“Mengapa kalian melarang-larang merayakan valentine. Padahal kalian masih menggunakan produk orang kafir?”
Demikian salah satu komentar dari yang tidak setuju kalau merayakan valentine dilarang.
Kenyataan di Hari Valentine
Merayakan Valentine’s Day berarti meniru kebiasaan orang kafir. Karena budaya kaum muslimin tidaklah seperti itu.
Kenyataan di hari Valentine:
- Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.
- Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.
- Hari Valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.
- Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.
Merayakan Berarti Meniru
Merayakan hari Valentine tadi berarti meniru-niru mereka, yang sejatinya perayaan tersebut bukan dari Islam. Meniru mereka dalam hal perayaan berarti meniru mereka secara lahiriyah. Meniru secara lahiriyah ini bisa berpengaruh pada ketertarikan secara batin. Ujung-ujungnya agama non-muslim yang diagungkan.
Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya tasyabbuh (meniru gaya) orang kafir secara lahiriyah mewariskan kecintaan dan kesetiaan dalam batin. Begitu pula kecintaan dalam batin mewariskan tasyabbuh secara lahiriyah. Hal ini sudah terbukti secara inderawi atau eksperimen. Sampai-sampai jika ada dua orang yang dulunya berasal dari kampung yang sama, kemudian bertemu lagi di negeri asing, pasti ada kecintaan, kesetiaan dan saling berkasih sayang. Walau dulu di negerinya sendiri tidak saling kenal atau saling terpisah.” (Iqtidha’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim, 1: 549)
Di tempat lain, Ibnu Taimiyah berkata,
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22: 154).
Patokan meniru yang tercela adalah jika meniru pada sesuatu yang jadi ciri khas mereka. Valentine sudah jadi ciri khas perayaan non-muslim sejak masa silam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, namun bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3: 30)
Mengenai larangan tasyabbuh disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, 2: 50; Abu Daud, no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidha’, 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami” (HR. Tirmidzi, no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau Menggunakan Produk Orang Kafir
Adapun menggunakan produk orang kafir masuk dalam ranah perkara duniawi. Tak mungkinlah orang menggunakan produk orang kafir lantas mendukung dan membenarkan agama non-muslim. Coba saja lihat para pedagang di pasar atau di toko yang menjual produk orang kafir, apa lantas membenarkan ajaran mereka? Tentu tidak bukan? Kecuali kalau menggunakan produk mereka malah merugikan kaum muslimin. Sedangkan tasyabbuh (meniru mereka) secara lahiriyyah dapat mengantarkan pada kesukaan terhadap ajaran mereka dalam batin.
Bukti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih menggunakan produk orang kafir.
[Pertama]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakai baju buatan Yaman sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit, beliau keluar memakai baju qithriyyah (yaitu baju bercorak dari Yaman yang terbuat dari katun) (Lihat Mukhtashar Asy-Syamail, hlm. 49. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih). Perlu diketahui bahwa kebanyakan penduduk Yaman ketika itu adalah orang-orang kafir.
[Kedua]
Diceritakan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan khuf buatan Habasyah (Ethiopia) yang ketika itu adalah negeri kafir. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Buraidah,
أن النجاشي أهدى النبي صلى الله عليه و سلم خفين أسودين ساذجين فلبسهما ثم توضأ ومسح عليهما
“Raja Najasyi pernah memberi hadiah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua buah khuf yang berwarna hitam yang terlihat sederhana, kemudian beliau menggunakannya dan mengusap kedua khuf tersebut” (Lihat Mukhtashar Asy-Syamai, hlm. 51. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih).
Meski Menggunakan Produk Orang Kafir, Perayaan Orang Kafir Tidak Dirayakan
Coba perhatikan hadits berikut,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun yang amalan mereka biasa bersenang-senang ketika itu (yaitu Nairuz dan Mihrajan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda,
“Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud no. 1134; An-Nasa’i no. 1556. Sanad hadits ini shahih menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 4: 142)
Kalau kita melihat keterangan para ulama, hari Nairuz adalah perayaan awal tahun Syamsiyah. Sedangkan Mihrajan adalah perayaan enam bulan setelahnya. Lihat keterangan dalam Minhah Al-‘Allam, 4: 142.
Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah telah membatalkan dua perayaan yang diadakan orang-orang jahiliyah tersebut dan diganti dengan dua hari ied yang dimiliki oleh umat Islam saat ini yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Dan dinyatakan bahwa dua hari ied kita lebih baik, namun itu bukan pertanda bahwa dua hari besar jahiliyah sebelumnya ada kebaikan. Tetap tidak ada kebaikan pada dua hari jahiliyah tersebut.
Hari Idul Fithri dan Idul Adha adalah hari kegembiraan dan hari besar. Idul Fithri adalah hari di mana kita bersyukur karena telah menjalankan puasa sebulan penuh. Idul Adha adalah hari di mana kita bersyukur karena telah diberi kemudahan melaksanakan manasik haji dan ibadah qurban. Semua ibadah yang dilaksanakan tersebut memiliki kebaikan yang banyak.
Coba perhatikan, untuk merayakan perayaan Nairuz dan Mihrajan tidak dilakukan oleh Nabi. Bahkan beliau menggantinya dengan perayaan yang kita rayakan saat ini, Idul Fithri dan Idul Adha. Padahal beliau masih menggunakan produk non-muslim, namun untuk merayakan say “no”.
Silakan merenungkan hal ini bagi yang mau berpikir. Wallahu waliyyut taufiq.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Pengasuh Rumaysho.Com)
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27454-valentine-no-bagaimana-dengan-produk-orang-kafir.html