Suami Istri, Pasang Wajah Manis

BUKAN sekadar cantik yang jadikan suami betah tinggal di rumah, tapi penerimaan tulus dalam melayani suaminya. Istri yang menyambut dengan hangat dan penuh cinta. Ada kemesraan di sana. Jangankan rumah yang besar, rumah kecil pun terasa istana indah tiada tara.

Bukan karena tampan yang membuat istri setia mendampingi suaminya, tapi wajah yang teduh, senyum yang tulus, dan tutur kata yang sejuk dari suami dalam memperlakukan istrinya. Suami yang bertanggungjawab, melindungi, dan mempimpin keluarga dengan pebuh cinta dan kasih sayang.

Apa yang dibutuhkan istri saat melahirkan?

Apakah wajah yang tampan, tubuh yang macho, tangan yang kekar, dan dada yang bidang?

Atau kesediaan suami mendampingi, menguatkan, dan mendoakan?

Apa yang dibutuhkan suami saat sakit?

Apakah wajah yang cantik, kulit yang mulus, dan tubuh yang seksi?

Atau pelayanan yang tulus, kesediaan mendampingi, mengantar berobat, merawat dengan setia, dan mendoakan dengan ikhlas?

Seorang suami senang dengan istri yang cantik, tapi bila sering merenggut, mencibir, dan cemberut, tentu tak tenang hidup rumah tangga.

Seorang istri senang dengan wajah tampan, tapi bila sering melotot, dingin dan cuek, tentu tak nyaman hidup bersama.

Maka memasang wajah ramah dalam berinteraksi merupakan sebuah keharusan, untuk memuliakan dan menyenangkan pasangan.

Bukankah rumah tangga untuk ketenangan hidup? Maka salah satunya adalah sikap kita melalui tampilan wajah yang ramah, baik, dan santun. Hiasi dengan senyuman, sapaan kemesraan, dan tatapan kerinduan.

Semoga ketenangan hadir dalam kehidupan keluarga, saat bersama, saat menatap wajah pasangan menjadi tenteramlah jiwa. Tes! Sebutir embun cinta menyiram hati kita. Sejuk, segar, dan manis. Menambah erat jalinan perasaan (’athifah), menguatkan cinta dan kebersamaan.

Seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib saat menatap wajah istrinya, Fatimah az-Zahra, “Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihanku.”

Pasang wajah manis, insya Allah keluarga kian harmonis. Aamiin. []

ISLAMPOS

Posisi Paling Baik untuk Jima Suami Istri Menurut Ibnu Qayyim Al Jauziyah

BERBEDA dengan literatur Barat, ada beberapa batasan ketika pasangan suami-istri melakukan hubungan jima. Memang, Islam membolehkan suami istri menggunakan beragam gaya atau posisi jima sepanjang menuju “tempat” yang benar. Namun bagaimana sebenarnya posisi yang paling baik?

Posisi Paling Baik untuk Jima Suami Istri: Sebagaimana yang Engkau Hendaki

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa:

جَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ. قَالَ حَوَّلْتُ رَحْلِى اللَّيْلَةَ. قَالَ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا قَالَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- هَذِهِ الآيَةَ (نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحِيضَةَ

Umar datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, binasalah aku.” Rasulullah bertanya, “Apa yang membinasakanmu?” Umar menjawab, “Aku mengalihkan tungganganku tadi malam.” Rasulullah diam, tidak menjawab apapun. Kemudian turunlah ayat, “Istri-istrimu adalah (laksana) tanah tempat bercocok tanam bagimu, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu sebagaimana saja yang engkau kehendaki” (QS. Al Baqarah : 223). (Rasulullah pun bersabda) “Engkau boleh dari depan atau belakang, tetapi jangan ke dubur dan saat haid.”

Posisi Paling Baik untuk Jima Suami Istri: Menurut Ibnul Qayyim

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad menerangkan:

Posisi terbaik ketika berhubungan suami istri adalah, suami berada di atas istri. Yakni setelah sang suami mencumbui istrinya, merayu dan menciuminya, ia meminta istri tidur terlentang.

Dengan posisi ini pula, istri disebut sebagai ranjang. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya, ”Seorang anak adalah untuk pemilik ranjang.”

Posisi ini juga menunjukkan kepemimpinan suami atas istrinya, sebagaimana firman Allah:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” (QS. An Nisa’ : 34)

Seorang penyair berkata,

Jika aku menginginkan istriku,
ia laksana ranjang yang menopangku
Saat diriku mencapai kepuasan
Ia laksana pelayan yang selalu memujaku

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

Posisi Paling Baik untuk Jima Suami Istri: Pakaian yang Sempurna

‘Pakaian’ yang paling sempurna adalah saat posisi seperti ini. Sebab dengan posisi ini, pakaian suami adalah ‘ranjang’nya.

Sementara pakaian istri adalah ‘selimut’nya. Posisi suami di atas istri, diambil dari konteks ayat tersebut. Ini posisi terbaik, suami dan istri saling menjadi pakaian satu sama lainnya.

Demikian pandangan Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengenai posisi terbaik dalam berjima. Wallahu a’lam bish shawab. []

SUMBER: BERSAMA DAKWAH / ISLAMPOS

Hukum Menuntut Cerai Suami yang Malas Sholat

Bagaimana hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Pasalnya, suami merupakan pemimpin dalam rumah tangganya. Tentunya ia adalah pihak yang memegang kendali arah bahteranya. Maka dari itu, seorang perempuan harus pintar-pintar memilih laki-laki. Agar supaya bahtera rumah tangganya, berjalan sesuai relnya.

Menikah dengan tujuan merubah sikap seseorang memang mulia, namun apakah ia kuat dengan sikap pasangannya? Seyogyanya carilah pasangan yang sekufu, agar supaya tidak terlalu repot dalam menghadapi masalah rumah tangga.

Lalu ketika perempuan mendapat suami yang malas sholat, apakah ia boleh menuntut cerai?

Hukum menuntut cerai suami yang malas sholat menurut Imam Nawawi dalam kitab Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin adalah boleh. Pasalnya, sikap tersebut ini bisa dikategorikan pada rendahnya spiritualitas suami. Imam al-Nawawi menjelaskan;

 كِتَابُ الْخُلْعِ. هُوَ الْفُرْقَةُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزَّوْجُ، وَأَصْلُ الْخُلْعِ مُجْمَعٌ عَلَى جَوَازِهِ، وَسَوَاءٌ فِي جَوَازِهِ خَالَعَ عَلَى الصَّدَاقِ أَوْ بَعْضِهِ، أَوْ مَالٍ آخَرَ أَقَلَّ مِنَ الصَّدَاقِ، أَوْ أَكْثَرَ، وَيَصِحُّ فِي حَالَتَيِ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ، وَخَصَّهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ بِالشِّقَاقِ، ثُمَّ لَا كَرَاهَةَ فِيهِ إِنْ جَرَى فِي حَالِ الشِّقَاقِ، أَوْ كَانَتْ تَكْرَهُ صُحْبَتَهُ لِسُوءِ خُلُقِهِ أَوْ دِينِهِ، أَوْ تَحَرَّجَتْ مِنَ الْإِخْلَالِ بِبَعْضِ حُقُوقِهِ، أَوْ ضَرَبَهَا تَأْدِيبًا فَافْتَدَتْ. وَأَلْحَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ بِهِ مَا إِذَا مَنَعَهَا نَفَقَةً أَوْ غَيْرَهَا فَافْتَدَتْ لِتَتَخَلَّصَ مِنْهُ.

Kitab menerangkan tentang khulu’, yaitu perpisahan yang diminta istri dengan mekanisme pemberian kompensasi kepada pihak suami. Khulu’ ini dilegalkan oleh para ulama’, bahkan kebolehannya ini sudah disepakati. Baik ia khulu dengan mengembalikan mahar, atau hanya sebagiannya saja.

Bahkan boleh dari uang lain, yang nominalnya lebih sedikit dari jumlah mahar. Namun melebihinya juga boleh. Dan khulu’ ini sah, baik dalam kondisi perselisihan maupun terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak.

Hanya saja Ibnu al-Mundzir, mengkhususkan ini dalam kondisi perselisihan saja. Maka tidak ada kemakruhan, jika khulu dilakukan ketika berselisih. Khulu’ diperbolehkan ketika istri tidak suka hidup dengan suami sebab buruknya perangai suaminya atau agamanya.

Boleh juga dilakukan, jika ia melakukannya dalam rangka menjauhi dosa. Sebab ketika bersama suaminya, ia tidak bisa memenuhi hak suami. Dan bahkan dalam konteks ia dipukul suami yang dalam rangka ta’dib (dididik), ia tetap diperbolehkan untuk mengajukan cerai.

Imam al-Ghazali menganalogikan kebolehannya dalam konteks suami tidak memenuhi nafkah istrinya, ia boleh menggugat cerai suaminya. (Raudh al-Thalibin wa Umdat al-Muftin  Juz 7 Hal. 374)

Senada dengan beliau, salah seorang pakar fikih dari madzhab Hambali mengatakan;

وَجُمْلَةُ الْأَمْرِ أَنَّ الْمَرْأَةَ إذَا كَرِهَتْ زَوْجَهَا، لِخَلْقِهِ، أَوْ خُلُقِهِ، أَوْ دِينِهِ، أَوْ كِبَرِهِ، أَوْ ضَعْفِهِ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ، وَخَشِيَتْ أَنْ لَا تُؤَدِّيَ حَقَّ اللَّهَ تَعَالَى فِي طَاعَتِهِ، جَازَ لَهَا أَنْ تُخَالِعَهُ بِعِوَضٍ تَفْتَدِي بِهِ نَفْسَهَا مِنْهُ

Bahwasanya seorang wanita jika tidak menyukai suaminya karena berbagai faktor semisal akhlaknya, perawakannya, rupanya, agamanya, tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya.

Lalu ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan memberikan kompensasi untuk membebaskan dirinya”. Dalilnya adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 dan beberapa hadis yang disebutkan. (Al-Mughni,  Juz 7 Hal. 323)

Dengan demikian, istri boleh menuntut cerai kepada suami atau ia mengajukan khulu’. Sebab tidak sholat merupakan salah satu perilaku yang mencerminkan rendahnya spiritualitas sosok suami, dan rendahnya atau buruknya tingkat spiritualitas suami ini memperbolehkan istri untuk menuntut diceraikan.

Maka dari itu, pilihlah suami yang saleh. Baik saleh secara spiritual maupun sosial, agar supaya mahligai rumah tangga nyaman dan memberikan ketenangan. Sehingga terciptalah kondisi sakinah mawaddah wa rahmah, yang pada akhirnya nanti akan menciptakan generasi yang saleh dan salehah.

Demikian penjelasan tentang hukum menuntut cerai suami yang malas sholat. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Bolehkah Berhubungan Badan di Kamar Mandi?

Salah satu romantisme yang bisa jadi ditinggalkan banyak suami-istri adalah mandi bersama. Hal ini dilakukan  oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan istri-istri beliau.

قَالَتْ عَائِشَةُ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَنَحْنُ جُنُبَانِ.

Aisyah berkata, “Aku dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi bersama dalam suatu wadah yang sama sedangkan kami berdua dalam keadaan junub.” (HR. Bukhari dan Muslim)

An-Nawawi menjelaskan bahwa mandi bareng suami-istri itu hukumnya boleh saja. Beliau berkata,

أما تطهير الرجل والمرأة من إناء واحد، فهو جائز بإجماع المسلمين

Adapun bersuci (mandi bersama) suami dan istri dalam satu wadah, hukumnya boleh berdasarkan ijma’ kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim 2/4)

Bisa jadi saat mandi bareng bersama istri muncul keinginan untuk berhubungan badan dan bisa jadi nafsu saat itu tidak terkontrol sehingga terjadi hubungan badan di kamar mandi. Bagaimana hukum terkait hal ini?

Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa berhubungan intim di kamar mandi hendaknya dijauhi. Syekh Khalid Al-Muslih menukil pendapat Ibnu Muflih,

“ويجتنب الجماع في الحمام”،

Hendaknya menghindari berhubungan badan dengan  istri di kamar mandi.” (sumber: https://almosleh.com/ar/16624)

Dihindari karena kamar mandi adalah tempat berkumpulnya setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

Sesungguhnya kamar mandi/toilet itu didatangi setan. Jika kalian masuk kamar mandi/toilet, maka bacalah,

Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its.

‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.’” (HR. Abu Daud)

Ada juga ulama yang berpendapat bolehnya dengan ketentuan tertentu. Syekh Muhammad Shalih Al-Munajjid menjelaskan,

نعم يجوز أن يجامع الرجل زوجته بدون غطاء ، كما أنه يجوز أن يجامعها في دورة المياه ، ولكن سيترتب عليه مخالفة السنة في عدم ذكر الله قبل ذلك

Boleh berhubungan badan tanpa penutup sebagaimana boleh juga berhubungan badan di kamar mandi. Akan tetapi, berkonsekuensi akan menyelisihi sunah, yaitu tidak menyebut nama Allah sebelumnya (baca doa jimak, pent).” (Fatawa  Sual wa Jawab no. 21195)

Demikian juga fatwa dari Syabakah Islamiyah asuhan Syekh Abdullah Al-Faqih

فيجوز للزوج جماع زوجته في الحمام، وإن كان الأولى تجنب ذلك لمنافاته للآداب، ولكونه ليس محلا للإتيان بالدعاء المأثور قبل الجماع

Boleh berhubungan badan suami-istri di kamar mandi, meskipun yang lebih utama menghindarinya karena akan bertentangan dengan beberapa adabnya. Kamar mandi bukan tempat yang layak untuk membaca doa sebelum jimak.” (Fatwa no. 134807)

Dalam hal ini kami memilih pendapat ulama yang membolehkan apabila benar-benar terpaksa (tidak bisa mengontrol diri) semisal ketika mandi bersama lalu suami-istri saling bernafsu. Apabila mampu, hendaknya pindah dari kamar mandi semisal menuju kamar dan semisalnya.

Hendaknya membaca doa sebelum masuk kamar mandi dan doa jimak di luar kamar mandi sebentar.

Doa masuk kamar mandi,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ

Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Membaca basmalah sangat penting karena akan melindungi aurat manusia dari setan.

Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ: إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الخَلاَءَ، أَنْ يَقُولَ: بِسْمِ اللَّهِ

“Penghalang antara pandangan mata jin dan aurat bani Adam ketika ia masuk toilet adalah dengan membaca ‘bismillah’.” (HR. At-Tirmidzi)

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/76473-bolehkah-berhubungan-badan-di-kamar-mandi.html

Hukum Berhubungan Seks Sebelum Bersuci dari Haid

Salah satu hal yang diharamkan ketika haid adalah bersetubuh. Lalu, bagaimana hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid? Padahal sudah tidak keluar darahnya?

Syekh Muhammad Asy-Syirbini Al-Khathib dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Al-Fadz Ibn Syuja’ menjelaskan sebagaimana berikut.

(و) السابع ( الوطء ) ولو بعد انقطاعه وقبل الغسل لقوله تعالى { ولا تقربوهن حتى يطهرن }

Bagian ketujuh (dari hal yang diharamkan saat haid) adalah bersetubuh. Meskipun darah sudah terhenti dan belum mandi suci karena firman Allah swt. “Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci (Q.S. Al-Baqarah: 222).

Imam Al-Mawardi di dalam kitab Al-Hawi fi Fiqh As-Syafii menjelaskan bahwa keharaman bersetubuh berlaku sampai telah bersuci dari haid adalah pendapat imam As-Syafii, imam Malik, dan mayoritas ulama fiqh.

Sementara itu, menurut imam Abu Hanifah boleh bersetubuh sebelum bersuci dari haid jika haidnya sudah mencapai batas maksimal haid. Namun, jika belum pada batas maksimal haid dan sudah bersih darahnya, maka ia harus tetap mandi bersuci dahulu sebelum bersetubuh.

Bersetubuh saat istri haid meskipun darah sudah terhenti namun belum bersuci tersebut diharamkan jika memang disengaja dan tahu bahwa itu haram. Jika suami/istri itu tidak mengetahui bahwa hal itu diharamkan, lupa, atau dipaksa, maka hal itu tidak dihukumi haram.

Kasus tersebut sesuai dengan hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan imam Al-Baihaqi dari sahabat Ibnu Abbas r.a. sebagaimana berikut.

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah mengampuni perbuatan umatku disebabkan ketidaksengajaan, lupa, atau dipaksa.”

Adapun bagi orang yang terlanjur bersetubuh dengan istrinya yang belum bersuci dari haid meskipun darah telah terhenti, ulama Syafiiyah menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar.

Sementara jika ia terlajur bersetubuh dengan istrinya saat darah haid masih keluar deras, maka ia disunahkan untuk shadaqah satu dinar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi saw. riwayat imam At-Tirmidzi dari sahabat Ibnu Abbas r.a.

إِذَا كَانَ دَمًا أَحْمَرَ فَدِينَارٌوَإِذَا كَانَ دَمًا أَصْفَرَ فَنِصْفُ دِينَارٍ

“Jika darah itu merah, maka (shadaqah) satu dinar, dan jika darah itu kuning maka setengah dinar.”

Keterangan tersebut merupakan penjelasan dari Syekh Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beliau juga menjelaskan bahwa satu dinar adalah setara dengan 4.25 gram emas.

Demikianlah penjelasan hukum berhubungan badan sebelum bersuci dari haid. Menurut jumhur ulama fiqh meskipun darah telah terhenti, maka tetap diharamkan bersetubuh/berhubungan badan sebelum bersuci/mandi besar.

Jika sudah terlanjur bersetubuh sebelum bersuci, maka ulama menyunnahkan untuk shadaqah setengah dinar. Tentunya juga dengan meminta ampunan kepada Allah swt. karena telah melanggar aturan yang ada.

Demikian hukum berhubungan seks sebelum bersuci dari haid. Semoga bermanfaat. Wa Allahu a’lam bis shawab.

BINCANG SYARIAH

Status Suami yang Hilang Bertahun-tahun

TERDAPAT kasus di beberapa tempat yang menyebutkan bahwa seorang istri telah ditinggal suaminya kira-kira lima tahun lamanya, bagaimana statusnya, apakah dibolehkan baginya untuk menikah lagi dengan laki-laki lain, ataukah dia harus menunggu suaminya datang?

Sampai kapan dia harus menunggu sedang suaminya tidak jelas keberadaannya ? Bagaimana Islam memberikan solusi atas masalah seperti ini?

Perbedaan Pendapat

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:

Pendapat Pertama: bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat Madzab Hanafiyah dan Syafi’iyah serta adh-Dhahiriyah. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya meninggal atau telah menceraikannya. (az-Zaila’i, Nasbu ar-Rozah fi takhrij ahadits al-hidayah: kitab al-mafqud, Ibnu Hamam, Syarh Fathu al-Qadir ; Kitab al-Mafqud, Ibnu Hazm, al-Muhalla bi al Atsar ; Faskh nikah al mafqud).

Pendapat Kedua: bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan merasa dirugikan secara batin, maka dia berhak menuntut cerai. Ini adalah pendapat Hanabilah dan Malikiyah.

Adapun dalil-dalil yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah :

Pertama firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Dan pergaulilah mereka dengan baik.“ (QS: An-Nisa : 19).

Kedua firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلَا تُمْسِكُوْهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوْا ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗ

“Janganlah engkau tahan mereka untuk memberi kemudharatan bagi mereka, karena demikian itu berarti kamu menganiaya mereka.“ (QS: Al-Baqarah : 231).

Ketiga sabda Rasulullah ﷺ:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada yang mudharat (dalam ajaran Islam) dan tidak boleh seorang muslim membuat kemudharatan bagi orang lain.“ (Hadist Hasan Riwayat Ibnu Majah dan Daruqutni).

Ayat dan hadist di atas melarang seorang muslim, khususnya suami untuk membuat kemudharatan bagi istrinya dengan pergi meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama tanpa ada keperluan yang jelas. Maka, istri yang merasa dirugikan dengan kepergian suaminya tersebut berhak untuk menolak mudharat tersebut dengan gugatan cerai yang diajukan ke pengadilan.

Keempat, disamping itu, seorang istri dalam keadaan sendirian, biasanya sangat sulit untuk menjaga dirinya , apalagi di tengah-tengah zaman yang penuh dengan fitnah seperti ini. Untuk menghindari firnah dan bisikan syetan tersebut, maka dibolehkan baginya untuk meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain.

Kelima, mereka juga mengqiyaskan dengan masalah al-iila’ (suami yang bersumpah untuk tidak mendekati istrinya) dan al-Unnah (suami yang impoten), dalam dua masalah tersebut sang istri boleh memilih untuk cerai, maka begitu juga dalam masalah ini. (Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 52).

Hanya saja para ulama yang memegang pendapat kedua ini berbeda pendapat dalam beberapa masalah:

Para ulama dari kalangan Hanabilah menyatakan bahwa suami yang meninggalkan istrinya selama enam bulan tanpa berita, maka istri berhak meminta cerai dan menikah dengan laki-laki lain. Mereka berdalil dengan kisah Umar bin Khattab yang mendengar keluhan seorang wanita lewat bait-bait syi’irnya ketika ditinggal suaminya berperang.

Beliau menannyakan kepada anaknya Hafshah tentang batas kesabaran seorang perempuan berpisah dengan suaminya, maka Hafsah menjawab enam bulan. Dan keputusan ini hanya berlaku bagi suami yang pergi begitu saja tanpa ada udzur syar’i, dan disebut dengan faskh nikah (pembubaran pernikahan) dan tidak disebut talak. (Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal as-Syakhsiyah, Kairo, 1957, Dar al Fikr al Arabi, hlm : 367).

Adapun para ulama Malikiyah menentukan batas waktu waktu satu tahun, bahkan dalam riwayat lain batasan waktunya adalah empat tahun, dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan suami lain. Dan ketentuan ini berlaku bagi suami yang pergi, baik karena ada udzur syar’i maupun tidak ada udzur syar’i. Jika hakim yang memisahkan antara keduanya, maka disebut talak bain. (Ibnu Rusydi : 2/ 54).

Mereka juga membedakan antara yang hilang di Negara Islam, atau di Negara kafir, atau hilang dalam kondisi fitnah atau hilang dalam peperangan. Masing-masing mempunyai waktu tersendiri.

Jika suami berada di tempat yang bisa dijangkau oleh surat atau peringatan, maka seorang hakim diharuskan untuk memberikan peringatan terlebih dahulu, baik lewat surat, telpon, sms, maupun kurir ataupun cara-cara yang lain, dan menyuruhnya untuk segera kembali dan tinggal bersama istrinya, atau memindahkan istrinya di tempatnya yang baru atau kalau perlu diceraikannya. Kemudian sang hakim memberikan batasan waktu tertentu untuk merealisasikan peringatan tersebut, jika pada batas tertentu sang suami tidak ada respon, maka sang hakim berhak untuk memisahkan antara keduanya. (Ibnu Juzai, al-Qawanin al-Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits, 2005 ,hlm : 177, Muhammad Abu Zahrah: 366)

Pendapat yang lebih mendekati kebenaran- wallahu a’lam- adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan waktu dimana seorang istri boleh meminta cerai dan menikah dengan lelaki lain, jika suami pergi tanpa udzur syar’i adalah satu tahun atau lebih. Itupun, jika istri merasa dirugikan secara lahir maupun batin, dan suaminya telah terputus informasinya serta tidak diketahui nasibnya. Itu semua berlaku jika kepergian suami tersebut tanpa ada keperluan yang berarti.

Adapun jika kepergian tersebut untuk suatu maslahat, seperti berdagang, atau tugas, atau belajar, maka seorang istri hendaknya bersabar dan tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan cerai kepada hakim.  Gugatan cerai ini, juga bisa diajukan oleh seorang istri yang suaminya dipenjara karena kejahatan atau perbuatan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat banyak, sekaligus sebagai pelajaran agar para suami untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. (Muhammad Abu Zahrah : 368).

Adapun mayoritas ulama tidak membolehkan hal tersebut, karena tidak ada dalil syar’i yang dijadikan sandaran. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Riyadh, Daar Alami al Kutub, Juz 11, hal : 247, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet ke 3, Juz :7, hlm :535).

“Jika hakim telah memisahkan antara keduanya dan telah selesai masa iddahnya, kemudian sang istri menikah dengan lelaki yang lain, tiba-tiba mantan suaminya muncul, maka pernikahan istri dengan laki-laki yang kedua tidak bisa dibatalkan, karena penikahan dengan lelaki yang pertama (mantan suaminya) sudah batal.” (Ibnu Juzai : 177).

Adapun jika dasar pemisahan antara suami istri tersebut, karena diprediksikan bahwa suaminya telah meninggal dunia, tetapi pada kenyataannya masih hidup, maka pernikahan yang kedua batal. Dan pernikahan pertama masih berlangsung. Wallahu a’lam.*/Dr A Zain An-Najah, Pusat Kajian Fiqih Indonesia (PUSKAFI)

HIDAYATULLAH

Teladan Rasulullah ﷺ kepada Istri

BAGINDA Nabi ﷺ adalah suri teladan yang terbaik buat semua suami di dunia. Berikut adalah beberapa kisah dan hadits tentang akhlak Rasulullah ﷺ sebagai seorang suami:

Rasulullah ﷺ membantu istri di rumah. Al-Aswad pernah bertanya kepada Aisyah terkait kegiatan Nabi ﷺ di rumah. Aisyah lalu menjawab:

عن الأسود قال سألت عائشة ما كان النبي صلى الله عليه وسلم يصنع في أهله قالتكان في مهنة أهله فإذا حضرت الصلاة قام إلى الصلاة

Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab,  “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu salat, beliau berdiri dan segera menuju shalat.” (HR: Bukhari).

Dalam hadits lain disebutkan;

عن عمرة عن عائشة بلفظ ” ما كان إلا بشرا من البشر ، كان يفلي ثوبه ، ويحلب شاته ، ويخدم نفسه. أخرجه الترمذي . ولأحمد من رواية الزهري عن عروة عن عائشة بزيادة ويرقع دلو

“Tidaklah beliau itu seperti manusia pada umumnya, beliau menjahit bajunya, memerah kambing dan melayani dirinya sendiri. (HR: Tirmidzi).

Membelikan hadiah buat isteri juga dianggap sebagai perilaku baik seorang suami. Amru ibn Umayyah pernah menghadiahkan buat isterinya pakaian.

Saat ditanya oleh sahabat Nabi yang lain, beliau menjawab aku hadiahkan pakaian buat isteriku dan hal ini sama seperti pahala sedekah. Saat diceritakan perkara ini kepada Rasulullah, Baginda ﷺ membenarkan tindakan Amru.

Ini menggambarkan sumbangan atau perbelanjaan kita buat istri dan keluarga, jika diniatkan dengan tujuan yang betul ia mengandung pahala yang sangat besar.

Sabda Rasulullah ﷺ:

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَقَى امْرَأَتَهُ الْمَاءَ أُجِرَ

Sesungguhnya seorang laki-laki jika memberikan air minum kepada istrinya, ia akan mendapatkan pahala.” (HR: at-Thabarany dari al-Irbadh bin Sariyyah)

Rasulullah ﷺ melindungi para isterinya

Ketika Safiyyah diejek karena berketurunan Yahudi, Rasulullah ﷺ membujuk Safiyyah dengan berkata:

إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ، وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ

Sesungguhnya kamu adalah anak (cucu) Nabi, pamanmu juga Nabi dan suamimu juga Nabi.” (HR Ahmad).

Bujukan ini diberikan kepada Sofiyyah karena dia adalah keturunan Nabi Harun, dan pamannya adalah Nabi Musa.

Rasulullah ﷺ menyantuni isteri-isteri Baginda

Menurut Anas bin Malik, beliau pernah melihat Rasulullah menyediakan tempat duduk buat Sofiyyah supaya beliau dapat duduk dalam keadaan yang nyaman. Baginda juga duduk sedikit supaya Sofiyyah dapat memijak lutut (kaki) Baginda untuk naik ke atas tunggangannya.

Dalam suatu perjalanan, Rasulullah pernah membawa Anjasyah sebagai penuntun unta bagi istri-istri Nabi. Ketika melihat Anjasha membawa unta dengan cepat, Rasulullah memerintahkan Anjashah untuk memperlambat unta karena khawatir keadaan tersebut dapat melukai istri Nabi yang sedang di tunggangi. Sabda Rasulullah ﷺ:

رُوَيْدَكَ يَا أَنْجَشَةُ، سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيرِ

“Pelankan sedikit wahai Anjashah, sesungguhnya (di atas tunggangan itu adalah wanita yang seperti) kaca-kaca (yang dimaksudkan adalah para isteri Baginda).”

Begitulah beberapa tauladan dan akhlak Rasulullah sebagai seorang suami.*/AS Azmi, MUIS

HIDAYATULLAH

Sikap Istri Yang Tidak Diperlakukan Dengan Baik Oleh Suaminya

Ada kalanya seorang mukmin diuji oleh Allah ta’ala dengan perlakuan kurang baik dari pasangan hidupnya. Seorang suami yang memiliki komitmen pada agama kadang juga tergelincir dengan sikap atau akhlak yang tidak terpuji pada istrinya. Rumah tangga yang di awalnya penuh dengan ketenteraman serta kebahagiaan seiring berjalan waktu terkadang mengalami badai dan terguncang ketika ada perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Ini sebuah ujian yang harus dihadapi pasutri agar laju bahtera pernikahan tetap stabil menuju sakinah, mawaddah, dan penuh rahmat Allah ta’ala.

Semoga nasehat syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di bawah ini mampu mencerahkan imam pasutri untuk lebih menjaga keutuhan rumah tangga serta mampu bersikap bijak saat badai mengguncang.

Beliau ditanya:

Saya sudah menikah 25 tahun dan memiliki beberapa anak. Akhir-akhir ini saya ada masalah dengan suami. Dia sering melecehkan saya di hadapan anak-anak dan keluarga besar tanpa sebab yang jelas. Saya tidak lagi merasa nyaman kecuali kalau ia tidak ada di rumah, padahal suami saya ini selalu shalat dan takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Mohon nasehat, bagaimana sikap saya yang benar? Jazaakumullahu khairan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Anda wajib bersabar dan berusaha menasehatinya dengan baik dan mengingatkannya supaya ingat kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari kiamat. Semoga dengan ini dia mendengar dan kembali ke jalan yang benar serta meninggalkan perangainya yang buruk. Jika dia tidak berubah, maka dia yang berdosa dan anda mendapatkan pahala yang besar dengan sebab kesabaran anda menghadapi keburukannya.

Disyariatkan pula bagi anda untuk berdoa dalam shalat dan di luar shalat supaya Allah ‘azza wa jalla memberikan petunjuk kepadanya ke arah kebenaran mengaruniainya akhlak terpuji juga agar Allah ‘azza wa jalla melindungi anda dari keburukannya.

Di samping itu, anda harus berusaha mengevaluasi diri dan berusaha tetap istiqamah dan bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla dari semua keburukan dan kesalahan yang mungkin saudari perbuat dalam menunaikan hak Allah ‘azza wa jalla, hak suami atau hak yang lain. Karena bisa jadi kejadian ini menimpa saudari karena perbuatan maksiat yang saudari lakukan. Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syu’ara: 30).

Bisa jadi anda minta tolong kepada bapaknya, atau ibunya, atau kakaknya atau siapa saja yang didengar suaranya untuk menasehatinya agar memperlakukan saudari dengan baik, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

  “Dan bergaulah dengan mereka secara patut” (QS. An-Nisa: 19)

Juga firman Allah ‘Azza wa jalla,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ

 “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya” (QS. Al-Baqarah: 228).

Semoga Allah ‘Azza wa jalla memperbaiki biduk rumah tangga kalian dan semoga Allah ‘Azza wa jalla memberikan hidayah kepada suami saudari dan menunjukinya jalan yang benar. Semoga Allah ‘Azza wa jalla senantiasa mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan petunjuk, karena sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla Maha Dermawan lagi Maha Pemurah” (Fatawa al-Mar’ah al- Muslimah, hal. 687-688).

Demikianlah nasehat penyejuk iman agar pasutri tetap optimis dalam mencari solusi dalam setiap permasalahan rumah tangga. Mendoakan suami agar menjadi lebih baik adalah langkah utama agar Allah ta’ala membuka hati suami untuk segera menyadari kekhilafannya. Mintalah pada Allah ta’ala dan jangan berputus asa. Selain itu istri juga harus lebih memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas iman dan amal shalih karena terkadang tingkah laku suami dipicu oleh berbagai kemaksiatan yang dilakukan istri. Dan langkah yang tak kalah penting adalah tetap bersikap baik kepada suami, tunaikan kewajiban-kewajiban sebagai suami istri dengan ikhlas dan bergaulah dengan adab mulia. Bersabar terhadap keburukan orang lain sungguh butuh perjuangan ekstra. Di sinilah ketangguhan iman dan tawakkal seorang mukmin diuji, akankah ia lulus dalam menghadapi badai ujian ini. Bayangkan betapa istri akan merasakan puncak kebahagiaan ketika suatu saat suaminya berubah menjadi lebih shalih, mampu memperlakukan istri dengan lebih baik, niscaya anda akan bersemangat menjalani segala aktivitas.

Semoga uraian di atas mampu mencerahkan pikiran dan pandangan kaum mukminah bahwa kehidupan pernikahan akan indah dan barakah ketika kita menyandarkan harapan hanya pada Allah ta’ala dan senantiasa berdzikir, berdoa dan berupaya untuk meraih keridaan Allah ta’ala.

***

Penulis: Isruwanti Ummu Nashifa

Referensi:

1. Majalah As-Sunnah, Tahun XX syawal 1437 H.

2. Bekal Berharga Menjadi Ibu Serba Bisa. Diterbitkan oleh Tim sekolah ibu, Bantul, 2019

Artikel Muslimah.or.id

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/13973-sikap-istri-yang-tidak-diperlakukan-dengan-baik-oleh-suaminya.html

Suami Sering Makan Enak di Luar Rumah, Istri Makan Seadanya?

Salah satu kebiasaan suami yang harus segera diubah adalah sering makan di luar dengan makanan dan minuman yang enak, sedangkan istri dan anak-anaknya makan di rumah dengan makanan biasa dan seadanya. Misalnya, suami terlalu sering keluar rumah bersama teman-temannya, lalu makan di restoran atau kafe ditambah kopi yang mahal, sedangkan anak istri di rumah makan ala kadarnya. Atau contoh lainnya, suami terlalu sering keluar bersama teman-temannya dalam berbagai acara tanpa mengajak anak istrinya, tentunya dalam berbagai acara itu ada makan-makan enak.

Memang benar, suami tugasnya mencari nafkah di luar rumah. Akan tetapi, hendaknya suami tetap memperhatikan anak dan istri di rumah. Islam memerintahkan agar suami memberikan makan kepada keluarganya apa yang ia makan, sehingga makanannya sama bagusnya dengan apa yang ia makan. Apabila suami makan enak dan bergizi, tentu ia harus memberi makan pada anak-istri dengan makanan yang sama. Apabila makan di luar rumah dengan menu istimewa, bisa dibungkus dan dibawa pulang untuk keluarga di rumah, jika memang memungkinkan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Hendaknya dia memberi  makanan bagi istrinya sebagaimana yang dia makan, memberi pakaian baginya sebagaimana (pakaian) yang dipakai, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya, kecuali di dalam rumah (saja)” [HR. Abu Dawud, sahih].

Imam Malik rahimahullah menjelaskan tentang suami yang buruk, makan enak di luar dan meninggalkan (menelantarkan) keluarganya. Beliau rahimahullah berkata,

قبيحٌ بالرجل أن يذهب يأكل الطيبات، ويترك أهل

“Betapa buruk laki-laki yang pergi makan makanan enak dan menelantarkan keluarganya (di rumah)” [‘Umdatul-Qaariy, 11: 198].

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadis tersebut bahwa hendaknya suami jangan makan dengan makanan yang khusus bagi dia (biasanya yang enak-enak saja). Beliau rahimahullah berkata,

“يعني : لا تخص نفسك بالكسوة دونها ، ولا بالطعام دونها ، بل هي شريكة لك ، يجب عليك أن تنفق عليها كما تنفق على نفسك ، حتى إن كثيرا من العلماء يقول : إذا لم ينفق الرجل على زوجته وطالبت بالفسخ عند القاضي ، فللقاضي أن يفسخ النكاح ؛ لأنه قصَّر بحقها الواجب لها” انتهى.

“Janganlah Engkau khususkan pakaian dan makananmu daripada istrimu, bahkan harus sama (kualitasnya). Engkau wajib memberi nafkah sebagaimana Engkau menafkahi dirimu. Sampai-sampai para ulama mengatakan: apabila seorang suami tidak memberikan nafkah kepada istrinya, lalu istrinya meminta cerai kepada qadhi, maka qadhi boleh menceraikan, karena suami telah melalaikan hak istri yang wajib” [Syarh Riyadhus Shalihin, 3: 131].

Suami wajib memberikan nafkah dengan cara yang baik

Hendaknya suami sadar betul akan tanggung jawab ini, yaitu memberikan nafkah dan memberi makan keluarga dengan cara yang patut dan selayaknya. Artinya, ia berusaha memberi makan dan pakaian sebagaimana yang ia makan dan kenakan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

“ … Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah: 233].

Seorang suami juga hendaknya sadar bahwa apa yang ia berikan pada anak dan istrinya merupakan infak  yang besar pahalanya, lebih besar pahalanya daripada infak yang hukumnya sunnah secara umum.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبيْلِ اللهِ، وَدِيْناَرٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.

“Uang yang Engkau infakkan di jalan Allah, uang yang Engkau infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), uang yang Engkau infakkan untuk orang miskin, dan uang yang Engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah uang yang Engkau infakkan kepada keluargamu” [HR. Muslim].

Dalam redaksi lainnya, dikhususkan memberi nafkah kepada istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ

” … Dan sesungguhnya, tidaklah Engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan Engkau diberi pahala dengannya, sampai apa yang Engkau berikan ke mulut istrimu akan mendapat ganjaran” [HR. Bukhari dan Muslim].

Mengapa demikian? Karena memberi infak kepada istri hukumnya wajib, sedangkan infak sedekah itu hukumnya sunnah. Amalan wajib lebih Allah Ta’ala cintai dan lebih besar pahalanya daripada amalan sunnah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hamba-Ku yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku WAJIBKAN kepadanya …’” [HR. Bukhari no. 6502].

Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah menjelaskan hadis ini,

فكانت الفرائض أكمل فلهذا كانت أحب إلى الله تعالى وأشد تقريبا

“Amalan-amalan yang wajib itu lebih sempurna. Oleh karena itu, (amalan wajib) lebih dicintai oleh Allah Ta’ala dan lebih mendekatkan diri (taqarrub)” [Fahtul Baariy, 11: 343].

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/66562-suami-sering-makan-enak-di-luar-rumah-istri-makan-seadanya.html

Rincian Hukum Mencium Istri ketika Berpuasa

Salah satu masalah yang seringkali muncul dan ditanyakan adalah bagaimanakah hukum mencium istri ketika sedang berpuasa Ramadhan. Pada kesempatan kali ini, akan kami bahas perbedaan pendapat ulama dan juga rincian hukum berkaitan dengan hal tersebut.

Perselisihan ulama tentang hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadhan

Pendapat pertama, boleh secara mutlak. Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip pendapat ini dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq, bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang hari bulan Ramadhan.

Dalil pendapat ini di antaranya adalah hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium dan mencumbu (istri-istri beliau) padahal beliau sedang berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya dibandingkan kalian.” (HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)

Juga dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

هَشَشْتُ فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ مَضْمَضْتَ مِنْ الْمَاءِ وَأَنْتَ صَائِمٌ

“Aku merasa bahagia, lalu aku mencium (istriku), sementara aku dalam keadaan berpuasa. Lalu aku katakan, “Wahai Rasulullah, pada hari ini aku telah melakukan suatu perkara yang besar. Saya mencium (istriku) sementara saya sedang berpuasa.”

Beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu apabila Engkau berkumur-kumur menggunakan air sementara Engkau sedang berpuasa?” (HR. Abu Daud no. 2385, Ad-darimi no. 1724, An-Nasa’i no. 3084, shahih)

Pendapat kedua, haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnul Mundzir. Mereka mengatakan bahwa perbuatan tersebut akan menyebabkan rusaknya puasa, sehingga dilarang dalam rangka mencegah rusaknya puasa, lebih-lebih jika masih muda.

Pendapat ketiga, pendapat yang memberikan rincian. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, jika perbuatan tersebut dapat membangkitkan syahwat, maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tidak membangkitkan syahwat, maka tidak menjadi masalah (boleh).

Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ

“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Pendapat ketiga inilah pendapat yang lebih kuat, yaitu membedakan antara yang berpotensi membangkitkan syahwat ataukah tidak, juga apakah masih muda atau sudah tua. Karena usia tua pada umumnya syahwatnya sudah lebih banyak berkurang. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh mayoritas ulama.

At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

“Para ulama dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa. Sebagian sahabat memberikan keringanan (memperbolehkan) untuk mencium istri bagi mereka yang sudah berusia tua, dan tidak memberikan keringanan kepada mereka yang masih muda karena khawatir puasanya akan rusak (batal). Adapun mencumbu istri menurut mereka itu perkaranya lebih besar (dibandingkan mencium).” (Sunan At-Tirmidzi, 1: 387)

Tiga keadaan setelah mencium istri dan rincian hukum masing-masing

Keadaan pertama, jika mencium istri kemudian keluar air mani. Maka puasanya batal, ini berdasarkan ijma’ para ulama. Hal ini karena keluarnya mani karena bercumbu itu serupa dengan hubungan badan tanpa (maaf) memasukkan kemaluan suami ke kemaluan istri.

Keadaan kedua, jika tidak keluar cairan apa pun. Maka puasanya tetap sah, dan ini pun sesuai dengan ijma’ para ulama. Hal ini berdasarkan hadits dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dan juga sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang telah kami kutip di atas.

Keadaan ketiga, jika yang keluar adalah madzi, dan bukan mani. Untuk kondisi ketiga ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama.

Pendapat pertama, puasa tetap sah. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa hal ini dianalogikan dengan keluarnya air kencing yang tidak menghasilkan keturunan (tidak seperti air mani). Sehingga jika yang keluar adalah madzi, maka puasa tidak batal.

Pendapat kedua, puasa menjadi batal. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Mereka mengatakan bahwa kasus ini dianalogikan dengan keluarnya mani, karena sama-sama keluar karena adanya syahwat.

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu keluarnya madzi tidaklah membatalkan puasa. Hal ini karena beberapa alasan berikut ini,

Pertama, keluarnya madzi tidak tepat diqiyaskan dengan keluarnya mani (seperti yang dikemukakan oleh pendapat kedua). Karena perkara ini telah terjadi pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dalil tegas (nash) dalam masalah tersebut.

Kedua, jika kita berdalil dengan qiyas, maka qiyas tersebut tidak tepat. Karena terdapat perbedaan antara madzi dan mani, misalnya keluarnya madzi tidak menyebabkan mandi wajib, tidak menyebabkan terjadinya pembuahan, dan keluarnya madzi tidak memancar sebagaimana mani. Keluarnya madzi juga tidak dirasakan (tidak disadari) oleh manusia, berbeda dengan mani (disertai rasa nikmat).

Ketiga, syahwat yang sesungguhnya adalah ketika keluar mani. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟

“Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?” (HR. Muslim no. 1006)

Keempat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa keluarnya madzi membatalkan puasa, sehingga hukumnya kembali ke hukum asal (tidak batal).

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

 Artikel: Muslim.or.id