Kata al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahim (Maha Penyayang) berasal dari satu akar yang sama, yaitu rahima-yarham yang berarti menaruh kasih atau menyayangi. Al-Rahman-al-Rahim sering dijadikan kata majemuk, dua kata yang tak terpisahkan secara semantik dan semiotik. Keduanya adalah bagian dari nama-nama indah Tuhan (al-Asma’ al-Husna).
Kedua nama ini sering disebut sebagai induk nama-nama Tuhan (al-umm al-Asma’) karena begitu seringnya berulang penyebutannya di dalam Alquran, termasuk menjadi sifat paten di dalam semua basmalah. Kata al-Rahman terulang sebanyak 57 kali dan al-Rahim terulang 114 kali, dua kali lipat dari al-Rahman.
Puncak Rahasia
Kata al-Rahman al-Rahim di dalam ayat pertama (bismillah al-Rahman al-Rahim) menegaskan bahwa Tuhan (Allah) dalam kapasitasnya sebagai “Puncak Rahasia” (Sirr al-Asrar/the Secred of the Secred) yang dalam bahasa tasawuf biasa disebut Ahadiyyah (the One), adalah betul-betul Maha Pengasih dan Maha Penyayang (al-Raman al-Rahim).
Pada ayat ketiga surah al-Fatihah, kata al-Rahman al-Rahim muncul lagi untuk menegaskan dalam kapasitas-Nya sebagai Tuhan (Rabb), yakni diri-Nya sebagai Wahidiyyah (the Oneness), yang dalam bahasa tasawuf sering disebut dengan pemilik entitas-entitas permanen (al-A’yan al-Tsabitah), yang di dalamnya tergambar nama-nama dan sifat-sita-Nya.
Baik dalam kapasitas-Nya sebagai Allah (Ahadiyah/the One/) maupun sebagai Rabb (Wahidiyah/the Oneness), tetap konsisten memiliki sifat-sifat utama (al-Rahman-al-Rahim). Penjelasan ini sekaligus membantah anggapan orang yang mengatakan Alquran berisi banyak kata-kata yang mubazir (redandance), yaitu kata yang sering berulang.
Kalangan ulama tafsir Isyari mengatakan, setiap basmalah di dalam Alquran memiliki kandungan penekanan makna (point stressing) yang berbeda satu sama lain.
Sifat Utama
Basmalah dalam surah al-Fatihah beda point stressing-nya dengan basmalah surah al-Baqarah dan surah-surah lainnya. Pengulangan kata al-Rahman-al-Rahim (ayat 1 dan 3) dalam surah al-Fatihah menjadi pelajaran penting bagi kita sebagai hamba-Nya bahwa apa pun kapasitas kita, baik sebagai pejabat maupun pribadi, tetaplah memiliki sifat-sifat utama yang pengasih dan penyayang.
Dipilihnya nama al-Rahman-al-Rahim sebagai nama permanen di dalam basmalah menjadi isyarat buat kita bahwa baik sebagai Ahadiyah/the One maupun Wahidiyah/the Oneness. Dia lebih menonjolkan diri-Nya dengan sifat-sifat kelembutan dan kepenyayangan (nurturing) ketimbang sifat-sifat kejantanan dan kekerasan (masculine/jalaliyyah).
Dengan kata lain, Allah SWT lebih menonjol sebagai “Tuhan Keibuan” (the Mather God) ketimbang “Tuhan Kebapakan” (the Father God).
Hal ini juga dibuktikan dengan dominannya sifat-sifat kelembutan dan kepengasihan (nurturing/jamaliyyah) ketimbang sifat-sifat keagungan dan kekerasan (struggeling/jalaliyyah) di dalam memperkenalkan diri-Nya pada al-Asma’ al-Husna. Sekitar 80 persen nama-nama Allah masuk kategori jamaliyyah/nurturing dan hanya sekitar 20 persen masuk kategori jalaliyyah/struggeling.
Lebih dari itu, nama-nama maliyah-Nya paling sering terulang di dalam Alquran. Contohnya nama al-Rahman terulang 57 kali dan al-Rahim terulang 114 kali. Bandingkan dengan nama-Nya yang lain, seperti al-Muntaqim (Yang Maha Pendendam) dan al-Mutakabbir (Yang Maha Angkuh) masing-masing hanya terulang satu kali di dalam Alquran.
Hal ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya Allah SWT lebih menonjol untuk dicintai ketimbang untuk ditakuti. Dia bukan sosok Maha Mengerikan untuk ditakuti dan dipuja, tetapi sebagai sosok Maha Penyayang untuk dicintai.
Dua Bagian Rahmat Tuhan
Di dalam kitab-kitab tafsir dibedakan sifat-sifat rahmat Tuhan ke dalam dua bagian, yaitu Rahmat Rahmaniyyah dan Rahmat Rahimiyyah. Yang pertama bersifat memberi rahmat kepada seluruh makhluk-Nya tanpa membedakan jenis dan tingkatan (maratib).
Mulai dari benda-benda alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia tanpa dibedakan antara beriman dan kafir, semua mendapatkan Rahmat Rahmaniyah, sebagaimana dijelaskan di dalam Alquran surah al-A’raf ayat 156, Rahmati wasi’at kulla syai’in (Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu).
Rahmat Rahmaniyyah melimpah kepada seluruh makhluk dan hamba-Nya tanpa dibedakan orang kafir atau beriman. Siapa pun yang berusaha untuk mendapatkan rahmat-Nya akan dipenuhi-Nya, sungguhpun orang itu kufur dan pendosa. Yang penting mereka sudah memenuhi persyaratan universal sudah berhak untuk mendapatkannya.
Itulah sebabnya banyak kita jumpai orang-orang selayaknya mendapatkan azab, tetapi mendapatkan rezekinya. Tentu, berbeda dengan Rahmat Rahimiyah, yang penjelasannya akan diuraikan dalam artikel mendatang.
Oleh: Nasarudin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah