Baru-baru ini ada berita yang cukup mengejutkan publik khususnya kalangan muslim. Pada Kamis 5 Januari 2023 kemarin beredar video viral disawer saat baca Al-Qur’an. Dalam video itu seorang qariah yang sedang membaca Alquran di Tanggerang, Banten.
Ironisnya, dalam video viral disawer saat baca Al-Qur’an ditunjukkan sang qariah yang dikenal dengan qariah Internasional Ustazah Hj Nadia Hawasy itu disawer oleh beberapa pria yang naik ke atas panggung. Bahkan, ada salah satu pria itu menyelipkan uangnya di balik kerudung sang qariah.
Tentu, tindakan dalam video viral disawer saat baca Al-Qur’an, tidaklah etis sesuai nilai-nilai Islami yang diajarkan. Tindakan sawer untuk qariah adalah paradoks dengan anjuran-anjuran syariat Islam. Dalam Alquran secara gamblang sudah diperintahkan untuk menyimak bacaan Alquran.
{وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204)} [الأعراف: 204].
“Apabila Al-Quran telah dibaca maka simaklah oleh kalian dan renungilah barangkali kalian mendapatkan rahmat” (QS. Al-‘A’raf: 240).
Dari kalangan Hanafiyah menegaskan bahwa mendengarkan dan menyimak bacaan Al-Qur’an adalah wajib berdasarkan ayat di atas, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Sehingga orang yang berbicara (apalagi berdiri dan menyawerkan?) dihukumi haram.
Menurut kalangan ini, kendatipun ayat di atas turun lantaran merespons kasus yang spesifik yaitu dalam shalat namun tidak menegasikan keumuman lafadznya yang juga berlaku general di setiap tempat yaitu di luar shalat. Dalam suatu kaidah ushul dikatakan, “Yang menjadi acuan adalah lafal yang general bukan sebab turunnya ayat yang spesifik”.
Berbeda dengan itu, kalangan Hanbali dan Imam Syafi’i hanya menghukumi wajib bila dalam shalat dan sunah mendengarkan dan menyimak bacaan Al-Qur’an di luar shalat. Hal itu berlaku di tempat-tempat tertentu semisal masjid dan acara yang disediakan untuk membaca Al-Qur’an, (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 35/118).
Dari kedua pendapat di atas rasanya terlalu ekstrim jika mengikuti pendapat kalangan Hanafiyah yang mewajibkan untuk mendengarkan pembacaan Alquran dan ini bisa menyulitkan masyarakat awam.
Namun demikian, pendapat di atas disuguhkan sebagai warning betapa pentingnya menyimak Alquran sehingga tidak serta merta melakukan tindakan yang tidak etis semisal saweran.
Sebagaimana telah disebutkan, Allah menggunakan frasa istima’ dan inshat dalam perintah untuk menyimak bacaan Alquran. Dalam kitab Mausu’ah al-Akhlaq (186) dikatakan bahwa istima’ adalah mendengarkan dengan penuh penghayatan dan disertai kesadaran akal dan hati. Sedangkan inshat adalah diam beserta khidmat dan tidak berbicara atau beraktivitas yang menyibukkan diri.
Dalam konteks saweran sudah barang tentu bertentangan dengan nilai istima’ dan inshat di mana tindakan sawer sudah menyibukkan seseorang dari menyimak Al-Qur’an dan fokus terhadap tindakan sawerannya.
Di sisi lain, Al-Qur’an yang telah diyakini oleh seluruh muslim sebagai kalam ilahi yang mana setiap hurufnya juga bisa bernilai ibadah (al-muta’abbad bih) sudah seyogyanya menjaga adab saat bersinggungan dengan Al-Qur’an baik secara langsung (pembaca) maupun tidak (pendengar).
Ada beberapa adab yang mesti diperhatikan oleh seseorang (muslim tentunya) tatkala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an. Pertama, berdiam diri dan tidak bergerak-gerak kecuali lantaran kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Kedua, tidak beraktivitas yang bisa membuyarkan kefokusan dari ayat-ayat yang didengar.
Ketiga, menjaga pandangannya sehingga hatinya tidak teralihkan dengan apa yang dilihat. Keempat, menghadirkan akalnya (sadar). Oleh sebab itu, tidak berbincang-bincang sendiri dalam hatinya. Kelima, berusaha untuk memahami lantunan ayatnya sehingga bisa diamalkan.
Semua itu dilakukan sebagai realisasi dari rasa pengagungan umat Islam terhadap konten ayat sucinya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir bahwa tatkala Allah menyebutkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan rahmat maka Allah memerintahkan segenap insan untuk menghayati ketika ayatnya dibaca sebagai rasa pengagungan dan memuliakan. Bukan seperti sikapnya orang-orang Quraisy yang tidak mendengarkan lantunan ayat Alquran, (Mausu’ah al-Akhlaq, 186).
Perlu ditegaskan kembali, adab-adab itu berlaku bila dalam kondisi normal dan semestinya misalnya sama-sama di masjid atau memang acara yang secara sengaja ada bacaan Alqurannya, tidak berlaku bagi orang yang sedang berkendara dan mendengar lantunan ayat dari toa masjid.
Walhasil, menyawer pembaca Alquran saat pembacaan berlangsung hukumnya haram menurut kalangan Hanafiyah sebab dinilai tidak mengindahkan lantunan ayat Alquran (tidak istima’ dan inshat). Dan makruh menurut pendapat lainnya.
Masalahnya, sering kali orang-orang berdalih bahwa saweran adalah bentuk ekspresi apresiasi bagi pembaca. Dalih ini adalah kalimat yang benar tapi digunakan untuk hal batil. Sebab, tidak ada yang menyangkal untuk mengapresiasi seseorang yang memiliki bacaan Al-Qur’an bagus. Akan tetapi, haruskan mengapresiasi dengan cara-cara yang tidak etis seperti saweran? Apakah tidak bisa, misalnya, dikasih setelah selesai pembacaan?
Di sisi lain, pada kasus Ustadzah Hj Nadia Hawasy itu ada tindakan yang “mungkar” di mana seorang pria menyelipkan uang ke kerudung sang ustadzah, bagaimana jika tersentuh bukankah akan menyebabkan kebatalan wudhunya? bukankah bersentuhan dengan lawan jenis adalah haram kendatipun tidak khalwat dan syahwat menurut satu pendapat?
Soal apresiasi, konon, nabi Muhammad Saw. turut memberikan kepada salah satu sahabatnya yang membaca Al-Qur’an dengan lantunan suara merdu dan apik. Seperti sahabat Abu Musa al-Asy’ari seorang qari yang memiliki suara indah.
Saking indah dan syahdu suaranya ketika membaca Al-Qur’an hingga Rasul menjulukinya sebagai seruling nabi daud. “Telah dikaruniai satu seruling di antara seruling Nabi Daud”. Tentu, Nabi tidak sampai melampaui batas dalam memberikan penghargaan, bukan?
Demikian penjelasan hukum terkait viral disawer saat baca Al-Qur’an. Semoga bermanfaat. Falyata’ammul.