Dalam hal istinja, umat Islam tidak boleh acuh terhadap perkara hukum yang satu ini.
Secara etimologis, istinja berarti memotong bahaya. Seolah-olah bahaya dipotong dengan istinja. Sedangkan hukum istinja adalah wajib dilakukan untuk membersihkan apapun yang keluar dari salah satu dari dua jalan, baik biasa seperti air kencing dan tinja, maupun tidak biasa seperti darah, wadi, dan madzi.
Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjelaskan, bahwa Syufai bin Mati’ As-Shahbahi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat orang yang akan menyakiti penghuni neraka di atas segala siksaan yang mereka alami.
Mereka berjalan di antara air yang mendidih dan api yang membara. Mereka meneriakkan kecelakaan dan kebinasaan. Penghuni neraka pun berkata satu sama lain: ‘Kenapa mereka menyakiti kita di atas segala siksaan yang kita alami?’. Laki-laki pertama dikunci dalam peti dari bara api, sedangkan laki-laki kedua menyeret ususnya.
Laki-laki ketiga mulutnya mengalirkan nanah dan darah, dan laki-laki keempat memakan dagingnya sendiri. Dikatakan kepada si pemilik peti, ‘Kenapa laki-laki yang paling jauh itu menyakiti kami di atas segala siksaan yang kami alami?’. Dia berkata, ‘Sesungguhnya laki-laki yang paling jauh itu mati dengan menanggung harta manusia yang tidak mampu dibayar atau dilunasinya’.
Kemudian dikatakan kepada laki-laki yang menyeret ususnya, ‘Kenapa laki-laki yang paling jauh itu menyakiti kami di atas segala siksaan yang kami alami?’, dia berkata, ‘Sesungguhnya laki-laki yang paling jauh itu dulu tidak memedulikan di mana air kencing mengenainya; dia tidak membasuhnya’.
Kemudian dikatakan kepada laki-laki yang mulutnya mengalirkan nanah dan darah, ‘Kenapa laki-laki yang paling jauh itu menyakiti kami di atas segala siksaan yang kami alami?’. Dia berkata, ‘Sesungguhnya laki-laki yang paling jauh itu dulu memakan daging manusia,”. (HR Thabrani).
Dengan demikian, penuntasan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum istinja. Tetapi apa hakikat penuntasan? Penuntasan berarti bahwa orang yang membuang air menuntaskan tempat keluarnya kotoran. Apabila dia membuang air besar maka cukup dengan merasakan bahwa tidak ada lagi yang tersisa dalam perutnya yang akan keluar.
Apabila dia membuang air kecil, jika dia laki-laki maka penuntasan dapat dia lakukan dengan cara apapun yang menjadi kebiasaannya, tanpa harus terseret ke dalam keraguan. Dan jika dia perempuan maka dia tidak harus melakukan penuntasan, menurut para ulama Madzhb Hanafi. Sementara menurut para ulama Madzhab Syafii dan Hanbali, perempuan melakukan penuntasan dengan mengurut daerah di bagian atas kemaluannya.