Faedah 1: Asas kekuatan iman
Sebagaimana telah diketahui bahwa dua kalimat syahadat merupakan pondasi utama dalam agama Islam. Syahadat laailaha illallah mengandung penetapan bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan yang benar dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. Adapun syahadat anna muhammadar rasulullah mengandung keyakinan bahwa tidak ada jalan yang benar dalam beribadah kepada Allah, kecuali melalui petunjuk dan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam syahadat yang pertama atau kalimat tauhid, terdapat tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Para ulama menafsirkan bahwa beribadah kepada Allah artinya adalah bertauhid. Inilah hak Allah atas segenap hamba.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا
“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, tauhid merupakan keadilan tertinggi yang wajib ditegakkan di atas muka bumi. Adapun syirik merupakan bentuk kezaliman yang paling besar yang harus diberantas.
Allah berfirman,
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ
“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)
Imam Malik rahimahullah menjelaskan bahwa thaghut itu mencakup segala bentuk sesembahan selain Allah.
Ibadah kepada Allah merupakan ketundukan dan perendahan diri yang dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Ibadah kepada Allah digerakkan oleh harapan dan rasa takut. Harapan kepada Allah dan ampunan-Nya yang membuahkan amal saleh dan istigfar. Rasa takut kepada Allah dan siksa-Nya yang menumbuhkan ketaatan dan bertobat dari dosa dan maksiat.
Ibadah kepada Allah dibangun di atas iman kepada rububiyah-Nya. Karena hanya Allah pencipta dan pengatur alam semesta ini, maka hanya Allah yang berhak disembah. Allah berfirman,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
Ibadah kepada Allah terwujud dengan mengikuti panduan wahyu dan ajaran Rasul-Nya. Allah berfirman,
مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
“Dan barangsiapa yang menaati rasul itu, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)
Allah juga berfirman,
وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ
“Dan tidaklah dia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah yang ia sampaikan itu, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)
Oleh sebab itu, seorang muslim menundukkan dirinya, pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Allah berfirman,
وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu. Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Iman kepada Allah bukan sekedar pengakuan di lisan atau pun keyakinan di dalam hati. Lebih daripada itu, iman itu juga mengandung amalan dan ketegasan sikap terhadap kekafiran. Allah berfirman,
فَمَن یَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَیُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ l
“Maka, barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak terlepas.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”
Allah berfirman,
وَ ٰحِدࣱۖ فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا
“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Baca juga: Faedah dari Hadis Pengutusan Mu’adz ke Negeri Yaman
Faedah 2: Khauf dan raja’
Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khauf dan raja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.
Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khauf dan raja’. Khauf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Raja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah/rasa cinta, yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.
Allah berfirman,
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ
“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Hijr: 49-50)
Syekh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,
ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة
“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (lihat Fatawa Al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)
Di antara buah dan manfaat dari khauf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari raja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Zat Yang berbuat baik kepadanya.
Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khauf dan raja’ Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)
Sementara ibadah kepada Allah adalah ketaatan yang dilandasi dengan puncak perendahan diri yang disertai dengan puncak kecintaan. Ketaatan kepada Allah itu lahir dari kecintaan kepada-Nya. Sebagaimana ungkapan orang arab ‘Innal muhibba liman yuhibbu muthii’u.‘ (Orang yang mencintai, maka dia akan patuh kepada siapa yang dia cintai/kekasihnya itu.)
Seorang mukmin menyandarkan hatinya kepada Allah, karena hanya Allah Zat yang menguasai alam semesta. Dia berharap kepada Allah dan pahala dari-Nya. Dia pun mengharapkan curahan rahmat-Nya. Dia pun takut kepada Allah dan hukuman-Nya. Dia takut menyelisihi dan menyimpang dari petunjuk-Nya.
Oleh sebab itu, apabila dia terjerumus dalam dosa, dia pun segera kembali dan bertobat. Dia beramal saleh, tetapi dia juga khawatir apabila amalnya tidak diterima oleh Rabbnya. Dia tidak melihat Rabbnya, kecuali sebagai Zat yang senantiasa berbuat ihsan (kebaikan) dan terus melimpahkan kenikmatan. Dan dia tidaklah melihat dirinya sendiri, kecuali penuh dengan berbagai kekurangan dan kesalahan.
Oleh sebab itu pula, para ulama salaf menggambarkan bahwa orang beriman itu memendam rasa takut kalau-kalau dirinya terjangkiti kemunafikan. Selain itu, dia juga khawatir apabila Allah tidak menerima amalnya karena sedikitnya kualitas penghambaan dan jeleknya ketaatan yang dia persembahkan. Sebaliknya, orang munafik tenggelam dalam perasaan aman dari penyakit kekafiran.
Harapan yang ada pada kaum beriman membuahkan amal dan keikhlasan dalam beribadah. Sementara angan-angan yang ada pada kaum munafik menghasilkan kemalasan dan riya’ dalam beramal. Rasa takut pada ahli tauhid membuat dirinya khawatir terseret dalam arus kemusyrikan, sebagaimana takutnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala.
Adapun kaum munafik dan orang yang lemah imannya, rasa takutnya kepada gangguan dan celaan manusia membuat mereka meninggalkan jalan ketaatan dan perjuangan demi mengejar serpihan kesenangan dunia.
Faedah 3. Rasa takut kepada Allah
Allah berfirman,
إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya itu adalah setan yang berusaha menakut-nakuti kalian dengan wali-wali-Nya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175)
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa maksud ayat ini adalah setan berusaha menakut-nakuti orang beriman dengan wali-walinya. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma. Mujahid juga mengatakan,
يخوّف المؤمنين بالكفار
“Yaitu, setan berusaha menakut-nakuti kaum beriman dengan perantara orang-orang kafir.” (lihat Tafsir Ath-Thabari surah Ali ‘Imran ayat 175)
Ayat yang agung ini dibawakan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,
أراد المؤلف بهذه الترجمة بيان وجوب خوف الله تعالى، وأن الواجب على العبد أن يخاف ربه خوفا يحمله على إخلاص العبادة له سبحانه، ويحمله على أداء ما فرض عليه، ويحمله عن الكف عما حرم الله عليه، ويحمله على الوقوف عند حدوده
“Penulis bermaksud dengan bab ini untuk menjelaskan wajibnya takut kepada Allah dan wajib bagi seorang hamba untuk merasa takut kepada Rabbnya yang mendorongnya untuk memurnikan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya tunduk patuh melaksanakan apa-apa yang diwajibkan kepadanya serta menahan diri dari segala hal yang diharamkan Allah, dan juga membuatnya berhenti mengikuti batasan dan ketentuan-ketentuan dari Allah.” (lihat Syarh Kitab Tauhid Syaikh Bin Baz)
[Bersambung]
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Sumber: https://muslim.or.id/90625-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-aqidah-bag-1.html
Copyright © 2024 muslim.or.id