Virus Kebohongan

IMAM Al-Ghazali dalam kitab “Ihyā’ Ulūm al-Dīn” (III/133) mencatat beberapa penyakit atau virus yang berbahaya bagi lisan. Di antara yang beliau sebut –virus keempat belas–  adalah kebohongan dalam ucapan dan sumpah.

Kebohongan, kata beliau, merupakan bagian dari dosa-dosa yang sangat buruk dan aib yang keji. Isma’il bin Wasith pernah mendengar Abu Bakar berkhutbah pasca meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku pernah dinasihati Rasulullah di tempat ini: ‘Jauhilah olehmu kebohongan karena kebohongan membawa pada keburukan, dan keduanya di dalam Neraka.” (HR. Ibnu Majah)

Orang yang terbiasa berbohong, maka akan dicatat sebagai tukang bohong. Sabda Nabi, “Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim)

Bayangkan! Dicap sebagai pembohong oleh menusia saja begitu menyesakkan, apalagi yang mengecapnya adalah Allah Subhanahu wata’ala. Hadits ini menunjukkan dengan sangat tegas bahaya kebohongan.

Selain itu, bahaya kebohongan yang lain adalah membuat orang masuk dalam kategori munafik. Sabda Nabi, ada tiga ciri orang munafik: jika berjanji ia menyalahinya, jika diberi amanah, ia berkhianat dan jika berkata, dia berbohong. Hadits ini bisa dilihat dalam Shahih Bukhari dan Muslim.

Dalam sejarah, bisa dibaca, musuh terbesar dari kalangan umat Islam adalah orang-orang munafik. Mereka sudah terbiasa menyembunyikan apa yang ada dibenak mereka. Secara lahiriah seolah membela Islam, namun kenyataannya, mereka amat membenci Islam. Kebohongan dalam berinteraksi social, adalah ciri khas mereka. Maka tak berlebihan jika kelak, neraka yang ditempati mereka –sebagaimana surah An-Nisa ayat 145—adalah yang paling bawah.

Tak hanya itu, kebohongan juga menyulut murka Allah. Orang yang memiliki perangai seperti ini, kelak di akhirat tidak akan diajak berbicara dengan Allah Subhanhahu wata’ala. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa ada tiga  orang yang tak akan diajak berbicara oleh Allah, salah satunya adalah yang bersumpah dengan kebohongan.

Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi kebohongan itu terlarang, walau hanya sekadar untuk membuat orang lain tertawa. Nabi sendiri juga pernah bercanda dan membuat sahabatnya tertawa, tapi beliau menjauhi dagelan dusta yang dimaksudkan untuk membuat orang lain tertawa.

Menukil riwayat Tirmidzi, Imam Ghazali juga mengemukakan sabda nabi bahwa orang yang bohong yang bohong sejatinya berbau busuk. Begitu busuknya sehingga, malaikat pun menjauhinya dalam jarak satu mil.

Meski pada dasarnya hukum berbohong itu haram, namun ada tiga kondisi yang menjadi pengecualian. Imam Tirmidzi Rahimahullah dalam Sunan-nya, meriwayatkan sabda nabi, “Tidak boleh berdusta (berbohong), kecuali dalam tiga hal: seorang suami yang berbicara terhadap isterinya agar ia rida padanya; kedustaan pada peperangan; dan kedustaan yang dilakukan dalam rangka untuk mendamaikan (sesama) manusia.”

Pada kasus yang lagi viral terkait tokoh yang berinisial RS, ketiga kebohongan itu sama sekali tidak tercermin. Bahkan, dirinya sendiri dengan blak-blakan melalui siaran pers mengakui kebohongannya. Sebuah tindakan yang bukan saja merugikan diri sendiri tapi juga orang lain yang di sekitarnya.

Kebohongan sejak masa lalu memang senantiasa ada. Namun, jika kebohongan sudah dilakukan oleh publik figur atau tokoh politik, maka akan berdampak buruk bagi kehidupan sosial. Akibat yang paling nyata adalah krisis kepercayaan di ranah sosial.

Kita jadi merindukan politisi-politisi yang jujur dan tak suka berbohong sebagaimana politisi-politisi di masa lalu. Sebut saja misalnya, Mohammad Natsir. Di samping kesantunan, kesederhanaan dan karakter luhur lainnya, beliau dikenal sebagai orang yang jujur baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Jakoeb Oetama, dalam buku “100 tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah” (2008: 40) mengakui kejujuran beliau, “Mohammad Natsir juga memiliki kualifikasi lain yang mengesankan. la sebagai politikus dan pemimpin partai, ia jujur. Dan masa itu, kejujuran termasuk tidak menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang merupakan ciri yang menonjol.”

Bahkan kejujuran itu sudah mejadi karakter luhurnya sejak kecil. Kata Hamdi, yang mendapat cerita dari Siti Zahara (neneknya), “Semasa kanak-kanak Natsir orangnya lugu, jujur, dan sudah kelihatan akan jadi pemimpin,” (Tempo, Natsir Politik Santun di Antara dua Rezim, 10).

Kita berharap, ke depan kejujuran yang menjadi punggawa bagi perpolitikan dan interaksi kita sebagai bangsa; bukan kebohongan. Sekelumit cerita dari Natsir paling tidak memberi inspirasi, bahwa menjadi politisi sukses tak harus diraih dengan kebohongan.

Sabda Nabi ﷺ mengenai hal ini senantiasa relevan untuk direnungi:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلىَ البِرِّ وَإِنَّ البرَّ يَهْدِيْ إِلىَ الجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتىَّ يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِيْقاً, وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كذاباً

Kalian wajib berlaku jujut, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat bohong, karena sesungguhnya bohong itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim).*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH