Televisi Digugu lan Ditiru

Digugu lan ditiru. Dalam bahasa Jawa digugu dapat dimaknai sebagai dipercaya, dituruti. Sementara ditiru adalah dicontoh atau diteladani. Dua kata ini umum dikenal sebagai akronim untuk guru. Namun, dengan tidak mengurangi rasa hormat pada pahlawan tanpa tanda jasa, istilah tersebut kali ini saya gunakan untuk ‘tokoh’ lain, yakni televisi.

Ya, televisi. Salah satu media yang rasanya paling banyak diakses oleh masyarakat abad 20. Berbeda dari radio dan majalah, perangkat elektronik ini mampu menyajikan konten bergerak yang bisa dilihat dan didengar. Dua keunggulan berdaya tarik tinggi sekaligus berefek kuat dalam mempengaruhi pola pikir dan perilaku penonton. Kelebihan radio adalah memancing imajinasi pendengar melalui suara, namun televisi lebih jauh lagi. Melalui mata dan telinga, tayangannya dapat menembus alam bawah sadar manusia hingga menggerakan ke aksi nyata.

Efek televisi tidak pandang bulu. Dapat mempengaruhi siapa saja yang menjangkaunya. Dari kakek-nenek, ayah-ibu, paman-bibi, kakak, sampai anak-anak. Kategori yang terakhir adalah yang terentan. Mereka generasi paling mudah terpengaruh.

Umumnya setiap anak belajar dengan cara mengamati dan mendengar. Secara alamiah mereka menjadikan setiap gerakan, kata-kata, atau emosi yang mereka tangkap oleh mata maupun telinga sebagai sarana belajar. Sayangnya, tanpa benar-benar tersaring. Itu mendorong mereka cenderung menganggap apa yang dilihat di televisi sebagai kewajaran dan gambaran dunia sebenarnya. Bisa digugu dan ditiru.

Termasuk konten-konten negatif. Anda mungkin masih ingat. Sempat ramai diberitakan seorang siswa kelas tiga SD yang menjadi korban kekerasan teman sebayanya diduga kuat karena pengaruh tayangan televisi. Kasus ini terjadi pada 2006. Korban bernama RZ, dikabarkan dibanting oleh temannya dengan posisi kepala di bawah menghadap lantai. Ia kemudian meninggal setelah dirawat di rumah sakit.

Tudingan pun langsung mengarah ke salah satu program populer saat itu: Smack Down. Ia semacam pertandingan gulat bebas yang menampilkan sederet aksi ekstrem pegulat dalam merobohkan lawannya. Aksi dalam tayangan ini sebenarnya dibuat-buat dan didramatisisasi. Namun toh, penggemarnya tetap banyak, termasuk anak-anak yang tentu belum paham betul bahwa itu adalah rekaan dan menganggapnya sebagai hal wajar untuk ditiru.

Kecaman kemudian dilayangkan pada stasiun televisi swasta yang menayangkannya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) aktif meminta penghentian tayangan tersebut. Apalagi, menurut lembaga ini, sudah ada tujuh anak yang dilaporkan menjadi korban kekerasan diduga terkait dampak Smack Down. Dua di antaranya meninggal. Akhirnya tayangan itu dihentikan juga.

Tayangan ramah anak memang terus menjadi pekerjaan rumah bagi industri pertelevisian. Stasiun televisi masih terkesan pilih kasih mengedepankan tayangan-tayangan ‘ramah rating’ seperti program komedi (yang kerap menonjolkan kekerasan verbal hingga fisik), program musik pagi, drama FTV, reality show, mistis dan horor, hingga acara gosip. Porsinya sering terlihat berlebihan. Kualitasnya pun perlu dipertanyakan. Beberapa di antaranya tayang pada jam-jam umumnya anak sedang berada di rumah.

Padahal dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Pasal 14 ayat 1 terkait perlindungan terhadap anak disebutkan kalau lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. Ayat 2 melengkapi dengan menyebut lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.

Sekilas, stasiun televisi seperti memiliki hak penuh untuk menyiarkan apapun dan kapanpun isi siarannya. Apalagi isi siaran yang mereka tampilkan gratis, masyarakat tak harus membayar. Namun, patut diingat, frekuensi yang digunakan untuk siarannya adalah milik publik. Sehingga penggunaanya tetap harus melindungi kepentingan masyarakat. Termasuk hak anak-anak untuk tumbuh dengan sehat melalui situasi sosialnya yang mendukung proses belajar dan berkembang mereka.

Beruntung, kesadaran lembaga penyiaran untuk meningkatkan tayangan ramah anak masih ada dan terus tumbuh. Menurut hasil kajian terakhir Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), presentase peningkatan program acara berkategori “Aman” dikonsumsi anak pada Mei 2018 sudah mencapai 60 persen. Jauh lebih baik dari kondisi pada Mei 2014 yang hanya 39 persen dan Mei 2009 sebesar 31 persen.

Angka tersebut terlihat menggembirakan, meski menurut saya belum memuaskan. Faktanya, masih ada sejumlah program-program televisi yang butuh perhatian serius soal kualitas tayangannya. Itu terindikasi dari masih banyaknya laporan-laporan mengenai tayangan bermasalah. Termasuk saat bulan suci Ramadhan kemarin.

Melindungi hak anak mendapat tayangan berkualitas butuh peran semua pihak. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara memiliki kewajiban sama. Orang tua dan keluarga memang menjadi gerbang pertama perlindungan anak dengan mendampingi dan mengawasi setiap tontonannya. Namun, pemerintah dan lembaga penyiaran memiliki tanggung jawab tidak kalah besar. Pemerintah dalam hal ini KPI harus selalu melek tayangan ‘bandel’ dan tidak takut memberikan sanksi tegas sesuai kewenangannya.

Masyarakat pun harus tetap bersifat kritis. Jangan menelan mentah-mentah setiap sajian yang dihidangkan televisi. Laporkan ke pihak berwenang tayangan-tayangan yang dinilai mengganggu hati nurani.

Lembaga penyiaran juga harus terus berusaha menyeimbangkan fungsi-fungsi utamanya. Jangan mudah terbuai dengan rating dan laba semata sehingga mengorbankan masa depan anak. Karena televisi bukan media penghibur dan pemberi informasi saja. Ia ikut berfungsi sebagai pendidik publik. Ikut bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai kebaikan dan informasi yang mencerahkan. Bukan malah menjadi ‘guru’ yang menyesatkan.

Oleh: Yudha Manggala P Putra,  jurnalis Republika.co.id