Yahya Sinwar adalah korban peristiwa Nakbah 1948, aktivis sejak mahasiswa ini berkali-kali dipenjara Zionis. Di bawah dididikan langsung Syeikh Ahmad, dulu ia tawanan yang dibebaskan, kini pemimpin langung Operasi Taufan Al-Aqsha
BEBERAPA pekan setelah serangan kilat pejuang pembebasan Palestina, dipimpin Hamas, ke wilayah pendudukan ‘Israel’ berjuluk “Operasi Taufan Al-Aqsha” (Banjir Al-Aqsha) terungkap bahwa serangan itu merupakan aksi terencana yang oleh banyak pihak dirancang oleh salah satu petinggi Hamas, Yahya Sinwar.
Seorang analis bahkan menyebut Yahya Sinwar adalah seorang seniman, dan Operasi Taufan Al-Aqsha adalah karyanya. Al-Sinwar, seperti banyak seniman Palestina lainnya yang telah merangkap sebagai revolusioner, secara mengagumkan memenangkan pembebasan bangsanya dalam sebuah pembingkaian yang indah.
Namun, berbeda dengan yang lain, Yahya Sinwar adalah seniman yang sangat praktis dan konsekuen secara materialistis. Karya agungnya bukanlah sebuah puisi atau lukisan, melainkan sebuah revolusi dalam waktu nyata.
Meski Barat dan Israel berusaha memperburuk citra pemimpin Hamas di Jalur Gaza itu, bagi rakyat Palestina dan sebagian umat Islam dia beserta Muhammad Dheif dan Abu Ubaidah ia adalah pahlawan.
Yahya Sinwar dan Operasi Taufan Al Aqsha
Tanggal 7 Oktober akan selalu ditandai sebagai momen penting dalam sejarah entitas Zionis di mana para pejuang muda berhasil menembus penjagaan keamanan berteknologi tinggi penjajah ‘Israel’: mendobrak pengepungan yang diberlakukan di Gaza dan memberontak terhadap penjajah.
Menurut perkiraan situs berita Prancis, Media Part, dalam kurun waktu hanya 6 jam, para pejuang pembebasan Palestina berhasil menimbulkan kehancuran dahsyat pada negara penjajah, menewaskan 1000 orang, menyebabkan lebih dari 2000 orang terluka, dan menawan ratusan orang.
“Serangan keji ini diperintahkan oleh Yahya Al-Sinwar,” kata Kepala Staf Tentara Penjajahan Israel (IDF), Herzi Halevi, tak lama setelah operasi.
Al-Sinwar, yang namanya secara harfiah berarti nelayan atau perajin kail dalam bahasa Arab, terlihat berada di puncak Taufan Al-Aqsha saat air bah itu menerjang negara penjajah Zionis.
Sebuah laporan Reuters awal bulan ini mengingatkan kita pada sebuah pidato yang dibuat oleh Yahya Sinwar pada tahun 2022 yang secara tidak terduga meramalkan akan adanya peristiwa “Operasi Taufan Al-Aqsha“ dalam pilihan kata-katanya.
Dalam sebuah pidato yang ditujukan kepada pihak keamanan ‘Israel’ pada 14 Desember tahun lalu, , Yahya Sinwar secara khusus mengancam Rezim teroris Israel dengan “taufan” yang akan datang.
“Kami akan datang kepada kalian, insya Allah, dalam taufan yang menderu. Kami akan mendatangi kalian dengan roket yang tak ada habisnya, kami akan mendatangi kalian dalam banjir pejuang yang tak henti-hentinya, kami akan mendatangi kalian dengan jutaan rakyat kami, seperti air pasang yang tak henti-hentinya,” ujar Yahya al-Sinwar dalam sebuah pidato di depan kerumunan massa di Gaza yang disiarkan televisi dalam sebuah peringatan ulang tahun ke-35 berdirinya Hamas.
Reuters mencatat bahwa pada saat pidato tersebut, al-Sinwar bersama dengan Mohammed al-Deif, Komandan Brigade al-Qassam, telah menyusun rencana rahasia untuk tanggal 7 Oktober 2023.
Sebelumnya, penjajah memandang pernyataan al-Sinwar sebagai ancaman kosong dan dibesar-besarkan, mengingat negara palsu ‘Israel’ menganggap dirinya kuat dan didukung negara besar. Penjajah yang tadinya menafsirkannya sebagai sebuah hiperbola, rupanya adalah sebuah pertanda.
Revolusi dan Perlawanan Bersenjata
Yahya Ibrahim Hassan Al-Sinwar berasal dari kota pesisir Askalan (Ashkelon, wilayah Palestina yang kini dirampas Israel), yang mayoritas penduduk asli Palestina di sana bermata pencaharian sebagai nelayan sebelum dirampas oleh milisi Zionis.
Ia lahir di kamp Khan Younis di Gaza dari orang tua yang mengungsi secara paksa pada peristiwa Nakbah 1948. Usai menyelesaikan pendidikan di sekolah yang didirikan UNRWA, Yahya Sinwar mendaftar di Universitas Islam Gaza.
Yahya sangat terlibat dalam aktivisme politik sejak masa mudanya. Sebagai mahasiswa, ia memimpin Blok Islam di Universitas Islam Gaza di mana ia menerima gelar Sarjana dalam bidang Studi Bahasa Arab.
Pada tahun 1982, Yahya Sinwar, pada usia 19 tahun, ditangkap oleh Zionis dan dipenjara selama 4 bulan tanpa alasan. Namun, kemungkinan besar ia ditahan karena aktivitas revolusioner anti-Zionis.
Yahya Sinwar pernah lima kali terpilih dalam pemilihan universitas dan menjadi presiden dewan perwakilan mahasiswa.
Setelah beberapa bulan di penjara Zionis, ia keluar dari tahanan dengan dedikasi terhadap pembebasan Palestina yang lebih tinggi lantaran bertemu dengan para revolusioner Palestina lainnya di dalam tahanan.
Pada tahun 1985, ia ditangkap lagi. Selama masa tahanannya yang kedua di penjara penjajah, ia bertemu dengan Syeikh Ahmad Yassin, pendiri dan pemimpin Hamas, yang akan didirikan beberapa tahun kemudian.
Kedekatannya dengan Syeikh Yassin memberinya aura kehormatan dan membuka jalan untuk naik jabatan di jajaran Hamas. Setelah dibebaskan pada tahun 1985, Sinwar bekerja secara ekstensif dalam pengorganisasian politik: meningkatkan aktivisme menjadi aksi bersenjata yang terorganisir.
Pada tahun itu, Yahya Sinwar mendirikan organisasi Al-Majd, kelompok pejuang bersenjata yang kemudian bergabung menjadi Hamas ini didedikasikan untuk membersihkan Gaza dari para pengkhianat.
Yahya Sinwar, sebagai pemimpin kelompok Al-Majd, akan mencari kolaborator dan mata-mata lokal, dan mengeksekusi mereka.
Pekerjaan keamanan Yahya Sinwar saat itu adalah bagian dari upaya akumulasi dalam strategi konsolidasi Gaza sebagai benteng perlawanan, titik Archimedes pembebasan Palestina.
Pada tahun 1988, saat berusia 25 tahun, Yahya Sinwar ditangkap untuk ketiga kalinya dan dipenjara seumur hidup karena menggagalkan aksi spionase dan intelijen Israel di Gaza yang bertujuan untuk mendeteksi warga Palestina yang terlibat dalam Intifada Pertama.
Bebas setelah 23 Tahun
Terpisah secara paksa dari praksis gerakan pembebasan, Yahya Al-Sinwar menghabiskan masa-masa awal kedewasaannya di penjara-penjara ‘Israel’.
Selama 23 tahun dalam penjara penjajah ‘Israel’, Sinwar dihormati sebagai orang kuat Hamas bersama rekannya Rawhi Mushtaha. Hamas beberapa kali menunjuk keduanya menjadi wakil tahanan.
Ketika di penjara Al-Majdal, kota di mana keluarganya diusir oleh tentara Zionis pada 1948, rencananya untuk melarikan diri terbongkar dan ia ditempatkan dalam kurungan.
Peluang untuk melarikan diri sekali lagi muncul ketika di penjara Ramleh, tetapi akhirnya gagal.
Dari jauh, ia menyaksikan sejarah yang bergulir dengan cepat, adanya disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, konsolidasi hegemoni Amerika Serikat (AS) yang berjalan lambat, invasi Amerika Serikat ke Afganistan pada tahun 2000, invasi Amerika Serikat ke Iraq pada tahun 2003.
Setelah itu ia melihat Perjanjian Oslo yang “menetralkan” PLO pada tahun 1993, dan pertumbuhan pemukiman haram ‘Israel’ yang terus meningkat di Tepi Barat, yang kesemuanya itu membuatnya gelisah dan tak sabar untuk kembali melanjutkan praksis revolusinya.
Sejalan dengan itu, ia juga menyaksikan pembebasan Lebanon Selatan pada tahun 2000, pembebasan Gaza pada tahun 2005, kemenangan perlawanan Lebanon melawan agresi ‘Israel’ pada tahun 2006, konsolidasi aliansi Poros Perlawanan regional, Intifadah Pertama, dan Intifadah Kedua yang pasti membuatnya bersemangat untuk melanjutkan praksis revolusinya.
Pada 2006, sayap militer Hamas – Brigade Izzuddin Al-Qassam – dan pejuang dari dua kelompok di Gaza menangkap seorang prajurit Zionis bernama Gilad Shalit, yang sedang bertugas di tenggara Jalur Gaza.
Selain itu, kemenangan Pemilu Hamas yang mengubah permainan di Gaza pada tahun 2006, membuatnya dipenuhi dengan kepuasan seorang pemenang yang melihat pemenuhan tujuan strategis yang telah lama ia perjuangkan; yakni kemenangan perantara dalam mengkonsolidasikan Gaza sebagai benteng perlawanan.
Dari Tawanan jadi Pembebas
Pada tahun 2011, Yahya al-Sinwar dibebaskan bersama 1.027 tawanan lainnya dalam kesepakatan pertukaran tawanan antara Gerakan Perlawanan Islam Hamas Palestina dan penjajah ‘Israel’.
Selama perayaan kepulangannya di Kota Gaza, pemimpin Hamas yang fasih berbahasa Ibrani itu mengungkapkan keinginannya agar Perlawanan membebaskan semua tawanan yang tersisa di penjara-penjara ‘Israel’.
Setelah bergabung dengan Hamas, ia naik pangkat dengan cepat, menggantikan Ismail Haniyah sebagai Kepala Politik Gaza pada tahun 2017.
Yahya al-Sinwar, salah satu tahanan Palestina yang paling lama mendekam di penjara Zionis, saat ini menjadi ujung tombak dalam upaya revolusioner untuk membebaskan saudara-saudaranya.
Yahya al-Sinwar yang dibebaskan bersama 1.027 warga Palestina lainnya dengan imbalan satu orang tentara Israel yang diculik pada tahun 2017, hari ini bertanggung jawab atas puluhan tentara dan pemukim Israel yang ditawan di Gaza.
Enam tahun setelah meninggalkan penjara ‘Israel’, yang dikuasai pemerintahan Netanyahu pada tahun 2017, Yahya Al-Sinwar hari ini menggunakan pengaruhnya terhadap Netanyahu dan kabinet perangnya untuk membebaskan semua tahanan Palestina.
Setelah mengharapkan Perlawanan untuk membebaskan semua tahanan Palestina yang masih berada di penjara ‘Israel’, enam tahun kemudian, al-Sinwar menyusun rencana dan memberlakukan syarat-syarat untuk pembebasan setiap orang Palestina yang dipenjara oleh pendudukan Zionis.
Pada tahun 2018, al-Sinwar memimpin Great March of Return dalam upaya untuk secara damai mematahkan pengepungan di Gaza dan bertemu dengan pasukan Israel yang membantai para pengunjuk rasa damai. Tiga tahun kemudian, Yahya Sinwar memimpin langsung “Operasi Taufan Al-Aqsha” dan berhasil mematahkan pengepungan tersebut, suatu yang ia idam-idamkan dan tertunda puluhan tahun.*