Tahdzir atau memperingatkan umat terhadap bahaya dai yang menyimpang adalah bagian dari agama. Karena ini bentuk amar makruf nahi mungkar dan upaya untuk menjaga kemurnian agama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun melakukan tahdzir terhadap orang-orang menyimpang secara umum maupun secara khusus. Dari Abu Umayyah al Jumahi Radhiallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إن من أشراط الساعة أن يلتمس العلم عند الأصاغر
“Di antara tanda kiamat adalah orang-orang menuntut ilmu dari al ashoghir” (HR. Ibnul Mubarak dalam Az Zuhd [2: 316], Al Lalikai dalam Syarah Ushulus Sunnah [1: 230], dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah [695]).
Ibnul Mubarak ketika meriwayatkan hadis ini, beliau menjelaskan,
الأصاغر : أهل البدع
“Al Ashoghir adalah ahlul bid’ah”
Ini bentuk tahdzir secara umum.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang Dzul Khuwaisirah,
إِنَّهُ يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِىءِ هذَا قَوْمٌ يَتْلُوْنَ كِتَابَ اللهِ رَبْطًا، لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ.
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini, sekelompok kaum yang membaca Kitabullah (Al-Quran) secara rutin. Namun bacaan Al-Quran mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka melesat dari (batas-batas) agama seperti anak panah yang melesat menuju sasarannya” (HR. Bukhari no. 3344, 7432, Muslim no. 1064).
Ini bentuk tahdzir secara khusus.
Oleh karena itu, Syekh Shalih Al Fauzan Hafizhahullah menjelaskan,
التحذير من أهل الضلال هذا واجب، التحذير من الأخطاء في أمور الدين هذا واجب ونصيحة للمسلمين وليس فيه غِيبة لأنه مقصودٌ به النصيحة وليس المقصود به تَنَقُّص الشخص
“Tahdzir terhadap orang-orang yang menyimpang hukumnya wajib. Tahdzir terhadap kesalahan-kesalahan agama (yang ada di tengah umat) hukumnya wajib, dan ini bentuk nasihat untuk kaum Muslimin. Tahdzir itu bukan ghibah. Karena tujuan dari tahdzir adalah untuk menasihati kaum Muslimin, bukan untuk merendahkan individu tertentu” (transkrip fatwa dari: https://ar.alnahj.net/audio/353).
Tahdzir bukan berarti menganggap diri suci
Demikian juga, ketika ada ulama atau ustadz yang memperingatkan umat terhadap bahaya dai yang menyimpang, bukan berarti ulama atau ustadz tersebut menganggap dirinya suci.
Yahya bin Ma’in Rahimahullah, seorang ulama ahlul hadits, imam dalam jarh wat ta’dil. Penilaian-penilaian Yahya bin Ma’in Rahimahullah sangat diperhitungkan dalam menilai status perawi hadis. Walaupun demikian, beliau mengatakan,
إنا لنطعن على أقوام لعلهم قد حطوا رحالهم في الجنة منذ مائتي سنة
“Sesungguhnya kami mencela (menyebutkan jarh) orang-orang (yaitu para perawi hadis) yang bisa jadi akan menjejakkan kaki mereka di surga 200 tahun lebih dahulu” (Muqaddimah Ibnu Shalah, tahqiq Dr. Aisyah Abdurrahim, hal. 656).
Beliau tidak merasa lebih baik dari para perawi yang beliau kritik.
Maka jika ada ulama atau ustadz ahlus sunnah yang memperingatkan umat agar menjauhi seorang yang menyimpang atau dai yang sesat, bukan berarti ulama atau ustaz ahlussunnah tersebut menyucikan dirinya, merasa pasti lebih baik, “mengaveling surga”, merasa lebih saleh atau semisalnya. Tidak sama sekali.
Urusan surga, bisa jadi yang dikritik atau di-tahdzir itu lebih dulu masuk surga, lebih mulia derajatnya, lebih salih. Karena tidak ada yang mengetahui perkara surga kecuali Allah Ta’ala, dan tidak ada yang mengetahui bagaimana akhir kehidupan setiap manusia kecuali Allah Ta’ala.
Namun tetap saja, penyimpangan dan kesesatan perlu diingkari dan diperingatkan. Untuk melindungi umat dari penyimpangan dan untuk menjaga kemurnian agama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah ketika ada yang bertanya kepada beliau, “Anda lebih menyukai ketika seseorang yang rajin puasa, rajin salat dan rajin iktikaf ataukah ia bicara tentang ahlul bidah?” Imam Ahmad Rahimahullah menjawab,
إذا قام وصلى واعتكف فإنما هو لنفسه، وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين؛ هذا أفضل
“Jika seseorang beribadah, salat, iktikaf, maka itu semua untuk dirinya sendiri. Namun, jika ia bicara tentang ahlul bidah, maka itu manfaatnya untuk kaum Muslimin, ini yang lebih utama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari perkataan ini, beliau berkata,
فبَيَّنَ أن نفع هذا عام للمسلمين في دينهم من جنس الجهاد في سبيل الله، إذ تطهير سبيل الله ودينه ومنهاجه وشرعته ودفع بغي هؤلاء وعدوانهم على ذلك واجب على الكفاية باتفاق المسلمين، ولولا من يقيمه الله لدفع ضرر هؤلاء لفسد الدين
“Imam Ahmad menjelaskan bahwa menjelaskan penyimpangan ahlul bidah ini manfaatnya luas untuk kaum Muslimin, dan termasuk jihad fii sabilillah. Karena memurnikan jalan Allah, agama Allah, memurnikan cara beragama, memurnikan syariat-Nya, serta mencegah kezaliman dari musuh-musuh Allah yang merusak agama, ini adalah wajib kifayah menurut kesepakatan ulama. Jika tidak ada orang yang Allah jadikan sebagai pembela agamanya, untuk mencegah dari bahaya mereka, maka agama akan rusak” (Majmu Al Fatawa, 28: 231-232).
Dari sini juga kita paham bahwa dalam menjelaskan penyimpangan ahlul bid’ah dan memperingatkan umat dari dai sesat, butuh kepada niat yang ikhlas. Yaitu untuk menjaga kemurnian agama dan melindungi umat dari kesesatan.
Jangan sampai niat dikotori oleh urusan pribadi, sakit hati, menumpahkan emosi, mencari popularitas, mencari pujian, dan niat-niat yang batil yang lainnya.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
Sumber: https://muslim.or.id/67830-tahdzir-terhadap-dai-menyimpang-bukan-berarti-merasa-suci.html