dirikan. Dia merasa bahwa shalat tersebut adalah shalat yang terahir, dia merasa tidak akan shalat lagi setelah itu, dia shalat sebagaimana orang yang akan bepergian jauh dan tidak akan pernah kembali. Jika perasaan semacam ini hadir, diharapkan dia akan mendirikan shalat secara sempurna.

Kedua, wasiat untuk menjaga lisan.

Wasiat kedua adalah wasiat untuk menjaga lisan. Lisan adalah perkara paling berbahaya dalam diri seorang manusia. Jika ada kalimat yang keluar dari lisan seseorang, maka dia harus bertanggung jawab alias menanggung akibatnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari).” Maksudnya, kita menyesal kemudian sibuk meminta maaf kepada orang lain sebagai akibat dari kalimat yang kita ucapkan tersebut.

Ya, hari ini kita mengucapkan suatu kalimat, lalu di kemudian hari kita sibuk meminta maaf atas kalimat yang kita ucapkan. Atau di kemudian hari kita sibuk membuat klarifikasi atas pernyataan yang kita buat. Hal ini karena ternyata kalimat tersebut menyakiti orang lain, misalnya.

Ini pula yang diwasiatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا ، فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?”

Aku (Mu’adz) menjawab, “Ya, wahai Nabi Allah.”

Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda, “Tahanlah lidahmu ini.”

Aku bertanya, “Wahai Nabi Allah, (apakah) sungguh kita akan diazab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan?”

Beliau menjawab, “(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 5136)

Dalam hadits yang lain, diceritakan oleh shabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

“Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan menutupi (kesalahan) lisan lalu berkata, “Takutlah pada Allah tentang kami, kami bergantung padamu. Apabila Engkau lurus, kami pun lurus. Dan apabila Engkau bengkok, kami pun (ikut) bengkok.” (HR. Ahmad no. 11908, Tirmidzi no. 2407. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 351)

Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan kamu sesali (di kemudian hari)”; mengingatkan kita untuk selalu muhasabah dengan diri kita sebelum mengucapkan suatu perkataan. Hendaklah dia merenungkan, apakah ada kebaikan dalam kalimat yang akan dia ucapkan? Jika yang dia dapati hanya keburukan, tentu dia akan segera menahan lisannya. Begitu pula jika dia tidak tahu apakah dampaknya akan baik atau buruk, dia pun akan menahan diri sampai perkara tersebut jelas baginya.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ

“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47)

Ketiga, wasiat untuk memiliki sifat qana’ah.

Wasiat ketiga mengandung pelajaran untuk bersikap qana’ah, dan menggantungkan hati sepenuhnya kepada Allah Ta’ala, bukan kepada manusia, siapa pun mereka. Kumpulkanlah rasa putus asa atas apa yang dimiliki oleh orang lain, jangan berharap kepada mereka, dan gantungkanlah harapanmu hanya untuk Allah Ta’ala saja. Engkau tidak meminta, kecuali hanya meminta kepada Allah Ta’ala. Engkau tidak berharap, kecuali hanya berharap kepada Allah Ta’ala saja. Engkau berputus asa dari siapa pun, kecuali Allah Ta’ala. Sehingga Engkau pun hanya berharap kepada Allah Ta’ala saja. Shalat adalah penghubung antara seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga shalat adalah sarana utama untuk mendapatkan pertolongan dari Allah Ta’ala.

Jika seseorang hanya berharap kepada Allah Ta’ala, dia akan hidup dengan qana’ah, dia hanya bertawakkal kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala pun akan mencukupinya di dunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala mengatakan,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya?” (QS. Az-Zumar [39]: 36)

Allah Ta’ala mengatakan,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id