Bagaimana mungkin seorang hamba mampu menjalani ketaatan dan mampu meninggalkan kemaksiatan, apabila Allah tak memberikan kemampuan itu kepadanya? Bagaimana bisa seorang hamba mendapatkan karunia ketaatan, tatkala dalam hatinya tiada rasa cinta kepada Dzat yang menganugerahi cinta kepadanya? Kemudian, bagaimana cara seorang hamba bisa mencintai Tuhannya, jikalau berupaya untuk mengenal-Nya saja tidak? (Baca: Tiga Cara Menanam Rasa Cinta Kepada Allah)
Oleh karenanya, para ahli ilmu–termasuk di antaranya adalah Gus Mus–kerap kali menyampaikan bahwa, kewajiban pertama bagi manusia ialah mengenal Allah Swt. (Awwalu wajib ‘alal insan ma’rifatullah). Setelah menjalani tahapan pertama, yakni mengenal Allah, baru kemudian seorang hamba bisa merasakan mahabbah kepada Allah, yang mana salah satu buah dari mahabbah itu ialah ketaatan kepada Allah Swt.
Baik mengenal Allah, mencintai-Nya, maupun taat kepada-Nya memanglah sama-sama penting bagi seorang hamba. Tetapi dengan mencermati ketiga fase yang telah disebutkan, dapat dimengerti bahwa terdapat tali yang menghubungkan antara perkenalan dengan ketaatan, yaitu mahabbah kepada Allah Swt. Pertanyaannya, lantas bagaimana bisa mengetahui bahwa seorang hamba telah menempuh jalan mahabbah menuju Allah?
Melalui kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan beberapa tanda cinta seorang hamba kepada Allah yang di dalam dirinya. Di antara tanda-tanda yang dimaksud ialah, merindukan perjumpaan dengan Dzat yang memberi rasa cinta kepada hamba-Nya, yaitu Allah Swt.
Sebagaimana umumnya yang biasa dirasakan, tatkala seseorang merindukan orang lain, maka tiada jalan lain baginya untuk menebus kerinduan itu selain dengan perjumpaan. Ketika kita merindukan orang lain, maka kita akan mengupayakan berbagai cara supaya bisa berjumpa. Andai pun diminta berjumpa, maka kita tak akan menolak ajakan itu.
Begitu juga ketika seorang hamba merindukan Tuhannya, maka yang paling ia nantikan ialah berjumpa dengan-Nya. Karena seorang hamba sejati tak akan pernah menolak panggilan untuk berjumpa dengan Tuhannya. Sikap demikian juga yang dicontohkan oleh Khalilurrahman: Nabi Ibrahim a.s.
Ketika Malaikat Maut datang menghadap Nabi Ibrahim a.s., atas perintah Allah untuk mencabut ruh, Nabi Ibrahim pun segera melayangkan sanggahan terhadap tujuan kedatangan Malaikat Maut. Nabi Ibrahim berkata, “Hal ra’aita khalilan yumitu khalilahu? (Apakah engkau pernah melihat, seorang kekasih membunuh orang yang dikasihi?)”. Sebagaimana kita tahu, Nabi Ibrahim merupakan orang yang diberi julukan Al-Khalil (kekasih) atau Khalilurrahman (sang kekasih dari Dzat Yang Mahapengasih). Sehingga pantas saja apabila Nabi Ibrahim menyanggah tujuan kedatangan Malaikat Maut dengan ucapan tersebut.
Tidak lama setelah Nabi Ibrahim berkata demikian, kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim. Tanpa perlu Malaikat Maut menjawab pertanyaan tersebut, dengan sendirinya dapat terjawab oleh wahyu Allah yang tidak lain ialah sebuah pertanyaan kebalikan atas sanggahan Nabi Ibrahim. Allah berfirman, “Hal ra’aita muhibban yakrahu liqa’a habibahu? (Adakah engkau menjumpai orang yang mengaku mencintai, tetapi enggan bertemu kekasihnya?)”
Mendapat pertanyaan demikian, Nabi Ibrahim kemudian menyapa kembali Malaikat Maut, seraya berkata, “Wahai Malaikat Maut, cabutlah ruhku sekarang juga!” Karena kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah, maka tak sedikit pun hatinya berpaling dari jalan menuju perjumpaan itu.
Kejadian sebagaimana yang disebutkan di atas tentu tidak dapat kita jumpai, kecuali dari seorang hamba yang benar-benar memiliki rasa cinta kepada Tuhannya, dengan sepenuh hati. Tatkala mengetahui bahwa kematian merupakan sebab dari adanya perjumpaan, maka seketika hatinya bergetar dan tak sedikit pun ada perasaan untuk beralih menuju kekasih yang lain, atau berpaling dari kesempatan berjumpa.
Mungkin saja selama ini kita masih mengira bahwa kematian merupakan saat di mana cinta yang kita rasa itu berhenti. Tetapi nyatanya tidak demikian. Karena tidak bisa dipungkiri bahwasanya kematian merupakan pintu pembuka menuju perjumpaan kepada kekasih yang sesungguhnya. Yang tidak lain adalah realisasi dari rasa cinta kepada Dzat Yang Mahacinta. Walahu a’lam bish shawab.