Ambil Dulu, Bayar Belakangan

Apa hukumnya jual beli di sebuah toko sembako, dimana konsumen dibebaskan mengambil sembako apapun yang dia inginkan, kemudian dilaporkan setiap pengambilan, lalu tagihannya disampaikan di akhir bulan, sesuai total barang yang diambil. Apakah ini boleh?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Model jual beli dengan cara konsumen mengambil barang dari penjual, lalu di akhir periode dibayar total seluruh harganya, disebut dengan jual beli istijrar.

Istilah istijrar diambil dari kata jarra – yajurru [جر يجر] yang artinya menyeret atau menarik. Karena konsumen mengambil barang dari penjual sedikit demi sedikit, kemudian ditotal di akhir waktu yang disepakati. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/516).

Istilah jual beli istijrar banyak digunakan dalam madzhab Hanafi dan Syafiiyah (Nihayatul Muhtaj, ar-Ramli, 3/375). Sementara dalam madzhab Maliki, jual beli ini diistilahkan dengan ‘bai’ ahli Madinah’. (al-Bayan wa at-Tahshil, 7/208).

Hukum Jual Beli Istijrar

Ulama sepakat, jual beli istijrar diperbolehkan jika harganya pasti atau telah diketahui. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/183; Mughni al-Muhtaj, as-Syarbini, 2/326)

Misalnya, toko A menyediakan aneka sembako. Di masing-masing produk yang dijual, ada harga yang tertera. Setiap konsumen yang mengambil barang, dia sudah tahu berapa harga barang yang dia ambil.

Ulama berbeda pendapat jika harganya tidak diketahui oleh pembeli ketika mengambil barang. Pembeli baru tahu harga setelah ditotal di akhir, ketika hendak melakukan pembayaran.

Pendapat pertama, jual belinya dilarang

Ini merupakan pendapat jamahir ulama (hampir semua ulama) dari 4 madzhab. Bahkan an-Nawawi menyatakan bahwa para ulama sepakat jual beli tanpa diketahui harganya adalah batal.

Alasannya,

Bahwa ketika akad dilakukan, harga barang harus jelas. Jika harga barang tidak diketahui kedua pihak, maka termasuk jual beli gharar. dan islam melarang jual beli gharar.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan lemparan kerikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)

An-Nawawi mengatakan,

اما إذا أخذ منه شيئا ولم يعطه شيئا ولم يتلفظا ببيع بل نويا أخذه بثمنه المعتاد كما يفعله كثير من الناس؛ فهذا باطل بلا خلاف لانه ليس ببيع لفظي ولا معاطاة ولا يعد بيعا

Adapun praktek, dimana konsumen mengambil barang, dan tidak membayar apapun, juga tidak mengucapkan kalimat jual beli, namun sebatas niat mengambil barang berdasarkan harga standar umum sebagaimana yang dilakukan umumnya masyarakat, maka ini jual beli yang batil dengan sepakat ulama. Karena praktek ini tidak bisa disebut jual beli baik dengan ijab qabul maupun tanpa ijab qabul (ba’i mu’athah), dan tidak disebut jual beli.

Kemudian beliau melanjutkan,

ولا نغتر بكثرة من يفعله فان كثيرا من الناس يأخذ الحوائج من البياع مرة بعد مرة من غير مبايعة ولا معاطاة ثم بعد مدة يحاسبه ويعطيه العوض وهذا باطل بلا خلاف

Dan kita tidak tertipu dengan praktek yang dilakukan umumnya masyarakat, dimana mereka mengambil barang yang mereka butuhkan dari penjual sedikit demi sedikit, tanpa ada pernyataan transaksi. Kemudian setelah berlalu sekian waktu, dihitung dan dibayar uangnya. Dan transaksi ini batil dengan sepakat ulama. (al-Majmu’, 9/164)

Pendapat kedua, jual belinya sah dan diperbolehkan selama ada harga pasar (as-Si’rul Mitsl) yang berlaku umum.

Ini adalah salah satu pendapat ulama syafiiyah. Salah satu riwayat dalam madzhab Hambali, dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim.

Salah satu pendapat dalam madzhab as-Syafii, dinyatakan oleh An-Nawawi,

وحكى الرافعى وجها ثالثا أنه يصح مطلقا للتمكن من معرفته كما لو قال بعت هذه الصبرة كل صاع بدرهم يصح البيع وإن كانت جملة الثمن في الحال مجهولة وهذا ضعيف شاذ

Ar-Rafi’i menyebutkan pendapat ketiga, sah secara mutlak, karena memungkinkan untuk diketahui total harganya. Seperti seorang penjual mengatakan, ‘Saya jual makanan ini, harganya 1 dirham/sha’. Jual beli semacam ini sah, meskipun berapa total harga dari semua makanan yang diambil konsumen tidak jelas.

Kemudian an-Nawawi berkomentar,

Pendapat ini lemah, aneh. (al-Majmu’, 9/333)

Syaikhul Islam menjelaskan transaksi yang total harganya diketahui belakangan,

كما يشترون الخبز والأدم والفاكهة واللحم وغير ذلك من الخباز واللحام والفومي وغير ذلك وقد رضوا أن يعطيهم ثمن المثل وهو السعر الذي يبيع به للناس وهو ما ساغ به مثل تلك السلعة في ذلك المكان والزمان وهذا البيع صحيح نص عليه أحمد وإن كان في مذهبه نزاع فيه

Seperti masyarakat membeli roti, lauk, buah, daging, atau komoditas lainnya dari tukang roti, penjual daging, atau penjual buah, atau yang lainnya, dan mereka ridha untuk membayar harga pasar, yaitu harga yang umum berlaku di masyarakat, dan itu sesuai standar normal yang berlaku untuk barang tersebut di waktu tersebut dan di tempat tersebut. Jual beli seperti ini sah, sebagaimana keterangan Imam Ahmad, meskipun dalam madzhab beliau ada perbedaan pendapat. (Majmu’ Fatawa, 29/345).

Dan diantara alasan yang sering disampaikan oleh Syaikhul Islam adalah qiyas dengan mahar akad nikah. Ketika terjadi akad nikah, sementara suami belum menyebutkan mahar, maka istri berhak mendapatkan mahar mitsl. Dan ulama menegaskan bahwa pernikahan semacam ini sah. Sehingga, jika dalam pernikahan yang nilai maharnya dikembalikan kepada mahar umumnya yang berlaku (mahar mitsl) terhitung sah, maka dalam jual beli dengan harga yang dikembalikan kepada harga umum (tsaman mitsl) juga sah. (Nadzariyat al-Aqd, 145 – 155)

Dan insyaaAllah pendapat kedua ini yang lebih mendekati.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/34689-ambil-dulu-bayar-belakangan.html

Menjual Tanah Wakaf

Bolehkah menjual tanah wakaf yang tidak memungkinkan dibangun masjid apalagi pesantren?  Mohon solusinya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Wakaf secara bahasa artinya menahan [الحبس]. Sementara secara istilah, wakaf didefinisikan dengan,

حبس الاصل وتسبيل الثمرة. أي حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله

Upaya mempertahankan fisik harta dan menjadikan hasilnya fi sabilillah.

Artinya, menjaga keutuhan harta yang diwakafkan dan mengambil manfaatnya untuk di jalan Allah. (Fiqhus Sunah, Sayid Sabiq, 3/515)

Pada prinsipnya, wakaf tidak boleh dijual. Ada banyak hadis yang menjelaskan hal ini. diantaranya,

Pertama, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

Bahwa Umar bin Khatab memiliki sebidang tanah di Khoibar. Beliaupun menawarkan tanah ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ ، فَكَيْفَ تَأْمُرُنِى بِهِ

“Saya mendapat sebidang tanah, dimana tidak ada harta yang lebih berharga bagiku dari pada tanah itu. Apa yang anda sarankan untukku terhadap tanah itu?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran,

إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا ، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا

“Jika mau, kamu bisa mempertahankan tanahnya dan kamu bersedekah dengan hasilnya.”

Ibnu Umar mengatakan,

فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، فِى الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ ، وَلاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Kemudian Umar mensedekahkannya kepada fakir miskin, kerabat, budak, fi sabilillah, tamu, dan Ibnu Sabil, dengan ketentuan, tanah itu tidak boleh dijual, atau dihibahkan, atau diwariskan. Dan dibolehkan bagi pengurusnya untuk makan hasilnya sewajarnya, atau diberikan kepada temannya, serta tidak boleh dikomersialkan. (HR. Bukhari 2772).

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi saran kepada Umar untuk wakaf. Beliau mengatakan,

تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ

Sedekahkan tanah itu, namun tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan. Akan tetapi dimanfaatkan hasilnya. (HR. Bukhari 2764)

Dan tidak dijumpai adanya perbedaan ulama bahwa barang wakaf tidak boleh dijual. Selain riwayat  dari Abu Hanifah, meskipun tidak disetujui murid-muridnya selain Zufar bin Hudzail. At-Thahawi menceritakan bahwa Abu Yusuf – murid Abu Hanifah – membolehkan menjual wakaf. Kemudian beliau mendengar hadis Umar di atas. Lalu beliau menyatakan,

هذا لا يسع أحدا خلافه ولو بلغ أبا حنيفة لقال به فرجع عن بيع الوقف حتى صار كأنه لا خلاف فيه بين أحد

“Tidak boleh ada seorangpun yang tidak mengikuti hadis ini. Andai Abu Hanifah mendengar hadis ini, niscaya beliau akan berpendapat sesuai hadis ini, sehingga menarik kembali pendapat bolehnya menjual wakaf. Jadilah seolah tidak ada perbedaan antar siapapun.” (Fathul Bari, 5/403)

Bagaimana jika barang itu tidak memungkinkan lagi untuk dimanfaatkan?

Bagian inilah yang menjadi perhatian besar ulama dalam masalah wakaf. Ketika harta wakaf, tidak mungkin lagi dimanfaatkan atau terlalu sulit untuk memanfaatkannya, apakah boleh diuangkan kemudian dialihkan untuk mendukung objek wakaf yang lain?

Misalnya ada wakaf tanah sempit di sebuah pelosok desa, yang sangat sulit untuk diambil manfaatnya. Untuk bisa diambil manfaatnya, terlalu besar biaya perawatannya, untuk dijadikan masjid atau pesantren, tidak memungkinkan karena terlalu sempit. Untuk dibuat mushola kecil, bisa sia-sia, karena masjid di dekatnya yang lebih besar ternyata juga sepi.

Ada penjelasan yang cukup rinci, disebutkan Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa, terdapat beberapa keadaan objek wakaf yang tidak bisa dimanfaatkan,

[1] Objek wakaf yang sama sekali tidak bisa diselamatkan.

Seperti wakaf binatang lalu binatang itu mati.

[2] Objek wakaf sudah rusak namun masih tersisa beberapa bagian yang memungkinkan untuk diuangkan. Seperti pohon yang tidak berbuah, atau masjid yang bangunannya sudah roboh. Benda semacam ini dijual untuk dibelikan objek yang semisal.

[3] Barang yang terancam rusak dan jika tidak  dijual akan hilang nilainya. Barang semacam ini boleh dijual untuk dimanfaatkan hasilnya. Misal, tikar masjid yang tidak dipakai, dan mulai rusak. Jika dibiarkan saja akan semakin rusak dan tidak ada nilai manfaat dan nilai jual-nya.

[4] Objek wakaf tidak berfungsi di masjid A, namun bisa berfungsi di masjid B. Maka objek wakaf ini dipindah agar bisa dimanfaatkan.

[5] Jika masjidnya tidak cukup menampung jamaahnya, atau tidak layak untuk dimanfaatkan, maka boleh dijual dan hasilya digunakan untuk membangun masjid yang lain.

(Majmu’ Fatawa, 31/226)

Karena tujuan besar dari wakaf adalah tasbil al-Manfaah, bagaimana menggunakan manfaat benda untuk di jalan Allah.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/28735-menjual-tanah-wakaf.html

Datang Setelah Khatib Naik Mimbar, Tidak Dapat Pahala Jumatan?

Benarkah orang yang datang setelah khatib naik mimbar, tidak dapat pahala jumatan?

Jawab:

Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إذا كان يومُ الجمعةِ كان على كلِّ بابٍ من أبوابِ المسجدِ الملائكة يكتبون الأولَ فالأولَ، فإذا جلس الإمامُ طوَوُا الصحفَ وجاؤوا يستمعون الذكرَ.

“Apabila hari Jumat tiba maka akan ada para malaikat di setiap pintu-pintu masjid. Mereka akan mencatat setiap orang yang datang dari yang pertama, lalu berikutnya dan berikutnya. Hingga ketika Imam telah naik di mimbarnya para malaikat pun menutup catatan-catatannya, lalu mereka ikut mendengarkan khutbah.” (HR. Bukhari 3211)

Hadis ini memberikan motivasi untuk hadir lebih awal ketika jumatan. Semakin awal, semakin bagus. Dan diupayakan agar jangan sampai telat, datang setelah imam naik mimbar. Karena anda tidak mendapatkan catatan khusus dari malaikat.

Lalu bagaimana jika ada makmum yang telat, dia datang setelah khatib naik mimbar, apakah tetap mendapatkan pahala jumatan?

Ketika jumatan, ada 3 malaikat yang mencatat amal manusia,

[1] Dua malaikat pencatat amal baik dan buruk, yang selalu menyertai manusia

[2] Malaikat yang berjaga di pintu masjid, mencatat setiap mereka yang datang sebelum khatib naik mimbar, sesuai urutannya.

Ketika orang datang telat, khatib sudah naik mimbar, maka orang ini tidak mendapatkan catatan jenis yang kedua, yaitu catatan dari malaikat yang berjaga di depan pintu masjid. Namun setiap amalnya tetap dicatat malaikat pencatat amal..

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan hadis Abu Hurairah di atas,

المراد بطي الصحف طي صحف الفضائل المتعلقة بالمبادرة إلى الجمعة دون غيرها من سماع الخطبة وإدراك الصلاة والذكر والدعاء والخشوع ونحو ذلك فإنه يكتبه الحافظان قطعاً

Yang dimaksud malaikat menutup catatan ketika khatib naik mimbar adalah catatan berkaitan dengan keutamaan bersegera menuju jumatan, dan bukan catatan amal lainnya. Sementara amal mendengarkan khutbah, melaksanakan shalat, dzikir, berdoa, khusyu ketika ibadah atau semacamnya, semuanya dicatat oleh dua malaikat pencatat amal. (Fathul Bari, 2/367)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/32325-datang-setelah-khatib-naik-mimbar-tidak-dapat-pahala-jumatan.html

Tafsir Surat Adh-Dhuha #01: Sebab Turun Ayat

Saat ini kami mulai tafsir surah Adh-Dhuha, surat nomor urut 93 dalam mushaf Al-Quran. Arti Adh-Dhuha sendiri adalah waktu siang secara keseluruhan. Ada juga yang menyatakan Adh-Dhuha adalah awal waktu siang ketika matahari mulai meninggi.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3) وَلَلْآَخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5) أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآَوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)

Demi waktu matahari sepenggalahan naik,

dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)

Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu

Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)

Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.

Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh-Dhuha: 1-11)

Surah Adh-Dhuha terdiri dari 11 ayat dan termasuk surah Makkiyah tanpa ada beda pendapat di kalangan para ulama. Demikian disebutkan dalam Fath Al-Qadir karya Imam Asy-Syaukani, 1:610.

Asbabun Nuzul

Ketika wahyu itu terputus beberapa waktu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian malaikat datang, lantas diturunkanlah wahyu surah Adh-Dhuha. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir karena gembira dan senang. Namun riwayat tentang ini tidak bisa dihukumi sahih maupun daif. Demikian dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:589 dan Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, 1:610. Juga lihat catatan kaki dari Prof. Dr. Hikmat bin Basyir bin Yasin, hadits ini daif menurut para ulama pengkritik hadits.

Ada riwayat dari Bukhari dan Muslim, dari Jundub Al-Bajali, ia berkata,

يَقُولُ اشْتَكَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَةً أَوْ لَيْلَتَيْنِ فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ يَا مُحَمَّدُ مَا أَرَى شَيْطَانَكَ إِلاَّ قَدْ تَرَكَكَ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَالضُّحَى * وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى * مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadu dan tidak keluar selama satu atau dua malam. Lalu ada seorang wanita yang datang dan berkata, ‘Wahai Muhammad, setanmu benar-benar telah meninggalkanmu. Lantas turunlah firman Allah dalam surah Adh-Dhuha.” (HR. Bukhari, no. 4983; Muslim, no. 1797; dan Ahmad, 4:312). Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan, “Tidak keluar selama dua atau tiga malam.” (HR. Muslim, no. 1797)

Dalam riwayat Muslim, Jundub berkata,

أَبْطَأَ جِبْرِيلُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ قَدْ وُدِّعَ مُحَمَّدٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى)

“Jibril lamban bertemu lagi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas orang-orang musyrik mengatakan, ‘Muhammad telah ditinggalkan.’ Lantas turunlah surah Adh-Dhuha, ‘Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu’.” (HR. Muslim, no. 1797)

Ada yang menyebutkan bahwa wanita yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah istri Abu Lahab yaitu Ummu Jamil Al-Auraa’ binti Harb bin Umayyah bin Abdisyams bin ‘Abdi Manaf yang juga merupakan saudara kandung dari Abu Sufyan bin Harb. Dan disebutkan bahwa jari-jari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terluka (karena dilempar) sehingga beliau tidak bisa keluar (selama dua atau tiga hari). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:590.

Penjelasan Ayat

Yang dimaksud dengan Adh-Dhuha adalah siang secara keseluruhan. Karena kalimat selanjutnya adalah “wal-laili idza sajaa” artinya malam ketika gelap, berarti lawan waktu Dhuha yang disebut pertama. Demikian alasan dari Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, 1:611.

Makna Adh-Dhuha sendiri ada empat pendapat yaitu terangnya siang, depannya siang, awal siang ketika matahari mulai meninggi, dan ada pula yang berpendapat seluruh waktu siang disebut Adh-Dhuha. Lihat Zaad Al-Masiir, 9:159.

Sedangkan ayat,

وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى

Dan demi malam ketika sajaa. Maksud “سَجَى” sajaa di sini adalah “سَكَنَ” sakana, yaitu tenang.

‘Atha’ mengatakan bahwa yang dimaksud “إِذَا سَجَى” adalah jika (siang) telah tertutupi gelap. Juga dikatakan yang hampir sama oleh Ibnul ‘Arabi, Al-Ashma’i, Al-Hasan Al-Bashri. Sa’id bin Jubair menyatakan “إِذَا سَجَى” ketika malam telah tiba. Mujahid menyatakan bahwa “إِذَا سَجَى” maksudnya adalah ketika malam telah istawa (telah lurus). Namun pendapat pertama yang menyatakan “إِذَا سَجَى” artinya “ketika malam itu tenang”, yaitu datang gelap dan tidak bertambah gelapnya lagi setelah itu, itu yang lebih dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir, 1:611.

Adapun “سَجَى” bermakna “سَكَنَ” sakana ada dua makna: (1) ketika malam tenang, (2) ketika ada makhluk yang ada pada waktu malam.

Kalimat “وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2)” adalah kalimat sumpah (al-qasam). Sedangkan jawab al-qasam (jawab sumpah) ada pada kalimat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى”.

Kalimat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ”, Rabbmu tidak meninggalkanmu, maksudnya adalah Allah tidak meninggalkan Nabi Muhammad sebagaimana seseorang yang berpisah meninggalkan barang. Kata “قَلَى” artinya “أبغض” (membenci), sehingga maksud ayat “مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى” adalah Allah tidak meninggalkan membencimu.

Bersambung insya Allah.

Sumber https://rumaysho.com/20754-tafsir-surat-adh-dhuha-01-sebab-turun-ayat.html

Buah Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

BARANGSIAPA yang menuntut ilmu dengan ikhlas, maka ia akan memberikan manfaat kepada hamba-hamba Allah melalui ilmunya tersebut. Ilmunya pun dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Kutipan di atas adalah perkataan Ibrahim bin Adham. Dengan menghadirkan ikhlas dalam menuntut ilmu, maka pemahaman atas ilmu akan lebih mudah diterima. Begitu juga semangat dalam hal mengamalkan ilmu tersebut akan dimudahkan oleh Allah. Maka ini adalah manfaat yang akan dipetik olehnya lantaran keikhlasan dalam menuntut ilmu.

Manfaat ilmu juga hanya dapat dirasakan oleh orang lain di sekitar, apabila seseorang benar dalam niatnya ketika menuntut ilmu. Kefasihan dan kelancaran dalam mendakwahkan ilmu tersebut akan menjadi ganjaran Allah di dunia. Sehingga manusia pun akan menerima manfaat dari perbendaharaan ilmunya.

Begitulah rangkaiannya. Niat ikhlas seseorang dalam menuntut ilmu akan membuahkan ilmu yang bermanfaat baginya. Ia pun bisa beribadah dan beramal shalih sesuai dengan ilmu yang ia telah peroleh. Dan ini sebuah anugerah Allah yang sangat besar. Sebab dengan tegaknya ilmu dalam ibadah dan amal shalihnya, maka ia tidak tergelincir ke dalam bidah.

Keikhlasan ketika menuntut ilmu pun masih Allah ganjar dengan bermanfaatnya ilmu untuk orang lain. Allah mudahkan ia dalam berdakwah, menyeru keluarga dan tetangganya untuk bertaqwa kepada Allah. Sehingga ada sebagian yang ia seru mendapatkan hidayah Allah melalui dirinya. Ini pun anugerah Allahyang sangat besar.

Allahu Alam.

Oleh : Ustadz Afifuddin Rohaly, MM

INILAH MOZAIK

Taat kepada Penguasa karena Pamrih Duniawi

Kewajiban taat kepada pemimpin atau penguasa yang sah merupakan di antara prinsip aqidah dan manhaj ahlus sunnah. Sehingga taat kepada penguasa adalah bagian dari agama. Karena termasuk bagian dari agama, maka seharusnya lepas atau bersih dari pamrih-pamrih keuntungan duniawi. Sebagaimana kita melaksanakan ajaran-ajaran agama yang lainnya, misalnya shalat dan berpuasa, dengan mengharap pahala dari Allah Ta’ala dan bukan karena mengharap keuntungan duniawi sedikit pun.

Sebagian orang hanya mau taat kepada penguasa jika dalam ketaatan tersebut ada keuntungan duniawi yang dia dapatkan. Yaitu berupa kemakmuran, harga-harga kebutuhan pokok murah, pendidikan dan kesehatan gratis, dan keuntungan duniawi yang lainnya. Namun sebaliknya, jika tidak ada keuntungan duniawi yang bisa diraih, dia pun melepaskan diri dari baiat atau ketaatan terhadap penguasa yang sah. Mulailah dia menyesali ketaatannya, dilanjutkan dengan mencela, mencaci maki, dan melaknat pemimpinnya.

Terdapat hukuman khusus dari Allah Ta’ala kepada orang-orang yang memiliki sikap dan perbuatan semacam ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Ada tiga jenis orang yang Allah Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan salah satunya, yaitu:

وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا، فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ

“ … Seorang yang membaiat imam (penguasa, pemimpin atau pemerintah) dan dia tidak membaiatnya kecuali karena kepentingan-kepentingan duniawi. Kalau dia diberikan dunia, dia ridha (senang) kepadanya. Dan bila tidak, dia marah-marah … “ (HR. Bukhari no. 2358 dan Muslim no. 108)

Perhatikanlah hadits ini. Allah Ta’ala mengancam siapa saja yang hanya mau taat kepada pemerintah (yaitu penguasa muslim yang sah) jika ketaatan tersebut membawa kepada keuntungan duniawi. Namun jika dia taat, namun hasilnya adalah harga-harga naik, ekonomi makin sulit, dia pun menyesali ketaataannya kepada sang penguasa.

Sekali lagi kami tegaskan, hadits ini menunjukkan bahwa ketaatan kita kepada penguasa muslim yang sah adalah karena ibadah, melaksanakan perintah Allah Ta’ala, bukan karena pamrih-pamrih berupa keuntungan duniawi.

Sehingga hadits ini adalah kritik dan bantahan atas sikap dan tindakan sebagian orang dan ormas yang menginginkan tegaknya Islam dalam bentuk yang formal (khilafah), namun memprovokasi kaum muslimin dengan iming-iming janji duniawi. Hal ini bisa dilihat dari sikap mereka yang menggembar-gemborkan bahwa solusi dari semua urusan duniawi adalah khilafah. Pendidikan dan kesehatan mahal, solusinya khilafah. BBM dan listrik mahal, solusinya adalah khilafah. Tingkat pengangguran tinggi, solusinya adalah khilafah. Banjir besar, solusinya adalah khilafah. Dan seterusnya. Orang-orang semacam inilah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam hadits di atas.

Jika demikian cara dan metode provokasi yang mereka lakukan, maka yang muncul dalam benak kaum muslimin adalah bahwa motivator untuk membaiat penguasa yang sah itu adalah karena nanti mereka akan mendapatkan berbagai keuntungan duniawi. Padahal, ini adalah dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ancam dengan hukuman khusus kelak di akhirat sebagaimana dalam hadits di atas. Jika perbuatan itu adalah dosa besar, maka cara-cara provokasi yang mereka lakukan pada hakikatnya juga adalah dosa besar. Hal ini karena hukum sarana itu sebagaimana hukum tujuan.

Lihatlah contoh teladan kaum muslimin pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Pada masa kekhalifan beliau, terjadi musibah kemarau panjang pada akhir tahun ke 18 hijriyah, dan berlangsung selama kurang lebih 9 bulan. Terjadi bencana kelaparan di mana-mana karena kekurangan air. Meskipun mereka dilanda kesulitan ekonomi yang dahsyat, mereka tetap taat dan patuh kepada sang penguasa, yaitu khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

Oleh karena itu, hendaklah kita selalu mengingat bahwa ketaatan kita kepada penguasa atau pemerintah muslim yang sah adalah dalam rangka ibadah, menjalankan perintah Allah Ta’ala. Sebagai rakyat, kita memiliki kewajiban terhadap penguasa, yaitu taat, meskipun penguasa tersebut dzalim. Di sisi lain, penguasa juga memiliki kewajiban terhadap rakyat yang harus ditunaikan, di antaranya yaitu mensejahterakan rakyatnya. Dan masing-masing pihak (rakyat dan penguasa), akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Ta’ala atas kewajiban yang harus mereka tunaikan ketika di dunia.

Kewajiban kita sebagai rakyat adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan,

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

[Selesai]

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47509-taat-kepada-penguasa-karena-pamrih-duniawi.html

Menjaga Lisan di Era Media Sosial

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,

اعلم أنه لكلّ مكلّف أن يحفظَ لسانَه عن جميع الكلام إلا كلاماً تظهرُ المصلحة فيه، ومتى استوى الكلامُ وتركُه في المصلحة، فالسنّة الإِمساك عنه، لأنه قد ينجرّ الكلام المباح إلى حرام أو مكروه، بل هذا كثير أو غالب في العادة، والسلامة لا يعدلُها شيء

“Ketahuilah bahwa hendaknya setiap mukallaf menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang memang tampak ada maslahat di dalamnya. Ketika sama saja nilai maslahat antara berbicara atau diam, maka yang dianjurkan adalah tidak berbicara (diam). Hal ini karena perkataan yang mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau minimal (menyeret kepada perkataan) yang makruh. Bahkan inilah yang banyak terjadi, atau mayoritas keadaan demikian. Sedangkan keselamatan itu tidaklah ternilai harganya.” (Al-Adzkaar, hal. 284)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya.” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976, shahih)

Hendaknya setiap kita senantiasa menjaga diri dari berbicara atau menuliskan komentar yang tidak jelas manfaatnya. Kita tidaklah berbicara kecuali dalam hal-hal yang memang kita berharap ada manfaat untuk agama (diin) kita. Ketika kita melihat bahwa suatu perkataan itu tidak bermanfaat, maka kita pun menahan diri dari berbicara (alias diam). Kalaupun itu bermanfaat, kita pun masih perlu merenungkan: apakah ada manfaat lain yang lebih besar yang akan hilang jika saya tetap berbicara?

Sampai-sampai ulama terdahulu mengatakan bahwa jika kita ingin melihat isi hati seseorang, maka lihatlah ucapan yang keluar dari lisannya. Ucapan yang keluar dari lisan seseorang akan menunjukkan kepada kita kualitas isi hati seseorang, baik orang itu mau mengakui ataukah tidak. Jika yang keluar dari lisan dan komentarnya hanyalah ucapan-ucapan kotor, sumpah serapah, celaan, hinaan, makian, maka itulah cerminan kualitas isi hatinya.

Yahya bin Mu’adz rahimahullahu Ta’ala berkata,

القلوب كالقدور في الصدور تغلي بما فيها ومغارفها ألسنتها فانتظر الرجل حتى يتكلم فأن لسانه يغترف لك ما في قلبه من بين حلو وحامض وعذب وأجاج يخبرك عن طعم قلبه اغتراف لسانه

“Hati itu bagaikan periuk dalam dada yang menampung isi di dalamnya. Sedangkan lisan itu bagaikan gayung. Lihatlah kualitas seseorang ketika dia berbicara. Karena lisannya itu akan mengambil apa yang ada dari dalam periuk yang ada dalam hatinya, baik rasanya itu manis, asam, segar, asin (yang sangat asin), atau selain itu. Rasa (kualitas) hatinya akan tampak dari perkataan lisannya.” (Hilyatul Auliya’, 10: 63)

Sebagian orang bersikap ceroboh dengan tidak memperhatikan apa yang keluar dari lisan dan komentar-komentarnya. Padahal, bisa jadi ucapan lisan itu akan mencampakkan dia ke jurang neraka sejauh jarak timur dan barat. Contohnya, dalam hadits Jundab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ

“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Sementara Allah Ta’ala berfirman, “Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah menghapus amal perbuatanmu.” (HR. Muslim no. 2621)

Hamba tersebut, yang rajin beribadah, hapuslah seluruh amalnya hanya karena satu kalimat atau satu ucapan yang ceroboh tersebut.

Maka benarlah bahwa keselamatan itu adalah dengan menjaga lisan. Sahabat ‘Uqbah bin ‘Aamir radhiyallahu ‘anhu bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ

“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

“Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu merasa lapang (artinya: betahlah untuk tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.” (HR. Tirmidzi no. 2406, shahih)

Betapa banyak kita ceroboh dalam memposting, berkomentar di sana sini, namun tulisan-tulisan itu berbuah penyesalan, kemudian kita pun harus sibuk klarifikasi sana-sini, sibuk mencari-cari alasan agar bisa dimaklumi, juga sibuk meminta maaf atas perasaan saudara dan teman yang terluka atas komentar dan ucapan kita. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi ketika kita selalu menimbang dan berpikir atas setiap ucapan dan komentar yang hendak kita ucapkan dan tuliskan.

Oleh karena itu, ketika salah seorang sahabat datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ

“Ajarkanlah (nasihatilah) aku dengan ringkas saja.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ

“Apabila kamu (hendak) mendirikan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah. Janganlah kamu mengatakan suatu perkataan yang akan membuatmu harus meminta maaf di kemudian hari. Dan kumpulkanlah rasa putus asa dari apa yang di miliki oleh orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4171, hadits hasan)

Betapa banyak kita men-share dan menuliskan berita-berita yang tidak (atau belum) jelas kebenarannya, kemudian penyesalan itu datang ketika kita harus berurusan dengan pihak berwajib karena dampak buruk tulisan-tulisan kita di media sosial. Dan kemudian kita pun sibuk meminta maaf, sama persis dengan nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47511-menjaga-lisan-di-era-media-sosial.html

Hukum Belanja di Pasar Loak

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari tradisi pasar loak, pasar yang umumnya menyediakan barang-barang bekas, dengan harga yang relatif lebih miring dibandingkan harga barunya. Pada asalnya, tidak ada yang bermasalah dengan jual beli barang bekas. Di masa sahabat, jual beli baju bekas adalah satu hal yang lumrah dan biasa. Lalu apa yang bermasalah dengan pasar loak?

Bagi sebagian orang yang melihat karakter masyarakat di negara kita, dia merasa ada sedikit bermasalah dengan pasar loak. Disamping tempat jual beli barang bekas, pasar ini dinilai sebagai tempat penampungan barang curian!!?.

Benarkah dugaan ini? tentu saja saya tidak bisa menilai. Karena itu, terkait kondisi dugaan, ada 3 keadaan yang bisa kita bedakan,

Pertama, yakin bahwa barang yang dijual itu adalah barang curian Jika kita yakin bahwa itu adalah barang curian maka terlarang bagi kita untuk membelinya. Syaikhul Islam mengatakan,

الأموال المغصوبة والمقبوضة بعقود لا تباح بالقبض إن عرفه المسلم : اجتنبه ، فمن علمتُ أنه سرق مالاً ، أو خانه في أمانته ، أو غصبه فأخذه من المغصوب قهراً بغير حق : لم يجز لي أن آخذه منه ، لا بطريق الهبة ، و
لا بطريق المعاوضة ، و لا وفاء عن أجرة ، ولا ثمن مبيع ، و لا وفاء عن قرض ، فإن هذا عين مال ذلك المظلوم

Harta hasil rampasan atau didapatkan dengan akad yang tidak mubah, jika ada seorang muslim yang mengetahuinya maka dia harus menjauhinya. Karena itu, jika saya mengetahui ada orang mencuri barang, atau berkhianat terhadap barang amanah, atau mendapatkan barang dengan cara merampas tanpa alasan yang benar, maka tidak boleh bagi saya untuk
mengambil barang itu darinya, baik dengan cara hibah, atau beli atau upah kerja, ataupun pembayaran utang. Karena barang ini adalah milik orang yang didzlimi itu. (Majmu’ al-Fatawa, 29/323).

Mengapa dilarang untuk dibeli? Karena ini termasuk tolong menolong dalam maksiat. Lembaga Fatwa Arab Saudi – Lajnah Daimah –menjelaskan,

إذا تيقن الإنسان من كون السلعة المعروضة للبيع أنها مسروقة ، أو مغصوبة ، أو أن مَن يعرضها لا يملكها ملكاً شرعيّاً ، وليس وكيلاً في بيعها : فإنه يحرم عليه أن يشتريها ؛ لما في شرائها من التعاون على الإثم
والعدوان

Jika seseorang yakin bahwa barang yang dijual itu adalah hasil curian atau hasil rampasan, atau orang yang menjualnya tidak memiliki dengan cara yang dilegalkan secara syariat, sementara dia juga bukan wakil dari pemilik, maka haram bagi orang yang yakin itu untuk membelinya. Karena membelinya termasuk tolong menolong dalam dosa dan dzalim. (Fatawa Lajnah Daimah, 13/82/83)

Di negara kita, penadah barang curian termasuk tindak kriminal. Dalam KUHP pasal 480 penadah barang hasil tindak kejahatan mendapat ancaman penjara maksimal 4th. Dan ini aturan yang benar, insyaaAllah.

Kedua, dugaan kuat barang yang dijual adalah hasil curian Terdapat kaidah yang menyatakan,

المظنّة تنزل منزلة المئنّة

“Dugaan yang kuat kedudukannya bisa dijadikan bukti.”

Dalil mengenai hal ini sangat banyak, diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan orang yang ragu ketika shalat, apakah baru 3 rakaat ataukah sudah 4 rakaat. Dan beliau ajarkan agar memilih yang paling mendekati (at-Taharri). Sikap ini menunjukkan bahwa orang yang ragu ini mengambil sikap berdasarkan dugaan kuat.

Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah, terdapat pertanyaan mengenai hukum jual beli barang yang diduga kuat hasil curian.

Jawaban Lembaga Fatwa Syabakah Islamiyah,

فمتى علم الشخص أو غلب على ظنه أن البضاعة المعروضة للبيع مسروقة فلا يجوز له شراؤها لما فيه من تفويت السلعة على مالكها الحقيقي ولما فيه أيضا من التعاون على الإثم والعدوان وإقرار المنكر والرضا بالظلم ونحو ذلك من المفاسد.

Ketika seseorang mengetahui atau menduga kuat bahwa barang yang ditawarkan adalah hasil curian, maka dia tidak boleh membelinya. Karena ada pemiliknya yang kehilangan barang ini, disamping itu, termasuk tolong menolong dalam dosa dan dzalim, menyetujui
kemungkaran, mendukung kedzaliman atau dampak buruk lainnya. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 107474)

Ketiga, tidak tahu sama sekali bahwa barang itu hasil curian Kasus semacam ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

عن الرجل يشتري سلعة بمال حلال ولم يعلم أصل السلعة هل هو حرام ؟ أو حلال ؟ ثم كانت حراما في الباطن هل يأثم أم لا ؟

Ada yang bertanya mengenai seseorang yang membeli barang dengan uang halal, namun dia tidak tau asal-usul barang tersebut, apakah menjadi haram ataukah halal? Kemudian jika ternyata barang itu aslinya haram, apakah pembeli berdosa?

Jawaban Syaikhul Islam,

متى اعتقد المشترى أن الذي مع البائع ملكه فاشتراه منه علي الظاهر لم يكن عليه اثم فى ذلك وان كان فى الباطن قد سرقه البائع لم يكن على المشترى اثم ولا عقوبة لا فى الدنيا ولا فى الآخرة

Selama pembeli berkeyakinan bahwa barang yang bersama penjual adalah miliknya, lalu dia beli barang itu, yang lebih tepat pembeli tidak berdosa. Meskipun aslinya, bisa jadi barang ini hasil curian penjual, pembeli tetap tidak berdosa, dan tidak ada hukuman dunia maupun
akhirat.

Syaikhul Islami melanjutkan keterangannya,

والضمان والدرك على الذي غره وباعه وإذا ظهر صاحب السلعة فيما بعد ردت إليه سلعته ورد على المشترى ثمنه وعوقب البائع الظالم؛ فمن فرق بين من يعلم ومن لا يعلم فقد أصاب ومن لا أخطأ والله أعلم

Sementara ganti rugi menjadi tanggung jawab orang yang menipu dan menjualnya. Dan jika setelah itu diketahui pemilik barang, maka barang itu wajib dikembalikan kepadanya, dan uangnya wajib dikembalikan ke pembeli. Sementara penjual yang dzalim berhak dihukum. Siapa yang membedakan hukum antara orang yang tahu dan orang yang tidak tahu, maka dia benar. dan siapa yang tidak membedakannya, pasti kesimpulan yang salah. (Majmua’ al-Fatawa, 29/293)

Penjelasan yang sama juga disampaikan dalam Fatwa Syabakah Islamiyah,

وأما إن كان الشخص لا يعلم ولا يغلب على ظنه أن البضاعة مسروقة فلا مانع من شرائها لأن الظاهر أن ما في يد الإنسان ملك له، ولا ينتقل عن هذا الظاهر إلا بعلم أو غلبة ظن يقوم مقام العلم.

Jika seseorang tidak tahu, dan tidak memiliki dugaan bahwa barang itu hasil curian, maka tidak masalah membelinya. Karena pada prinsipnya, barang yang ada di tangan seseorang adalah miliknya. Dan kita tidak meninggalkan hukum asal ini, kecuali jika ada bukti yang meyakinkan atau dugaan kuat yang mendekati yakin. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 107474)

Kita tidak menghukumi pasar loak secara umum. Karena semua tergantung keadaan transaksinya. Jika kita jujur dalam melihat, insyaaAllah kita bisa menilai dengan semua indikator yang ada. Sehingga bukan sebatas pertimbangan, yang penting murah atau lainnya. Jika anda yakin objek transaksi ini bukan hasil curian atau anda tidak memiliki dugaan sama sekali bahwa itu curian, silahkan dibeli..

Semoga Allah membimbing kita untuk selalu membatasi diri dengan yang mubah.

Demikian, Allahu a’lam.

Read more https://pengusahamuslim.com/6799-hukum-belanja-di-pasar-loak.html

Ancaman Meninggalkan Shalat Jumat

Bagaimana ancaman karena meninggalkan shalat Jumat? Ternyata akibatnya berbahaya sekali.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Fadhail

بَابُ فَضْلِ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَوُجُوْبِهَا وَالاِغْتِسَالِ لَهَا وَالطِّيْبِ وَالتَّبْكِيْرِ إِلَيْهَا وَالدُّعَاءِ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَالصَّلاَةِ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفِيهِ بَيَانُ سَاعَةِ الِإجَابَةِ وَاسْتِحْبَابُ إِكْثَارِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى بَعْدَ الجُمُعَةِ

  1. Bab Keutamaan Hari Jumat, Kewajiban Shalat Jumat, Mandi untuk Shalat Jumat, Mengenakan Wewangian, Datang Lebih Dulu untuk Shalat Jumat, Berdoa pada Hari Jumat, Shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penjelasan tentang Waktu Dikabulkannya Doa (pada Hari Jumat), dan Sunnahnya Memperbanyak Dzikir kepada Allah Setelah Shalat Jumat

Hadits #1150

– وَعَنْهُ ، وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ – : أَنَّهُمَا سَمِعَا رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُوْلُ عَلَى أَعْوَادِ مِنْبَرِهِ : (( لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya, “Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 865]

Faedah Hadits

Pertama: Boleh menjadikan mimbar untuk berkhutbah dan memberi nasihat. Menjadi mimbar untuk berkhutbah disepakati kesunnahannya oleh para ulama. Lihat Al-Bahr Al-Muhith Ats-Tsajaj Syarh Shahih Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, 17:254.

Kedua: Shalat Jumat itu fardhu ‘ain dan diharuskan melaksanakannya dengan berjamaah.

Ketiga: Ada peringatan keras bagi yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali karena menganggap remeh (malas-malasan) dan tanpa ada uzur syar’i. Akibatnya adalah Allah akan menutup pintu hatinya.

Keempat: Maksiat itu bertingkat-tingkat.

Kelima: Siapa yang Allah tutup pintu hatinya, maka ia akan lalai dari dzikir, dan berhak mendapatkan siksa neraka.

Keenam: Mengamalkan ketaatan dan menjaga shalat lima waktu dan juga shalat berjamaah akan membuat hati bercahaya serta bersih dari kotoran dan dosa.

Ketujuh: Dalam memberi nasihat lebih baik tidak menyebut nama orang agar nasihat bisa diterima dengan baik. Yang penting nasihat tersampaikan. Dalam ayat disebutkan,

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

Syuaib berkata: ‘Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.’” (QS. Hud: 88)

Semoga Allah beri taufik dan hidayah untuk terus menjaga shalat wajib dan shalat Jumat.

Sumber https://rumaysho.com/20757-ancaman-meninggalkan-shalat-jumat.html

Larangan Memelihara Anjing tanpa Keperluan yang Disyariatkan

Seorang muslim tidak diperkenankan memelihara anjing di rumahnya tanpa ada keperluan yang diizinkan oleh syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اتَّخَذَ كَلْباً إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ ، أوْ صَيْدٍ ، أوْ زَرْعٍ ، انْتُقِصَ مِنْ أجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

“Siapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga hewan ternak, berburu dan menjaga tanaman, maka akan dikurangi pahalanya setiap hari sebanyak satu qirath” (HR. Muslim, no. 1575).

Di riwayat yang lain akan berkurang pahalanya sebesar dua qirath.

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ

Barangsiapa memanfaatkan anjing, bukan untuk maksud menjaga hewan ternak atau bukan maksud dilatih sebagai anjing untuk berburu, maka setiap hari pahala amalannya berkurang sebesar dua qirath” (HR. Bukhari no. 5480 dan Muslim no. 1574).

Maksud dari qirath dalam hadits ini diperlisihkan oleh para ulama, apakah sama dengan qirath dalam hadits keutamaan mengikuti penyelenggaraan jenazah sampai menguburkannya yaitu qirath sebesar gunung. Ataukah qirath di sini berbeda dengan qirath pada hadits keutamaan penyelenggaraan jenazah? Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfury berkata,

واختلف في القيراطين المذكورين هنا ، هل هما كالقيراطين المذكورين في الصلاة على الجنازة واتباعها ، فقيل بالتسوية ، وقيل اللذان في الجنازة من باب الفضل واللذان هنا من باب العقوبة ، وباب الفضل أوسع من غيره

“Ulama berselisih pendapat mengenai dua qirath yang disebutkan di sini, apakah sama dengan dua qirath pada shalat jenazah dan mengikuti jenazah. Salah satu pendapat menjelaskan dua qirath pada keutamaan shalat jenazah sedangkan hadits (memelihara anjing) mengenai bab hukuman. Keutamaan itu lebih luas daripada hukuman (maksudnya, dua qirath pada bab hukuman lebih rendah nilainya daripada dua qirath pada bab keutamaan)” (Tuhfatul AL-Ahwadzi 3/4).

An-Nawawi menjelaskan bahwa qirath pada hadits di sini tidak dijelaskan dan hanya Allah yang tahu kadarnya. Beliau berkata,

والقيراط هو مقدار معلوم عند الله تعالى ، والمراد ينقص جزء من أجر عمله

“Qirath adalah kadar yang telah diketahui kadarnya di sisi Allah, maksud hadits ini adalah berkurang pahala amalnya” (Syarh Muslim 10/342).

Renungkan apa manfaat memelihara anjing tanpa izin syariat?

Renungkanlah, untuk apa kita memelihara anjing apabila tidak ada manfaatnya? Padahal anjing tersebut bisa hidup bebas jika dibiarkan hidup di alam bebas. Perlu kita renungkan juga:

Bukankah lebih baik uang untuk memelihara anjing kita gunakan untuk bersedekah?

Bukankah lebih baik perhatian untuk anjing kita gunakan untuk memperhatikan anak yatim?

Bukankah waktu kita untuk bermain-main dengan anjing lebih baik kita gunakan untuk hal bermanfaat bagi manusia?

Ingat pula bahwa jilatan anjing merupakan najis dan tergolong dalam najis berat (mughallazhah). Dan cara membersihkannya berbeda dengan najis lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طُهُورُ إِنَاءِ أحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الكَلْبُ أنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

“Sucinya wadah kalian apabila dijilat anjing, adalah dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, basuhan pertama dengan debu” (HR. Muslim, no. 279).

Renungkan juga bahwa terkadang anjing yang dipelihara di depan rumah umumnya akan menganggu orang lain dan pejalan kaki. Tidak jarang anjing menggonggong kencang, membuat takut dan membuat kaget bahkan mengejar orang serta menimbulkan teror.

Boleh memelihara anjing apabila ada kebutuhan yang diperkenankan syariat

Misalnya anjing untuk berburu. Sebagaimana firman Allah,

وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“(Buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarkannya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya” (Al-Maidah/5 : 4).

Bagaimana dengan memelihara anjing untuk menjaga rumah? Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. An-Nawawi termasuk ulama yang membolehkan. Beliau berkata,

هَلْ يَجُوز اِقْتِنَاء الْكِلَاب لِحِفْظِ الدُّور وَالدُّرُوب وَنَحْوهَا ؟ فِيهِ وَجْهَانِ : أَحَدهمَا : لا يَجُوز ، لِظَوَاهِر الأَحَادِيث ، فَإِنَّهَا مُصَرِّحَة بِالنَّهْيِ إِلا لِزَرْعٍ أَوْ صَيْد أَوْ مَاشِيَة , وَأَصَحّهمَا : يَجُوز ، قِيَاسًا عَلَى الثَّلاثَة

“Apakah boleh memelihara anjing untuk menjaga rumah dan jalan? Ada dua pendapat ulama. Salah satunya menyatakan tidak boleh karena secara eksplisit, hadits melarang dan membolehkannya hanya pada tiga hal saja, yaitu untuk menjaga tanaman pertanian, untuk berburu, atau untuk menjaga hewan ternak. Pendapat yang paling shahih adalah boleh karena diqiyaskan dengan bolehnya tiga hal tersebut” (Syarh Muslim 10/340).

Sedangkan ulama lain yang tidak membolehkan yaitu Ibnu Qudamah. Beliau berkata,

وإن اقتناه لحفظ البيوت ، لم يجز ; للخبر . ويحتمل الإباحة . وهو قول أصحاب الشافعي ; لأنه في معنى الثلاثة ، فيقاس عليها . والأول أصح ; لأن قياس غير الثلاثة عليها ، يبيح ما يتناول الخبر تحريمه . قال القاضي : وليس هو في معناها ، فقد يحتال اللص لإخراجه بشيء يطعمه إياه ، ثم يسرق المتاع

“Memelihara anjing untuk menjaga rumah tidak boleh berdasarkan hadits tersebut. Hadits tersebut memang bisa dipahami kemungkinan bolehnya, yaitu pendapat ulama Syafi’iyah, karena ulama Syafi’iyah menyatakan anjing dengan maksud menjaga rumah termasuk dalam tiga maksud yang dibolehkan. Hal ini diqiyaskan dengan tiga hal tersebut. Pendapat pertama lebih tepat (tidak boleh). Karena selain tiga tujuan tadi, tetap diharamkan. Al-Qadhi mengatakan, ‘Hadits tersebut tidak mengandung makna bolehnya memelihara anjing untuk tujuan menjaga rumah. Si pencuri bisa saja membuat trik dengan memberi umpan berupa makanan pada anjing tersebut, lalu setelah itu pencuri akan mencuri barang-barang (di dalam rumah)’” (Al Mughni, 4/324).

Kami merasa lebih tentram dengan pendapat yang tidak membolehkan karena masih banyak cara lain untuk menjaga rumah selain mengandalkan anjing penjaga. Semisal ronda, memasang detektor atau semisalnya atau memakai jasa penjaga untuk suatu kompleks perumahan.

Demikian semoga bermanfaat.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38050-larangan-memelihara-anjing-tanpa-keperluan-yang-disyariatkan.html