Tiga Kriteria Dasar Kemerdekaan Sejati

Oleh: A Ilyas Ismail

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam ungkapan Arab terdapat adagium yang berbunyi, “La Syay’a atsman min al-hurriyah” (tak ada sesuatu yang lebih mahal [berharga] ketimbang kemerdekaan).

Dari ungkapan ini, kemerdekaan dianggap sebagai penentu mati dan hidupnya manusia. Apabila seorang kehilangan kemerdekaan, sesungguhnya ia sudah mati meski ia masih bernapas, makan-minum, dan berjalan-jalan.

Khalifah Umar bin Khathab mengingatkan kita semua agar menjaga kemerdekaan itu serta tidak boleh yang satu memperbudak yang lain karena setiap orang dilahirkan oleh Allah SWT dalam keadaan bebas dan merdeka.

Hal sama diingatkan pula oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, “Jangan pernah mau diperbudak oleh siapa pun karena Allah SWT menciptakanmu bebas dan merdeka,” ujarnya. Dalam perspektif Islam, kemerdekaan itu sendiri dimaknai sebagai kemampuan (al-qudrah) yang membuat seorang bisa melakukan atau tidak melakukan sesutau atas dasar kehendak dan pilihan (bebas)-nya sendiri.

Setiap manusia dianugerahi oleh Allah SWT kehendak bebas, iradah, atau masyi’ah. Manusia dapat memilih dan melakukan sesuatu atas kehendak dan pilihan bebasnya serta atas kehendak bebasnya itu pula ia dimintai pertanggungjawaban.

Kebebasan pertama dan utama yang diberikan Islam adalah kebebasan agama, Hurriyat al-Din (QS al-Baqarah [2]: 256), lalu kebebasan berpikir (hurriyat al-fikriyyah), dan kebebasan menyatakan peendapat (hurriyat al-qaul). Kebebasan yang terakhir ini diwaujudkan, antara lain, dalam bentuk keharusan melakukan amar makruf dan nahi munkar (QS Ali Imran [3]: 110).

Kebebasan yang diajarkan Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab, adil, dan berkeadaban, yaitu suatu kebebasan yang menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi mesti memenuhi tiga kriteria dasar yang tak boleh dilampaui sebagai berikut.

Pertama, kriteria kebenaran (al-haqq) bukan kejahatan (al-fusuq). Islam memberi kebebasan kepada setiap orang untuk memilih agama, berpikir dan berilmu, serta menyampaikan pendapat karena semua ini merupakan sesuatu yang hak. Sebailknya, atas nama kebebasan, seeorang tidak serta merta dibolehkan melakukan tindak kejahatan atau keburukan, seperti mencuri, korupsi, dan mabuk-mabukan, lantaran semua ini merupakan keburukan, bukan kebenaran.

Kedua, kriteria tidak menimbulkan bahaya atau madharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Dalam Islam, setiap tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, haram hukumnya. Ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, “La Dharara wa la dhirar” (dilarang mendapat bahaya dan membahayakan orang lain).

Ketiga, kriteria keadaban (akhlak) atau kepatutan. Kriteria yang terakhir ini menjadi penyempurna dari dua kriteria sebelumnya yang membuat kebebasan menjadi bernilai tinggi. Sebagai contoh, dalam berlalu lintas, kita bebas dan boleh memilih jalan mana saja yang akan dilalui. Akan tetapi, setiap kita dilarang merusak dan melawan rambu-rambu jalan karena rambu-rambu itu dipasang untuk menjaga dan mewujudkan ketertiban dan kepentingan umum.

Sistem politik dan demokrasi apa pun yang dipilih oleh suatu bangsa, demikian Syekh al-Qardhawi, ketiga keriteria di atas mesti diperhatikan dan tidak boleh dilanggar atau dilampaui. Setelah 70 tahun merdeka, kita sebagai bangsa, diharapkan sudah mampu membedakan antara kebebasan dan kebablasan, antara demokrasi dan anarki, dan antara ketuhanan dan kesetanan.