Tingkatan Keutamaan para Nabi dan Rasul

Tingkatan Keutamaan para Nabi dan Rasul

Sebagian Nabi lebih utama dibandingkan dengan Nabi yang lain

Terdapat dalil-dalil yang menunjukkan adanya tingkatan keutamaan di antara para Nabi dan Rasul. Allah Ta’ala berfirman,

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ

“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain.” (QS. Al-Baqarah [2]: 253)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْضٍ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُوراً

“Dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain). Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. Al-Isra’ [17]: 55)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa Rasul itu lebih utama daripada para Nabi. Dan di antara para Rasul, yang lebih utama adalah Rasul ulul ‘azmi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5: 87)

Oleh karena itu, keutamaan para Nabi itu bertingkat-tingkat. Sebagian Nabi itu lebih utama dibandingkan Nabi yang lain.

Mengkompromikan dalil yang menunjukkan adanya larangan untuk melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain

Terdapat beberapa hadits yang tampaknya menunjukkan larangan melebih-lebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bermajelis. Tiba-tiba seorang Yahudi datang seraya berkata, “Wahai Abu Al-Qasim, seorang sahabatmu telah memukul wajahku.” Lalu dia menyebutkan seseorang dari kalangan Anshar.

Maka beliau berkata, “Panggillah.” Kemudian beliau bertanya, “Apakah benar kamu memukulnya?”

Orang itu berkata, “Aku mendengar di pasar dia bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa untuk seluruh manusia.” Aku katakan, “(Apakah kamu bermaksud untuk mengatakan) “Aku benci Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka kemarahanku memuncak lalu aku pukul wajahnya.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْشِ، فَلاَ أَدْرِي أَكَانَ فِيمَنْ صَعِقَ، أَمْ حُوسِبَ بِصَعْقَةِ الأُولَى

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi. Karena nanti saat seluruh manusia dimatikan pada hari kiamat, akulah orang yang pertama kali dibangkitkan dari bumi. Namun saat itu di hadapanku telah ada Musa ‘alaihis salam yang sedang berpegangan pada salah satu tiang ‘Arsy. Dan aku tidak tahu apakah dia termasuk orang yang dibangkitkan (lebih dahulu) atau termasuk orang yang dihisab (sehingga diselamatkan) dengan hari kegoncangan yang pertama?” (HR. Bukhari no. 2412)

Demikian pula dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudriy radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُخَيِّرُوا بَيْنَ الأَنْبِيَاءِ

“Janganlah kalian banding-bandingkan (lebihkan) sesama para Nabi.” (HR. Muslim no. 2374)

Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ أَنَا خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتَّى

“Tidak sepatutnya seorang hamba berkata, aku lebih baik dari Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari no. 3395)

Terdapat beberapa penjelasan dari para ulama dalam mengkompromikan hadits-hadits di atas dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sebagian Nabi atau Rasul itu lebih utama dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain. Di antara penjelasan yang paling bagus adalah,

Pertama, larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak melebihkan sebagian Nabi di atas Nabi yang lain adalah apabila hal itu kemudian menyebabkan seseorang merendahkan atau melecehkan kedudukan sebagian Nabi tersebut.

Kedua, larangan tersebut lebih karena sisi ketawadhu’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini jelaslah bahwa sebagian Nabi atau Rasul memang Allah Ta’ala berikan keutamaan lebih dibandingkan dengan Nabi atau Rasul yang lain.

Jadi, kita meyakini bahwa Nabi yang paling utama dan mulia adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para Rasul yang termasuk dalam ulul ‘azmi, yaitu yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS. Al-Ahzab [33]: 7)

شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa.” (QS. Asy-Syuura [42]: 13)

[Selesai]

***

@Rumah Kasongan, 27 Jumadil Ula 1442/11 Januari 2021

Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc., PhD

Artikel: Muslim.or.id