Waktu sudah menjelang Ashar saat kaki menjejak puncak bukit berbatu setinggi 60 meter yang terletak di salah satu sudut dataran berpasir Padang Arafah, sisi luar Mekkah, Arab Saudi. Tak ada peluh yang menetes kala menapaki sekitar 160-an anak tangga berwarna putih itu berteman mentari yang perlahan bergulir ke barat dalam balutan warna merah jambu.
Arafah sore itu, di penghujung September 2016, tampak sangat ramah. Angin sepoi membela punggung bukit menyejukkan tak hanya tubuh namun juga jiwa. Hilang sudah keangkuhan padang tak berujung yang kala puncak haji wukuf sukses menumbangkan puluhan jamaah haji dengan “heatstroke” atau serangan panas.
Entah, Arafah sore itu, bagai menjelma menjadi karakter yang berbeda. Atau bukit batu putih itu tengah berbagi kasihnya pada 11 sosok yang mendaki lereng Jabal Rahmah. Bukit Kasih Sayang (rahmah) yang konon menjadi saksi bisu pertemuan mengharukan Adam dan Hawa setelah terpisah selama 300 tahun pascaterbuang dari surga.
Namun, sayangnya, bukan legenda cinta Adam dan Hawa yang coba dimaknai kala menapaki satu demi satu anak tangga setengah melingkar yang menuju puncak bukit. Di puncak bukit yang bermandikan cahaya mentari senja itu justru salam perpisahan dan air mata yang coba ditemukan kembali riwayatnya.
Sebuah kisah yang tenggelam dalam romantika Adam dan Hawa. Sebuah kisah yang mungkin diabaikan oleh jutaan wisatawan yang mencari cinta di bukit itu. Sosok-sosok yang dengan hati batu melakukan vandalisme di seluruh penjuru Jabal Rahmah. Mencoretkan namanya dan nama pasangannya atau harapan cinta mereka di setiap jengkal batu yang terjangkau oleh tangan.
Tak hanya dengan tinta, sebagian besar pesan-pesan cinta itu justru ditorehkan dengan cat semprot yang tumpang tindih dengan puluhan tulisan yang terlebih dahulu ada. Semua ingin doanya lebih menonjol dari yang lain, seakan khawatir jika Yang Maha bakal melewatkan doa. Laiknya, Dia pernah melewatkan doa.
Salam perpisahan
Di antara puing-puing monumen cinta jutaan anak cucu Adam, jelang Ashar mata menjelajah mencoba mencari sisa salam perpisahan dan air mata para sahabat yang tumpah ratusan lalu. Di balik torehan “Mekey loves Nelson”, “Yurin loves Mastin” atau “Hasnan loves Fariha” niat kukuh menelisik setiap detil bongkahan batu putih itu.
Namun, selain monumen cinta dan foto yang betebaran, hanya pasak-pasak besi yang tertangkap mata. Pasak-pasak besi sepanjang sekitar 30 cm yang sengaja dipasang untuk menjaga beberapa bongkahan batu dari rontok berguguran ke bawah karena tak kuasa menahan beban jutaan orang tiap tahunnya, apalagi saat wukuf atau berhenti di Arafah. Kala jamaah berebut untuk bertengger di bebatuan Jabal Rahmah guna memanjatkan doa.
Padahal, konon ratusan tahun lalu di tempat itulah Malaikat Jibril disebutkan turun ke bumi untuk terakhir kalinya guna mengucapkan salam perpisahan kepada Nabi Muhammad SAW. “Wahai Muhammad, sesungguhnya pada hari ini, telah disempurnakan urusan agamamu, maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan demikian juga apa yang terlarang olehnya. Oleh itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengan kamu.”
Dan pesan terakhir dari Malaikat Jibril tersebut mengiringi turunnya wahyu pamungkas bagi Sang Nabi. Surat Al Maidah Ayat 3 yang disebut sebagai tanda kesempurnaan ajaran Islam. Sebuah wahyu yang disambut tangis para sahabat karena menjadi penanda usainya tugas Sang Nabi. Sebuah alarm pengingat untuk tibanya saat perpisahan. Jika sudah dekat waktu Sang Penyampai Pesan untuk kembali kepangkuanNya, meninggalkan umat tercintanya.
Sang Nabi disebutkan menerima wahyu terakhirnya saat sedang melakukan wukuf di Padang Arafah ketika menunaikan haji wada — perjalanan haji satu-satunya Nabi Muhammad SAW. Seraya bersandar di punggung untanya, Sang Rasul menerima ayat tersebut dengan disaksikan ribuan kaum Muslimin yang untuk pertama kalinya menjalankan ibadah haji tanpa bercampur dengan kaum musyrikin.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Dengan lengkapnya 6.263 ayat — menurut riwayat Hafsh — maka lengkap sudah panduan dan pegangan bagi umat untuk menjalani hidup. Panduan untuk mencapai surga. Dan usailah tugas Sang Rosul di dunia.
Jelang waktu shalat Ashar ratusan tahun yang lalu ada wajah-wajah yang termangu dalam duka. Sosok-sosok yang tak ingin membayangkan kehidupan tanpa Sang Pemimpin.
Kini berteman suara adzan Ashar dari Masjid Namirah yang legendaris karena terletak di tanah haram dan halal dan dipimpin oleh seorang pemandu yang menukilkan kisah dari sirah Nabawi — kisah hidup Nabi Muhammad SAW –, 11 pasang kaki meninggalkan jejaknya di pasir Jabal Rahmah.
Kiri ke kanan, lalu balik ke kiri lagi. Memutar, diagonal atau berjalan zig zag di puncak bukit batu seluas tak lebih dari 10 meter x 10 meter persegi itu. Sayangnya, tak ada jejak kisah Sang Nabi di antara relungnya yang tersisa.
“Dulu ada batu di sini yang konon merupakan tempat Nabi duduk saat wukuf,” kata Syamsul, sang pemandu, mengingat batu yang masih dilihatnya tiga tahun lalu di area yang kini sudah tertutup “paving block”.
Di puncak bukit batu putih itu pun hanya akan dijumpai sebuah tugu peringatan setinggi delapan meter dan lebar 1,8 meter yang lebih berfungsi sebagai tempat poster imbauan dari Pemerintah Arab Saudi.
Empat poster dipasang di empat sudutnya, salah satu dalam Bahasa Indonesia. Empat poster yang tampak aus dan usang dimakan cuaca.
“Nabi anda yang tercinta Mohammed SAW, tidak datang ke sini kecuali di Hari Arafah dan beliau tidak naik ke gunung. Beliau bersabda: “Arafah semuanya tempat untuk Wukuf”, begitu pula Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mengusap sesuatu yang ada di gunung atau pohon-pohon, atau mengikatnya. Maka wahai jamaah haji, ikutilah sunnah Nabimu SAW, yang telah bersabda: “ikutilah cara ibadah haji kamu dari ku. Semoga Allah menerima haji kita semuanya. Saudaraku kaum muslimin yang berbahagia.”
Sebuah peringatan yang sama yang dapat dijumpai hampir di semua lokasi sejarah di seantero Mekkah. Imbauan tanpa keterangan sama sekali tentang sejarah tempat tersebut. Selebihnya hanya terdapat papan alas seluas 2 meter x 2 meter di sekitar tugu batu tersebut yang digunakan oleh beberapa wisatawan untuk menjalankan shalat.
Dan sore itu, beberapa wisatawan Asia Selatan tampak khusuk menjalankan shalat dan berdoa di puncak Bukit Kasih Sayang. Menghadap kiblat mereka bergantian bersujud pada Yang Maha. Sekalipun beberapa wisatawan yang tengah asik berfoto di salah satu sudut Jabal Rahman berbisik-bisik tentang pebuatan bidah atau sesuatu perbuatan yang tidak dicontohkan. Merujuk pada mereka yang shalat atau berdoa di puncak Jabal Rahmah.
Di puncak Bukit Kasih Sayang, jauh di tengah padang tempat manusia dikembalikan ke titik nol saat menjalani prosesi haji, suara penghakiman yang terdengar sangat disayangkan. Menghakimi saudara seiman tanpa membuka peluang untuk berdialog.
Adzan Ashar baru berlalu 15 menit. Bisa jadi dan mungkin jadi, mereka hanya bersujud untuk menjalankan shalat ashar. Sebuah kewajiban yang harus bergegas dilakukan bagi mereka yang tak ingin berlama-lama.
Di puncak Jabal Rahmah, Islam disempurnakan. Di kaki Jabal Rahmah, umat Muslim setiap tahunnya diharapkan menyempurnakan rukunnya.
Lepas Ashar, satu hal yang dibawa turun dari Bukit Kasih Sayang itu bukan batu, bukan pasir bertuah, namun sebuah niat untuk menjadi lebih arif. Lebih bijak untuk bersama saudara seiman mencari persamaan dan bukannya memperlebar jurang perbedaan. Sebuah fase yang muncul sejak hari pertama berpulangnya Sang Nabi. Saat umat muslim mengkutub dalam sejumlah kutub yang seakan makin menjauh satu sama lain dengan saling menjatuhkan penghakiman.
Di puncak Bukit Kasih Sayang, hendak kiranya mengenang sempurnanya Islam, sebuah agama pembawa kedamaian.