Persoalan konsumsi dalam Islam bukan sekedar murni tentang Kesehatan. Umat Islam harus berhati-hati dalam menyeleksi makanan. Jika tidak, di samping mengganggu kesehatan, makanan juga menjadi penyebab terhalangnya doa dan permohonan ke pada Allah.
Dalam sebuah hadist dari Ibnu Abbas bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi:
Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah”. Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani).
Makanan memiliki dampak spiritual yang patut diperhatikan. Karena itulah, Islam menganjurkan agar umatnya mengonsumsi barang yang tidak hanya baik tetapi juga halal.
Memakan makanan yang haram merupakan sebuah larangan dalam Islam. Makanan haram dalam pembahasan ini mencakup terhadap dua hal. Pertama, makanan haram li dzati. Kedua, makanan haram li sababi.
Pertama, makanan haram yang secara dzatiyah.
Makanan yang memang secara zatnya telah diharamkan oleh Allah seperti babi atau anjing. Namun terkadang tanpa kita sadari kita telah mengkonsumsi makanan haram tersebut, jadi apa yang harus kita lakukan jika kita sudah terlanjur memakannya dan kemudian menyadarinya ketika kita telah habis menyantapnya?
Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 173 dijelaskan, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al Baqarah: 173).
Dari surat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan yang hukumnya haram ketika dilakukan karena tidak tahu, tidak sengaja atau karena lupa tidak terhitung sebagai dosa atau bisa dikatakan orang seperti ini tidak dituntut untuk bertaubat.
Rasulullah sendiri juga pernah menjelaskan bahwa, “Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa.” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Hal ini juga berlaku untuk orang yang terpaksa menyantap daging babi atau makanan haram lain karena berbagai alasan, salah satunya karena tak ada makanan lain untuk bertahan hidup. Misalnya seseorang ada dalam keadaan darurat lalu tidak ada makanan lain selain daging babi, maka ia diperbolehkan menyantapnya asalkan tidak berlebihan.
Tidak ada kewajiban apapun baginya, selama ia memakannya karena tidak tahu sedikit pun. Yang perlu ia lakukan adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis (daging babi) dan mencuci tangannya. Namun jika memakannya pada waktu yang sudah berlalu lama, apa yang perlu dilakukan? Jawabnya: tidak perlu melakukan apa-apa.
Kedua, makanan yang secara dzatiyah dihalalkan oleh syara’.
Zat yang terkandung di dalamnya adalah halal namun cara mendapatkannya dengan cara yang haram, ia berubah status menjadi haram, seperti daging sapi hasil curian, membeli makanan dengan uang yang haram.
Allah menegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).
Hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah mengonsumsi makanan haram adalah bertaubat. Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:
- Menyudahi perbuatan dosa saat itu juga
- Menyesalinya
- Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
- Mengembalikan hak orang lain yang dizalimi, meminta maaf, atau meminta pembebasan tanggungan akibat kezaliman itu.
Poin nomor pertama hingga ketiga berlaku untuk kasus dosa atau maksiat yang berhubungan dengan Allah, sedangkan poin keempat adalah syarat tambahan ketika doa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia, yakni dalam menyelesaikan urusan sosialnya haruslah mengganti makanan yang telah dikonsumsi, meminta maaf, serta meminta kerelaan pada pemilik makanan.
Wallahu a’lam