Adakah Keutamaan Khusus Mencari Rezeki setelah Shalat Jum’at?

Pertanyaan:

Apakah benar ada keutamaan khusus untuk bekerja mencari rezeki atau berjualan di hari Jum’at setelah shalat Jum’at? Mohon penjelasannya, jazakumullah khairan.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya’ wal mursalin, nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Benar, hal ini disebutkan oleh sebagian ulama. Bahwa ada keutamaan untuk mencari rezeki di hari Jum’at setelah shalat Jum’at. Allah ta’ala berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan ayat ini, beliau berkata:

كما كان عراك بن مالك رضي الله عنه إذا صلى الجمعة انصرف فوقف على باب المسجد فقال : اللهم إني أجبت دعوتك وصليت فريضتك وانتشرت كما أمرتني فارزقني من فضلك وأنت خير الرازقين رواه ابن أبي حاتم 

Sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Arak bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Jika sudah selesai shalat Jum’at, beliau beranjak dan berdiri di pintu masjid sambil berdoa: “Ya Allah, aku telah penuhi panggilan-Mu, dan aku telah kerjakan shalat wajib untuk-Mu, dan aku akan bertebaran di muka bumi sebagaimana Engkau perintahkan, maka berilah aku rezeki dari karunia-Mu, Engkau adalah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim)

وروي عن بعض السلف أنه قال : من باع واشترى في يوم الجمعة بعد الصلاة بارك الله له سبعين مرة لقول الله تعالى ” فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله

Dan diriwayatkan dari sebagian salaf, bahwa mereka berkata: “Siapa yang berjual-beli di hari Jum’at setelah shalat Jum’at, Allah akan memberinya keberkahan 70 kali. Berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya): Apabila telah ditunaikan shalat (Jum’at), maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah (QS. al-Jumu’ah: 10).”

(Tafsir Ibnu Katsir, 8/122-123)

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik dan rezeki yang melimpah.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.

Referensi: https://konsultasisyariah.com/39372-adakah-keutamaan-khusus-mencari-rezeki-setelah-shalat-jumat.html

Hukum Berbagi Makanan Setelah Shalat Jumat

Saat ini kita sering menjumpai sebagian masjid yang menyediakan makanan untuk para jamaah untuk dimakan bersama setelah melaksanakan shalat Jumat. Makanan ini ada yang murni disediakan oleh pengurus masjid, namun ada juga yang disediakan oleh para jemaah yang ingin berbagi makanan agar dimakan bersama setelah shalat Jumat. Sebenarnya, bagaimana hukum berbagi makanan setelah shalat Jumat ini?

Berbagi makanan setelah shalat Jumat, baik dibagikan di masjid untuk dimakan bersama maupun dibagikan di jalan, di rumah dan lainnya, termasuk perbuatan baik yang bernilai sedekah. Secara umum, bersedekah di hari Jumat sangat dianjurkan sekali. Bersedekah di hari Jumat pahalanya lebih utama dibanding bersedekah di hari selain hari Jumat.

Terdapat beberapa hadis yang menganjurkan untuk bersedekah di hari Jumat, baik dengan berbagi makanan setelah shalat Jumat, dan lainnya. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan Imam Abdurrazzaq berikut;

وَلَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ وَلَمْ تَغْرُبْ مِنْ يَوْمٍ أَعْظَمُ مِنْ يَوْمِ اْلُجُمُعَةِ وَالصَّدَقَةُ فِيْهِ أَعْظَمُ مِنْ سَائِرِ اْلاَيَّامِ.

Dan tidak ada matahari yang terbit dan terbenam pada suatu hari yang lebih utama dibanding hari Jumat. Bersedekan pada hari Jumat lebih besar pahalanya daripada semua hari lainnya.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Al-Syafi’i menyebutkan salah satu riwayat mengenai keutamaan bersedekah di hari Jumat. Beliau berkata;

بَلَغَنَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَكْثِرُوا الصَّلَاةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَإِنِّي أُبَلَّغُ وَأَسْمَعُ قَالَ وَيُضَعَّفُ فِيهِ الصَّدَقَةُ 

Telah sampai kepadaku dari Abdillah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah bersabda; Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku di hari Jumat sesungguhnya shalawat itu tersampaikan dan aku dengar. Nabi bersabda; Dan di hari Jumat pahala bersedekah dilipatgandakan.

Dalam Islam, hari Jumat merupakan hari paling baik dibanding hari-hari lainnya. Bahkan disebut sebagai sayyidul ayyam, pemimpin hari-hari lainnya. Pada hari itu, Allah membuka pintu ampunan, doa dikabulkan dan amal biak dijanjikan pahala yang sangat besar.

Karena itu, Nabi Saw menganjurkan kepada umatnya untuk memperbanyak ibadah, zikir, shalawat, amal shaleh dan sedekah di hari Jumat, baik dengan berbagi makanan setelah shalat Jumat, dan lainnya. 

Demikian penjelasan terkait hukum berbagi makanan setelah shalat Jumat. Semoga kita termasuk orang-orang yang rajin bersedekah.

BINCANG SYARIAH

Jumlah Minimal Jemaah Salat Jumat

Pada asalnya, salat berjemaah dianggap sah jika minimal dilaksanakan oleh dua orang. Karena secara bahasa, al-jama’ah sendiri dari kata al-ijtima’ yang artinya adalah sekumpulan orang. Dan dalam bahasa Arab, dua orang yang berkumpul sudah bisa disebut al-ijtima’.

Ini juga sebagaimana hadis dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika ada seorang yang memasuki masjid untuk salat,

ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ

“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang salat ini?” Maka seorang lelaki pun berdiri untuk salat bersamanya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dua orang ini adalah jemaah.” (HR. Ahmad no. 22189, disahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Demikian juga dalam hadis Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata,

أَتَى رَجُلَانِ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُرِيدَانِ السَّفَرَ، فَقَالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: إذَا أنْتُما خَرَجْتُمَا، فأذِّنَا، ثُمَّ أقِيمَا، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُما أكْبَرُكُمَا

“Dua orang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka hendak melakukan safar. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Jika kalian kalian dalam perjalanan (dan akan mendirikan salat) maka azanlah dan ikamahlah, dan hendaknya yang lebih tua dari kalian yang menjadi imam.” (HR. Bukhari no. 630, Muslim no. 674).

Baca Juga:  Sunnah Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Shalat Jumat

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa dua orang saja sudah mencukupi untuk tercapainya salat berjemaah.

Namun, ulama berbeda pendapat tentang jumlah peserta salat jumat sehingga bisa sah disebut sebagai salat jumat.

Daud Azh-Zhahiri dan Asy-Syaukani rahimahumullah menguatkan bahwa batasan minimal jemaah salat jumat adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum) sebagaimana salat fardu.

Syekh Ibnu Badran Ad-Dimasyqi rahimahullah menjelaskan, “Terdapat beberapa riwayat dari Imam Ahmad tentang jumlah jemaah dalam salat jumat yang sah. Terdapat riwayat bahwa beliau mensyaratkan 7 orang (1 imam dan 6 makmum), dalam riwayat lain 5 orang (1 imam dan 4 makmum), dalam riwayat lain 4 orang (1 imam dan 3 makmum), dalam riwayat lain 3 orang jika di qoryah (kampung), namun tidak mencukupi jika di amshar (kota). Riwayat-riwayat ini disebutkan dalam kitab Al-Furu‘. Menurutku, angka-angka di atas, tidak didasari oleh dalil yang sahih, sehingga yang kuat adalah salat jumat paling minimal 3 orang (1 imam dan 2 makmum).” (Hasyiyah Al-Akhshar libni Badran, 127).

Pendapat ini juga di-rajih-kan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yaitu bahwa minimal salat jumat dan juga salat id adalah 3 orang, dengan 1 orang imam dan 2 orang makmum. Alasan beliau, karena kata “jama’ah” dalam bahasa Arab ini artinya “sekelompok orang” yang minimal jumlahnya 2 orang. Dan tercapai jama’ah jika makmumnya minimal ada 2 orang.

Namun, 3 orang tersebut haruslah orang-orang yang terkena kewajiban salat jumat. Yaitu, orang yang balig, berakal, dan mustauthin (orang yang bertempat tinggal).

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan,

واختلف العلماء في العدد المشترط لهما، وأصح الأقوال أن أقل عدد تقام به الجمعة والعيد ثلاثة فأكثر، أما اشتراط الأربعين فليس له دليل صحيح يعتمد عليه

Ulama khilaf (berbeda pendapat) mengenai jumlah yang dipersyaratkan (dalam jemaah salat id). Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah bahwa jumlah minimal peserta salat jumat dan salat id adalah 3 orang atau lebih. Adapun mempersyaratkan 40 orang, maka ini tidak ada landasan dalilnya yang sahih.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 halaman 12).

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah juga mengatakan,

أقربُ الأقوال إلى الصواب: أنها تنعقد بثلاثة، وتجِب عليهم

Pendapat yang paling mendekati kebenaran, bahwa jumlah minimalnya adalah tiga orang, dan tiga orang ini harus orang yang sudah terkena kewajiban salat jumat.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 5/41).

Wallahu a’lam.

 ***

Penulis: Yulian Purnama

Sumber: https://muslim.or.id/70353-jumlah-minimal-jamaah-shalat-jumat.html

Sunnah Menghadapkan Wajah ke Arah Khatib Shalat Jumat

Ketika salat Jumat, kita perhatikan beberapa jamaah salat Jumat tidak berusaha menghadapkan wajahnya ke arah khatib Jumat. Ada yang nenunduk ke bawah, ada yang melihat ke berbagai arah, bahkan ada yang bermain gadget sampai dengan tertidur.

Perlu diketahui bahwa salah satu sunah ketika mendengarkan khutbah Jumat adalah menghadapkan wajah ke arah khatib Jumat dan tidak mengapa mengubah arah duduk agar memudahkan dan nyaman mengarahkan wajah ke arah khatib. Sebagian ulama menjelaskan bahwa menghadapkan wajah ke arah khatib Jumat termasuk sunah yang banyak ditinggalkan. Berikut sedikit pembahasannya.

Terdapat beberapa hadis dan atsar sahabat serta penjelasan ulama terkait hal ini.

Sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا صعد المنبر ، أقبلنا بوجوهنا إليه.

“Dahulu ketika Nabi Shallallahu’alaihi wasallam naik mimbar, kami menghadapkan wajah kami ke arah beliau” (HR. At Tirmidzi no. 509, Lihat Penjelasannya di Al-Silsilah Ash-Shahihah no. 2080).

Syaikh Al-Albani Rahimahullah menjelaskan bahwa sunnah ini banyak ditinggalkan terutama di zaman ini, beliau berkata,

‎استقبال الخطيب من السنة المتروكة

“Menghadapkan  arah khatib merupakan sunnah yang ditinggalkan” (Al-Silsilah Ash-Shahihah: 5/110).

Syaikh Abdurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan hadis di atas, beliau menukil perkataan Ibnul Malik,

قال ابن الملك : أي توجهناه ، فالسنة أن يتوجه القوم الخطيب

“Yaitu, kami para sahabat mengarahkan wajah kami. Termasuk sunnah para jamaah menghadapkan wajah ke arah khatib” (Tuhfatul al-Ahwadzi, 3/23)

Di riwayat mengenai Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhu,

أنه كان يفرغ من سبحته يوم الجمعة قبل خروج الإمام ، فإذا خرج لم يقعد الإمام حتى يستقبله

“Bahwasanya Ibnu Umar fokus bertasbih pada hari Jumat sampai Imam keluar, apabila imam sudab keluar dan duduk, ia menghadap ke arah imam” (HR. Bukhari dalam Kitab Jumuah, 1/221)

Lalu Imam Bukhari membuat judul bab,

باب يستقبل الإمام القوم ، واستقبال الناس الإمام إذا خطب، واستقبل ابن عمر وأنس رضي الله عنهم الإمام

“Bab imam menghadap ke arah jamaah, dan jamaah menghadap imam ketika sedang berkhutbah, Ibnu Umar serta Anas Radhiallahu’anhu menghadapkan wajah ke arah imam.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa dengan menghadap ke arah imam akan membuat lebih fokus mendengarkan khutbah dan ini adalah bentuk adab yang baik, beliau menjelaskan,

ومن حكمة استقبالهم للإمام التهيؤ لسماع كلامه ، وسلوك الأدب معه في استماع كلامه ، فإذا استقبله بوجهه وأقبل عليه بجسده وبقلبه وحضور ذهنه ؛ كان أدعى لتفهيم موعظته موعظته

“Di antara hikmah menghadapkan wajah ke arah imam adalah fokus bersiap-siap mendengarkan ucapab imam dan menunjukkan adab mendengar ucapan. Apabila ia menghadapkan wajah ke arah imam maka jasad dan hatinya akan fokus juga dan menghadirkan benak. Hal ini lebih membuat fokus untuk memahami nasehat.” (Fathul Bari, 2/402)

Semoga kita selalu bisa menerapkan sunnah ini. Aamiin

@ Lombok, Pulau Seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/68744-sunnah-menghadapkan-wajah-ke-arah-khatib-shalat-jumat.html

Panjangkan Salat dan Pendekkan Khutbah Jumat

Salah satu sunnah yang perlu diperhatikan para khatib jumat adalah memperpendek khutbah dan memperpanjang salat. Tentunya memperpendek khutbah yang sesuai dengan kaidah syariat, bukan terlalu pendek. Demikian juga, memperpanjang salat dengan tetap memperhatikan keadaan jamaah, jangan sampai terlalu panjang dan membuat jamaah merasa berat.

Perhatikan hadis berikut yang menganjurkan hal ini,

عَنْ وَاصِلِ بْنِ حَيَّانَ قَالَ: قَالَ أَبُو وَائِلٍ: خَطَبَنَا عَمَّارٌ فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُـولَ الله يَقُولُ إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَـرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.

Dari Washil bin Hayyan, dia berkata, Abu Wa’il berkata, ‘Ammar pernah memberi khutbah kepada kami dengan singkat dan padat isinya. Dan ketika turun, kami katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Yaqzhan, sesungguhnya Engkau telah menyampaikan dan menyingkat khutbah, kalau saja Engkau memanjangkannya.’” Maka dia menjawab, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya panjangnya salat seseorang dan pendek khutbahnya itu menjadi ciri pemahaman yang baik dalam agama. Oleh karena itu, perpanjanglah salat dan perpendeklah khutbah. Dan sesungguhnya di antara bagian dari penjelasan itu mengandung daya tarik.’.” [HR. Muslim]

Dalam riwayat lainnya,

خَطَبَنَا عَمَّارُ بْنِ يَاسِرٍ فَتَجَوَّزَ فِي خُطْبَتِهِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ: لَقَدْ قُلْتَ قَوْلاً شِفَاءً فَلَوْ أَنَّكَ أَطَلْتَ فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى أَنْ نُطِيلَ الْخُطْبَةَ

“‘Ammar bin Yasir pernah memberi khutbah kepada kami, lalu dia menyampaikannya secara singkat, maka ada seseorang dari kaum Quraisy yang berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Engkau telah menyampaikan ungkapan yang singkat lagi padat, kalau saja Engkau memanjangkannya.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kami untuk memanjangkan khutbah’.” [HR. Ahmad]

Khutbah Yang “To The Point

Agar khutbah ringkas dan mengena, perlu disampaikan secara “to the point”. Artinya, tidak terlalu melebar ke mana-mana dengan pembahasan yang loncat kesana-kesini. Khutbah seperti ini akan memakan waktu yang sangat panjang dan menyebabkan jamaah yang mendengar menjadi bosan bahkan mengantarkan ke rasa kantuk. Hendaknya khutbah disusun dengan cara menyampaikan poin-poin ringkas atau membatasi pembahasan yang dirasa penting saja.

Khutbah yang ringkas adalah sunnah. Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata,

وأما قصر الخطبة : فسنَّة مسنونة ، كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر بذلك

Adapun memperpendek khutbah, hukumnya sunnah. Dan Nabi shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan hal tersebut.” [Al-Istizkar, 2: 363]

Ibnu Hazm rahimahullah melarang memperpanjang khutbah terlalu panjang. Beliau rahimahullah berkata,

ولا تجوز إطالة الخطبة

Tidak boleh memperpanjang khutbah.” [Al-Muhalla, 5: 60]

Salat yang Panjang, tetapi Tidak Membuat Jamaah Lari

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wasallam membaca surat yang cukup panjang dalam salat Jumat. Hendaknya kita meneladani beliau dalam membaca surat-surat ketika salat Jumat.

Yang paling sering kita dengar adalah membaca surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah, sebagaimana dalam hadits berikut ini,

قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Abu Hurairah berkata, ”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca keduanya (surat Al-A’la dan Al-Ghasyiyah) pada hari Jumat” [HR. Muslim].

Beliau juga pernah membaca surat Al-Jumu’ah kemudian Al-Ghasiyah sebagaimana dalam hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ الْمَازِنِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ

أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ قَيْسٍ سَأَلَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ مَاذَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى إِثْرِ سُورَةِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ بِهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ

“Telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi dari Malik dari Dhamrah bin Sa’id Al-Mazini dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bahwa Dhahhak bin Qais bertanya kepada Nu’man bin Basyir, “Surat apakah yang biasa dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jumat setelah surat Al Jumu’ah?” Dia menjawab, “Beliau biasa membaca dengan; “Hal ataaka hadiitsul Ghasyiyah.” [HR. Abu Dawud]

Beliau juga pernah membaca surat Al-Jumu’ah kemudian Al-Munafiqun sebagaimana dalam hadits berikut ini,

حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ أَبِي رَافِعٍ قَالَ

صَلَّى بِنَا أَبُو هُرَيْرَةَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَرَأَ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَفِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالَ فَأَدْرَكْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ حِينَ انْصَرَفَ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّكَ قَرَأْتَ بِسُورَتَيْنِ كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْرَأُ بِهِمَا بِالْكُوفَةِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Qa’nabi, telah menceritakan kepada kami Sulaiman yaitu Ibnu Bilal, dari Ja’far, dari ayahnya, dari Ibnu Abu Rafi’, dia berkata, ‘Abu Hurairah salat mangimami kami pada hari (salat) Jum’at, lalu dia membaca surat Al-Jumuah pada raka’at pertama dan “idza jā’akal munāfiqūn” pada raka’at terakhir. Selesai salat, aku menjumpai Abu Hurairah dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Anda membaca surat sebagaimana yang dibaca oleh Ali bin Abu Thalib di Kufah.’ Abu Hurairah berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca kedua surat tersebut pada salat Jum’at’.” [HR. Abu Dawud]

Beliau juga pernah membaca surat yang cukup panjang, yaitu surat Qaaf. Diriwayatkan dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin an-Nu’man radhiyallahu anhuma, beliau berkata,

مَا أَخَذْتُ (ق. وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) إِلاَّ عَنْ لِسَانِ رَسُـولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ.

Aku mempelajari surat Qāf wal Qur’ānil Majīd hanya dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang selalu beliau bacakan pada hari Jumat di atas mimbar ketika berkhutbah di hadapan manusia.” [HR. Muslim]

Terkait dengan panjangnya salat, perlu kita perhatikan bahwa hendaknya bacaan salat tidak sampai membuat jamaah lari dan merasa tidak nyaman. Hendaknya kadar panjang salat dimusyawarahkan dengan ustaz dan pengurus masjid dalam kaidah syariat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّـﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻠﻨَّـﺎﺱِ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻔِّﻒْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴْﻒَ ﻭَﺍﻟﺴَّﻘِﻴْﻢَ ﻭَﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﻄَﻮِّﻝْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ

Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika dia salat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. [HR. Bukhari dan Muslim]

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan,

ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻨﻴﺔ ﺇﻃﺎﻟﺘﻬﺎ، ﻓﻠﻪ ﺗﺨﻔﻴﻔﻬﺎ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ‏

Ini adalah dalil bahwa siapa yang ingin salat dengan niat memanjangkan, boleh baginya meringankan karena suatu maslahat.” [Fathul Bari li Ibni Rajab, 4: 222]

Ibnu Daqiq Al-‘Ied rahimahullah juga menjelaskan jika ada alasan (illat), yaitu berat (masyaqqah) bagi makmum, maka boleh diringankan. Beliau rahimahullah berkata,

ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺬﻛﻮﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺍﻟﻼﺣﻘﺔ ﻟﻠﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻃﻮﻝ

Pada hadis ini disebutkan alasannya (illat), yaitu rasa berat (masyaqqah) yang akan didapatkan oleh makmum jika dipanjangkan.” [Ihkamul Ihkam, 3: 258]

Demikian, semoga bermanfaat.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel: www.muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/66505-panjangkan-shalat-dan-pendekkan-khutbah-jumat.html

Kebolehan Tidak Shalat Jumat Selama Penyebaran Covid-19 Masih Parah: Kata Quraish Shihab, Mufti Singapura, dan MUI

Prof. Quraish Shihab, mufasir kondang Indonesia ikut memberikan pandangannya terkait Corona dan anjuran melaksanakan shalat jumat serta shalat berjamaah di rumah terlebih dahulu. Kita tahu, beberapa hari belakangan, sejak jumlah pengidap virus yang disebut Covid-19 ini semakin bertambah, di berbagai belahan dunia para pemuka agama telah memutuskan untuk menganjurkan untuk menghentikan sementara shalat jumat agar penularan tidak makin parah. Diantara negara yang melakukan hal ini lebih dahulu adalah Singapura. Sementara, Arab Saudi sudah hampir satu bulan menutup kedatangan jamaah umrah dan membatasi kegiatan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Terakhir, Arab Saudi ikut melakukan lockdown (penutupan jalur keluar masuk wilayah) negara sementara waktu. Begitu juga di Mesir dan sejumlah negara Timur Tengah lainnya. Dewan Fatwa Mesir juga telah menfatwakan anjuran untuk melaksanakan shalat jumat di rumah bahkan larangan bagi yang sudah positif terinfeksi untuk datang ke tempat-tempat umum.

Prof. Quraish Shihab, selaku mufasir ternama di Indonesia ikut bersuara soal kebolehan tidak shalat jumat dalam kondisi seperti ini. Pernyataan sepanjang 1 menit ini disampaikan beliau dalam wawancara dengan putri beliau, Najwa Shihab yang diunggah di akun Instagram pribadinya. Najwa Shihab yang juga founder Narasi.tv menyebutkan dalam caption kalau video selengkapnya akan diunggah juga.

“Nah, sekarang virus Corona. Semua sepakat menyatakan bahwa ia membahayakan jiwa manusia. Maka, ulama-ulama berfatwa tidak dianjurkan untuk mendatangi shalat-shalat jamaah bahkan shalat jumat. Dulu, pada zaman sahabat-sahabat Nabi Saw. pernah terjadi hujan lebat sehingga jalanan menjadi becek. Azan ketika itu dirubah redaksinya, pada kalimat “Hayya ‘ala as-Shalah”, kemudian diganti menjadi “shalatlah di rumah-rumah kalian” (Shollu fii Rihaalikum). Itu tidak berkaitan dengan berbahaya, tapi berkaitan dengan kesehatan dan kemudahan. Itu pandangan agama.”

Sementara itu, ketua MUI Jakarta K.H. Munahar Muchtar ikut menyampaikan pendapat yang senada. « Menangguhkan shalat jumat sementara selama dua minggu sudah sesuai dengan Fatwa MUI No. 14 Tahun 2020 ». Disampaikan bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menyampaikan bahwa semua kegiatan rumah peribadatan ditunda selama dua pekan. Konsekuensinya bagi umat Islam, shalat Jumat ditiadakan selama dua pekan dan diganti dengan shalat zhuhur di rumah masing-masing. Keputusan ini diambil bersama dnegan Forkopimda dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Langkah ini diambil sebagai langkah bersama melindungi saudara sebangsa dengan meminimalisir semua kemungkinan penularan.

K.H. Munahar Muchtar menyampaikan, “atas nama MUI DKI Jakarta, pada umat Islam, pada para tokoh, para ulama agar supaya menunda setiap kegiatan yang sifatnya berjamaah baik di masjid, majlis taklim, dan tempat-tempat lainnya dalam rangka melindungi warga Jakarta”.

Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) DKI Jakarta H. Makmum Al-Ayyubi di tempat yang sama meminta agar seluruh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid untuk merujuk fatwa MUI tersebut dengan menunda dulu semua kegiatan yang bersifat berjamaah di masjid, majlis taklim dan tempat-tempat lainnya.

Mufti Singapura Kritik Muslim yang Bilang “Hanya Takut Allah, Tidak Perlu Takut Virus”

Di Singapura, Mufti Singapura Dr. Naziruddin Mohd Nasir menyampaikan pesan yang mengkritik pandangan sebagian muslim yang mengatakan tidak perlu takut dengan adanya Covid-19, sehingga tidak masalah kita tetap mengadakan kegiatan keagamaan. Ia mengatakan seperti disampaikan di unggahan akun Instagram resmi Kantor Kemuftian Singapura,

I hear that some foreign religion organisers say that fear God more than viruses and therefore they continue with gatherings. This is not the time to be senseless and irresponsible. I would like to be absolutely clear. We fear Gof by being responsible human beings. We fear God by not causing harm to others. We do not fear God by being reckless and by ignoring safety precautions.

“Saya mendengar beberapa pemuka agama di luar negeri ada yang bilang kalau takut kepada Tuhan lebih utama dibanding takut kepada virus, dan selanjutnya mereka tetap meneruskan acara keagamaannya. Ini bukan saatnya jadi tidak peka dan tidak bertanggung jawab. Saya harus bersikap yang tegas soal ini. Kami takut Allah dengan menjadi manusia yang bertanggung jawab. Kami takut Allah dengan tidak membahayakan orang lain. Kami jadi tidak takut Allah ketika tidak berpikir panjang dan malah tidak berjaga-jaga dari dampak buruk.”

Seminggu sebelumnya, Singapura telah lebih dahulu memutuskan untuk menghentikan shalat jumat sementara dua minggu kedepan. Ini merupakan respon atas munculnya dua pasien positif Corona yang sempat mengikuti kegiatan Jamaah Tabligh di Malaysia. beberapa hari sebelumnya.

BINCANG SYARIAH

Adakah Bacaan Khusus Selesai Shalat Jumat?

Adakah amalan atau bacaan khusus selesai shalat jumat? Karena banyak kita temui fenomena adanya hal itu di masyarakat setiap selesai shalat jumat. Simak penjelasannya berikut ini!

Adakah Bacaan Khusus Selesai Shalat Jumat?

Tanya Jawab Grup WA Admin Akhwat Bimbingan Islam

Pertanyaan:

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pertanyaan dari Sahabat BiAS T08 G05;

Ustadz afwan, adakah amalan ini shohih? Amalan setelah Shalat Jum’at:     

  1. Membaca surah Al Fatihah,
  2. Surah Al Ikhlas,
  3. Surah Al Falaq,
  4. Surah An Naas,

masing masing sebanyak 7x dan dilanjutkan dengan membaca:

 اللهم يا غني يا حميد يا مبدئ  يا معيد  يا رحيم  يا ودود  اغنني بحلا لك عن حرامك  وبطا عتك عن معصيتك و بفضلك عمن سواك

Barang siapa membaca doa di atas, Allah akan kayakan dengan rizqi uang tidak disangka-sangka dan Allah akan ampuni segala dosa-dosanya, serta Allah akan lindungi dirinya, keluarganya serta anak-anaknya. (Keterangan dari kitab Tanwiirul Quluub hal 136 Syekh M. AMIN AL KURDY)

جَزَاك الله خَيْرًا

(Disampaikan: admin BiAS T08)

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillāh, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ini termasuk ritual bid’ah yang tidak ada dalilnya di dalam agama kita, maka hendaknya kita tidak melakukannya. Akan tetapi kita berdoa kepada Allah ta’ala dengan doa-doa ma’tsur (yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah) atau meminta rizki secara umum dengan tanpa melakukan kreasi-kreasi baru di dalam agama kita.

Dan sebagian redaksi doa yang ditanyakan adalah redaksi doa yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, ia telah dimodifikasi ditambahi ini dan itu.

Selayaknya kita membaca doa dengan redaksi aslinya saja dan kita baca kapanpun, dimanapun terutama pada waktu-waktu yang mustajab dengan tanpa diiringi pembacaan surat tertentu dengan jumlah tertentu.

Berikut kami nukilkan riwayat dari redaksi doa tersebut:

عن عَلِيٍّ رضي الله عنه أَنَّ مُكَاتَبًا جَاءَهُ فقال إني قد عَجَزْتُ عن كِتَابَتِي فَأَعِنِّي قال ألا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لو كان عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ ثبير دَيْنًا أَدَّاهُ الله عَنْكَ قال قُلْ اللهم اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عن حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Dari Ali bahwasanya telah datang seorang yang punya hutang lantas berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mampu lagi melunasi hutangku.’ Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Maukah engkau aku ajari kalimat yang diajarkan oleh Nabi kepadaku, seandainya engkau memiliki hutang dinar sebanyak gunung Tsabir maka Allah akan melunasinya. Ucapkanlah oleh engkau: “Allahummakfinii bihallaalika ‘an haroomika, Wa Aghninii Bifadhlika ‘an siwaaka.” (Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan lindungilah aku dari yang haram, Cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu dan jauhkanlah aku dari selain-Mu). (HR Tirmidzi : 4/276, Al-Hakim : 1/538, Ahmad : 1/153 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 266).

Penutup

Walhasil, kita boleh membaca redaksi doa yang tersebut di dalam hadits yang kita nukilkan ini secara umum dengan tanpa disertai pembacaan surat atau ayat tertentu dengan jumlah tertentu.

Karena tidak ada dalil memerintahkan untuk membaca ayat kursi sebanyak tujuh kali setelah shalat jumat, akan tetapi hal tersebut disebutkan oleh Al-Ghazali dengan tanpa menyebutkan dalil yang melandasinya. Dan kita dituntut untuk mengikuti dalil di dalam melaksanakan peribadahan kepada Allah ta’ala.

Kecuali jika dzikir-dzikir yang dibaca setelah shalat sebagaimana yang tersebut di dalam sunnah, sebagaimana yang sudah sangat masyhur kita ketahui, maka itu tidak mengapa.

Wallahu a’lam, wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله
Jumat, 11 Muharram 1440H / 21 September 2018M

BIMBINGAN ISLAM

Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Anjuran memperbanyak shalat sunnah ketika menunggu khatib Jum’at

Jika seseorang sudah hadir di masjid dalam rangka shalat Jum’at, yang dianjurkan adalah memperbanyak shalat sunnah tanpa dibatasi dengan bilangan raka’at tertentu. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari sahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci semaksimal mungkin, memakai wewangian miliknya atau minyak wangi keluarganya, lalu keluar rumah menuju masjid, dia tidak memisahkan dua orang pada tempat duduknya, lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam, kecuali dia akan diampuni dosa-dosanya yang ada antara Jum’at itu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)

Demikian pula dalam hadits Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَا يُؤْذِي أَحَدًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْإِمَامَ خَرَجَ، صَلَّى مَا بَدَا لَهُ، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامَ قَدْ خَرَجَ، جَلَسَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ، حَتَّى يَقْضِيَ الْإِمَامُ جُمُعَتَهُ وَكَلَامَهُ، إِنْ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ فِي جُمُعَتِهِ تِلْكَ ذُنُوبُهُ كُلُّهَا، أَنْ تَكُونَ كَفَّارَةً لِلْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا

“Ketika seorang muslim mandi di hari Jum’at, kemudian berangkat ke masjid, lalu dia tidak menyakiti (mengganggu) seorang pun, jika dia menjumpai imam shalat Jum’at belum datang, dia pun shalat sebanyak yang dia mampu. Adapun jika dia melihat imam sudah datang, dia pun duduk, mendengarkan khutbah dan diam, sampai imam menyelesaikan shalat Jum’at dan khutbahnya, jika dia tidak diampuni pada hari Jum’at tersebut dosa-dosa dia seluruhnya, maka hal itu adalah penggugur dosa sampai hari Jum’at berikutnya.“ (HR. Ahmad 38: 547, Ibnu Khuzaimah 3: 138, Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir 4: 160-161, dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib 1: 360)

Faidah-faidah dari hadits di atas

Hadits-hadits di atas mengandung beberapa faidah sebagai berikut:

Pertama, yang dianjurkan ketika seseorang sudah memasuki masjid dalam rangka shalat Jum’at adalah shalat sunnah sebanyak yang dia kehendaki (tidak dibatasi bilangan raka’at tertentu) sampai imam (khatib) shalat Jum’at tiba di masjid [1]. (Lihat Nailul Authar, 6: 335)

Status shalat sunnah ini adalah shalat sunnah muthlaq, bukan shalat sunnah qabliyyah Jum’at. Shalat sunnah muthlaq adalah shalat yang dilakukan tanpa terikat dengan waktu tertentu, sebab tertentu, atau jumlah raka’at tertentu. [2] Hal ini karena shalat Jum’at tidak memiliki shalat sunnah qabliyyah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

“Oleh karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa sebelum shalat Jum’at tidak ada shalat sunnah yang dikaitkan dengan waktu tertentu atau dibatasi oleh bilangan raka’at tertentu. Hal ini karena ketentuan semacam itu harus ditetapkan berdasarkan perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan hal itu sama sekali tidak disyariatkan, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah madzhab Imam Malik, Asy-Syafi’i, mayoritas para shahabat, dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad … “ (Majmu’ Fataawa, 24: 189. Lihat pula pembahasan bagus dalam masalah ini dalam kitab Al-Ajwibah An-Naafi’ah karya Syaikh Al-Albani)

Adapun perbuatan sebagian orang, lebih-lebih di Masjidil Haram, berupa shalat dua rakaat atau empat rakaat yang langsung dikerjakan setelah adzan Jum’at yang pertama, dengan keyakinan bahwa shalat tersebut adalah shalat sunnah qabliyyah Jum’at sebagaimana ada shalat sunnah qabliyyah untuk shalat dzuhur, maka perbuatan tersebut tidak ada dalilnya.

Demikian pula, perbuatan tersebut tidak bisa dilandasi dengan dalil hadits,

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Terdapat shalat di antara dua adzan.” (HR. Bukhari no. 601 dan Muslim no. 838)

Karena yang dimaksud dengan “dua adzan” dalam hadits tersebut adalah adzan dan iqamat (iqamat juga bisa diistilahkan dengan adzan). Taruhlah bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah dua adzan, maka kita tidak menjumpai contoh praktik pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at kecuali adzan pertama dan iqamat. Sedangkan antara adzan dan iqamat adalah khutbah Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang disyariatkan di antara keduanya di hari Jum’at. Sehingga tidak tepat menjadikan hadits di atas sebagai dalil adanya shalat sunnah qabliyyah Jum’at dengan menetapkan bilangan rakaat tertentu, baik dua atau empat rakaat.

Ibnul Haaj rahimahullah berkata,

“Manusia hendaknya dilarang dari apa yang mereka ada-adakan berupa shalat setelah adzan pertama untuk shalat Jum’at. Perbuatan ini menyelisihi contoh dari salafus shalih, karena mereka dulu terbagi dalam dua kelompok. Sebagian mereka mendirikan shalat sunnah ketika masuk masjid, dan terus-menerus shalat sampai imam (khatib) naik mimbar. Jika khatib sudah naik mimbar, mereka menghentikan shalat sunnah. Sebagian lagi, mereka shalat sunnah, lalu duduk (menunggu), sampai shalat Jum’at didirikan. Jadi, tidak ada lagi shalat sunnah yang dikerjakan setelah duduk (setelah mereka berhenti mengerjakan shalat sunnah, pent.), dan tidak ada duduk lagi (duduk kedua) setelah mengerjakan shalat sunnah (berikutnya). Perbuatan salaf tersebut berbeda dengan perbuatan orang jaman sekarang, dimana orang di jaman sekarang ini mereka duduk sampai muadzin mengumandangkan adzan pertama, kemudian mereka berdiri lagi untuk shalat sunnah (kemudian duduk lagi setelahnya, pent.) … “ (Al-Madkhal, 2: 239 karya Ibnul Haaj)

Kedua, shalat tersebut boleh dikerjakan di waktu kapan pun, karena di dalam hadits dikatakan,

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ

“ … lalu dia shalat sebanyak yang dia mampu dan diam mendengarkan khutbah imam … “

Dzahir (makna yang tertangkap) dari hadits di atas adalah bolehnya shalat sunnah di hari Jum’at tersebut sebelum zawal (bergesernya matahari ke arah barat). Ini adalah di antara kekhususan hari Jum’at tersebut, dikecualikan dari waktu larangan shalat, yaitu sejak matahari tepat di tengah-tengah sampai bergeser ke barat. Dalil pengecualian ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Maka dianjurkan shalat sunnah sebanyak yang dia mampu, tidak ada yang menghentikan shalat sunnah tersebut kecuali ketika imam (khatib) shalat Jum’at sudah tiba (di masjid). Oleh karena itu, banyak ulama salaf mengatakan, di antaranya ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang kemudian diikuti oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah,

خروج الإمام يمنع الصلاة وخطبته تمنع الكلام

“Keluarnya (datangnya) imam menghentikan shalat (sunnah), sedangkan khutbah imam menghentikan pembicaraan.”

Jadi, mereka jadikan yang menghentikan shalat (sunnah) adalah kedatangan imam di masjid, bukan pertengahan siang (ketika matarahari tepat di tengah-tengah).” (Zaadul Ma’aad, 1: 378) [3]

Adapun tata caranya, dikerjakan seperti shalat biasa (tidak ada tata cara khusus) dan dikerjakan dua rakaat salam – dua rakaat salam. [2]

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat.

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Salat, Jumat ke Jumat dan Ramadan Penghapus Dosa

DARI Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Salat lima waktu, Jumat ke Jumat, dan Ramadan ke Ramadan adalah penghapus dosa-dosa yang di antara semua itu, jika dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 233]

Faedah Hadis

Pertama: Salat lima waktu yang wajib, salat Jumat, puasa Ramadan, dapat menghapuskan dosa dan maksiat.

Kedua: Hadis ini menunjukkan keutamaan salat lima waktu.

Ketiga: Hadis ini menunjukkan keutamaan hari Jumat.

Keempat: Yang dimaksud dalam hadis “Jumat ke Jumat” adalah dari salat Jumat ke salat Jumat.

Kelima: Hadis ini menunjukkan keutamaan bulan Ramadan.

Keenam: Syaikh As-Sadi menjelaskan surah An-Nisa ayat 48 dalam Tafsir As-Sadi (hlm. 178), “Dosa di bawah kesyirikan telah dijadikan oleh Allah berbagai bentuk pengampunan dengan sebab yang banyak. Di antara sebab pengampunan dosa adalah kebaikan yang dapat menghapuskan dosa, musibah yang diperoleh ketika di dunia, cobaan di alam barzakh dan hari kiamat, juga doa seorang mukmin pada mukmin lainnya, termasuk pula syafaat dari orang yang berhak memberikan syafaat. Di atas itu semua ada rahmat (kasih sayang) Allah pada ahlul iman dan orang yang bertauhid.”

Tentang ayat yang dimaksud, Allah Taala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa: 48)

Ketujuh: Satu waktu ada yang istimewa dari waktu yang lain.

Kedelapan: Dosa-dosa bisa dihapus dengan syarat menjauhi dosa besar. Jika tidak dijauhi, maka dosa-dosa kecil tidak terhapus. Allah Taala berfirman,

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa: 31)

Kesembilan: Dosa besar hanya dihapuskan dengan tobat dan karunia dari Allah. [rumaysho]

INILAH MOZAIK

Hukum Meninggalkan Shalat Jum’at

Shalat Jum’at adalah ibadah yang agung yang dilaksanakan di hari yang mulia. Ia juga merupakan syi’ar Islam yang besar. Hukumnya fardhu ‘ain bagi lelaki Muslim. Oleh karena itu, meninggalkan shalat Jum’at juga merupakan perkara yang fatal.

Meninggalkan shalat Jum’at adalah dosa besar

Dalam riwayat lain, dari Abul Ja’d Adh Dhamri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena meremehkannya, maka Allah akan kunci hatinya” (HR. Abu Daud no.1052, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam riwayat lain, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali padahal bukan kondisi darurat, maka Allah akan kunci hatinya” (HR. Ibnu Majah no.1126, dihasankan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Al Munawi rahimahullah menjelaskan makna hadits ini:

أي : ختم عليه وغشاه ومنعه ألطافه ، وجعل فيه الجهل والجفاء والقسوة ، أو صير قلبه قلب منافق

“Maksudnya: Allah akan mengunci hatinya, menutupnya dan menghalanginya dari kasih sayang Allah. Dan Allah akan jadikan kejahilan, kekasaran dan kekerasan hati padanya. Atau Allah akan jadikan hatinya seperti hati orang munafik” (Faidhul Qadir, 6/133).

Ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa udzur, ia telah melakukan dosa besar. 

Bahkan dalam hadits yang lain, orang yang meninggalkan shalat Jum’at tanpa udzur diancam lebih keras lagi. Dari Abul Ja’d Adh Dhamri radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَن ترَك الجمعةَ ثلاثًا مِن غيرِ عذرٍ فهو منافقٌ

“barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali tanpa udzur, maka dia orang munafik” (HR. Ibnu Hibban no.258, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no.727).

Bahkan Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu mengatakan:

من ترَكَ الجمعةَ ثلاثَ جمعٍ متوالياتٍ فقد نَبذَ الإسلامَ وراءَ ظَهْرِهِ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka ia telah melemparkan Islam ke belakang punggungnya” (HR. Al Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib, 1/132, ia mengatakan: “sanadnya shahih”).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

ترك الجمعة لا يجوز، وهو على خطر، صاحبها على خطر إذا تعمد تركها، عند جمع من أهل العلم يراه كافراً إذا تعمد تركها

“Meninggalkan shalat jum’at itu tidak diperbolehkan. Orang yang melakukannya dalam bahaya besar, jika ia melakukannya dengan sengaja. Menurut sebagian ulama, orang yang melakukannya bisa kafir jika ia bersengaja meninggalkan shalat jum’at” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/9823/).

Meninggalkan shalat Jum’at karena udzur

Yang dicela dalam hadits-hadits di atas adalah yang meninggalkan shalat jum’at dengan sengaja, tanpa ada udzur. Karena ancaman dalam hadits dikaitkan dengan syarat “… karena meremehkannya”, “… tanpa udzur” atau “… padahal bukan kondisi darurat”. Adapun jika ada udzur atau kondisi darurat maka tidak berdosa dan bukan orang munafik.

Demikian juga sebagaimana disebutkan hadits dari Thariq bin Syihab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ حقٌّ واجبٌ على كلِّ مسلمٍ فبجماعةٍ إلاَّ أربعةً عبدٌ مملوكٌ أوِ امرأةٌ أو صبيٌّ أو مريضٌ

“Shalat Jum’at adalah wajib bagi setiap Muslim dengan berjama’ah kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak kecil, orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dalam riwayat lain dari Tamim Ad Dari radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الجمعةُ واجبٌ إلا على امرأةٍ أو صبيٍّ أو مريضٍ أو مسافرٍ أو عبدٍ

“Shalat Jum’at itu wajib bagi kecuali wanita, anak kecil, orang sakit, musafir atau hamba sahaya” (HR. Al Bukhari dalam at Tarikh Al Kabir, 2/337).

Maka budak, wanita, anak kecil, orang sakit, dan musafir tidak dicela dan tidak disebut munafik ketika meninggalkan shalat jum’at. Karena mereka memiliki udzur.

Dan diantara udzur yang menyebabkan bolehnya meninggalkan shalat Jum’at adalah adanya penyakit. Al Mardawi rahimahullah dalam kitab Al Insaf mengatakan:

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

“Diberi udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah dan shalat jum’at bagi orang sakit tanpa ada khilaf di antara ulama. Demikian juga diberi udzur untuk meninggalkan shalat jama’ah dan shalat jum’at ketika ada kekhawatiran terkena penyakit”.

Orang yang mendapati kesulitan untuk melaksanakan shalat Jum’at, maka ada kemudakan baginya untuk tidak menghadiri shalat Jum’at. Sebagaimana kaidah fikih yang disepakati para ulama:

المشقة تجلب التيسير

“Adanya kesulitan, menyebabkan adanya kemudahan”.

Dan orang yang tidak menghadiri shalat Jum’at, baik karena ada udzur maupun karena sengaja, wajib baginya untuk shalat zhuhur empat raka’at. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

من لم يحضر صلاة الجمعة مع المسلمين لعذر شرعي من مرض أو غيره أو لأسباب أخرى صلى ظهرا ، وهكذا المرأة تصلي ظهرا ، وهكذا المسافر وسكان البادية يصلون ظهرا كما دلت على ذلك السنة ، وهو قول عامة أهل العلم ، ولا عبرة بمن شذ عنهم ، وهكذا من تركها عمدا ، يتوب إلى الله سبحانه ، ويصليها ظهرا

“Siapa yang tidak melakukan shalat Jumat bersama kaum muslimin karena udzur syar’i, baik berupa sakit, atau lainnya, maka ia wajib shalat Zhuhur. Demikian pula wanita, dia wajib shalat Zhuhur. Begitupula dengan musafir dan penduduk yang tinggal di gurun pedalaman, mereka wajib shalat Zhuhur, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Inilah pendapat mayoritas ulama, pendapat yang syadz (nyeleneh) dalam masalah ini tidak dianggap. Demikian pula bagi yang meninggalkannya dengan sengaja, hendaknya dia bertaubat kepada Allah dan dia wajib shalat Zhuhur.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 12/332).

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

**

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55747-hukum-meninggalkan-shalat-jumat.html