Jika ingin memasukkan anak di pesantren, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para orang tua. Salah satunya adalah faktor usia. Menurut psikolog Fitri Ariyanti Abidin usia anak penting jadi pertimbangan. Ada pesantren yang menerima anak mondok di usia SD, SMP dan SMA. Namun ia kurang sepakat memasukkan anak ke pesantren di usia SD.
Usia tersebut, dia mengatakan, adalah masa perkembangan penajaman nilai-nilai dasar kepada anak. “Selain itu, anak usia SD masih membutuhkan fondasi dari orangtua. Makanya, kurang tepat memasuki anak di usia dini (SD),” katanya.
Ia melihat usia pas memasukkan anak ke pesantren saat SMP. Usia SMP anak menganggap peran orang tua tidak begitu dominan lagi, malahan peran teman yang dianggapnya lebih besar. Peran berikutnya yang harus dilakukan orang tua mengetahui secara langsung pesantren tujuan. “Jangan sekadar membaca brosur atau cerita orang lain,” katanya.
Fitri mengatakan, lebih baik orang tua datang langsung ke pesantren dan tanyakan secara detail bagaimana sistem yang berlaku di pesantren. “Penekanannya apa saja dan bagaimana pola pengasuhan. Hal-hal tersebut harus diketahui secara mendetail, karena pola asuh orangtua terhadap anaknya akan diserahkan kepada pesantren,” kata Fitri.
Informasi mendetail ini sangat dibutuhkan untuk menghindari pola asuh yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua. Misalkan, pola pengasuhan sangat disiplin dengan memberlakukan hukuman fisik yang tidak dikehendaki orangtua.
Amin Haedari, direktur Pendidikan Diniyah dan Ponpes Depag, mengakui, anak yang baru masuk ponpes sering terkaget-kaget. Sebab, pola pendidikan di pesantren sangat berbeda dengan di rumah. Di pesantren anak-anak didik mandiri, disiplin, karena ponpes tidak ingin menghasilkan pimpinan yang cengeng dan tidak tahan banting. “Reaksi ini wajar sebagai bentuk ketidaksiapan anak menghadapi perubahan,” kata Fitri.
Memang, pengalaman selama ini tidak semua anak yang masuk ponpes langsung betah. Ada yang kaget, stres, bahkan ingin pulang. Karena itu, sebelum anak masuk ponpes segala informasi yang diperoleh, dia menyarankan, sebaiknya sampaikan kepada anak agar ia tahu dan bersiap-siap. Di antaranya, aturan di ponpes harus bangun sebelum Subuh, makan harus antre, mandi bergiliran bahkan ada yang harus memasak sendiri.
Pesantren yang paham dengan kondisi anak-anak akan lebih lentur. Biasanya, dia mengatakan, pondok memberi kesempatan kepada anak-anak untuk beradaptasi. Sehingga aturannya pada tahap awal tidak terlalu ketat.
Jika masa adaptasi tiga bulan sudah berakhir tapi anak masih ingin tetap pulang, berarti ada sesuatu yang membuat anak tidak nyaman. Fitri menyarankan orang tua untuk mencari tahu sumbernya. “Mungkin saja teman-teman atau lingkungan yang tidak menyenangkan,” katanya.