Memasuki tahun politik dimana tinggal menghitung bulan untuk melangsungkan pemilihan umum atau pemilu serentak secara nasional pada Februari 2024 mendatang, para pasangan calon (paslon) baik tingkat eksekutif maupun legislatif sudah mulai mengkampanyekan visi dan misi yang akan mereka realisasikan saat terpilih nantinya.
Seringkali dalam mengkampanyekan visi dan misinya tersebut didefinisikan sebagai janji-janji politik belaka. Janji menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih pemimpin.
Namun janji-janji yang sudah dibuat tersebut pada akhirnya tidak sedikit yang diingkari atau tidak direalisasikan sebagaimana mestinya. Padahal menurut Islam sebuah janji adalah hutang, dimana jika sudah berjanji maka hukumnya wajib untuk ditepati.
Dalam konteks pemimpin yang tidak memenuhi janjinya, bagaimana hukum mengingkari janji-janji tersebut dalam Islam? Apakah janji yang diumbar saat kampanye wajib ditepati?
Berikut Ini Pembagian Status Janji
Berdasarkan hasil Sidang Komis Bahtsul Masail Ad-Diniyyah al-Waqi’iyyah pada Muktamar NU ke 33 yang digelar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mengatakan bahwa status janji yang disampaikan oleh calon pemimpin pemerintahan atau pejabat publik, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif dalam istilah fiqh ada dua kategori, yakni al-wa‘du (memberikan harapan baik) dan ada yang masuk kategori al-‘ahdu (komitmen).
Adapun hukumnya dapat diperinci sebagai berikut:
Pertama, apabila janji itu berkaitan dengan tugas jabatannya sebagai pemimpin rakyat, baik yang berkaitan dengan program maupun pengalokasian dana, sedangkan ia menduga kuat bakal mampu merealisasikannya maka hukumnya mubah (boleh). Sebaliknya jika ia menduga kuat tidak akan mampu untuk merealisasikannya maka hukumnya haram (tidak boleh).
Sementara itu, jika yang dijanjikan tersebut dari dana pribadi dan diberikan sebagai imbalan agar ia dipilih maka hukumnya adalah haram, karena masuk dalam kategori janji riswah (suap).
Kedua, apabila janji-janjinya tersebut sesuai dengan tugasnya dan tidak menyalahi prosedur maka wajib ditepati. Ketiga, pemimpin yang tidak menepati janji harus diingatkan, meskipun selama menjadi pemimpin yang sah tetap harus ditaati.
Inilah Penjelasan Imam Ghazali
Adapun dasar dari keharaman mengingkari janji bagi pemimpin yang mampu melaksanakannya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, tentang pentingnya menepati janji. Menurut Imam Ghazali, seseorang yang berjanji harus memiliki niat untuk memenuhi janjinya. Jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk mengingkari janjinya, maka ia termasuk orang munafik.
Sedangkan jika seseorang berjanji dengan bertekad untuk memenuhi janjinya, tetapi kemudian ada alasan yang menghalanginya untuk memenuhi janjinya, maka ia tidak termasuk orang munafik. Namun, ia tetap harus berhati-hati dari gambaran nifak, yaitu perbuatan yang menyerupai perbuatan orang munafik. Abil Faidh Muhammad bin Muhammad Al Husaini dalam kitab Ithafu as Sadah al Muttaqin bi Syarh Ihya Ulumiddin halaman 506, menjelaskan:
ثم إذا فهم مع ذلك الجزم في الوعد فلا بد من الوفاء إلا أن يتعذر ، فإن كان عند الوعد عازما على أن لا يفي فهذا هو النفاق ، قال النبي – صلى الله عليه وسلم – : ” ثلاث من كن فيه فهو منافق ، وإن صام وصلى وزعم أنه مسلم : إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان ” وقال – صلى الله عليه وسلم – : ” أربع من كن فيه كان منافقا ، ومن كانت فيه خلة منهن كان فيه خلة من النفاق حتى يدعها : إذا حدث كذب ، وإذا وعد [ ص: 195 ] أخلف ، وإذا عاهد غدر ، وإذا خاصم فجر “
Artinya: “Kemudian, jika dalam janji tersebut terdapat keputusan, maka harus ditepati, kecuali jika ada uzur yang menyulitkan. Jika seseorang berjanji, kemudian sudah bertekad untuk tidak menepatinya, maka itulah bentuk kemunafikan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga sifat yang jika ada pada seseorang, maka ia adalah orang munafik, meskipun ia puasa dan shalat dan mengaku sebagai muslim: jika ia berbicara maka ia berdusta, jika ia berjanji maka ia mengingkari, dan jika ia dipercaya maka ia berkhianat.”
Perintah Allah soal Tepat Janji
Sementara itu, dalam Al-Qur’an Q.S An-Nahl [16] ayat 91, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk selalu menepati janji, baik janji kepada Allah maupun janji kepada sesama manusia. Janji kepada Allah adalah janji yang dibuat dengan Allah, seperti janji untuk beribadah, janji untuk berbuat baik, atau janji untuk menjauhi perbuatan maksiat. Janji kepada sesama manusia adalah janji yang dibuat dengan orang lain, seperti janji untuk membantu, janji untuk memenuhi kewajiban, atau janji untuk menjaga rahasia.
وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ
Artinya: “Tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji. Janganlah kamu melanggar sumpah(-mu) setelah meneguhkannya, sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
“Disebutkannya hal ini dalam konteks celaan menunjukkan bahwa melanggar janji itu dilarang. Dikisahkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Janji seorang mukmin itu wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim), yaitu janjinya wajib ditepati.”
Adapun dari penjelasan di atas dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa hukum menepati janji bagi setiap calon pemimpin merupakan salah satu kewajiban.
Penulis : Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul