Hadis pertama
Dari Sa’d bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan di waktu sakit yang menyebabkan kematiannya,
الْحَدُوا لِي لَحْدًا وَانْصِبُوا عَلَيَّ اللَّبِنَ نَصْبًا كَمَا صُنِعَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Buatkan bagiku lahad dan susunkan batu-batu di kuburku sebagaimana yang diperbuat pada kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 966)
Lahad adalah suatu cekungan di lubang kubur ke arah kiblat untuk meletakkan jenazah. Disebut lahad karena berbelok dari tengah-tengah lubang kubur ke arah samping. Sehingga cara pembuatannya adalah menggali lubang kubur secara tegak lurus, kemudian setelah kedalaman tertentu digali menyamping ke arah kiblat (lihat gambar).
Gambar. Model lahad dan syaq.
Hadis ini adalah dalil bahwa yang lebih utama berkaitan dengan kubur adalah dibuat lahad. Karena inilah model kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah model kubur yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melalui tangan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Dan tidaklah Allah memilih untuk Nabi-Nya, kecuali itulah yang lebih afdal.
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
اللَّحْدُ لَنَا وَالشَّقُّ لِغَيْرِنَا
“Lahad itu untuk kami, sedangkan syaq adalah untuk selain kami.” (HR. Abu Dawud no. 3208, At-Tirmidzi no. 1045, An-Nasa’i no. 2009, dan Ibnu Majah no. 1554. Dinilai sahih oleh Al-Albani)
Sedangkan dalam riwayat Ahmad (31: 546) disebutkan,
اللَّحْدُ لَنَا، وَالشَّقُّ لِأَهْلِ الْكِتَابِ
“Lahad itu untuk kami, sedangkan syaq adalah untuk ahli kitab.”
Syaq dibuat dengan membuat cekungan di tengah-tengah lubang kubur, kemudian jenazah diletakkan di cekungan tersebut (lihat gambar).
An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Ulama sepakat bahwa membuat kubur dengan model lahad dan syaq, kedua-duanya diperbolehkan. Akan tetapi, jika tanahnya itu keras (padat) dan tidak berair, maka lahad lebih utama berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Akan tetapi, jika tanahnya lembek dan berair, maka model syaq adalah yang lebih utama.” (Syarh Al-Muhadzdzab, 5: 287)
Syekh Abdullah Alu Bassam hafizahullah berkata, “Ulama bersepakat bahwa diperbolehkan membuat liang kubur dengan model lahad dan syaq. Namun, Imam Ahmad menilai makruh membuat syaq jika tanpa uzur.” (Taudhihul Ahkam, 3: 242)
Hadis ini juga menjelaskan tentang tata cara memakamkan jenazah. Yaitu, dengan memasukkan jenazah dari sisi letak dua kaki di lubang kubur, berdasarkan penjelasan kami di tulisan sebelumnya. Ketika memasukkan jenazah, dianjurkan membaca doa sebagaimana hadis berikut.
Dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، َ كَانَ إِذَا وَضَعَ الْمَيِّتَ فِي الْقَبْرِ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan jenazah di dalam lubang kubur, beliau mengucapkan, ‘BISMILLAAH WA ‘ALAA SUNNATI RASUULILLAAH’ (Dengan nama Allah dan berada di atas sunah Rasulullah).” (HR. Abu Dawud no. 3213, dinilai sahih oleh Albani)
Sedangkan dalam riwayat Ahmad (8: 430), juga dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي الْقَبْرِ، فَقُولُوا: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika kalian meletakkan jenazah di dalam kubur, maka ucapkanlah, ‘BISMILLAAH WA ‘ALAA MILLATI RASUULILLAAH’ (Dengan nama Allah dan berada di atas millah [agama atau syariat] Rasulullah).”
Setelah itu, diletakkan miring ke arah kanan, karena mirip dengan posisi orang tidur. Dan inilah di antara sunah ketika tidur, sehingga badan jenazah menghadap ke arah kiblat. Setelah itu, bata atau papan diletakkan di belakang punggung jenazah dengan kuat. Hal ini bertujuan untuk: 1) bata atau papan tersebut tidak terjatuh ke dalam liang lahad dan sisi-sisi bata/papan tersebut saling menyatu (merekat) kuat dengan tanah, dan 2) agar tanah untuk menimbun kubur tidak langsung menimpa jenazah. Yang terakhir adalah memasukkan tanah ke dalam lubang kubur secara cepat untuk menyelesaikan proses pemakaman.
Hadis kedua
Dari Fudhail bin Sulaiman, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُلْحِدَ لَهُ لَحْدًا، وَنُصِبَ عَلَيْهِ اللَّبِنَ نَصْبًا ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ مِنَ الْأَرْضِ نَحْوًا مِنْ شِبْرٍ
“Dibuatkan lahad untuk kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diletakkan batu di atasnya, dan ditinggikan kuburnya dari permukaan tanah setinggi sejengkal.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 3: 576)
Sanad hadis tersebut sahih sesuai dengan syarat Muslim. Akan tetapi, hadis ini juga diriwayatkan secara mursal dari Abdul Aziz, dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُشَّ عَلَى قَبْرِهِ الْمَاءُ، وَوُضِعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءُ مِنْ حَصْبَاءِ الْعَرْصَةِ، وَرُفِعَ قَبْرُهُ قَدْرَ شِبْرٍ
“Sesungguhnya (Jabir bin ‘Abdillah) memercikkan air di atas kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, meletakkan batu di atasnya, dan meninggikan kuburnya setinggi sejengkal.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 3: 576)
Hadis ini adalah dalil bahwa kubur itu hendaknya ditinggikan dari permukaan tanah seukuran satu jengkal, agar dikenal (diketahui) bahwa itu adalah kubur sehingga orang bisa memuliakan atau menghormatinya, tidak menghinakannya dengan diinjak-injak, dan lain sebagainya. Sehingga tanah yang digunakan untuk menimbun (membuat gundukan) hanya menggunakan tanah dari sekitar liang kubur saja.
Adapun meninggikan lebih dari sejengkal, hal itu tidak diperbolehkan. Demikian pula, tidak diperbolehkan menambahkan tanah dari luar area pemakaman untuk menutup lubang kubur. Karena hal itu dinilai sama dengan meninggikan bangunan di atas kubur yang diharamkan. Sebagaimana telah kami jelaskan di tulisan kami yang lainnya.
Hadis ini juga menjelaskan bolehnya memerciki tanah di kubur dengan air dan meletakkan batu-batu kecil di atas punggung (gundukan) kubur. Karena hal itu bisa mengokohkan kubur dan mencegah gundukan kubur tersebut menjadi tergerus (terkikis). Demikian juga, bisa mencegah hilangnya gundukan kubur karena dibawa oleh angin dan banjir.
Demikian pula, diperbolehkan untuk menandai kubur tersebut dengan batu atau sejenisnya, sehingga orang-orang yang hendak berziarah kubur bisa mengetahui letak kuburnya. Dan juga ketika ingin memakamkan kerabatnya di samping kubur tersebut. Hal ini berdasarkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang meletakkan batu di sisi letak kepala kubur ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau mengatakan,
أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
“Supaya dengan batu itu, aku mengetahui bahwa itu adalah kubur saudaraku dan aku bisa memakamkan keluargaku di dekatnya.” (HR. Abu Dawud no. 3206, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Zahirnya menunjukkan bahwa penanda itu dengan satu batu saja dan diletakkan di sisi diletakkannya kepala jenazah, dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah sunahnya, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah (Al-Majmu’, 5: 298).
Jika kubur tersebut dapat diketahui tanpa penanda batu dan sejenisnya, hal itu pun juga sudah mencukupi.
Demikian sedikit pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
***
Penulis: M. Saifudin Hakim
© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/87553-tuntunan-dalam-membuat-lahad-dan-batu-nisan-untuk-kubur.html