Tauhid Menjadi Landasan Dasar HAM

Tauhid Menjadi Landasan Dasar HAM

Dalam Islam, konsep tauhid merupakan prinsip dasar yang menegaskan keesaan Allah. Dari perspektif ini, ada beberapa koneksi antara tauhid dan HAM. Nah artikel ini akan menjelaskan tauhid menjadi landasan dasar HAM. 

 Tak bisa dipungkiri bahwa cara pandang Islam terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak terlepas dari cara pandangnya terhadap status dan fungsi manusia. Manusia adalah makhluk Allah Swt. yang terhormat (QS. Al-Isra’ [17]: 70 dan QS. Al-Hijr [15]: 28-29) dan fungsional (QS. Al-An’am [6]: 165 dan QS. Al-Ahzab [33]: 72).

Dari eksistensinya yang ideal, manusia ditarik pada kehidupan yang riil (realitas empirik) agar ia dapat teruji sebagai makhluk yang fungsional. Dalam kaitan ini, ia disebut khalifah, dalam pengertian mandataris, yang diberi kuasa, dan bukan sebagai penguasa.

Dan dalam status terhormat dan fungsi mandataris ini, manusia hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Allah Swt. (karena itu, Allah semata yang mempunyai hak-hak) dengan cara mematuhi hukum-hukum-Nya. Semua kewajiban tersebut merupakan amanah yang diemban (QS. Al-Ahzab [33]: 72), sebagai realisasi dari perjanjiannya dengan Allah Swt. pada awal mula penciptaannya (QS. At-Taubah [9]: 111).

Walaupun manusia mempunyai kewajiban-kewajiban kepada Penciptanya, tetapi semua itu pada gilirannya menimbulkan segala hak yang berkaitan dengan hubungannya dengan sesama manusia.

Kewajiban bertauhid (mengesakan Allah), misalnya, bila dilaksanakan dengan benar akan menimbulkan kesadaran akan hak-hak yang berkaitan dengan hubungan antarsesama manusia, seperti hak persamaan, hak kebebasan, dan hak memperoleh keadilan. Seorang manusia mengakui hak-hak manusia lain karena hal tersebut merupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya dalam rangka mematuhi Allah Swt.

Oleh karena itu, Islam memandang hak asasi manusia dengan cara pandang yang berbeda dari Barat, tidak bersifat antroposentris, melainkan bersifat teosentris (sadar kepada Allah sebagai pusat kehidupan). Penghargaan kepada hak asasi manusia, dengan demikian, merupakan bentuk kualitas kesadaran keagamaan, yaitu kesadaran kepada Allah Swt. sebagai pusat kehidupan.

Sudah jelas dari titik ini, terlihat bahwa hak-hak asasi manusia memperoleh landasannya dalam Islam melalui ajarannya yang paling utama, yaitu tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi manusia dalam Islam lebih dipandang dalam perspektif teosentris.

Meski demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan, persaudaraan, dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsip kemerdekaan dan kebebasan manusia. Prinsip-prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradaban masyarakat muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan Barat.

Dengan demikian, falsafah dasar bagi hak asasi manusia dalam ajarannya yang utama, yaitu tauhid (kemahaesaan Tuhan). Dalam tauhid terkandung pengertian bahwa yang ada hanya satu Pencipta bagi alam semesta; alam semesta beserta isinya (manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda tak bernyawa) berasal dari Yang Maha Esa.

Dalam kaitan dengan hak asasi manusia, ajaran tauhid, dengan demikian, mengandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia (QS. An-Nisa’ [4]:1 dan QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, maka manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lain. Manusia dalam Islam adalah manusia bebas (QS. Al-Ahzab [33]: 72), bebas dari kemauan dan perbuatan (QS. Al-Insan [76]: 2-3), bebas dari tekanan dan paksaan manusia lain, bebas dari eksploitasi manusia lain, bebas dari pemilikan manusia lain (QS. Al-Balad [90]: 13), dan bahkan bebas memilih keyakinan dan agama (QS. Al-Baqarah [2]: 246, dan QS. Yunus [10]: 99).

Dengan adanya ajaran dasar tentang persamaan, persaudaraan, dan kebebasan manusia, maka akhirnya timbullah hak hak asasi manusia yang lain. Karena manusia itu bersaudara (yang mengimplisitkan adanya kasih sayang) dan memperoleh kebebasan, misalnya, ia secara individual perlu diberi hak untuk hidup dan memperoleh keamanan (QS. An-Nisa’ [4]: 29), hak berkeluarga (QS. An-Nisa’ [4]: 2, dan QS. Ar-Rum [30]: 21), hak mengecap pendidikan (QS. Al-Baqarah [2]: 129, dan QS. Ali Imran [3]: 164), hak mendapat pekerjaan, upah yang layak, dan memiliki kekayaan (QS. Al-Baqarah [2]: 188 dan QS. An-Nisa’ [4]: 29).

Tak hanya itu, hak untuk bebas bergerak/mobilitas (QS. Ar-Ruum [30]: 20 dan QS. Al-Mulk [67]: 15), hak berpikir, berbicara, berbeda pendapat, dan berserikat (QS. Ali Imran [3]: 159, dan QS. Asy-Syura [42]: 38), hak memperoleh jaminan sosial (QS. Adz-Dzariyat [51]: 19, dan QS. Al-Balad [90]: 14-16). Secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas menentukan nasib mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).

Lebih lanjut, karena manusia itu bersaudara dan sama derajatnya, ia secara individual perlu diberi hak memperoleh keadilan di depan hukum, dan perlindungan dari perlakuan yang tidak manusiawi (sewenang-wenang) dalam penyelesaian tertib sosial (QS. an-Nisa’ [4]: 58, dan QS. Al-Maidah [5]: 8). Sedangkan secara kolektif, perlu diberi hak untuk bebas dari neokolonialisme dan segala bentuk diskriminasi (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Demikian penjelasan tauhid menjadi landasan dasar HAM. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawaab.

BINCANG SYARIAH