Di bulan yang mulia ini, bulan Dzulhijjah, disyariatkan bagi kita untuk melakukan ibadah qurban. Dan bagi orang berniat untuk berqurban maka dilarang baginya untuk memotong kuku atau rambutnya. Namun tersebar pemahaman yang nyeleneh bahwa yang dilarang adalah memotong kuku atau rambut hewan qurban yang hendak disembelih. Dalam artikel ringkas ini akan kita jelaskan kekeliruan pemahaman tersebut.
Larangan memotong rambut dan kuku bagi yang hendak berkurban didasari oleh hadits dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَن كانَ له ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فإذا أُهِلَّ هِلالُ ذِي الحِجَّةِ، فلا يَأْخُذَنَّ مِن شَعْرِهِ، ولا مِن أظْفارِهِ شيئًا حتَّى يُضَحِّيَ
“Barangsiapa yang punya hewan sembelihan, jika sudah nampak hilal Dzulhijjah, maka jangan mengambil rambutnya sedikit pun. Juga jangan mengambil sedikitpun dari kukunya, sampai ia berqurban” (HR. Muslim no. 1977).
Sebagian orang memahami bahwa dhamir ه pada kata شَعْرِهِ dan أظْفارِهِ kembali pada ذِبْحٌ (hewan qurban). Sehingga kata mereka, yang dilarang potong rambut dan kuku adalah hewan qurban. Ini pemahaman yang keliru.
Pemahaman yang benar terhadap hadits adalah dengan melihat jalan yang lain dan lafadz yang lain. Dalam lafadz yang lain, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا رَأَيْتُمْ هِلالَ ذِي الحِجَّةِ، وأَرادَ أحَدُكُمْ أنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عن شَعْرِهِ وأَظْفارِهِ
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan seseorang sudah berniat untuk berqurban, maka hendaknya ia membiarkan semua rambutnya dan semua kukunya” (HR. Muslim no.1977).
Dalam hadits ini sama sekali tidak disebutkan kata ذِبْحٌ (hewan qurban) atau semisalnya. Maka jelas maksudnya yang dilarang memotong kuku dan rambut adalah orang yang berniat untuk berqurban.
Dan demikianlah yang dipahami oleh para salaf dan para ulama terdahulu. Bahwa yang dilarang memotong kuku dan rambut adalah orangnya bukan hewannya. Al Imam An Nawawi mengatakan:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ : إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة , وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ
“Ulama khilaf tentang orang yang berniat untuk berkurban ketika sudah masuk bulan Dzulhijjah. Pendapat Sa’id bin Musayyab, Daud, dan sebagian ulama Syafi’iyyah bahwa hukumnya haram memotong rambut atau kukunya sedikitpun sampai waktu dia menyembelih sembelihannya. Adapun Asy Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat hukumnya makruh tanzih, tidak sampai haram” (Syarah Shahih Muslim).
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:
فهذا الحديث دال على المنع من أخذ الشعر والأظفار بعد دخول عشر ذي الحجة لمن أراد أن يضحي ، فالرواية الأولى فيها الأمر والترك ، وأصله أنه يقتضي الوجوب ، ولا نعلم له صارفاً عن هذا الأصل
“Hadits ini menunjukkan larangan memotong rambut maupun kuku setelah masuk 10 hari pertama bulan Dzulhijjah bagi orang yang mau berkurban. Riwayat pertama terdapat perintah untuk meninggalkan, maka asal dari perintah itu menghasilkan hukum wajib. Dan tidak kami ketahui adanya dalil yang memalingkan dari hukum wajib ini” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 11/426-427).
Kemudian pendapat yang menyatakan bahwa yang dilarang dipotong rambut dan kukunya adalah hewan sembelihannya, ini pendapat yang gharib (nyeleneh). Sebagaimana dikatakan oleh Al Mula Ali Al Qari:
وأغرب ابن الملك حيث قال : أي : فلا يمس من شعر ما يضحي به ، وبشره أي ظفره وأراد به الظلف ، ثم قال : ذهب قوم إلى ظاهر الحديث ، فمنعوا من أخذ الشعر والظفر ما لم يذبح ، وكان مالك والشافعي يريان ذلك على الاستحباب ، ورخص فيه أبو حنيفة – رحمه الله – والأصحاب اهـ . وفي عبارته أنواع من الاستغراب
“Ibnul Malak (ulama Hanafi, wafat 801H) memiliki pendapat gharib (nyeleneh) ketika ia berkata: “tidak boleh memotong rambut hewan yang akan disembelih tersebut, demikian juga kulitnya dan kukunya”. Maka Ibnul Malak memahami yang dilarang adalah hewannya. Ia juga mengatakan: “sebagian ulama mengambil zhahir hadits ini, mereka melarang memotong rambut dan kuku hewan yang belum disembelih. Imam Malik dan Asy Syafi’i berpendapat bahwa perkara ini (tidak memotong rambut dan kuku) hukumnya mustahab, sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya membolehkan”. Dalam pernyataan Ibnul Malak ini terdapat unsur gharib (nyeleneh)” (Mirqatul Mafatih, syarah hadits no. 1459).
Adapun berdalil dengan hadits:
ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا
“Tidak ada amalan manusia di hari Idul Adha yang paling dicintai Allah kecuali mengalirkan darah qurban. Karena sungguh tanduk, BULU, dan kukunya akan datang di hari kiamat. Dan pahala qurban sampai kepada Allah sebelum darahnya jatuh ke tanah. Maka hiasilah dirimu dengan ibadah kurban (HR At Tirmidzi no. 1493, Ibnu Majah no. 3126).
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Bukhari (Al ‘Ilal Al Kabir, 244), Al Mundziri (At Targhib wat Tarhib, 2/159), Ibnul Arabi (Aridhatul Ahwadzi, 4/3), dan juga Al Albani (Dha’if Ibnu Majah, 613).
Demikian juga hadits:
الأُضحيةُ لصاحبِها بكلِّ شعرةٍ حسنةٌ
“Hewan qurban, akan memberikan kebaikan sebanyak helai rambutnya bagi pemiliknya” (HR. Tirmidzi no. 1493).
Dalam As Silsilah Adh Dha’ifah (1050), Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ (palsu)
Kesimpulannya, yang dilarang untuk memotong kuku dan rambut adalah shahibul qurban, yaitu orang yang berniat untuk berqurban. Semenjak 1 Dzulhijjah dan ia sudah berniat untuk berqurban, maka tidak boleh memotong kuku atau rambutnya hingga hewan qurbannya disembelih. Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Yulian Purnama
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50710-yang-dilarang-potong-rambut-dan-kuku-adalah-hewan-qurban.html