Zionisme Talmudian adalah Musuh Kemanusiaan

Memilih bertahan dan melawan adalah jalan juang satu-satunya, bukan hanya mempertahankan tanah air Palestina semata, tapi ada Masjid Suci Al Aqsha, dan juga menghilangkan musuh kemanusiaan agar tidak merusak dunia

Oleh: Muhammad Syafii Kudo

“Masyarakat goyim adalah segerombolan domba dan kita adalah serigala mereka. Anda tahu apa yang terjadi ketika serigala-serigala mendatangi gerombolan domba tersebut?” (Protokol Zionis No. 11, Pasal 4)

SIAPAKAH Goyim (Gentile)? Tentu saja orang Non Yahudi. Dalam protokol Zionis No. 15 pasal 8 disebutkan bahwa orang-orang Non Yahudi (Goyim) adalah sapi perahan.

”...bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang serius, jangan pernah berhenti kapan saja dan menghitung para korban yang berjatuhan demi tujuan tersebut .... Kita belum pernah menghitung para korban cikal bakal sapi goyim ini, walau kita telah banyak mengorbankan orang kita sendiri. Tapi untuk itu, kita sekarang sudah memberikan mereka suatu tempat di dunia yang tidak pernah mereka impikan sebelumnya. Jumlah para korban dari pihak kita yang secara perbandingan kecil telah menyelamatkan kebangsaan kita dari kehancuran.” (We Are Wolves; Terjemah Lengkap 24 Pasal Protocol of Zion, Pustaka Nauka: Jakarta, tahun 2002, hal 105).

Jika menilik pernyataan di atas maka tidak heran jika ada pernyataan dari beberapa petinggi Zionis dalam agresi terhadap rakyat Gaza yang begitu menabrak batasan kemanusiaan serta melanggar aturan perang yang terikat peraturan Internasional.

Seperti yang diucapkan oleh Menteri Pertahanan ‘Israel’, Yoav Gallant yang menghina pejuang Hamas dengan menyebut mereka sebagai binatang. Oleh karena itu, Zionis ‘Israel’ merasa perlu untuk melakukan tindakan yang sesuai untuk melawan binatang.

“Kita sedang melawan binatang, maka kita bertindak yang sesuai saat melawan binatang,” katanya dikutip dari Al Arabiya, Senin (9/10/2023).

Pernyataan fasis dan rasis itu kemudian ditindaklanjuti dengan memutus pasokan listrik, air, gas, distribusi makanan dan bahkan belakangan jaringan internet.

Ini selayaknya hukuman kolektif bagi penduduk Gaza, meskipun dalam aturan perang internasional tidak boleh ada penyerangan terhadap warga sipil, fasilitas umum dan apapun yang tidak ada kaitannya dengan musuh yang dihadapi.

Namun semua itu dilanggar oleh kolonial Zionis yang ironisnya didukung penuh oleh negara “tutor” demokrasi dan HAM dunia, Amerika Serikat, yang merupakan jongos paling setia.

Apakah tindakan superior rasisme Zionis itu terbentuk di ruang hampa belaka tanpa ada landasan yang melatarbelakanginya? Sayangnya tidak. Di dalam Genesis disebutkan:

“Pada hari itulah Tuhan mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman : ‘Kepada keturunanmulah Aku berikan negeri ini, mulai dari sungai (Nil) Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat.” (Genesis, 15:18).

Landasan teologis (yang dibajak) inilah yang membuat kaum Zionis sangat militan dan konsisten selama ini dalam mewujudkan cita-cita besarnya yakni mendirikan Negara ‘Israel’ Raya, sebuah negara untuk kaum Yahudi yang mana pendirian negara tersebut mereka anggap sebagai mandat dari Tuhan kepada mereka yang merasa sebagai Bangsa Pilihan Tuhan di muka bumi.

Cita-cita besar itu mereka tuangkan ke dalam nilai filosofi desain bendera kebangsaan mereka. Mengutip Intisari Online, perkembangan awal bendera ‘Israel’ merupakan bagian dari kemunculan Zionisme di akhir abad ke-19.

Jacob Askowith dan putranya Charles merancang “bendera Yehuda,” yang dipajang pada tanggal 20 Juli 1891, di aula B’nai Zion Educational Society di Boston, Massachusetts, AS.

Berdasarkan ṭallit tradisional, atau syal doa Yahudi , bendera itu berwarna putih dengan garis-garis biru sempit di dekat tepinya dan di tengahnya terdapat Perisai Daud berujung enam dengan kata Makabe dalam huruf-huruf biru.

Isaac Harris dari Boston mempresentasikan gagasan bendera ini pada tahun 1897 kepada Kongres Zionis internasional pertama, dan yang lainnya, termasuk David Wolfsohn, muncul dengan desain serupa.

Variasi digunakan oleh gerakan Zionis yakni Grup Brigade Yahudi tentara Inggris selama Perang Dunia II. Dan pada 29 November 1947, ketika orang-orang Yahudi ‘Israel’ turun ke jalan untuk merayakan resolusi pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB), mereka mengibarkan bendera WZO dan menggunakannya sebagai simbol pemersatu.

Bendera Zionis akhirnya dipajang di Palestina dan dikibarkan ketika ‘Israel’ memproklamasikan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948. Pada 12 November tahun 1948, sebuah undang-undang yang diadopsi oleh Knesset, parlemen ‘Israel’, mulai berlaku mengakui spanduk Zionis sebagai bendera nasional resmi. (intisari.grid.id).

Jika menilik penjelasan beberapa sumber yang “netral” disebutkan bahwa warna putih di bendera Zionis itu sebagai perlambang dari lambang cahaya, kejujuran, kesucian dan kedamaian.

Sedangkan warna biru ditafsirkan sebagai lambang kepercayaan, kesetiaan, hikmat, keyakinan diri, kepandaian, iman, kebenaran, dan langit/surga.

Namun bagi mereka yang selama ini mengikuti sepak terjang gerakan Zionis Internasional, tentu tahu bahwa tafsiran dari bendera Zionis tidaklah sesederhana itu.

Bendera ‘Israel’ sebenarnya adalah simbolisasi rencana besar yang akan diwujudkan dengan segala cara oleh Zionis. Bintang David terletak persis di tengah, diapit garis biru di atas dan di bagian bawah bendera.

Bintang David mengisyaratkan sebagai tanah untuk ‘Israel’ Raya. Garis biru di bagian atas bendera adalah simbolisasi sungai Eufrat yang berujung di bagian Barat kota Kufah, Iraq dan berakhir di pantai Teluk Persia.

Sementara garis biru di bagian bawah menggambarkan Sungai Nil yang berada di Mesir.  Jadi bukan hanya Palestina yang akan menjadi sasaran negara Yahudi ini tapi juga sebagian besar negara-negara Arab di Timur Tengah.

Inilah sebabnya melalui Amerika Serikat, ‘Israel’ sering ngotot dan berteriak untuk mewujudkan The New Map of Middle East (Peta Baru Timur Tengah). Mereka akan sekuat tenaga mewujudkan wajah baru wilayah dunia Islam dan akan mengubah peta Timur Tengah.

Itu pula yang membuat salah seorang juru bicara Hamas di Gaza, Mahmud Zahar, pada tahun 2006 silam mengeluarkan statemen dan melakukan penolakan pada bendera ‘Israel’.

Selepas memenangkan pemilihan umum di Palestina, Hamas segera menandaskan sikapnya. Tidak saja menolak ‘Israel’, tetapi juga sampai tuntutan-tuntutan detail seperti desakan bagi ‘Israel’ untuk mengubah bendera mereka.

Menurut Hamas, dua garis biru pada bendera ‘Israel’ adalah simbol penjajahan.  Dengan dua garis biru itu ‘Israel’ menarik dan membentangkan wilayah penjajahannya dari sungai Eufrat sampai sungai Nil. (Herry Nurdi, Membongkar Rencana ‘Israel’ Raya, 2009).

Peta Baru Timur Tengah (The New Map Of Middle East) inilah salah satu yang membuat HAMAS memutuskan melakukan serangan (amaliyah jihadiyah) pada 07 Oktober 2023 selain sebagai bentuk perlawanan terhadap blokade penjajah Zionis selama 16 tahun.

Belakangan ditambah dengan makin kurang ajarnya Zionis dalam menodai kesucian Masjidil Aqsha dan membunuhi warga Palestina serta penggusuran paksa pemukiman warga Palestina untuk dijadikan pemukiman bagi warga Zionis ‘Israel’.

Sebelumnya diberitakan bahwa Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu dengan jumawa memamerkan peta “Timur Tengah Baru” saat berpidato di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada Jumat (22/9/2023).

Netanyahu menunjukkan peta berjudul “New Middle East” saat sedang membahas soal isu normalisasi dengan Arab Saudi. Dia mengatakan selama puluhan tahun ‘Israel’ dikelilingi dunia Arab yang bermusuhan. 

Namun kini Netanyahu menyatakan bahwa  ‘Israel’, yang dibantu Amerika Serikat, telah berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara Arab seperti Uni Emirat Arab, Sudan, hingga Bahrain.

Menurutnya jika terjadi perdamaian antara Arab Saudi dan ‘Israel’ maka akan membawa kemungkinan kemakmuran dan perdamaian ke seluruh planet ini. Seluruh Timur Tengah juga akan berubah.

Ia juga menggambarkan jalur yang dianggap akan bermanfaat jika ‘Israel’ menjalin hubungan dengan Saudi. Netanyahu menandai jalur tersebut dengan spidol merah dari Asia hingga ‘Israel’.

Peta Baru Timur Tengah paparan Netanyahu tanpa pencantuman nama Palestina itu jelas merupakan manifestasi dari goal utama ‘Israel’ Raya yang berencana menguasai seluruh Timur Tengah.

Mengapa Timur Tengah sangat penting bagi Zionis ‘Israel’? Sebab menurut Prof. Karl Ernst Haushofer, seorang Pakar Geopolitik berdarah Yahudi Jerman, ”Barangsiapa menguasai Timur Tengah, maka ia menguasai dunia. Dan barangsiapa yang menguasai Palestina, maka Ia telah menguasai jantung dunia.”

Maka pernyataan seorang pendakwah salafi yang menyuruh penduduk Gaza agar hijrah adalah sebuah pernyataan yang agaknya ada kemiripan dengan kemauan Zionis ‘Israel’. Karena dengan mengosongkan Gaza maka tinggal selangkah lagi seluruh Palestina menjadi jajahannya sebab hanya Gaza lah yang selama ini jadi batu sandungan Zionis untuk mewujudkan Peta Baru Timur Tengah nya.

Maka memilih bertahan dan melawan adalah jalan juang satu-satunya, bukan melulu untuk mempertahankan tanah air namun juga untuk mempertahankan identitas bangsa Arab Palestina yang selama ini ditunjuk sebagai penjaga Masjid Suci Al Aqsha.

Dan Zionis ‘Israel’ paham betul karakter penduduk Gaza yang tangguh itu, sehingga tanpa membuang waktu semua fasilitas umum mereka musnahkan, mulai dari gedung sekolah, rumah sakit, Masjid, Gereja tua, hingga yang terbaru mereka jatuhkan 60 ton bom ke atas kamp pengungsian terbesar di Gaza, Jabaliya,  yang menewaskan hampir 200 an orang.

Semua ini adalah bentuk kejahatan perang menurut Hukum Humaniter Internasional karena Zionis ‘Israel’ melakukan Indiscriminate Bombardment yang merujuk pada serangan tanpa pandang bulu. Dan ini membuktikan bahwa Zionis ‘Israel’ tidak kenal bahasa kemanusiaan.

Ini sekaligus jawaban bagi sebuah tulisan di sebuah portal daring yang bertajuk “Simalakama di Jalur Gaza” yang ditulis oleh seorang kolumnis yang intinya mengangkat pembahasan sebuah pilihan yang sulit (simalakama) bagi warga Gaza bahwa saat mereka diam saja akan dibunuhi oleh Zionis namun saat melawan akan otomatis dicap sebagai pejuangme oleh Dunia Barat.

”Kemanusiaan dan perdamaian dunia harus dijadikan supremasi serta ruh dalam formula sistem hukum internasional, termasuk dalam mengambil kebijakan bagi dua bangsa ini. Untuk jangka pendek, gencatan senjata harus disegerakan guna mengedepankan jeda kemanusiaan,” tulisnya di laman detik.com.

Pendapat kolumnis itu adalah sebuah harapan indah yang tentunya dikehendaki oleh seluruh pecinta kemanusiaan dan perdamaian. Namun harapan indah itu nyatanya selama ini hanya menjadi bunga kertas belaka sebab Zionis tidak pernah mengenal bahasa kemanusiaan.*

Penulis peminat masalah sejarah

HIDAYATULLAH