Tak terasa, bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini telah meninggalkan kita. Bulan yang penuh kemuliaan, ampunan, dan keberkahan ini telah pergi. Tak ada yang tertinggal, kecuali rasa senang karena telah Allah berikan kemampuan dan taufik untuk bisa maksimal di dalam memanfaatkan bulan Ramadan ini dengan baik ataupun rasa penyesalan karena belum bisa memaksimalkannya.
Saat kesempatan agung ini telah pergi, tersisa beberapa pertanyaan pada diri kita, apakah Allah Ta’ala menerima amal ibadah kita di bulan yang mulia ini? Apakah puasa yang kita lakukan, salat tarawih yang kita langsungkan, sedekah yang kita berikan, bacaan Al-Qur’an yang kita lantunkan, semuanya itu diterima oleh Allah Ta’ala? Ataukah kesemuanya itu berubah menjadi serpihan debu yang berterbangan tiada arti?
Lalu, adakah tanda-tanda yang bisa menunjukkan bahwa amalan-amalan kita telah diterima oleh Ta’ala?
Harus kita ingat bersama, sebuah amal tergantung akhirnya
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, hal pertama yang bisa kita lakukan adalah bertanya kepada diri sendiri, apakah kita sudah maksimal dalam melaksanakan ibadah di penghujung bulan Ramadan ini? Sudahkan kita memanfaatkan detik-detik akhir bulan Ramadan ini dengan memperbanyak amal dan bacaan Al-Qur’an? Ataukah justru di penghujung Ramadan ini intensitas amal ibadah kita menjadi berkurang karena kesibukan duniawi yang melalaikan?
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ الجَنَّةِ، فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ، وإنَّه لَمِنْ أهْلِ النَّارِ، ويَعْمَلُ بعَمَلِ أهْلِ النَّارِ، فِيما يَبْدُو لِلنَّاسِ، وهو مِن أهْلِ الجَنَّةِ
“Sungguh, seseorang (kadang) beramal dengan amalan penghuni surga di mata manusia, padahal sesungguhnya ia adalah penghuni neraka. (Sebaliknya), Seseorang beramal dengan amalan penghuni neraka di mata manusia, padahal sesungguhnya ia adalah penghuni surga.” (HR. Bukhari no. 2898 dan Muslim no. 112)
Dalam riwayat lain terdapat tambahan,
وإنَّما الأعمالُ بالخواتيمِ
“Dan amalan-amalan itu tergantung akhirnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 340).
Pada hadis tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita untuk tidak berbangga diri dengan amalan yang telah kita lakukan. Beliau juga menegaskan kepada kita akan pentingnya istikamah dalam beramal hingga akhir. Karena diri kita tidak pernah tahu bagaimana akhir hidup yang akan kita lalui, tak pernah tahu juga akhir dari amalan yang kita lakukan.
Saudaraku, terlebih lagi di penghujung bulan Ramadan yang mulia ini. Di mana sepertiga akhir bulan Ramadan merupakan waktu yang paling afdal dan paling utama. Sepuluh hari terakhir inilah yang Nabi selalu jaga ibadahnya. Beliau hidupkan malam-malamnya dengan ketaatan serta beliau bangunkan seluruh keluarganya. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita saat ini, saat memasuki penghujung Ramadan, bukan masjid yang mereka ramaikan, tapi justru jalanan dan pusat perbelanjaan.
Baca juga: Ramadan Yang Membekas
Tak ada yang bisa menjamin, bahwa amalan kita pasti diterima Allah Ta’ala
Sesungguhnya diterimanya amalan seorang hamba atau tidaknya adalah salah satu hal gaib (tak kasat mata) yang tidak diketahui hakikatnya, kecuali oleh Allah Ta’ala. Allahlah satu-satunya Zat yang mengetahui amalan siapa yang diterima dan amalan siapa yang tertolak.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu, bahwasanya beliau menyeru pada malam terakhir bulan Ramadan,
ياَ لَيْتَ شِعْرِي مَن هَذَا المَقْبُول فَنُهَنِّيْهِ وَمَنْ هَذَا المَحْرُوم فنعزيه.
“Aduhai, andai aku tahu siapakah yang diterima amalannya pastilah kami akan mengucapkan selamat kepadanya, dan siapa yang diharamkan darinya, maka kami akan berbela sungkawa padanya.” (Lathaiful Ma’arif, hal. 210)
Para sahabat pun sangat khawatir amalan mereka di bulan Ramadan tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Mualla’ bin Al-Fadhl rahimahullah mengatakan,
كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يبلغهم رمضان،ويدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم.
“Dahulu kala mereka berdoa kepada Allah Ta’ala selama enam bulan agar Allah Ta’ala pertemukan mereka dengan bulan Ramadan. Mereka juga berdoa selama enam bulan (setelahnya) agar Allah Ta’ala menerima (amal ibadah) mereka (di bulan Ramadan).”
Lihat juga bagaimana Al-Khalil Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Ta’ala. Ketika membangun pondasi-pondasi Ka’bah dan itu merupakan sebuah amal kebaikan, ia berdoa,
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Beliau yang merupakan kekasih Allah saja khawatir, dan berharap agar amal ibadahnya diterima oleh Allah Ta’ala. Lalu, bagaimana dengan kita?! Tentu kita harus lebih khawatir dan takut apabila amal ibadah kita tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Tanda-tanda umum diterimanya amal ibadah seorang hamba
Adapun pertanda diterimanya amal ibadah seorang hamba secara umum, maka ada beberapa tanda yang bisa kita perhatikan.
Pertama: Kondisi seseorang setelah melakukan ketaatan lebih baik dari sebelumnya
Syekh Binbaz rahimahullah pernah ditanya perihal tanda-tanda diterimanya amal-amal saleh yang dilakukan seorang hamba. Kemudian rahimahullah beliau menjawab,
فمن علامات القبول: انشراح الصدر، والاستقامة على الخير، والمسارعة إلى الطاعات، والحذر من السيئات، فإذا قل شره، وكثر خيره، وانشرح صدره للخير؛ فهذه من علامات التوفيق والقبول، أن تكون حاله أحسن. نعم.
“Maka, di antara tanda-tanda diterimanya (sebuah amal): lapangnya dada, istikamah di atas kebaikan, bergegas dalam ketaatan, berhati-hati dari keburukan dan dosa. Saat intensitas kejelekannya menjadi sedikit, kebaikannya bertambah dan hatinya merasa tenang kepada kebaikan. Maka, inilah tanda-tanda taufik dan diterimanya amalan, yaitu keadaan dan kondisinya berubah menjadi lebih baik.” (Fatawa Nur Ala Ad-Darbi)
Kedua: Dimudahkan untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan lain setelahnya
Seorang hamba yang amalannya diterima oleh Allah Ta’ala, maka ia akan diberikan taufik untuk mengerjakan kebaikan-kebaikan lain setelahnya. Karena sejatinya amal saleh dan kebaikan merupakan rantai yang tak terputus. Selesai melakukan sebuah ketaatan, maka akan datang ketaatan berikutnya. Dalam surah Al-Lail Allah Ta’ala berfirman,
فَاَمَّا مَنْ اَعْطٰى وَاتَّقٰىۙ * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنٰىۙ * فَسَنُيَسِّرُهٗ لِلْيُسْرٰىۗ
“Maka, barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).” (QS. Al-Lail: 5-7)
Beberapa ahli tafsir dan di antaranya Syekh Muhammad Al-Asyqar rahimahullah saat menyebutkan ayat ini mengatakan, “Maka Kami akan memudahkannya untuk berinfak di jalan kebaikan dan untuk berbuat amal ketaatan.” (Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir)
Hal ini sejalan juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَليْكُم بِالصِّدقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Berbuatlah jujur, karena kejujuran akan mengantarkanmu pada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkanmu kepada surga.” (HR. Muslim no. 2607)
Saat Allah menerima puasa kita di bulan Ramadan, maka selepas bulan Ramadan diri kita pun insyaAllah akan dimudahkan untuk mengerjakan puasa-puasa lainnya. Yang paling dekat dengan bulan Ramadan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَن صامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ، كانَ كَصِيامِ الدَّهْرِ.
“Siapa saja yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa enam hari pada bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama satu tahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Ketiga: Ada pengaruh positif yang dirasakan setelah beramal di bulan Ramadan
Amal saleh yang diterima oleh Allah Ta’ala maka akan memberikan dampak positif bagi pelakunya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Yang paling besar dan paling mudah untuk dirasakan adalah kebahagiaan di dunia ini. Allah Ta’ala berfirman,
مَن عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ, أَو أُنثَى وَهُوَ مُؤمِنٌ فَلَنُحيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجزِيَنَّهُم أَجرَهُم بِأَحسَنِ مَا كَانُوا يَعمَلُونَ
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Kebahagiaan di sini termasuk di antaranya adalah rezeki yang halal dan rasa cukup terhadap pemberian Allah Ta’ala.
Saat seseorang telah beramal dan melakukan berbagai macam amalan, namun ia tidak merasa bahagia dan tenang, maka ia perlu curiga dan takut, jangan-jangan amal ibadah yang selama ini dilakukannya belum diterima oleh Allah Ta’ala. Jangan-jangan ia tidak ikhlas di dalam mengerjakannya. Jangan-jangan amal ibadah yang dilakukannya tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya, wahai saudaraku, jangan lepaskan Ramadan ini begitu saja.
Dengan selesainya bulan Ramadan bukan berarti semangat kita dalam beramal menjadi lemah, kemaksiatan yang sebelumnya kita lakukan kembali dilakukan.
Perbanyak berdoa kepada Allah Ta’ala agar Allah menerima seluruh amal ibadah yang kita lakukan di bulan yang mulia ini. Karena Allah-lah satu-satunya yang akan memberikan taufik kepada kita dan Dia-lah satu-satunya yang akan menerima dan menghitung amal ibadah kita. Allah Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَلَوْلاَ أَن ثَبَّتْنَـاكَ لَقَدْ كِدتَّ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً إِذًا لأَذَقْنَـاكَ ضِعْفَ الْحَيَواةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا
“Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. Jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) dua kali lipat di dunia ini dan dua kali lipat setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al-Isra’ : 74-75)
Wallahu a’lam bisshawab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84506-tanda-diterimanya-amal-di-bulan-ramadan.html