Bulan lalu saya membesuk anak seorang teman yang tengah menjalani opname di sebuah rumah sakit di Tulungagung, Jawa Timur. Selama empat hari anak itu dirawat karena gangguan lambung dan pencernaan.
Ibu dari anak itu seorang diri membesarkan empat putra-putrinya. Suaminya sudah meninggal sekitar 10 tahun lalu karena kecelakaan. Semula saya menduga, dia akan sedikit mengalami masalah saat harus membayar biaya perawatan sang anak.
Dugaan saya ternyata meleset. Dia justru merasa bersyukur lantaran kali ini tak mengeluarkan sepeser pun dana untuk kebutuhan perawatan sang anak. Keikutsertaan dia dalam program BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan telah menyelesaikan urusan dana yang harus ditanggungnya.
Berkali-kali teman saya itu mengucapkan rasa syukur karena telah memilih untuk mengikuti BPJS Kesehatan. Dia merasa terbantu dan memuji program pemerintah ini.
Ada pula cerita tentang seorang teman yang harus menjalani operasi karena mengidap kanker stadium dini. Operasi di sebuah rumah sakit di Surabaya yang biayanya mencapai lebih dari Rp 200 juta itu tak membuat teman saya menngalami kesulitan. Ya, lagi-lagi kepesertaannya dalam program BPJS Kesehatan telah membantunya.
Di balik itu, tentu masih banyak kasus yang berbeda, yakni adanya masyarakat yang mengalami pelbagai kendala saat akan menggunakan jasa BPJS. Ini tak menutupi fakta adanya keterbatasan dalam pelayanan BPJS Kesehatan.
Di tengah suasana seperti ini, mendadak Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan BPJS Kesehatan sebagai suatu hal yang tak sesuai syariah. Sudah pasti banyak masyarakat yang terkejut bukan kepalang.
Hal yang dianggap tak sesuai syariah oleh MUI adalah unsur gharar (tipuan), maysir (untung-untungan), dan riba (bunga). Unsur tipuan itu terjadi karena ada peserta BPJS Kesehatan yang terlambat membayar iuran lalu terkena denda 2 persen. Selain itu, akibat keterlambatan membayar iuran itu, pasien tersebut tak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Unsur untung-untungan dapat diuraikan berdasarkan prinsip asuransi. Dengan membayar iuran yang belum seberapa atau masih sedikit, seseorang bisa mendapatkan biaya pengobatan yang nilainya berlipat ganda.
Adapun unsur riba adalah pemanfaatan iuran bulanan atau premi. Banyak yang mendapat informasi, bahwa dana yang terkumpul dari mobilisasi uang rakyat itu dipergunakan untuk kegiatan yang mendapatkan untung dari hasil rente. Oleh sebab, itu MUI menganggap hal ini haram.
Sebagian kalangan menyetujui pandangan MUI tersebut. Lantaran itu, pemerintah diminta untuk memenuhi apa yang menjadi ‘fatwa’ ulama tersebut dan menggantikannya dengan produk sejenis yang memenuhi unsur syariah.
Suara penentangan tentu juga ada. Bahkan, mereka yang tak setuju dengan pandangan MUI itu sepertinya jauh lebih banyak. Mereka heran saat MUI menyebut BPJS Kesehatan sebagai sesuatu yang tak sesuai syariah. Menurut mereka, sejak awal BPJS Kesehatan memang bukan produk ekonomi syariah, lalu mengapa diharuskan memenuhi unsur syariah?
Sangat banyak produk milik oleh negara yang sejak awal memang didesain bukan merupakan aktivitas berbasis syariah. Sebut saja perbankan, asuransi, modal ventura, maupun produk lain nonkeuangan yang jumlahnya bejibun.
Jika masalah pemenuhan unsur syar’i (sesuai kaidah syariah) atau tidak, ada hal lain yang menurut saya juga perlu mendapat perhatian MUI. Dana haji yang terkumpul dan dibayarkan oleh jutaan calon jamaah haji bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan triliun rupiah. Mereka telah membayar dana haji sekitar Rp 25 juta kontan, padahal keberangkatan mereka masih beberapa tahun lagi.
Malahan ada yang baru terjadwal berangkat atau menunggu hingga 20 tahun ke depan. Jika dalam satu tahun musim haji saja tak kurang dari 200.000 jamaah dari Indonesia yang berangkat, maka jika dikalikan 10 saja (ada yang menunggu sampai 20 tahun) akan dana dua juta calon jamaah yang telah membayar biaya haji ke pemerintah. Bagaimana pula dengan peruntukan dana yang mengendap lama itu?
Apakah calon jamaah haji juga mendapat penjelasan detail tentang hal itu? Rasanya tak pernah ada. Apalagi faktanya, dana haji ini pun telah dikorupsi oleh pejabat Kementerian Agama. Hal seperti ini yang mestinya juga menjadi sorotan MUI karena langsung terkait aktivitas umat.
Syukurlah, Ketua Umum MUI Pusat, Din Syamsuddin, meredakan ketegangan itu. Din seolah menjadi penengah antara pengelola BPJS Kesehatan dan MUI. Ia lalu menyatakan, bahwa tak ada fatwa haram tentang BPJS Kesehatan. MUI hanya ingin memberi masukan agar BPJS Kesehatan lebih disempurnakan.
Penjelasan Din ini tentu lebih bisa diterima masyarakat luas. Suatu hal yang pasti, konsep dan mungkin pelaksanaan BPJS Kesehatan memerlukan penyempurnaan. Oleh karena itu, perbaikan atas program tersebut perlu terus mendapat perhatian pemerintah.
Masyarakat perlu terus mendorong upaya pemerintah untuk meningkatkan layanan di bidang kesehatan, termasuk program BPJS Kesehatan. Program perbaikan atau penyempurnaan layanan itu bisa jadi akan berlangsung terus-menerus, seiring dengan tuntutan dan perkembangan kehidupan masyarakat yang juga tak henti bergerak dinamis.
Secara bertahap, pemerintah harus mengupayakan untuk meningkatkan anggaran di bidang kesehatan. Model mobilisasi dana kesehatan semacam BPJS bukan tak mungkin kelak harus diubah. Dana iuran BJPS Kesehatan sebaiknya hanya diwajibkan untuk mereka yang berasal dari keluarga mampu. Sedangkan mereka yang berasal dari keluarga tak mampu, sudah semestinya bila pemerintah yang menanggung biayanya.
Malahan saat ini pun ada beberapa kalangan yang tak sependapat dengan penggalanngan dana iuran BPJS Kesehatan. Mereka menuding ini bagian dari manipulasi dana masyarakat. Pemerintah wajib terus meningkatkan anggaran kesehatan bagi masyarakat.
Saat ini anggaran kesehatan di Indonesia mencapai Rp 24,2 triliun. Angka ini merupakan 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Persentase anggaran kesehatan dibanding PDB ini termasuk 10 besar terendah di dunia.
Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika