Lembaga Aksi Cepat Tanggap tengah viral di media sosial. Pasalnya, para petinggi lembaga sosial tersebut diduga telah menyelewengkan dana sosial milik umat. Duit sedekah yang dihimpun dari publik sebagian digunakan untuk memenuhi gaya hidup bos-bos ACT. Lantas bagaimana hukum menilap sumbangan umat?
Sudah maklum, karakter manusia memang merasa kekurangan terus, syahdan ketika ia sudah punya, tetap saja ia memiliki spirit untuk meraup sebanyak-banyaknya. Namun, sifat ini tidak bisa diwajarkan.
Sebab bagaimanapun juga, menilap atau mencuri harta seseorang, apalagi dana sumbangan umat, ini merupakan perbuatan yang sangat keji. Jika orang sudah berani menilap dana umat, tentunya ia akan lebih berani untuk mengambil hartanya orang lain.
Kini ramai diperbincangkan terkait dana penyelewengan dana dari donasi ACT. Padahal gaji mereka sudah terlampau mencukupi. Ini menunjukkan, bahwa perkara uang tidak akan ada habisnya.
Sama seperti angka yang tiada akhirnya, tamaknya seseorang pada uang pun demikian pula. Cara ampuh untuk menjinakkan tamak uang adalah bersyukur, merasa cukup dan menormalkan gaya hidupnya. Dengan demikian, potensi tamak akan tertekan dengan sendirinya.
Siapapun bisa tergoda dengan uang, hatta orang yang saleh spiritual sekalipun. Realitanya, di kalangan pondok pesantren pun sering juga ada maling. Karena saking seringnya, dalam dunia pesantren, terkenal sebuah adagium bahasa Madura yang berbunyi;
“Mon neng pondhuk bengal ngecok jerum, neng romannh bekal bengal ngecok jeren”, kurang lebih berarti ” Sesiapa yang di pondoknya berani mencuri jarum (alat jahitan), niscaya di rumahnya ia akan berani mencuri kuda”.
Istilah ini sarat akan makna, antara lain jika orang sudah berani mencuri sesuatu yang nilainya kecil, niscaya ia akan memiliki keberanian dalam mencuri sesuatu yang nilainya lebih besar. Sehingga, seyogyanya kita berhati-hati dalam hal ini. Tidak punya uang pun, lebih baik nyari hutangan, dari pada terjerumus dalam dosa yang sangat rumit ini.
Sanksi Hukum Menilap Sumbangan Umat
Dalam al-Qur’an sendiri, Allah hanya menjelaskan sanksi bagi pencuri. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 38;
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًا مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Jika kita pakai nalar, agaknya ayat ini menjelaskan betapa besarnya dosa mencuri. Sebab Allah langsung menjelaskan sanksinya, tanpa memberikan premis larangan mencuri. Terlebih, dosa mencuri ini berkaitan dengan hak sesama. Tentunya ini membuatnya menjadi lebih besar dosanya, serta merumitkan dalam urusan taubatnya.
Tentu kita tahu, bahwa dosa ada 2 macam. Yaitu dosa yang berkaitan dengan haknya Allah SWT, kemudian dosa yang berkaitan dengan haknya sesama manusia. Mencuri ini masuk pada kategori yang kedua, yakni memiliki tanggungan terhadap sesama.
Berinteraksi dengan Allah Swt berlandaskan pada asas mabniy ala al-musamahah, sehingga Allah terkadang lebih sering memaafkan hambanya. Lain halnya dengan interaksi dengan sesama, ini menjadi tanggungan tersendiri. Sehingga ketika ingin bertaubat, kita harus mengembalikannya atau meminta kehalalannya (keridhoannya).
Maka orang-orang yang pernah mencuri, ia harus mengembalikan curiannya. Atau jika ia tidak mampu, ia harus meminta kehalalannya. Hanya saja, dalam pandangan fikih, pencuri itu juga mendapat had (sanksi berupa potong tangan) jika barang curiannya bernilai lebih dari seperempat dirham.
Memandang Indonesia tidak menggunakan hukum ini, maka sanksi yang ia dapatkan adalah sesuai hukum yang berlaku dan tentunya ia tetap harus mengembalikan barang curiannya secara utuh.
Nurani manusia normal pasti menolak untuk melakukan hal keji ini, sehingga meski tipologi manusia cenderung merasa kurang saja, tidak lantas keserakahannya harus mendapatkan legitimasi.
Penjelasan Ibnu hajar Tentang Menilap Sumbangan Umat
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karya yang berjudul al-Zawajir an Iqtiraf al-Kabair, di mana beliau membahas mengenai klasemen dosa, dan kasus pencurian ini berada pada klasemen ke 369.
Di sana, beliau menyebutkan beberapa ayat, hadits dan atsar yang terkait dengan ancaman mencuri. Meski angkanya besar, tetap saja ini merupakan dosa besar, terlebih terkait dengan tanggungan terhadap orang. Syekh Abi Bakar Syatha Al-Dimyati menjelaskan;
)قوله: ورابعها) أي ورابع الحدود وقوله قطع السرقة: هي لغة أخذ الشئ خفية، وشرعا أخذ المال خفية من حرز مثل بشروط. وهي من الكبائر لقوله عليه الصلاة والسلام: «لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ»
Had yang nomer keempat adalah mencuri. Secara etimologi, mencuri bermakna mengambil sesuatu dengan cara diam-diam. Sedang secara terminologi, mencuri bermakna mengambil harta secara diam-diam, dari tempat penyimpanan, dengan beberapa syarat-syarat tertentu.
Perbuatan mencuri merupakan dosa yang sangat besar, sebab Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah beriman orang yang berzina tatkala ia berzina, tidaklah beriman orang yang minum khamr tatkala ia meminumnya dan tidaklah beriman orang yang mencuri ketika ia mencuri”. (I’anah al-Thalibin fi hall Alfadz Fath al-Mu’in, Juz 4 hal. 178)
Karena dosa pencurian ini juga berkaitan dengan hak sesama, maka cara taubatnya sangat ketat. Ibnu Hajar menjelaskan;
قَالَ الْعُلَمَاءُ – رَحِمَهُمُ اللَّهُ -: وَلَا يَنْفَعُ السَّارِقَ وَالْغَاصِبَ وَغَيْرَهُمَا مِنْ كُلِّ مَنْ أَخَذَ مَالًا بِغَيْرِ وَجْهِهِ تَوْبَةٌ إلَّا أَنْ يَرُدَّ مَا أَخَذَهُ كَمَا يَأْتِي فِي مَبْحَثِ التَّوْبَةِ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.
Para ulama menjelaskan bahwa pencuri dan penghasab (orang yang menggosob), atau orang lain yang mengambil harta sesamanya dengan cara dzalim, tidaklah bermanfaat baginya, jika ia hanya bertaubat (membaca istighfar dsb) saja. Ia juga harus memgembalikan apa yang ia ambil, secara rincinya akan penjelasan tata cara taubatnya di bab taubat. (Al-Zawajir, Juz 2 hal. 238)
Dengan demikian, hindarilah perbuatan mencuri. Sebisa mungkin, jangan melakukannya, meski dalam keadaan mendesak. Adapun bagi orang yang sudah pernah mencuri, bertaubatlah. Penting untuk pengetahuan, taubatnya mencuri bukan hanya dengan istighfar atau menerima sanksi, ia tetap harus mengembalikan barang curiannya secara utuh.
Demikian hukum menilap sumbangan umat. Semoga bermanfaat.