PA 212 kembali jadi sorortan nitizen. Yang terbaru, kelompok ini sholat di tengah jalan. Yang tak kalah bikin gemes nitizen adalah satu di antaranya sholatnya itu dengan memakai sepatu. Lantas bagaimana fikih memandang hukum sholat memakai sepatu?
Pertama-tama, baiknya kita mengetahui dulu, bahwasanya sholat di jalan raya itu hukumnya makruh. Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Kaff menjelaskan mengenai perkara makruh dalam sholat dengan panjang lebar, di antaranya adalah sholat di jalan.
Beliau memasukkan ini dalam hukum makruh, yang ditinjau dari tempatnya sholat. Selain sholat di jalan, hukum sholat menjadi makruh jika dikerjakan di kamar mandi, gereja, Pasar, kuburan, tempat sampah, dan lain-lain. (Al-taqrirat Al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah, I/254)
Maka dari itu, baiknya kita mengerjakan sholat ya di tempat yang semestinya. Meski seluruh penjuru bumi bisa dijadikan tempat sholat, seyogyanya kita menjaga adab, dengan melakukan sholat di masjid. Terlebih di zaman sekarang, masjid sudah ada di mana-mana, bahkan musholla juga. Maka usahakan sholat di selain tempat yang disebutkan di atas, kecuali adanya hajat atau darurat.
Adapun mengenai orang yang sholat dengan menggunakan sepatu, maka ini bisa dianalogikan dengan sholatnya orang yang memakai sandal.
ويسنّ كشف اليدين والرجلين أي في حق الرجل إذ المرأة يجب عليها ستر قدميها ، ويكره كشف كفيها كما يؤخذ من علة كشف الركبتين ق ل
“Disunnahkan untuk membuka kedua tangan dan kedua kaki, yakni dalam konteks Musalli (orang yang sholat) laki-laki.
Adapun Musalli yang perempuan, maka ia wajib menutup kedua telapak kaki, dan makruh baginya untuk membuka kedua telapak tangannya, poros hukumnya (illat) sama dengan dimakruhkannya membuka kedua lutu bagi laki-laki (yakni berhati-hati, akan tersingkapnya aurat).
Demikianlah pendapat Imam Al-Qulyubi. (Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfat al-habib ala syarh al-khatib, jamak disebut dengan Hasyiyah Al-Bujairimi ala al-khatib II/35)
Dari keterangan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan dengan metode mafhum mukhalafah (pemahaman dengan mengambil kebalikan dari teks), yakni jika sunnah untuk membuka kaki ketika sholat, maka sholat dengan menutupnya (yakni memakai sepatu atau semisalnya), maka dihukumi makruh.
Jadi, baiknya untuk membuka saja. Terlebih ketika ragu, apakah sepatunya suci atau tidak. Jadi boleh sholat dengan menggunakan sepatu, ketika memang sepatunya suci.
Namun yang demikian dihukumi makruh, meski sah. Adapun jika mereka yang sholat dengan menggunakan sepatu, yang menganalogikannya dengan perintah sholat memakai sandal, dengan bertendensi pada hadis berikut;
عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ
“Berbedalah kalian dengan orang Yahudi, sebab mereka tidak sholat dengan menggunakan sandal atau sepatu mereka”. HR Abi Daud No. 652 (Sunan Abi Daud/176)
Maka kita harus merujuk pada anotasinya, sebab hadis tidak bisa dimaknai secara literal. Berikut penjelasan dari salah satu syarih (komentator) hadis ini:
(خَالِفُوا الْيَهُودَ) ، أَيْ: بِالصَّلَاةِ فِي نَحْوِ النُّعُولَ ( «فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ» ) : قَالَ ابْنُ الْمَلَكِ: يَعْنِي وَيَجُوزُ الصَّلَاةُ فِيهِمَا إِذَا كَانَا طَاهِرَيْنِ … إلى أن قال … فَالْأَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ عَلَى أَنَّ الْأَدَبَ الَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ أَخِرَ أَمْرِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – خَلْعُ نَعْلَيْهِ، أَوِ الْأَدَبَ فِي زَمَنِنَا عِنْدَ عَدَمِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى أَوْ عَدَمِ اعْتِيَادِهِمَا الْخَلْعَ، ثُمَّ سَنَحَ لِي أَنَّ مَعْنَى الْحَدِيثِ: خَالِفُوا الْيَهُودَ فِي تَجْوِيزِ الصَّلَاةِ مَعَ النِّعَالِ وَالْخِفَافِ، فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ أَيْ لَا يُجَوِّزُونَ الصَّلَاةَ فِيهِمَا وَلَا يَلْزَمُ مِنْهُ الْفِعْلُ، وَإِنَّمَا فَعَلَهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَمَا فِي الْحَدِيثِ الْآتِي تَأْكِيدًا لِلْمُخَالَفَةِ، وَتَأْيِيدًا لِلْجَوَازِ خُصُوصًا عَلَى مَذْهَبِ مَنْ يَقُولُ: إِنَّ الدَّلِيلَ الْفِعْلِيَّ أَقْوَى مِنَ الدَّلِيلِ الْقَوْلِيِّ.
Maksud dari hadis tersebut adalah boleh sholat dengan sandal, ketika memang suci. Ketika ada pertentangan antara memakai sandal atau tidak, maka yang dipilih adalah sebagaimana ucapan Imam Syafi’i di atas.
Yaitu tidak memakai sandal karena dengan alasan lebih beradab dan Rasulullah SAW pun lebih sering sholat dengan tidak memakai keduanya.
Adapun sabda beliau tentang hadits tersebut, beliau hanya bermaksud untuk menjelaskan akan kebolehan seseorang sholat dengan sandal atau khuf (sepatu yang terbuat dari kulit) selama keduanya suci, bukan di haruskannya setiap kali sholat. (Ali Mulla Al-qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih)
Dari anotasi tersebut kita bisa mengetahui bahwa Nabi SAW hanya memberikan penjelasan bahwa sholat dengan sandal itu boleh, ketika memang suci. Namun dalam rangka berhati-hati, maka baiknya sholat di masjid tanpa memakai sepatu. Wallahu A’lam.
Demikianlah penjelasan mengenai hukum sholat dengan memakai sepatu, semoga bermanfaat.