Kesalahan yang Kerap Dilakukan Istri, Menurut Rasulullah

Selama ini banyak yang beranggapan terjadinya keretakan keluarga tak jauh dari kehadiran orang ketiga. Namun tanpa disadari, banyak keretakan keluarga berawal dari hal kecil sepeti candaan ringan.

Hal yang sering terjadi ketika suami dan istri sedang bersenda gurau dan dalam percakapannya, baik sengaja maupun tidak menyebut sifat salah satu teman mereka. Ungkapan yang awalnya hanya berupa gurauan atau hanya untuk mengetes reaksi pasangan ini, tanpa sengaja dapat menjadi alasan dibalik kata perceraian.

Rasulullah sendiri melarang hal tersebut dalam hubungan rumah tangga. Nabi bersabda, “Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lainnya, kemudian dia menyifatkan wanita tersebut kepada suaminya seakan-akan suaminya melihat kepadanya (teman istri).” (HR. Bukhari)

Larangan ini diartikan para ulama sebagai bentuk antisipasi terjadinya keretakan rumah tangga. Hal ini juga berkaca pada kasus perceraian dimana ketika resmi bercerai, sang mantan suami langsung menikahi teman sang istri atau kerabatnya, padahal sebelumnya suami tidak pernah mengenalnya, kecuali melalui istri mereka sendiri.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah  menasihati seorang wanita, dan berkata, “Hati-hatilah kamu duduk bersama suamimu, lalu kamu menyifatkan kepadanya tentang bentuk anggota tubuh seorang wanita lain, atau sifat-sifat keindahan tubuhnya, lemah lembutnya, keindahannya, seakan-akan kamu telah menghadirkannya di hadapan suami dan dia melihat kepadanya.”

Hal yang demikian ini kadang bisa membuat suamimu tertarik kepadanya karena setan telah menguasai hatinya. Maka, terjadilah fitnah. Jiwanya tergoda untuk menceraikannya atau jika wanita yang kamu sifatkan kepadanya (suami) tersebut telah bersuami, maka dia akan berusaha merusak hubungan perkawinan wanita itu dengan suaminya sehingga dia dapat menikahinya.

 

REPUBLIKA

Senda Gurau Suami Istri Bikin Awet Muda

TIDAK selamanya amal ibadah itu berat, menguras tenaga apalagi mengorbankan nyawa, karena ternyata ada amalan yang membuat pelakunya awet muda dan tentunya berlimpah pahala.

Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam pernah bersabda, “Setiap orang yang melakukan sesuatu yang tidak ada dzikir kepada Allah di dalamnya dinilai sebagai orang yang bermain-main dan melakukan kesia-siaan, kecuali empat orang, yaitu suami istri yang bersenda gurau, seseorang yang merawat kudanya, seseorang yang berjalan di antara dua tujuan, dan seseorang yang mengajari berenang.” (HR An Nasa’i)

Hadits ini menunjukkan kedudukan senda gurau antara suami istri disetarakan dengan ketiga hal lainnya yang merupakan kegiatan mempersiapkan perang atau berjihad di jalan Allah. Bahkan senda gurau ini bernilai ibadah dan tidak termasuk suatu perbuatan yang sia-sia.

Selain itu, senda gurau juga baik untuk kesehatan, seperti mengurangi stress, meningkatkan kekebalan tubuh, melancarkan aliran darah, meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki mood, membakar kalori, dan yang paling menarik yakni menjaga kita dan suami tetap awet muda.

Jadi, masihkah enggan mencandai pasangan kita? Awet muda lagi berpahala.

 

INILAH MOZAIK

 

————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini!

Share Artikel ini ke Sahabat dan keluarga Anda lainnya
agar mereka juga mendapatkan manfaat!

Suami, Dengarkanlah Cerita Istri Anda

Wanita adalah makhluk lemah yang membutuhkan orang lain, agar ia merasa ada yang membantu dan mendukungnya. Ketika istri Anda mengajak bicara, itu artinya dia mengingatkan Anda turut menanggung beban permasalahannya.

AKU tidak punya waktu untuk mendengarkan. Aku ingin istirahat sebentar…!” Itulah ungkapan salah seorang sahabat ketika saya menyampaikan pentingnya mendengarkan sang istri dan untuk tidak tersinggung oleh omongannya.

Saya kembali bertanya kepadanya, “Saya lihat kamu sabar mendengarkan perkataanku dan perkataan puluhan orang yang engkau jumpai selama sehari yang penuh aktivitas. Jika kamu sabar mendengarkan kami, mengapa ketika istrimu datang dan berbicara denganmu, kamu justru tidak memberinya kesempatan?”

Dia menggelengkan kepala sebagai tanda tidak mengakui gugatan saya tadi. Lalu saya melanjutkan, “Siapa yang lebih lelah, lebih capek, dan penuh jerih payah, kamu ataukah Rasulullah?”

Dia menjawab, “Tentu Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Saya bertanya lagi, “Siapa yang waktunya lebih berharga, kamu atau Rasulullah?”

Dengan raut muka keheranan, dia menjawab, “Tentu Rasulullah. Mengapa kamu mengajukan pertanyaan aneh ini?”

Lalu saya mengatakan padanya, “Ada sebuah hadist Nabi yang disebutkan dalam Shahih Muslim. Dengarkanlah hadist ini dengan hatimu karena hadist ini panjang dan sangat berharga.”

‘Aisyah meriwayatkan ada 11 wanita yang berjanji dan sepakat untuk menceritakan semua hal tentang suami mereka.

Wanita pertama menceritakan, “Suamiku ibarat daging unta kerempeng yang berada di puncak gunung tanpa dataran yang dapat didaki dan tidak ada yang mau mengambilnya.”

Wanita kedua mengatakan, “Aku tidak akan membeberkan cerita tentang suamiku karena aku takut tidak dapat berhenti. Kisahnya sangat panjang. Jika aku beberkan, aku takut akan mengungkap rahasia dan aibnya.”

Wanita ketiga mengeluh, “Suamiku tinggi sekali. Namun, jika aku bicara, dia akan mentalakku, dan jika aku diam, dia membiarkanku terkatung-katung.”

Wanita keempat memuji, “Suamiku ibarat udara pegunungan di malam hari, tidak panas dan tidak dingin. Nyaman dan tidak membosankan.”

Wanita kelima juga memuji, “Suamiku ketika pulang ke rumah langsung tidur seperti macan (tidur pulas). Ketika keluar rumah, dia seperti singa (pemberani) dan tidak pernah mempertanyakan harta bendanya (percaya pada istri).”

Wanita keenam bangga, “Suamiku bila makan sangat lahap dan bila minum tanpa ada yang tersisa. Apabila tidur, dia . berselimut (sopan) dan tidak meraba-raba aib tubuhku.”

Wanita ketujuh meratap sedih, “Suamiku seorang yang garang, angker, dan pendiam. Semua kejelekan ada pada dirinya. Dia dapat melukai, memukul, atau bahkan melakukan keduanya padamu.”

Wanita kedelapan memuji, “Suamiku wangi seperti Zarnab (sejenis daun) dan sifatnya terus terang.”

Wanita kesembilan juga memuji, “Suamiku rumahnya luas dan badannya tinggi. Dia sangat dermawan dan banyak orang yang mendatangi rumahnya.”

Wanita kesepuluh berkata bangga, “Suamiku orang kaya. Tidak ada yang lebih kaya darinya. Dia mempunyai banyak unta yang sering berada di kandang dan jarang keluar. Ketika mendengar suara tongkat cambuk, unta itu pasrah: dia pasti akan disembelih sebagai jamuan.”

Wanita kesebelas membuat kiasan, “Suamiku Abu Zar. Maksudnya apa? Dia memberiku banyak anting-anting, membuatku gemuk, dan bangga. Sebelum menikah, aku hanyalah seorang penggembala domba. Namun setelah menjadi istrinya, aku menjadi pemilik kuda dan unta. Selain itu, aku juga mempunyai ladang yang sangat luas. Setelah menikah dengannya, aku dapat berbicara semauku tanpa ada yang menghina. Aku dapat tidur nyenyak dan minum dengan puas.

Aku Ummu Abu Zar. Maksudnya apa? Seorang wanita yang mempunyai banyak perabot dan rumahnya luas.

Putraku Ibnu Abu Zar. Maksudnya apa? Dia mempunyai tempat tidur dari sebilah pelepah kurma dan cukup makan dengan tulang belikat kambing.

Putriku Bintu Abu Zar. Maksudnya apa? Yaitu seorang putri yang taat kepada ayah dan ibunya, bertubuh gemuk dan membuat iri tetangga.

Budakku Jariyah Abu Zar. Maksudnya apa? Yaitu seorang budak yang tidak membocorkan rahasia pembicaraan, menjaga makanan, dan tidak sembarangan membuang sampah.

Suatu hari, Abu Zar keluar tanpa pikir panjang dan bertemu seorang wanita yang mempunyai 2 putra. Kedua anak tersebut bermain-main di bawah payudara sang ibu. Karena tergoda, akhirnya Abu Zar menceraikanku dan menikahi wanita tersebut. Setelah itu, aku menikah dengan seorang bangsawan penunggang kuda dengan pembawa tombak. Dia memberiku banyak karunia dan menghidangkan padaku setiap jenis makanan seraya berkata, ‘Makanlah wahai Ummu Zar dan berilah keluargamu.’ Seandainya seluruh pemberiannya aku kumpulkan, tidak menyamai perabotan terkecil pun milik Abu Zar.”

`Aisyah melanjutkan, “Rasulullah menanggapi, aku bagimu ibarat Abu Zar’ dengan Ummu Zar’.” Dalam riwayat lain ditambahkan, “Hanya saja aku tidak menceraikanmu.” (HR. Muslim)

Saya melihat sahabatku begitu keheranan dengan teks hadist yang sangat aneh ini. Sambil tertawa saya mengatakan, “Tenanglah, kita tidak akan membicarakan makna hadist atau membahas apa yang dimaksud oleh para wanita tersebut. Saya hanya ingin inenyampaikan padamu, bagaimana Rasulullah setia mendengarkan penuturan sang istri tanpa memotong ucapannya atau merasa bosan dan malas.

Lebih dari itu, coba lihat bagaimana Rasulullah menanggapi penuturan sang istri dengan komentar yang sangat indah, “Aku bagimu ibarat Abu Zar dengan Ummu Zar. Hanya saja aku tidak menceraikanmu. Mari kita lihat bersama bagaimana Rasulullah –dengan segala tugas dan tanggung jawab beratnya, masih menyempatkan diri duduk dan mendengarkan cerita sang istri, yang menurut kita tidak ada manfaatnya. Namun, Rasulullah adalah guru besar kita yang memahami istri membutuhkan seseorang yang bersedia mendengarkan omongan dan ceritanya.”

Saya menoleh ke arah sahabatku sambil tersenyum. Lalu saya berkata, “Pergilah dan biarkan istrimu berbicara. Dengarkan, pahamilah kebutuhan dan keinginannya. Marilah kita ucapkan shalawat kepada Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.”

Perlu diketahui, ketika wanita berbicara sebenarnya dia sedang menginginkan berapa hal, yaitu:

  1. Ketenangan dan kenyamanan. Dalam berbicara ada orang yang bersedia turut serta memikirkan masalah yang dihadapinya. Wanita adalah makhluk lemah yang membutuhkan orang lain, agar ia merasa ada yang membantu dan mendukungnya. Ketika istri Anda mengajak bicara, itu artinya dia sengaja mengingatkan diri Anda bersamanya dan turut menanggung beban permasalahannya. Karena itu, jangan sampai Anda memotong perkataannya, dan jangan Anda memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapinya. Tapi doronglah dia untuk meneruskan ucapannya.
  2. Cinta baru. Wanita meyakini dialog akan menyegarkan cinta.
  3. Berpikir dengan suara keras. Kita semua tahu, lelaki lebih suka menyendiri dengan permasalahan yang dihadapinya dan tidak suka orang lain turut campur. Lain dengan wanita yang justru suka membeberkan permasalahannya dan ingin agar orang lain turut serta menghadapi permasalahan tersebut bersamanya.
  4. Menyampaikan informasi tertentu. Wanita berpendapat dengan banyak berdialog dapat menyampaikan informasi pada pihak lain dengan cara yang lebih mengena dan detail.

 

 

Karim asy-Syadzili, dari bukunya Teruntuk Sepasang Kekasih.

HIDAYATULLAH

 

 

Suami Ganteng, Kaya, Saleh OK, Tapi Saya Gelisah…

Bahagia dalam keluarga kadang abu-abu. Dari luar terlihat cukup, tapi di dalam justru was-was. Orang boleh mengatakan: di atas langit ada langit. Tapi, di atas gunung bukan ada gunung. Melainkan, jurang.

Hidup berumah tangga memang unik. Satu tambah satu yang selalu dua dalam rumus matematika, tidak begitu di keluarga. Terutama soal cinta suami isteri.

Orang luar boleh-boleh saja menilai tentang kebahagiaan seorang isteri terhadap kelebihan suami dan keluarganya. Betapa tidak; suami ganteng, penghasilan lebih dari cukup, rumah bagus, kendaraan dua. Apalagi? Wajar kalau ada yang iri dengan tampilan luar begitu. Karena hampir semua wanita pasti ingin seperti itu.

Tapi gimana kalau di balik kebahagiaan itu ada was-was. Lho? Soalnya, bukan rahasia lagi kalau setelah ada cukup, pasti ada kurang. Artinya, kelebihan buat isteri kadang bisa menjadi kekurangan buat suami. Isteri boleh bahagia dengan kelebihan yang ada, tapi suami justru jadi merasa kurang ‘tantangan’. Tantangan?

Ada banyak cara yang mungkin dilakukan suami mencari tantangan baru. Di antaranya, membangun rumah baru, menyekolahkan anak keluar negeri, dan ada satu yang biasa dikhawatirkan seorang isteri: kawin lagi. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Bu Wiwin.

Ibu tiga anak ini memang patut bersyukur. Jarang muslimah yang bisa hidup sebahagia Bu Wiwin. Punya rumah bagus, kendaraan lebih dari satu, serta suami yang saleh dan ganteng. Kemana pun Bu Wiwin pergi, selalu bertabur hormat dan pujian. Tidak heran jika Bu Wiwin selalu senyum tiap kali ketemu orang. Sapaan dibalas senyuman. Dan senyuman dibalas dengan senyum yang lebih manis lagi. Indahnya!

Begitukah sebenarnya perasaan Bu Wiwin? Ini memang menarik. Tak seorang pun bisa menduga kalau Bu Wiwin sebenarnya gelisah. Ia tidak menihilkan nikmat Allah yang begitu banyak. Tapi, ada perasaan gundah ketika melihat kecukupan itu.

Entah kenapa Bu Wiwin punya perasaan lain kalau ada temannya bertanya soal suaminya. Dalam hal apa pun: pekerjaan, kesukaan, dan lain-lain. Terlebih ketika yang bertanya belum dan atau tidak lagi bersuami. Wah, bisa tidak tidur tiga malam.

“Memangnya Bu Wiwin kenapa?” tanya seorang teman ketika kegelisahan tak lagi bisa disembunyikan. Tak satu pun kata terucap dari Bu Wiwin kecuali untaian senyum.

Sepertinya, Bu Wiwin tidak ingin seorang pun tahu apa masalahnya. Soalnya, ia sendiri bingung mau bilang apa kalau was-wasnya terungkap. Apa yang kurang dari suami Bu Wiwin. Tampang oke, kocek tebal, akhlak jempolan. Semua syarat nyaris terpenuhi. Cuma satu yang masih tersangkut kalau dugaan Bu Wiwin tentang suaminya itu benar: ketidaksetujuannya. Dan itu justru menjatuhkan dirinya sendiri.

Duh, Bu Wiwin benar-benar bingung. Gelisah. Terlebih akhir-akhir ini. Ia menangkap ketidakwajaran suami tercintanya. Entah kenapa, Bu Wiwin merasakan kalau suaminya terlihat sering grogi. Kalau sendirian, suaminya seperti membayangkan sesuatu. Dan, kemudian senyum sendiri. Gila?

“Astaghfirullah!” ucap Bu Wiwin dalam hati. Tidak mungkin suaminya sakit jiwa. Justru, suaminyalah yang dikenal masyarakat sebagai dokter jiwa. Orang-orang yang gelisah akan menemukan mata air ketenangan saat mendengar nasihat suami Bu Wiwin. Lembut, tapi berbobot.

Bu Wiwin khawatir, bayang-bayang yang dianggapnya hitam selama ini terwujud. Ia bukan tidak setuju. Tapi benar-benar tidak kuat kalau suaminya nikah lagi. Berat!

Ia sudah mengantongi alasan kenapa muslimah lebih cepat bersedia menjadi isteri kedua daripada isteri pertama. Alasannya sederhana, tapi agak filosofis. Kalau isteri kedua, dari tidak ada menjadi ada. Tapi buat yang pertama, dari ada menjadi berkurang. Beda kan!

Dan suatu malam, kekhawatirannya kian menjadi. Ketika itu, Bu Wiwin mendapati suaminya menyebut-nyebut nama seorang wanita dalam keadaan tidur. “Mutia! Mutia! Mutia!” Saat itu juga ia terperanjat bukan main. Diingatnya nama itu kuat-kuat. Biarlah hafalannya berkurang asal nama itu tidak menghilang.

Namun, peristiwa itu tetap menjadi rahasia dan misteri. Rahasia karena tak seorang pun yang ia ceritakan. Dan misteri, karena Bu Wiwin belum pernah dengar nama itu kecuali dari mulut suaminya.

“Siapa Mutia?” Bu Wiwin jadi penasaran. Rasa-rasanya, tak ada nama akhwat di daerah tempat tinggalnya. Begitu pun di kantor tempat suaminya bekerja. Apa itu cuma mimpi? Dan penasaran Bu Wiwin kian menjadi ketika di malam yang lain, nama itu kembali disebut-sebut suami.

Bu Wiwin kian yakin kalau suaminya sedang jatuh cinta. Keyakinan itu menjadikan pikiran Bu Wiwin tak bisa konsen. Hatinya gundah. Sesekali ia menangis. Pelan tapi pasti, suara hatinya seperti berujar, “Terimalah kenyataan ini, Win!” Dan tangisnya pun kian menjadi.

Hanya ada satu cara untuk bisa memastikan: keterbukaan. Bu Wiwin sudah membayangkan apa yang akan diucapkan orang tua, kakak, adik, teman, dan tetangganya. Tapi, kenyataan tetap kenyataan. Ia harus mendengar langsung dari suaminya.

“Ayah sedang jatuh cinta?” tanya Bu Wiwin langsung ke suaminya. Walau berat, ia harus dapat kepastian. Yang ditanya tersenyum. “Apa kamu siap menerimanya?” tanya sang suami lebih terbuka. Bu Wiwin mulai menangis. “Silakan ayah ucapkan!” ucapnya sambil terisak.

“Isteriku. Kalau kamu tidak keberatan, aku akan mengangkat anak yatim Aceh sebagai anak kita. Namanya Mutia!” ucap suami Bu Wiwin tenang. “Kamu bersedia?” tanya suaminya seraya menatap sang isteri agak keheranan. (mn)

 

ERA MUSLIM

Diajak Suami Maksiat, Apa Sikap Istri?

Suami merupakan imam dalam rumah tangga. Dia memiliki tanggung jawab untuk menjadi pemim pin keluarga. Sebagai imam, suami bukan saja wajib menafkahi keluarganya de ngan makanan dan sandang.

Dia tak sekadar mengupayakan obat terbaik jika istrinya sakit. Suami pun pun harus melindungi istrinya dari perbuatan yang dilarang Allah SWT. Ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah SWT dalam surah at-Tahrim ayat 6. “Hai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.”

Meski demikian, ada kalanya perilaku negatif suami menunjukkan sebaliknya. Suami mengajak bahkan menyuruh istri untuk berbuat maksiat. Jika dibantah, tak jarang jika suami berdalil tentang statusnya sebagai pemimpin.

Rasulullah memang mengajarkan jika suami adalah pemimpin. Dalam hadis yang ber sumber dari Ibnu Umar, Nabi SAW ber sabda, “Masing-masing kamu adalah pe mim pin dan masing-masing kamu kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Penguasa adalah pe mimpin dan kelak akan dimintai pertang gung jawaban tentang kepemimpinannya dan laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga rumahnya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Meski demikian, si suami lupa jika ada kalimat bahwa dia akan dimintai pertanggungjawabannya. Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan, saat istri berbuat maksiat atas ajakan suami, pihak pertama yang akan menanggung dosa adalah suami. Dia akan dimintai pertanggungjawaban karena alih-alih melindungi istri dari neraka, dia justru menjerumuskan istri ke jurang maksiat.

Istri pun tak lepas dari pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meski bukan imam, istri bukan juga robot yang disetel atau binatang yang dicocok hi dungnya. Dia adalah manusia yang memiliki akal dan kemauan.

Dia bisa berkata “tidak”. Lebih-lebih saat diajak melakukan perbuatan maksiat. Menurut Syekh Qaradhawi, kewajiban seorang istri untuk taat kepada suami gugur saat diminta berbuat maksiat.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW per nah bersabda, “Mendengar dan mema tuhi merupakan kewajiban bagi orang Muslim, baik mengenai sesuatu yang ia sukai mau pun yang tidak ia sukai selama tidak di perintahkan kepada maksiat. Jika diperintahkan kepada maksiat, tidak wajib mendengar dan tidak wajib menaati.” (Muttafaq ‘alaih).

Terlebih, Syekh Qaradhawi menjelaskan, jika suami hendak mengajaknya ke pesta yang penuh dengan minuman keras atau khamar. Istri wajib menolaknya meski akan menyebabkan terjadinya perceraian. Sebab, dia menjelaskan, ada pertentangan antara hak suami dengan hak Allah. Hak suami ialah untuk ditaati, sementara hak Allah ialah menolak maksiat.

 

REPUBLIKA

Malaikat Melaknat Istri yang Menolak Ajakan Suami

MENOLAK suami yang mengajak berhubungan intim tentu saja adalah perbuatan yang haram dilakukan oleh seorang istri. Allah dan Rasul-Nya tidak mencintai seorang wanita berlaku seperti itu kepada suaminya.

An Abii Hurairata radhiyallaaaHu anHu qaala: qaala rasuulullaaHi shallallaaHu alaiHi wa sallama:

Idzaa daaar rajulum ra`ataHu ilaa firaasyiHi, fa`abat an tajii`a, fabaata ghadhbaana alaiHaa. LaanatHaa al-Malaa`ikatu hattaa tushbiha.

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Apabila laki-laki mengajak istrinya ke tempat tidurnya kemudian ia menolak untuk datang lalu laki-laki itu tidur semalam dalam keadaan marah kepadanya, maka ia dilaknat oleh malaikat sampai subuh.” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Tidak ada ibadah yang bisa menggantikan dosa tersebut. Bahkan memenuhi ajakan suami untuk berhubungan intim adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah.

An AbdillaaHib ni Abii Aufaa qaala: lammaa qadima muaadzun minasy syaami sajada linn nabiyyi (saw).

Faqaala: Maa Haadzaa yaa Muaadzu?

Qaala: ataitu asy-Syaama fawaafaituHum yasjudu li`asaaqifatiHim wa bathaariqatiHim fawadidtu fii nafsii an afala dzaalika,

Faqaala RasuulullaaHi shallallaaHu alaiHi wa sallama: Falaa tafaluu, fa`innii laukuntu aamiran ahadan an yasjuda lighairillaaHi la`amartul mar`ata an tasjuda lizaujiHaa, walladzii nafsu Muhammadin biyadiHi laa tu`addil mar`atu haqqa rabbiHaa hattaa tu`addiya haqqa zaujiHaa, walau sa`alaHaa nafsaHaa wa Hiya alaa qatabin lam tamnaHu.

Artinya: Dari Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata: Tatkala Muadz tiba dari Syam, maka sujudlah ia kepada nabi saw.

Lalu Nabi bertanya, “Apakah ini hai Muadz?

Muadz menjawab, “Aku telah datang ke Syam kemudian kujumpai mereka pada sujud kepada uskup-uskup dan panglima-panglima mereka, lalu aku ragu-ragu dalam hatiku untuk berbuat seperti itu terhadapmu.”

Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, karena sesungguhnya kalau seandainya aku (boleh) menyuruh seseorang sujud kepada selain Allah, tentu aku suruh perempuan sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang diri Muhammad dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya dan kalau seandainya suaminya menghendaki dirinya sedang ia di atas kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Seorang istri yang pernah (apalagi sering) menolak ajakan suami untuk berhubungan intim, hendaknya segera minta maaf kepada suaminya, meminta keridhaannya, dan tidak mengulangi perbuatannya yang membuat marah suami tersebut.

Melaksanakan ketaatan kepada Allah dalam melayani suami memang tidak selamanya menyenangkan dan mulus-mulus saja. Ada kesulitan dan kelemahan-kelemahan sang istri ketika menjalankannya. Namun, jika seorang istri meniatkannya untuk beribadah hanya kepada Allah, lalu dia memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dalam ketaatan tersebut, niscaya Allah akan memberikan kemudahan dan keberkahan dalam hubungan suami istri tersebut. Istri akan melayani suami dengan sukacita dan bersungguh-sungguh hingga membuat suami puas terhadap dirinya. Maka Surga menjadi hak bagi sang istri.

An Ummi Salamata annan nabiyya (saw) qaala:

“Ayyumamra`atin maatat wa zaujuHaa raadhin anHaa dakhalatil jannata.”

Artinya:

Dari Ummu Salamah ra. bahwa sesungguhnya Nabi saw bersabda,

“Siapa saja perempuan yang meninggal dunia sedang suaminya ridha terhadapnya maka pastilah ia masuk Surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi berkata hadits ini Hasan Gharib). [ ]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2371174/malaikat-melaknat-istri-yang-menolak-ajakan-suami#sthash.EJ2LEEb4.dpuf

Inilah Penyebab Suami Suka Bohongi Istri

SERING kita mendengar terjadinya perceraian dalam rumah tangga disebabkan oleh perilaku kebohongan. Misalnya, suami suka berbohong kepada istrinya. Namun, penyebab kebohongan itu tanpa disadari adalah karena perilaku atau mungkin karakter si istri sehingga suami cenderung membohonginya.

Bukannya ingin melakukan pembenaran atas kebohongan suami, akan tetapi sebagai istri perlu juga melakukan introspeksi ketika mendapati suaminya berbohong.

Jangan-jangan istri yang memiliki karakter ‘terlarang’, sehingga mencetuskan suami menempuh kebohongan.

Apalagi Rasulullah pernah bersabda bahwa dusta di antara suami istri yang dapat membawa perdamaian di antara keduanya adalah diperbolehkan. Nah lho…

Apa saja sih karakter istri yang menyebabkan suami berbohong?

1. Minim toleransi

“Pokoknya sepulang kerja harus langsung pulang, jam 7 udah sampai rumah, titik!”

“Aku nggak mau tau, 100% gaji Abang harus aku terima di tanggal gajian!”

“Mas nggak boleh kasih uang ke Ibu dan saudara Mas, aku nggak izinin!”

Hati-hati para istri yang minim toleransi… Karakter seperti ini sangat membuka potensi suami berbohong.

Kita perlu menyadari bahwa suami bukanlah anak kecil, bukanlah narapidana, yang perlu diperlakukan sedemikian rupa, bahkan nyaris tanpa toleransi.

Sebagai istri, perlu menyadari ranah mana yang boleh ditoleransi, ranah mana yang perlu membuka toleransi.

Untuk urusan ibadah wajib, tentu saja tak boleh ada toleransi! Suami tidak shalat, tidak puasa Ramadhan, itu harus ditegasin bahkan disadisin!

Tapi kalau urusan keseharian, misalnya jam pulang kerja, uang bulanan untuk orangtua, aturan yang minim toleransi justru akan membuat pasangan kita ‘tersiksa’, apalagi kalau karakter pasangan berbeda dengan kita.

Akibatnya, suami akan merasa memiliki hak untuk membohongi istri, karena istri telah berlaku ‘dzolim’ alias tidak adil terhadap hak suami.

2. Cemburu buta

Istri yang terlalu gampang cemburuan, sangat rentan menyebabkan suami berbohong. Bisa jadi karena suami takut istrinya marah atau cemburu nggak jelas, bisa juga karena suami capek hati menanggapi kecemburuan istri yang tidak beralasan.

Coba kendalikan rasa cemburu kita, wahai para istri! Belajar memberi kepercayaan pada suami, karena semakin kita mudah cemburu, semakin menunjukkan kita tidak percaya diri dan tidak percaya suami, serta semakin menekan suami untuk berbuat kebohongan agar istri tidak marah.

Bukan berarti kebohongan suami dalam bentuk perselingkuhan loh yaa, tapi bisa jadi suami berbohong bahkan untuk hal-hal kecil yang sebenarnya tidak berupa kesalahan atau dosa, hanya karena untuk menjaga perasaan istri.

Sayangnya, ketika istri mengetahui kebohongan suami, sekecil apapun, justru akan merasa dikhianati dan terluka. Sehingga hanya karena sifat cemburu buta ini, bisa menyebabkan keretakan dalam rumah tangga yang tentu saja tidak diharapkan.

3. Membuat suami terhimpit

Karakter istri yang memaksa suami memilih 1 di antara 2 pilihan penting, misalnya antara istri dan ibunya, tentu saja membuat suami terhimpit sehingga rentan melakukan kebohongan.

Istri perlu belajar memahami kondisi suami dan tidak melulu meminta dipentingkan oleh suami. Karena kalau kita mau jujur, sesungguhnya posisi istri berada di bawah posisi seorang ibu jika dilihat dari kacamata suami.

Meminta suami untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan penting, misalnya keluarga atau pekerjaan, sama saja mengarahkan rumah tangga pada keretakan. Dan rasanya justru bijak jika suami akhirnya memutuskan berbohong untuk dapat memenuhi kebutuhan semua pihak.

Demikianlah beberapa karakter istri yang perlu dibenahi, karena secara langsung maupun tidak langsung telah mencetuskan suami untuk berbohong. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2367968/inilah-penyebab-suami-suka-bohongi-istri#sthash.TIgnh6HV.dpuf

Posisi Tidur Suami Istri sesuai Sunnah Nabi

Kita tentu paham bahwa posisi tidur yang sesuai sunnah Rasulullah adalah miring ke kanan. Itu jika kita tidur sendiri. Bagaimana jika suami tidur bersama istrinya, bagaimana posisi tidur yang sesuai sunnah Nabi?

“Ada yang tahu bagaimana posisi tidur suami istri yang sesuai sunnah Nabi?” tanya Ustazah Ida Nur Laila, Konsultan dan Trainer di Jogja Family Center (JFC), kepada peserta Talk Show Meraih Surga Bersama Keluarga, Ahad (12/4/2015).

Seorang peserta angkat tangan. Ia memberikan jawaban, tidurnya suami istri yang sesuai sunnah Nabi itu berwudhu dulu, berdoa dulu.

“Kalau posisinya bagaimana?” tanya istri Ustadz Cahyadi Takariawan itu memperjelas.

E… miring ke kanan”

“Berpelukan,” jawab peserta yang lain.

“Kalau kita tidur sendiri, maka sunnahnya adalah miring ke kanan,” terang penulis buku Seri Materi Keakhwatan tersebut.

Sebagaimana diketahui, Rasulullah menerangkan sunnah tidur ini dalam sabdanya:

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَأْ وُضُوءَكَ للصَلاةِ، ثُمَّ اضْطَّجِعْ على شِقِّكَ الأَيْمَنِ

“Jika engkau hendak menuju pembaringanmu, maka berwudhulah seperti engkau berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlahlah di rusukmu sebelah kanan…” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

“Posisi tidur suami istri yang sesuai sunnah Nabi, suami istri tetap miring ke kanan. Sang istri ada di depan, sang suami ada di belakang sambil memeluk istrinya. Jadi keduanya dapat sunnah posisi tidur miring ke kanan,” terangnya.

“Nanti diprakekkan ya. Ingat, ini hanya khusus untuk suami istri,” lanjutnya diiringi tawa peserta.

Acara Talk Show ‘Meraih Surga Bersama Keluarga’ diselenggarakan oleh Komite Sekolah Al Ummah di aula Ainul Yaqin Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik. Pada acara yang diikuti 250 peserta itu, dijelaskan bagaimana kiat-kiat membangun keluarga harmonis sehingga bisa menjadi Wonderful Family yang berlimpah kebaikan di dunia dan di akhirat nanti dapat bersama-sama masuk surga.

 

[Ibnu K/bersamadakwah]

Istri Harus Taat Suami atau Orang Tua?

Suatu saat, dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik RA dikisahkan —sebagian ahli hadis menyebut sanadnya lemah—, tatkala sahabat bepergian untuk berjihad, ia meminta istrinya agar tidak keluar rumah sampai ia pulang dari misi suci itu. Di saat bersamaan, ayahanda istri sedang sakit. Lantaran telah berjanji taat kepada titah suami, istri tidak berani menjenguk ayahnya.

Merasa memiliki beban moral kepada orang tua, ia pun mengutus seseorang untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Beliau menjawab, “Taatilah suami kamu.” Sampai sang ayah menemui ajalnya dan dimakamkan, ia juga belum berani berkunjung. Untuk kali kedua, ia menanyakan perihal kondisinya itu kepada Nabi SAW. Jawaban yang sama ia peroleh dari Rasulullah, “Taatilah suami kamu.” Selang berapa lama, Rasulullah mengutus utusan kepada sang istri tersebut agar memberitahukan Allah telah mengampuni dosa ayahnya berkat ketaatannya pada suami.

Kisah yang dinukil oleh at-Thabrani dan divonis lemah itu, setidaknya menggambarkan tentang bagaimana seorang istri bersikap. Manakah hak yang lebih didahulukan antara hak orang tua dan hak suami, tatkala perempuan sudah menikah. Bagi pasangan suami istri, ‘dialektika’ kedua hak itu kerap memicu kebingungan dan dilema.

Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al Jami’ fi Fiqh An Nisaa’ mengatakan, seorang perempuan sebagaimana laki-laki, mempunyai kewajiban sama berbakti terhadap orang tua. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA menguatkan hal itu. Penghormatan terhadap ibu dan ayah sangat ditekankan oleh Rasulullah. Mengomentari hadis itu, Imam Nawawi mengatakan hadis yang disepakati kesahihannya itu memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat. Dan, yang paling berhak mendapatkannya adalah ibu, lalu bapak. Kemudian disusul kerabat lainnya.

Namun, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam kumpulan fatwanya yang terangkum di Fatawa Mu’ashirah bahwa memang benar, taat kepada orang tua bagi seorang perempuan hukumnya wajib. Tetapi, kewajiban tersebut dibatasi selama yang bersangkutan belum menikah. Bila sudah berkeluarga, seorang istri diharuskan lebih mengutamakan taat kepada suami. Selama ketaatan itu masih berada di koridor syariat dan tak melanggar perintah agama.

Oleh karena itu, kata dia, kedua orang tua tidak diperkenankan mengintervensi kehidupan rumah tangga putrinya. Termasuk memberikan perintah apa pun kepadanya. Bila hal itu terjadi, merupakan kesalahan besar. Pascamenikah maka saat itu juga, anaknya telah memasuki babak baru, bukan lagi di bawah tanggungan orang tua, melain kan menjadi tanggung jawab suami. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan se ba hagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (QS an-Nisaa [4]: 34).

Meski demikian, kewajiban menaati suami bukan berarti harus memutus tali silaturahim kepada orang tua atau mendurhakai mereka. Seorang suami dituntut mampu menjaga hubungan baik antara istri dan keluarganya. Ikhtiar itu kini —dengan kemajuan teknologi— bisa diupayakan sangat mudah. Menyambung komunikasi dan hubungan istri dan keluarga bisa lewat telepon, misalnya.

Al-Qaradhawi menambahkan, di antara hikmah di balik kemandirian sebuah rumah tangga ialah meneruskan estafet garis keturunan. Artinya, keluarga dibentuk sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa ada intervensi pihak luar. Bila selalu ada campur tangan, laju keluarga itu akan tersendat. Sekaligus menghubungkan dua keluarga besar dari ikatan pernikahan. Allah SWT berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa.” (QS al-Furqan [25]: 54).

Ia menyebutkan, beberapa hadis lain yang menguatkan tentang pentingnya mendahulukan ketaatan istri kepada suami dibandingkan orang tua. Di antara hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwa yatkan oleh al-Hakim dan ditashih oleh al-Bazzar. Konon, Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, hak siapakah yang harus diutamakan oleh istri? Rasulullah menjawab, “(Hak) Suaminya.” Lalu, Aisyah kembali bertanya, sedangkan bagi suami hak siapakah yang lebih utama? Beliau menjawab, “(Hak) Ibunya.”

 

sumber: Republika Online

 

———————————————————————————————
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com
atau hubungi handphone/WA 08119303297

Tegur Suami jangan Sembarangan, Ada Seninya

TEGURAN adalah pisau tajam yang harus diwaspadai dan ekstra hati-hati dalam mempergunakannya. Untuk itu, seni dan kelihaian dibutuhkan dalam menegur seseorang.

Teguran terkadang berbuah manis, dapat mendekatkan hati, menjernihkan jiwa dan merogoh mutiara perasaan jika orang yang memainkannya adalah penyelam yang mahir.

Begitulah hasil teguran seorang wanita ideal karena dia adalah penyelam ulung. Dia lebih menyelami perasaan dan hati sang suami sehingga tegurannya dapat memperbesar obor cinta dan tidak memadamkannya.

Menangkap kealpaan dan keluputan dan bukan mencari-cari kesalahan, tidak membeber aib dan membesar-besarkannya, serta tidak memburu kesalahan-kesalahan secara membabi buta.

Akan tetapi, dia menegur dengan jiwa besar, kematangan berpikir, dan dewasa. Seorang suami lebih menghargai seorang istri yang mudah memaafkan, melupakan kesalahan, mencarikan alasan suaminya melakukan kesalahan, dan menyimpan rahasia dan keadaannya.

Ketika seorang istri merasakan kemurahan suami dalam memaafkan kesalahannya, maka sifat bijaknya menunjukkan untuk memaafkannya, tidak tergesa-gesa menyalahkan, bahkan melupakan kesalahan itu, menceburkan dirinya dalam kebisuan dan mengunci mulut meskipun kesalahan demi kesalahan suami terus terjadi.

Ketika kesalahan sudah melewati batas toleransi, bak nyawa sudah berada di tenggorokan dan tusukan pedang telah menembus tulang, maka dia mulai melakukan teguran dan tegurannya adalah teguran sayang kepada suami tercinta.

Ia tidak marah seperti kemarahan tuan kepada budaknya atau bentakan seorang ayah yang keras kepada anaknya yang gagal dalam ujian akhir.

Dalam menegur, wanita ideal menggunakan seni dan kelihaian sebagai berikut:

1. Hendaknya teguran dibungkus dengan pertanyaan yang bisa dimengerti oleh orang pintar tanpa melukai perasaan suami.

2. Teguran dengan perkataan rumit yang menjadikan orang bodoh yang ringan tangan, tidak merasa bersalah, dan selalu bertanya-tanya. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya dia menegurnya dengan tegas, jelas, dan pendek.

3. Menjauhi mencela pribadinya, tetapi hanya menegur perilaku salahnya saja.

Termasuk hal yang bijak adalah menjauhi kata-kata yang langsung mencela kepribadian suami, seperti:

“Kamu tidak menghargaiku sama sekali”, “kamu salah”, “kamu egois”, “kamu dingin”, “kamu suami yang tidak berperasaan”, “tidak punya nurani”, “kamu tidak memiliki belas kasihan sama sekali”, “kamu selalu saja terlambat, tidak tepat waktu dalam meluluskan permintaan.”[Al Ustadz Abu Syafiq]

Sumber: Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Dawud, “Kado Pernikahan”

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2358949/tegur-suami-jangan-sembarangan-ada-seninya#sthash.LKhgzaXr.dpuf