Kapan Koin Dirham Pertama Kali Dicetak Umat Islam?

Masa kejayaan peradaban Islam selama berabad-abad sejak masa Rasulullah hingga Dinasti Abbasiyah dan menyebar ke Andalusia (Spanyol) telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Tak heran, kekhalifahan Islam masa itu memiliki mata uang sendiri yang bernama dinar (koin emas) dan dirham (koin perak). Dengan kedua mata uang itu, perekonomian Islam berkembang pesat.

Pada zaman Rasulullah SAW dikenal uang berbentuk koin emas (dinar) yang berasal dari Romawi dan koin perak (dirham) yang berasal dari Persia. Dua logam mulia itu dianggap sebagai mata uang yang paling berharga. Berbeda dengan zaman sekarang yang jamak menggunakan uang kertas (fiat money) sebagai alat pembayaran.

Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, dinar dan dirham telah dikenal oleh orang Arab sebelum datangnya Islam karena aktivitas perdagangan yang mereka lakukan dengan negara-negara di sekitarnya.

Ketika pulang dari Syam, orang-orang Arab membawa uang koin emas Romawi (Byzantium). Dari Irak, mereka membawa uang koin perak Persia yang dikenal dengan sebutan drachm. Kadang-kadang, mereka membawa pula sedikit dirham Himyar dari Yaman.

Hal senada juga dijelaskan Zainal Abidin Anwar. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Penggunaan Matawang Dinar, Zainal menjelaskan, kata ‘dinar’ bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Yunani dan Latin atau mungkin versi lain dari bahasa Aramaic-Persia. Jika namanya saja bukan dari bahasa Arab, sudah barang tentu yang pertama kali mengenal dan menggunakan uang dinar bukanlah bangsa Arab.

Dalam bentuknya yang masih sederhana, uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas.

Berbeda dengan koin emas, penggunaan koin perak justru pernah dilakukan kira-kira pada abad ke-18 SM atau pada zaman Nabi Yusuf AS. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Alquran surah Yusuf ayat 20. Dalam ayat tersebut, tercantum kata darahima ma’dudatin (beberapa keping perak). Dan, mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yakni beberapa dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. (Alquran, surah 12:20).

Berdasarkan ayat tersebut, menurut peneliti jejak dirham, yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan Muhammad Ghoniem, dalam Dirham in the Time of Joseph?, pada masa itu peradaban Mesir kuno telah menggunakan perak sebagai alat tukar.

Sementara itu, penggunaan mata uang dinar dan dirham dalam masa Islam mulai dilakukan sebagai alat transaksi dan perdagangan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Umat Islam pertama kali menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah Rasulullah SAW wafat. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab pun mengganti drachm dengan dirham.

Karena itu, pada masa Khalifah Umar, umat Islam mulai mencetak mata uang sendiri dengan menggunakan teknik penempaan. Sementara itu, koin dirham pertama kali dicetak umat Islam pada tahun 651 M pada era kepemimpinan Usman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan bismillah.

Seperti drachm, dirham juga berbentuk tipis. Ukuran diameternya sekitar 29 mm dengan berat antara 2,9-3,0 gram. Dirham lebih ringan dari drachm yang mencapai empat gram. Sejak itulah, tulisan bismilah menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.

Selain itu, koin dirham dan dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukkan, kebanyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafaur Rasyidin mencantumkan tahun hijriyah sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu dicetak.

Pemerintahan Umar pun telah menetapkan standar koin dirham dan dinar yang akan dibuat. Berdasarkan standar yang telah ditetapkan, berat tujuh dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar juga telah menetapkan standar dinar emas, yakni memakai emas dengan kadar 22 karat dengan berat 4,25 gram.

Sedangkan, dirham perak haruslah menggunakan perak murni dengan berat 3,0 gram. Keputusan itu telah menjadi ijmak ulama pada awal Islam dan pada masa para sahabat dan tabiin. Sehingga, menurut syariah, 10 dirham setara dengan tujuh dinar emas. Hasil ijmak itu menjadi adalah pegangan sehingga nilai perbandingan dinar dan dirham bisa tetap sesuai.

 

sumber: Republika Online

Mengenal Dinar dan Dirham

Keberadaan mata uang dinar (koin emas) dan dirham (perak), bagi sebagian orang, mungkin tak banyak diketahui. Hal ini tentunya wajar. Hal ini mengingat sebagian besar penduduk dunia sangat akrab dengan mata uang berbentuk kertas.

Padahal, puluhan abad silam, bahkan sebelum datangnya Islam, berbagai negara dan pemerintahan di belahan dunia telah menggunakan mata uang koin dalam bentuk kepingan emas atau perak. Tidak diketahui secara pasti, koin mana yang lebih dulu dipergunakan pada era sebelum masehi, koin perak atau emas.

Julius Ceasar, kaisar Romawi, telah memperkenalkan dan menggunakan uang emas dan perak sebagai alat transaksi pada sekitar tahun 46 SM kendati masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Dan, Julius Caesar juga memperkenalkan pula standar konversi dari uang emas ke uang perak. Hal ini dengan perbandingan 12 : 1 untuk perak. Artinya, satu koin emas nilainya sama dengan 12 koin perak.

Sementara itu, bila dilihat dari peristiwa yang ada ataupun sumber-sumber sejarah, koin perak telah digunakan kira-kira pada abad ke-18 (1800) SM. Penggunaan ini dilakukan oleh Nabi Yusuf AS. Hal ini diterangkan dalam Alquran surah Yusuf ayat 20. Dalam ayat tersebut, tercantum kata darahima ma’dudatin yang bermakna beberapa keping perak. Ini menunjukkan bahwa penggunaan keping perak sudah ada sejak zaman dahulu.

Selanjutnya, pada era pemerintahan Islam, sejak masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, hingga masa kekhalifahan Islam, sebagian umat Islam sudah menggunakan mata uang berbahan emas dan perak sebagai alat tukar dan transaksi dalam melakukan perdagangan (jual beli) dengan pihak lain.

Karena itu, tak heran bila pada masa Umar bin Khattab sudah muncul percetakan mata uang berbahan emas dan perak yang selanjutnya dikenal dengan nama dinar dan dirham.

Keberadaan uang (koin) dinar dan dirham ini makin berkembang hingga masa kekhalifahan Islam, seperti masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, Otthoman, hingga ke daratan Andalusia (Spanyol).

Standar atau kadar nilai tukar dinar dan dirham jauh lebih tinggi dibandingkan mata uang lain yang bahan dasarnya bukan emas dan perak. Tingginya nilai konversi dinar dan dirham pada mata uang lain yang berbahan dasar bukan emas dan perak menunjukkan tingginya ‘nilai jenis bahan’ yang terdapat pada dinar dan dirham. Artinya, mata uang apa pun, apabila bahan dasarnya bukan emas dan perak, nilainya lebih rendah.

Pertanyaannya, mengapa kini sedikit sekali orang yang mau menggunakan uang dinar dan dirham yang bahan dasarnya dari emas dan perak ini? ”Karena, mereka tidak mengetahui kelebihan dan keunggulan koin dinar dan dirham,” tegas Direktur Wakala Induk Nusantara, Zaim Saidi.

 

sumber:RepubikaONline

Inilah 10 Keutamaan Hari Jumat

Hari jumat bisa merupakan hari yang agung bagi umat Islam. Banyak keutamaan dan keberkahaan yang ada pada hari ini.

Berikut ini 10 keutamaan hari jumat:

1. Hari terbaik dari hari-hari yang lain

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ,, خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ اْلجُمْعَةِ, فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ, وَفِيْهِ أُدْخِلَ اْلَجنَّةَ, وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلَا تَقُوْمَ السَّاعَةُ إِلَّا فِي يَوْمِ اْلجُمْعَةِ

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda : “Sebaik-baik hari yang pada hari itu terbit adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu ia dimasukkan ke jannah(surga) dan pada hari itu ia dikeluarkan dari jannah dan tidak akan terjadi hari kiyamat kecuali pada hari jumat.” (HR. Muslim dan Tirmidzi)

2. Hari jumat sebagai hari yang mustajab

وَعَنْ اَبِيْ مُوْسَى اَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ سَاعَةِ الْجُمْعَةِ,, هِيَ مَابَيْنَ اَنْ يَجْلِسَ اْلإِمَامُ-يَعْنِيْ عَلَى الْمِنْبَرِ-اِلٰى اَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ,,

Dan dari Abu Musa, sesungguhnya ia pernah mendengar Nabi saw. Bersabda tentang waktu (mustajab di) hari jumat yang dimaksud : yaitu antara Imam duduk—di atas mimbar sampai selesai salat. (HR. Muslim dan Abu Dawud)

3. Doa yang dilakukan di hari jumat akan diijabahi oleh Allah

Sabda Rasulullah : “Sesungguhnya pada hari jumat itu ada satu saat, yang tidak ada seseorang yang memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu melainkan Allah pasti akan memberi kepadanya.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

4. Pada hari jumat ada waktu yang akan diijabahi ketika berdoa.

Nabi bersabda : “Sesungguhnya pada hari jumat itu ada satu saat yang tidak bertepatan seorang muslim yang sedang memohon kebaikan kepada Allah azza wa jalla melainkan pada saat itu Allah pasti akan memberinya. Saat itu sesudah ashar.” (HR. Ahmad)

5. Adanya kewajiban untuk melaksanakan salat jumat

اَلْجُمْعَةُ حَقُّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِ جَمَاعَةٍ إِلاَّ عَلَى أَرْبَعَةٍ : عَبْدٍ مَمْلُوْكٍ أَوِمْرَأَةٍ أَوْصَبِيٍّ أَوْمَرِيْضٍ

Shalat jumat itu wajib atas tiap orang muslim berjamaah kecuali empat orang : Hamba sahaya, atau wanita, atau anak-anak (yang belum baligh) atau orang sakit.” (HR. Abu Dawud dan Alhakim)

6. Hari jumat bisa sebagai penghapus dosa

Sabda Nabi Muhammad : “Barang siapa mandi kemudian pergi shalat jumat kemudian shalat sunat sekuasanya, kemudian mendengarkan khutbah, kemudian shalat bersama-sama imam, nisacaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya antar dua jumat dan ditambah tiga hari lagi.

7. Hari jumat dianjurkan memperbanyak salawat karena akan ditampakkan pada Rasulullah

Sabda Nabi saw : “Perbanyaklah membaca salawat untukku pada hari jumat, karena sesungguhnya salawatmu itu disaksikan, yang menyaksikan adalah para malaikat, dan sesungguhnya seseorang tidaklah ia membaca salawat kepadaku melainkan doa salawat itu mesti ditampakkan padaku, sehingga ia selesai bersalawat.” (HR. Ibnu Majah)

8. Kiamat akan datang pada hari jumat.

Dijelaskan dalam sebuah hadits lagi Dari Abu Lubabah Al Badri, sesungguhnyaRasulullah bersabda : “Penghulu hari adalah hari jumat, dan ia adalah seagung-agungnya hari bagi Allah, bahkan lebih agung bagi Allah daripada hari raya Fitri dan Adha. Dan pada hari jumat itu terjadi lima kejadian : 1) Allah menjadikan Adam pada hari itu, 2) Allah menurunkan Adam pada hari itu ke dunia, 3) Pada hari itu Adam wafat, 4) Pada hari itu tidak ada satu saat yang seseorang tidak memohon kepada Allah sesuatu melainkan pasti dikabulkan, selama ia tidak meminta barang yang haram. 5) Pada hari itu akan terjadi hari Kiyamat. Tidak ada malaikat yang dekat kepada Allah, langit, bumi, angin, gunung-gunung, lautan, melainkan semua mencintai hari jumat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

9. Meninggal pada hari jumat adalah pertanda baik (khusnul khatimah)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

“Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau pada malam Jumat melainkan Allah akan melindunginya dari fitnah (pertanyaan) kubur.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Humaid, Abu Ya’la, dan Al-Baihaqi).

10. Sedekah pada hari jumat akan mendapat pahala berlipat ganda

 الصَّدَقَةُ تُضَاعَفُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ

“Sedekah itu dilipat gandakan pahalanya pada hari jumat (yakni bila sedekah itu pada hari jumat maka pahala berlipat ganda dari lain-lain hari.”(HR. Abi Syaibah)

Betapa hari jumat itu memiliki keutamaan yang luar biasa. jadi alangkah baiknya kita memanfaatkannya untuk mendekat pada Ilah, pencipta Alam Semesta untuk mendapat rahmat dan hidayah-Nya.[]

 

 

Oleh: Kazuhana El Ratna Mida (Ratna Hana Matsura)

Sumber : Bersama Dakwah
[1] Kitab Na’lul Authar sebuah kumpulan hadist karangan dari Syaikh Faishal ibnu ‘abdi Aziz al-mubaarak. Yang diterjemahkan A. Qadir Hassan, dkk.
[2] Kitab Riyadus Shalihin karya Salim Bakhresi
[3] Kitab Shahih Muslim karya Imam Muslim diterjemahkan oleh H. A. Razak dan H. Rais Lathief.

Shalat di Masjid Dekat Ataukah di Masjid Jauh

Ada pilihan, ada masjid dekat namun imamnya kurang bagus. Ada masjid yang jauh, imamnya bagus, selain itu punya manfaat lain jika shalat di sana (karena lebih nyunnah katanya), mana yang harus dipilih?

Ada pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,

“Bolehkah seseorang memilih shalat Jumat dengan meninggalkan masjid di daerahnya dan memilih masjid yang jauh jaraknya? Hal ini dikarenakan khatib di tempatnya khutbahnya terlalu panjang.”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab,

Lebih baik baginya shalat di masjid kampungnya supaya saling mengenal dan menjalin kasih dengan orang-orang sekitarnya. Begitu pula kalau shalat di masjid kampungnya bisa untuk menyemangati lainnya.

Namun jika ia pergi ke masjid lain dengan pertimbangan maslahat diniyyah yaitu mudah mendapatkan ilmu, khutbahnya lebih mudah diresapi, ilmu yang diperoleh lebih banyak, maka dengan pertimbangan seperti ini tidaklah masalah. Dahulu sahabat memilih shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid beliau untuk mendapatkan keutamaan bermakmum di belakang nabi, juga untuk mendapatkan shalat di masjid nabi (Masjid Nabawi). Lalu setelah shalat bersama nabi, mereka shalat kembali di kampung mereka seperti yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Nabi itu mengetahui dan tidak mengingkarinya. (Fatawa Islamiyyah dinukil dari Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 143905)

 

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizahullah juga menyatakan bahwa lebih utama melaksanakan shalat (Jum’at) di masjid kampung kecuali ada maslahat jika harus memilih masjid lain. Dijelaksan di fatwa beliau no. 143905.

 

Tentang hadits yang dimaksudkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin adalah hadits berikut dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ – رضى الله عنه – كَانَ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمُ الصَّلاَةَ ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ – قَالَ – فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً ، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ . فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا ، وَنَسْقِى بِنَوَاضِحِنَا ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ ، فَزَعَمَ أَنِّى مُنَافِقٌ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ – ثَلاَثًا – اقْرَأْ ( وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا ) وَ ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى ) وَنَحْوَهَا »

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia mendatangi kaumnya untuk melaksanakan shalat lagi. Ketika itu Mu’adz membacakan surat Al-Baqarah. Lantas ada seseorang yang keluar dan ia melakukan shalat sendirian dengan ringkas. Hal tersebut sampai pada telinga Mu’adz dan Mu’adz menyebut orang tersebut munafik. Sebutan Mu’adz tadi sampai pada orang yang digelari, hingga akhirnya ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja dengan tangan-tangan kami di samping menggembala ternak. Saat itu Mu’adz shalat mengimami kami semalam itu membaca surat Al-Baqarah. Maka Aku memutus shalatku, lalu dia menuduh saya munafik.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aallam bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu akan tukang pembuat fitnah (memicu orang enggan shalat)?” hingga 3 kali, “Baiknya engkau membaca surat Asy-Syamsy dan Al-A’la atau yang semisalnya.” (HR. Bukhari, no. 6106 dan Muslim, no. 465)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa yang dimaksud adalah shalat Isya. Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الأَنْصَارِىُّ لأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى »

“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim, no. 465)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Syaibah (3625) disebutkan bahwa yang dilaksanakan oleh Mu’adz adalah shalat Maghrib. Lihat Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 184724.

Saran kami, tetap memilih masjid terdekat lebih utama dibanding memilih masjid jauh yang nyunnah. Dakwah pada orang terdekat akan lebih tersampaikan kalau kita bisa bergaul dengan baik. Silakan buktikan!

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

Disusun di DS Panggang, saat Allah menurunkan anugerah hujan sebelum Maghrib, 26 Rabi’uts Tsani 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/15279-shalat-di-masjid-dekat-ataukah-di-masjid-jauh-yang-nyunnah.html

Keutamaan Orang yang Jauh dari Masjid

Ini adalah hadits yang membicarakan keutamaan orang yang jauh dari masjid, keutamaan berjamaah hingga menunggu shalat.

 

Hadits no. 1057 dari kitab Riyadhus Sholihin

عن أبي موسى – رضي الله عنه – ، قَالَ : قال رَسُول اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – : (( إنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أجْراً في الصَّلاةِ أبْعَدُهُمْ إلَيْهَا مَمْشىً ، فَأَبْعَدُهُمْ ، وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الإمَامِ أعظَمُ أجْراً مِنَ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ )) متفقٌ عَلَيْهِ .

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya orang yang paling besar pahalanya di dalam shalat adalah yang paling jauh berjalan menuju shalat, lalu yang jauh berikutnya. Dan orang yang menunggu shalat sampai ia melaksanakannya bersama imam lebih besar pahalanya daripada orang yang shalat kemudian tidur.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari, no. 651 dan Muslim, no. 669)

 

Kesimpulan Mutiara Hadits

  1. Makin banyak langkah ke masjid, makin banyak pahala yang diperoleh.
  2. Makin jauh dari masjid berarti makin banyak langkah dan makin berat, itulah yang membuat pahala semakin besar.
  3. Hendaknya yang jaraknya jauh dari masjid lebih semangat untuk ke masjid karena pahalanya lebih besar dibandingkan dengan orang yang rumahnya dekat dengan masjid karena orang yang dekat mudah sekali untuk ke masjid.
  4. Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk memilih masjid yang lebih jauh. Namun yang lebih tepat, shalat di masjid terdekat lebih utama agar bisa berinteraksi dan bersosialisasi hingga mendakwahi tetangga dan orang dekat rumah.
  5. Hadits ini menunjukkan keutamaan menunggu shalat.
  6. Hadits ini membicarakan tentang shalat Isya’. Hal ini menunjukkan bahwa boleh mengundur waktu shalat tersebut, ditunjukkan dalam hadits lainnya hingga sepertiga malam.
  7. Shalat bersama imam dengan menunggunya lebih utama daripada seseorang lebih dahulu shalat kemudian tidur.
  8. Shalat berjamaah bersama imam lebih utama dibandingkan shalat di awal waktu seorang diri.
  9. Imam haruslah orang yang paling fakih dan paham akan kitabullah, dialah yang didahulukan dari yang lain dalam shalat.
  10. Shalat bersama imam tanda bahwa kaum muslimin itu berjumlah sangat besar (sawadul a’zhom). Shalat berjamaah dengan imam menunjukkan persatuan kaum muslimin dan akan semakin membuat takut musuh-musuh mereka. Inilah yang menunjukkan faedah besar dari shalat berjamaah.

 

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, 2: 239

Syarh Riyadh Ash-Shalihin karya Ibnu ‘Utsaimin, 5: 65

Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 13: 305-312.

 

Sumber : https://rumaysho.com/15283-keutamaan-orang-yang-jauh-dari-masjid.html

Keutamaan Berjalan ke Masjid pada Waktu Shubuh dan Isya

Ini satu hadits yang membicarakan keutamaan berjalan ke masjid di kegelapan, terutama saat shalat Shubuh dan Isya.

 

Hadits no. 1058 dari Kitab Riyadhus Sholihin, Bab Keutamaan Berjalan ke Masjid

عن بُريدَة – رضي الله عنه – ، عن النبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( بَشِّرُوا المَشَّائِينَ في الظُّلَمِ إلى المَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ القِيَامَةِ)) رواه أبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ .

Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di dalam kegelapan menuju masjid-masjid, bahwa ia akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud, no. 561; Tirmidzi, no. 223. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Kesimpulan Mutiara Hadits

  1. Orang beriman mendapatkan kabar gembira tentang keadaannya yang bercahaya pada hari kiamat.
  2. Setiap hamba berada dalam kegelapan kecuali orang yang beriman.
  3. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang berjalan di kegelapan dan ini ditemukan dalam shalat Isya’ dan shalat Shubuh yang dilakukan berjamaah di masjid. Mereka yang menjaga shalat tersebut, itulah yang akan mendapatkan cahaya pada hari kiamat.
  4. Ada beberapa hikmah shalat berjamaah Isya dan Shubuh di masjid: (a) akan mudah turun berkah dan rahmat, (b) dengan berjamaah bisa menambah ilmu dan mengerti cara beramal shalat yang benar dengan memperhatikan lainnya, (c) keikhlasan dan kekhusyu’an sebagian jamaah akan berpengaruh pada jamaah lainnya, sehingga membuat ibadah seluruh jamaah jadi diterima.

 

Referensi: Bahjah An-Nazhirin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, 2: 239-240; Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 13: 314-319.

Sumber : https://rumaysho.com/15307-keutamaan-berjalan-ke-masjid-pada-waktu-shubuh-dan-isya.html

Keutamaan Menunggu Shalat

Hadits berikut akan menerangkan keutamaan berjalan ke masjid dan keutamaan menunggu shalat.

وعن أبي هريرة – رضي الله عنه – : أنَّ رَسُول الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( ألا أدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا ، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ )) قَالُوا : بَلَى يا رَسُول اللهِ ؟ قَالَ : (( إسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إلَى المَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ))

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?” Para sahabat berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada saat-saat yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu  shalat setelah shalat. Itulah yang namanya ribath (mencurahkan diri dalam ketaatan), itulah yang namanya ribath.” (HR. Muslim, no. 251)

 

Kesimpulan Mutiara Hadits

  1. Amalan-amalan yang disebutkan dalam hadits yaitu menyempurnakan wudhu saat sulit, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat adalah sebab diampuninya dosa dan ditinggakannya derajat.
  2. Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa terhapusnya kesalahan, berarti ibarat untuk diampuninya dosa. Juga bisa maknanya adalah dihapuskan dosa dari kitab cacatan. Itu juga maknanya dosa tersebut diampuni. Sedangkan meninggikan derajat, maksudnya meninggikan derajatnya di surga.
  3. Isbaghul wudhu’ maksudnya adalah menyempurnakan wudhu. Menyempurnakan wudhu ketika sulit maksudnya menyempurnakannya ketika keadaan sangat dingin, badan dalam keadaan tidak fit, atau semisal itu.
  4. Itulah yang namanya ribath. Ribath asalnya bermakna menahan diri dari sesuatu. Disebut ribath di sini maksudnya orang yang melakukannya berarti menahan diri untuk melakukan amalan tersebut terus menerus (menyempurnakan wudhu saat sulit, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat). Ada juga yang memaknakan yang dimaksud adalah itulah ribath (penjagaan) yang paling afdhal. Yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah itulah ribath yang paling mudah dan mungkin dilakukan.
  5. Pengulangan dua atau kali untuk kalimat “fadzalikumur ribath”, hikmahnya menunjukkan penting dan agungnya amalan yang disebutkan.
  6. Hadits ini juga menjelaskan keutamaan rumah yang jauh dibanding yang dekat karena makin jauh rumah, makin banyak langkah.
  7. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan orang yang selalu mengaitkan hatinya dengan masjid. Keutamaan lainnya, ia juga akan mendapatkan naungan di hari kiamat yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah.
  8. Hadits ini juga merupakan dalil keutamaan shalat berjamaah di masjid.
  9. Perlu adanya pengajaran hal yang kecil kemudian hal yang lebih besar. Karena seseorang yang tidak bisa menahan diri untuk menunggu shalat di masjid, maka sungguh sulit untuk menahan dirinya menjaga pos saat berjihad di medan perang.

Referensi: Bahjah An-Nazhirin karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, 1: 187-188; Syarh Shahih Muslim, 3: 125-126.

 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/15383-keutamaan-menunggu-shalat.html

5 Tips Hebat agar Rumah Tangga Selalu Ceria

SIAPA yang tak mau memiliki keluarga yang harmonis. Suasana di rumah senantiasa ceria dan penuh berkah bagi para anggota keluarganya. Adapun sebagaimana kami kutip dari laman “Istri Menarik Suami Tertarik” ada beberapa tips hebat yang dapat kita adopsi ke dalam rumah tangga kita. Dan semoga dapat sama-sama kita amalkan, insya Allah. Berikut di antaranya:

1. Amalkan amalan seperti bersalam (dengan anak-anak) dan berpelukan (setiap hari sebelum dan selepas bekerja). InsyaAllah, amalan ini sangat baik dan boleh menceriakan rumah tangga anda.

2. Amalkan makan bersama keluarga. Biasanya jika soal makan, banyak yang akan berpikir bahwa makan bersama seperti di dalam drama tv. Padahal makan bersama yang kami maksudkan adalah berbagi makanan di dalam satu piring dan berbagi minuman dari gelas yang sama. Memang bagi orang yang tidak pernah mencoba cara ini mereka akan merasa agak janggal, tapi kalau sudah mencobanya, kami yakin hubungan suami istri akan jauh lebih erat. Apalagi jika si suami menyuap makanan ke dalam mulut si istri. Oh, memang indah! Inilah akhlak Rasulullah terhadap istrinya.

3. Membuat musyawarah atau diskusi harian. Jangan salah anggap. Musyawarah yang kami maksudkan bukanlah musyawarah resmi atau formal. Musyawarah bersama suami istri dan anak-anak adalah musyawarah yang diadakan dalam suasana tidak formal dan santai. Contohnya sebelum tidur, saat sedang makan dan sebagainya.

4. Menghidupkan rumah dengan amalan taalim. Amalan taalim di rumah ibarat seperti mesin pada sebuah kendaraan. Tanpa mesin, kendaraan tak akan berfungsi dan bermanfaat. Hidupkan amalan membaca hadis dan membaca ayat suci alquran, atau apa saja amalan keagamaan di rumah secara berjemaah. Ajak ahli keluarga (suami) duduk bersama selama 5-15 menit (minimum) setiap hari. Inilah amalan yang menjadi amalan para sahabat selepas mereka kembali dari majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di masjid.

5. Mengungkapkan kasih sayang terhadap ahli keluarga. Kasih sayang itu perlu diungkapkan atau dinyatakan, bukannya dipendam. Kasih sayang terhadap istri perlu ditunjukkan. Maksud ditunjukkan di sini bukannya dalam bentuk harta dan kemewahan, tapi melalui perhatian, kata-kata, tingkah laku di rumah, akhlak terhadap istri dan sebagainya. Seorang suami yang mencoba untuk memasak dan melakukan pekerjaan rumah di rumah akan dihormati oleh istrinya selama-lamanya.

Lima tips di atas bukanlah tips yang dibuat-buat, tapi inilah lima cara yang telah ditunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ahlinya (keluarga). Maksudnya ini adalah sunah nabi. “Barang siapa yang mencintai sunah, dia akan bersama Rasulullah di surga kelak.” []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358625/5-tips-hebat-agar-rumah-tangga-selalu-ceria#sthash.JD3fYCT8.dpuf

Minta Dido’akan Orang Lain

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah– pernah ditanya: Wahai Syaikh, apakah permintaan seseorang pada saudaranya yang dinilai sholeh untuk mendoakan dirinya dan saudaranya ini mendoakan dirinya dalam keadaan dia (yang meminta) tidak mengetahuinya, apakah ini termasuk mengurangi tawakkal orang yang meminta didoakan?

Jika memang demikian, bagaimana penilaian engkau terhadap kisah Umar bin Al Khathab yang meminta pada Uwais Al Qorni agar mendoakan dirinya, padahal Umar lebih utama dari Uwais?

Syaikh rahimahullah menjawab :

Permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, -perlu diketahui- bahwa di dalamnya sebenarnya terdapat bentuk meminta-minta pada manusia. Kalau kita melihat pada sejarah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibaiat oleh para sahabatnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an).” Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh . Dalam kalimat tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu). Inilah kaedah ushuliyah (dalam ilmu ushul).

Dalam mempraktekkan maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, di antara sahabat sampai-sampai ada tongkatnya terjatuh sedangkan dia berada di atas kendaraanya. Dia langsung turun dan mengambil tongkatnya tersebut, dia tidak mengatakan pada saudaranya yang lain, “Tolong ambilkan tongkatku.” (Mereka tidak mau meminta tolong) karena mereka telah berbaiat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak meminta pada orang lain sedikit pun juga.

Seandainya jika di dalam hal ini cuma sekedar meminta maka tidak mengapa. Akan tetapi dalam kondisi meminta-minta seperti terkadang dalam hati seseorang terdapat sikap memandang rendah diri sendiri dan berburuk sangka pada dirinya sehingga dia meminta pada orang lain. Lalu dia mengatakan, “Ya akhi (saudaraku) …!”

Seharusnya kita berbaik sangka kepada Allah ‘azza wa jalla. Jika memang engkau bukan orang yang maqbul doanya (terkabul doanya), maka tentu juga doa saudaramu tidak bermanfaat bagimu. Oleh karena itu, wajib bagimu berbaik sangka pada Allah. Janganlah engkau menjadikan antara dirimu dan Allah perantara agar orang lain berdoa pada Allah untukmu. Lebih baik jika engkau ingin berdoa, langsung mintalah pada Allah.

Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

Berdo’alah kepada Rabbmu dengan merendahkan diri, dengan suara yang lembut.” (QS. Al A’rof [7] : 55)

Doamu sendiri kepada Allah adalah suatu ibadah. Bagaimana engkau membuat dirimu luput dari ibadah yang mulia ini?

Demikian pula, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat sholeh untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada do’a orang sholeh tadi. Bahkan sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringannya meminta pada orang lain).

Kemudian muncul pula masalah ketiga. Boleh jadi orang yang dimintakan do’a tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang sholeh ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk dimintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain)

Namun, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang cukup bagus. Beliau rahimahullah mengatakan :

Apabila engkau meminta pada saudaramu untuk mendoakan dirimu yaitu engkau ingin saudaramu juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau engkau ingin agar dia juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya -doa seperti ini akan diaminkan oleh malaikat dan malaikat pun berkata : engkau pun akan mendapatkan yang semisalnya-, maka seperti ini tidak mengapa (diperbolehkan) .

Namun, apabila yang engkau inginkan adalah semata-mata kemanfaatan pada dirimu saja, maka inilah yang tercela.

Adapun mengenai kisah Umar (bin Al Khathab) –radhiyallahu ‘anhu- yang meminta pada Uwais (Al Qorni) untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja (bukan yang lainnya). Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh digeneralkan pada yang lainnya.

******

Kesimpulan:

Akhirnya, kami menemukan jawaban yang kami cari sejak dulu yaitu bagaimana meminta pada orang lain untuk mendoakan kita. Penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin ini sudah sangat gamblang. Jadi yang tercela adalah jika kita meminta saudara kita mendoakan kita namun kita ingin agar doa tersebut hanya bermanfaat pada diri kita. Jika maksud kita dengan permintaan tersebut adalah agar saudara kita juga mendapatkan manfaat sebagaimana yang kita peroleh, maka ini tidak mengapa. Perhatikanlah salah satu keutamaan orang yang mendoakan saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no. 2733).

Jika manfaat seperti dalam hadits ini yang diinginkan pada saudara kita –yaitu saudara kita akan mendapatkan timbal balik dari doanya pada kita-, maka seperti ini tidaklah mengapa.

Jika saudara kita mendoakan kita, maka dia juga akan mendapatkan yang semisalnya. Kita meminta padanya agar mendoakan kita tetap istiqomah dalam agama ini, maka dia juga akan diberi taufik oleh Allah untuk istiqomah. Jika memang kemanfaatan seperti ini yang kita ingin agar saudara kita juga mendapatkannya, maka bentuk permintaan doa seperti ini tidaklah mengapa. Jadi, bedakanlah dua kondisi ini.

Oleh karena itu, sebaiknya jika kita ingin meminta doa pada saudara kita maka kita juga menginginkan dia mendapatkan kemanfaatan sebagaimana yang nanti kita peroleh. Kita minta padanya agar mendoakan kita lulus ujian. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu lulus ujian. Kita minta padanya agar mendoakan tetap isiqomah ngaji. Maka seharusnya kita juga berharap dia mendapatkan manfaat ini yaitu tetap istiqomah ngaji. Jadi, sebaiknya yang kita katakan padanya adalah : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa lulus ujian. Atau : Wahai akhi, doakan ya agar aku dan kamu bisa tetap istiqomah ngaji. Itulah yang lebih baik. Atau juga bisa kita niatkan bahwa semoga do’a dia pada kita juga bermanfaat bagi dirinya.

Semoga kita diberi keistiqomahan dalam agama ini. Semoga kita selalu mendapat ilmu yang bermanfaat, dimudahkan dalam amal sholeh dan selalu diberi rizki yang thoyib.

 

 

Diselesaikan di Panggang-Gunung Kidul, menjelang waktu Ashar, 3 Dzulqo’dah 1429 H

Sumber : https://rumaysho.com/1630-minta-didoakan-orang-lain.html

Sudah Menikah tapi Tak Bisa Lupakan Mantan?

SESEORANG bertanya bagaimana hukumnya bila orang yang sudah menikah namun tidak bisa melepas atau melupakan mantan pacarnya karena pernikahannya merupakan hasil perjodohan. Menurut jawaban yang diberikan oleh Ustaz Wido Supraha:

Genggamlah tangan pasanganmu, bersama membuat komitmen untuk meraih rida ilahi bersama ilmu. Membayang-bayangkan wajah istri di rumah menghadirkan pahala besar, sementara membayang-bayangkan wajah wanita lain merupakan kesia-siaan yang akan membuka pintu keburukan.

Perjodohan bukanlah alasan yang tepat untuk tidak mencintai karena definisi cinta adalah memberikan sepenuh hati kepada yang sang kekasih tanpa henti. Kehidupan terus berjalan dan hayatilah bahwa batas umur semakin menipis, maka nikmatilah kehidupan dengan memperbanyak zikir dan beribadah bersama anugerah Allah Ta’ala berupa pasangan hidup di sisi, siapapun dia.

Allah Ta’ala telah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 216: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Pengetahuan kita akan cinta dan kebaikan sungguh sangat terbatas, maka senantiasalah berbahagia dengan apa yang kita miliki, dan jadikanlah seluruh yang kita miliki sebagai sarana yang memudahkan kita masuk ke Jannah-Nya. Wallahu a’lam. []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360307/sudah-menikah-tapi-tak-bisa-lupakan-mantan#sthash.05KsmmUA.dpuf