Tugas dan Misi para Rasul Utusan Allah

Tugas dan Misi para Rasul Utusan Allah

Allah Ta’ala mengutus Rasul untuk tujuan yang agung dan hikmah yang mulia. Allah Ta’ala memberi tugas kepada para Rasul dengan beberapa tugas berikut ini.

Pertama, Allah Ta’ala menjadikan para Rasul sebagai perantara antara Dia dengan hamba-Nya untuk memperkenalkan Allah Ta’ala dan juga mengajarkan kepada mereka apa yang bermanfaat dan apa yang membahayakan mereka.

Termasuk dalam tugas ini adalah misi para Rasul untuk mengenalkan Allah Ta’ala dengan menetapkan sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah Ta’ala, mengajarkan tauhid, dan taqdir. Juga mengajarkan dan menceritakan tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala berkaitan dengan wali-Nya dan musuh-Nya, misalnya kisah-kisah yang Allah Ta’ala ceritakan kepada hamba-Nya dan juga permisalan-permisalan yang Allah Ta’ala buat untuk mereka.

Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata,

“Di atas pengenalan (ilmu) ini, tegaklah semua tujuan risalah seluruhnya, dari awal hingga akhir.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 69)

Kedua, mengenalkan jalan menuju Allah Ta’ala, yaitu dengan mengajarkan syari’at-Nya.

Dalam tugas ini terkandung rincian syari’at, perintah, larangan, perkara yang mubah, juga penjelasan tentang apa yang Allah Ta’ala cintai dan apa yang Allah Ta’ala benci.

Ketiga, mengenalkan kepada hamba tentang kondisi mereka ketika bertemu dengan Allah Ta’ala.

Tercakup dalam tugas ini adalah mengajarkan iman terhadap hari akhir, surga, neraka, pahala, dan hukuman.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Di atas tiga pokok tersebut, berputarlah poros penciptaan dan perintah (syari’at). Kebahagiaan dan keberuntungan tergantung kepadanya. Tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali melalui perantaraan para Rasul. Karena akal manusia tidak akan bisa memberikan petunjuk secara rinci dan juga menunjukkan hakikat senyatanya dari perkara-perkara tersebut. Meskipun akal bisa jadi memberikan petunjuk secara global (umum) saja. Sebagaimana orang sakit mengetahui adanya sisi kebutuhan untuk mendatangi dokter dan siapa saja yang bisa mengobatinya. Akan tetapi, dia sendiri tidak mengetahui secara pasti dia sakit apa dan obat spesifik apa yang dia butuhkan.

Kebutuhan seorang hamba kepada risalah itu jauh lebih besar daipada kebutuhan orang sakit kepada dokter. Karena takdir maksimal dengan tidak adanya dokter bagi orang sakit adalah kematian. Adapun jika seorang hamba tidak mendapatkan cahaya risalah, hatinya akan mati. Tidak akan bisa diharapkan kehidupan sama sekali bersama hati yang mati tersebut, atau dia akan celaka dan tidak mendapatkan kebahagiaan sama sekali.” (Majmu’ Al-Fataawa, 19: 97)

Tiga hal di atas adalah inti tugas kerasulan. Dan termasuk di antara inti tugas tersebut adalah dua hal berikut ini,

Pertama, Allah Ta’ala mengutus Rasul sebagai pembawa berita gembira. Yaitu, siapa saja yang taat kepada Rasul, maka berhak masuk surga. Juga mengutus Rasul sebagai pemberi peringatan. Yaitu, siapa saja yang tidak mau taat kepada Rasul, maka berhak mendapatkan adzab dan hukuman.

Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ بَعَثْنَا مِن بَعْدِهِ رُسُلاً إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَآؤُوهُم بِالْبَيِّنَاتِ

“Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa rasul kepada kaum mereka (masing-masing), maka rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata.” (QS. Yunus [10]: 74)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلاَّ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-An’am [6]: 48)

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُّبِينٌ

“Katakanlah, “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (QS. Al-Ahqaaf [46]: 9)

Kedua, untuk menegakkan hujjah sehingga mereka tidak bisa beralasan lagi di sisi Allah Ta’ala (atas maksiat dan kekafiran yang mereka lakukan).

Demikian pula, Allah Ta’ala mengutus Rasul untuk menegakkan hujjah sehingga mereka tidak bisa beralasan lagi di sisi Allah Ta’ala atas maksiat dan kekafiran yang mereka lakukan untuk bisa terhindar dari adzab dan hukuman dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللّهُ عَزِيزاً حَكِيماً

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165)

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ عَلَى فَتْرَةٍ مِّنَ الرُّسُلِ أَن تَقُولُواْ مَا جَاءنَا مِن بَشِيرٍ وَلاَ نَذِيرٍ فَقَدْ جَاءكُم بَشِيرٌ وَنَذِيرٌ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan, “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah [6]: 19)

يَوْمَ يَجْمَعُ اللّهُ الرُّسُلَ فَيَقُولُ مَاذَا أُجِبْتُمْ قَالُواْ لاَ عِلْمَ لَنَا إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ

“(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul lalu Allah bertanya (kepada mereka), “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?” Para rasul menjawab, “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu). Sesungguhnya Engkau-lah yang mengetahui perkara yang ghaib.” (QS. Al-Maidah [6]: 109)

وَقَالَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ لَوْ شَاء اللّهُ مَا عَبَدْنَا مِن دُونِهِ مِن شَيْءٍ نَّحْنُ وَلا آبَاؤُنَا وَلاَ حَرَّمْنَا مِن دُونِهِ مِن شَيْءٍ كَذَلِكَ فَعَلَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ إِلاَّ الْبَلاغُ الْمُبِينُ

“Dan orang-orang musyrik berkata, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.” Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka. Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nahl [16]: 35)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id