Oleh : KH A Hasyim Muzadi*
Ada begitu banyak pesan dan amanah yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW ketika menunaikan ibadah haji. Pada saat itu, turun surah At-Taubah. Menurut sahabat Hudzifah ra., seharusnya itu disebut surah Adzab. Dalam perspektif Hudzifah, sifat surah ini demikian keras sehingga lebih tepat jika disebut dengan Surah Adzab. Dalam surah ini Allah dan Rasul-nya memberi ultimatum yang telah menciptakan garis demarkasi.
Ultimatum ditujukan kepada semua pihak. Kepada kaum kuffar, kaum musyrikin, kaum Muslimin hatta pada sahabat. Memang secara eksplisit, ultimatum menyasar kaum musyrikin.“Baroo-ah”–(inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakanperjanjian (dengan mereka).” Tapi memang, sejak itulah kita dituntut menentukan sikap.
Sikap melepaskan diri dari ketergantungan kepada yang selain Allah SWT dan Rasul-Nya, wabil khusus kepada kaum musyrikin. Kita dituntut dapat bersikap tegas, terlebih terkait hal-hal yang menyangkut pokok-pokok ajaran agama Islam. “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” Setelah itu, mari saling hormat dan saling berkonstribusi agar kehidupan dalam berjalan dengan tertib. Untuk mencapai itu, umat Islam mesti memiliki ketegasan sikap.
Ketegasan sikap, antara lain, mesti diaktualisasikan dalam pelaksanan hak dan kewajiban setiap warga masyarakat. Kehidupan akan berjalan sesuai garis Allah SWT jika semua orang saling hormat atas hak dan kewajiban. Di atas bentangan Padang Arafah yang gersang, Nabi berkhutbah soal hak dan kewajiban. Salam perpisahan itu tak berkait dengan kayfiyat dan manasik haji. Nabi justeru mendeklarasikan pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tak lama setelah pelaksanana haji wada’, Nabi Muhammad SAW mengumumkan dibukanya pintu “pembalasan” bagi siapa saja yang merasa pernah tersakiti, sengaja atau tidak, oleh Nabi. Mereka boleh membalasnya pada Haji Perpisahan itu. Begitu pulang haji, Rasulullah SAW jatuh sakit agak lama, sehingga kondisi beliau sangat lemah. Pada suatu hari Rasulullah SAW meminta sahabat Bilal ra. memanggil semua sahabat datang ke masjid.
Karena rindu yang bergemuruh, lama tidak bertemu Sang Nabi, kaum Muslim bersegera memenuhi masjid. Beliau duduk dengan lemah, wajahnya terlihat pucat, menahan sakit yang mendera. “Sahabatku. Apakah telah aku sampaikan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah?” tanya Nabi. “Benar wahai Rasulullah! Engkau telah sampaikan bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah.”
Setelah dialog yang mengharukan, sampailah pada sata di mana kata-kata tercekat di tenggorokan. “Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah. Sebelum pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Adakah aku berutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan utang itu.Karena aku tidak mau bertemu Allah dalam keadaan berhutang kepada manusia.” Para sahabat terdiam. Ada yang saling menoleh penuh tanya.
“Mana ada Rasullullah SAW berhutang kepada kita ? justeru kami ‘lah yang banyak berhutang kpd Rasulullah,” batin para sahabat. Karena senyap, Rasulullah SAW mengulang hingga 3 kali. Mendadak bangun seorang lelaki. Dialah Ukasyah, seorang sahabat, mantan preman sebelum masuk Islam. “Ya Rasulullah ! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau selesaikan,” kata Ukasyah.
Sahabat lain pun tercengang.,“Sampaikanlah, wahai Ukasyah !” pinta Nabi dengan suara yang semakin lemah. “Aku masih ingat ketika perang Uhud. Ketika engkau menunggang kuda, lengkau pukulkan cambuk ke belakang kuda. Tapi cambukkanmu mengenai dada hamba. Saat itu hamba berdiri di belakang kuda tungganganmu, wahai Rasulullah,” ujar Ukasyah. “Sungguh itu adalah hutang wahai Ukasyah.
Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama.”
“Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah,” kata Ukasyah enteng. Para sahabat mulai geram. Gigi mereka gemeretak.
“Sungguh engkau tidak berperasaan Ukasyah. Bukankah Baginda sedang sakit,” teriak beberapa sahabat. Ukasyah tidak menghiraukan.
Rasulullah SAW minta Bilal mengambil cambuk di rumah Fatimah. “Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini wahai Bilal ?” tanya Fatimah.
“Akan dipakai Ukasyah untuk memukul Rasulullah,” jawab Bilal sedih. Fatimah terperanjat. “Kenapa Ukasyah hendak pukul ayahku ? Ayahku sedang sakit, kalau mau, pukullah aku anaknya,” ujar Fatimah menangis.
Bilal menjawab : ”Ini adalah urusan antara mereka berdua.” Saat itu, seperti Fatimah, semua sahabat ingin menjadi pengganti Rasulullah untuk menerima tabusan utang pukulan Ukasyah. Mereka siap didera dengan cambuk.
Rasulullah minta semua tenang, duduk dan menyilakan Ukasyah menunaikan keperluannya. Kekasih Allah itu meminta beberapa sahabat memapahnya turun mimbar. “Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju,” ujar Ukasyah. Para sahabat mulai marah. Dalam demam tinggi, Rasul membuka baju. Tampaklah tubuhnya yang sangat indah. Beberapa batu terikat di perut Rasulullah. Pertanda beliau sedang menahan lapar.
“Ya Rasulullah, ampuni aku. Maafkan aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau. Sengaja aku lakukan ini agar dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu. Seumur hidupku, aku selalu berharap dapat memelukmu.
Aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Sungguh aku takut api neraka. Maafkan aku ya Rasulullah…” Air mata membasahi wajah Ukasyah sedang dia memeluk erat makhluk yang paling dicinta alam semesta.
“Wahai sahabat-sahabatku sekalian. Kalian ingin melihat salah seorang ahli surga, maka lihatlah Ukasyah..!” Masjid seakan runtuh karena tangisan para sahabat. Menurut riwayat, para sahabat bergantian memeluk Nabi. Kisah ini jadi bukti betapa Nabi sangat menjunjung tinggi hak-hak orang lain dan kewajiban beliau memenuhi hak itu. Kalau hak dan kewajiban berjalan seiring dan seimbang, insyaallah hidup akan berkah. Wallaahu A’lamu Bishshowaab.
Tulisan KH Hasyim Muzadi, Ahad 04 September 2016.