Masyarakat Yogyakarta memegang teguh tradisi Syawalan ketika Hari Raya Idul Fitridatang.Tradisi ini diturunkan secara turun temurun di setiap keluarga.
Tradisi Syawalan merupakan acara silaturahim yang dikenal dengan istilah halal bihalal di daerah lain. Setiap orang saling mengunjungi rumah keluarga, tetangga, dan kerabat. Tentunya ada beberapa agenda yang masuk ke dalam rangkaian kegiatan syawalan. Satu di antaranya adalah sungkeman.
”Sungkeman itu meminta maaf pada orang tua dengan cara mencium lututnya,” kata seorang warga Yogyakarta, Haris Herbandang (40), seperti dikutip dari Pusat Data Republika.
Tradisi sungkeman, menurutnya, dilakukan juga oleh Keraton Yogyakarta dengan sebutan Ngabekten. Setelah sungkeman selesai, barulah semua kelurga bercengkrama dan menikmati hidangan khas lebaran, ketupat dan opor ayam.
 Awalnya dimulai dari malam menjelang 1 syawal. Saat waktu isya, semua orang berkumpul di masjid untuk mendengarkan hasil sidang isbat.
Setelah shalat isya berjamaah dan sudah diumumkan bahwa besok Idul Fitri, semua warga pulang ke rumah masing-masing untuk mengambil perangkat takbiran yang sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Warga bersiap menggelar lomba takbiran.
Lomba pun berlangsung setelah shalat isya sampai tengah malam. Otomatis semua kampung menjadi ramai dengan yel-yel takbir. Bahkan beberapa jalan pun dipadati warga yang mengikuti Gebyar Takbiran.
Keesokan harinya, warga melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Sultan Agung. Setelah itu, jamaah langsung bersalam-salaman.
Usai itu, barulah semua keluarganya jiarah ke makam orang tua yang sudah meninggal. Setelah agenda jiarah selesai, tradisi Idul Fitri masyarakat Yogyakarta dilanjutkan dengan sungkeman kepada orang tua.