Apa Hukum Menunda-nunda Pembayaran Hutang

Pertanyaan.

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah hukum menunda-nunda pembayaran hutang bagi orang yang mampu? Mohon penjelasan rinci.

Jawaban

Tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu untuk menunda-nunda hutang. Yaitu penundaan yang dilakukan oleh orang yang mampu membayar apa yang wajib di tunaikan. Yang demikian itu sesuai dengan apa yang ditegaskan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya” [Kesahihannya telah disepakati)

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Bagaimanakah hukum menunda-nunda pembayaran hutang ?

Jawaban

Barangsiapa mampu membayar hutang maka diharamkan baginya menunda-nunda hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda.

“Artinya : Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya” [Kesahihannya telah disepakati]

Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia segera membayar hak orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dengan tiba-tiba, sementara dia masih tergantung pada hutangnya.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

PELUNASAN HUTANG

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada orang yang mempunyai hutang dan dia bermaksud untuk melunasinya, tetapi dia tidak bisa menjumpai orang-orang yang menghutanginya, ada diantaranya yang sudah meninggal, ada yang pindah ke luar negeri dan tidak pernah kembali lagi ke negaranya, dan ada juga diantaranya yang lupa sehingga tidak menyadarinya lagi. Bagaimana hukumnya?

Jawaban

Hak-hak hamba itu harus ditunaikan. Oleh karena itu, orang yang mempunyai hutang, siapapun juga, hendaklah dia berusaha keras untuk bisa menjumpainya atau menemui ahli warisnya, jika sudah meninggal dunia. Dan dalam keadaan dia tidak lagi sanggup menjumpainya atau ahli warisnya atau sahabatnya, karena orang yang dicarinya sudah pindah ke negeri yang tidak diketahuinya atau tidak dia ketahui alamatnya, atau lupa namanya secara keseluruhan, maka hendaklah dia membayarkan hutangnya itu kepada kaum fakir miskin dengan niat untuk pemiliknya.

Dan jika pemberi hutang itu datang, maka hendaklah dia memberitahukan kejadian yang sebenarnya, dan jika dia ridha maka selesai sudah masalahnya, tetapi jika tidak ridha maka dia harus membayarkan hutang itu kepadanya. Dan orang yang bersedekah itu akan mendapatkan pahalanya, insya Allah. Dan tanggung jawabnya tidak lepas tanpa itu.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seorang Yamani yang memiliki sebuah toko di dekat rumah saya. Dan saya biasa mengambil barang darinya dengan cara berhutang yang selalu saya lunasi kemudian. Tetapi, saya masih punya hutang padanya 40 riyal. Dan orang itu kemudian pindah dan saya tidak mengetahui sama sekali alamatnya sekarang, dan tidak juga mengenal kerabatnya, lalu apa yang harus saya perbuat dengan 40 riyal ini?

Jawaban

Uang sejumlah 40 riyal itu masih menjadi hutang bagi anda. Sebenarnya, orang-orang Yaman sering bepergian ke Kerajaan Saudi Arabia dan kembali lagi ke negeri mereka. Sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk dapat menjumpai pemiliki toko tersebut. Dan jika anda sudah berputus asa dari upaya menemuinya atau mengetahui tempat tinggalnya, maka anda boleh menyedekahkan uang tersebut atas nama dirinya. Kemudian jika tiba-tiba orang itu datang, maka beritahukan perihal yang sebenarnya kepadanya. Jika dia ridha dengan apa yang anda lakukan maka tidak ada masalah, dan jika dia tidak ridha maka anda harus membayarkan uang tersebut. Dan pahala sedekah itu akan menjdai milik anda.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 12 dari Fatwa Nomor 8859, Pertanyaan ke 15 dari Fatwa Nomor 19637, Pertanyaan ke 2 dari Fatwa Nomor 2235 dan Pertanyaan ke 2 dari Fatwa Nomor 1894. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

_________

 

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Read more https://pengusahamuslim.com/93-tanya-jawab-apa-hukum-menundanunda-pembayaran-hutang.html#more-93

Hukum Uang Komisi Atau Uang Tips Bagi Perantara/makelar

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah membawa seorang konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram ? Jika pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan ? Dan jika hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan ?

Jawaban

Jika pihak pabrik atau pedagang memberi anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri anda sebagai motivasi bagi anda atas kerja keras yang telah anda lakukan untuk mencari konsumen, maka uang tersebut tidak boleh ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula hal tersebut memberi mudharat pada orang lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh orang lain, maka hal itu boleh dan tidak dialarang.

Tetapi, jika uang yang anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka anda tidak boleh mengambilnya, dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli dengan harus menambah uang pada harganya.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Terjadi banyak perbedaan sekitar masalah nilai bagian yang akan diperoleh oleh seorang perantara. 1 jam bisa 2.5% dan bisa juga 5%. Lalu bagaimana nilai pembayaran yang disyariatkan, apakah ia tergantung pada kesepakatan antara penjual dengan broker ?

Jawaban

Jika telah terjadi kesepakatan antara broker (makelar) dengan penjual dan pembeli bahwa dia akan mengambil atau dari keduanya secara bersama-sama atas usahanya yang jelas, maka hal itu boleh. Dan tidak ada batas atas usaha itu dengan nilai tertentu. Tetapi apa yang menjadi kesepakatan dan persetujuan pihak-pihak yang terlibat maka hal itu boleh. Hanya saja, harus pada batasan yang biasa dilakukan oleh banyak orang, yang bisa memberi keuntungan bagi perantara atas usaha dan kerja kerasnya untuk menyelesaikan proses jual beli antara penjual dan pembeli, serta tidak terdapat mudharat kepada penjual atau pembeli atas tambahan yang diluar kebiasaan.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke 3 dari Fatwa Nomor 19912 dan Pertanyaan ke 8 san ke 9 dari Fatwa Nomor 19637. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi”i]

 

OlehAl-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Read more https://pengusahamuslim.com/143-tanya-jawab-hukum-uang-komisi-atau-uang-tips-bagi-perantaramakelar-broker.html

Jual Beli Dengan Orang Kafir Sementara Ada Pedagang Muslim

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Bagaimana hukumnya meninggalkan kerjamasa diantara kaum muslimin, yakni dengan tidak ridha dan tidak suka membeli dagangan dari kaum muslimin tetapi suka membeli barang dari toko-toko orang kafir, apakah hal seperti itu sebagai suatu yang halal atau haram ?

Jawaban

Ketetapan hukum pokok membolehkan orang muslim membeli apa yang dibutuhkannya dari apa yang dihalalkan oleh Allah baik dari orang muslim maupun orang kafir. Nabi Shallallahu “alaihi wa sallam sendiri pernah membeli dari orang Yahudi. Tetapi jika keengganan seorang muslim untuk membeli dari orang muslim lainnya tanpa adanya sebab ; baik itu dalam bentuk kecurangan, mahalnya harga, buruknya barang, yang membuatnya lebih suka membeli dari orang kafir serta lebih mengutamakannya atas orang muslim tanpa alasan yang benar, maka yang demikian itu jelas haram.

Sebab, yang demikian itu termasuk bentuk loyalitas kepada orang-orang kafir, meridhai dan juga mencintai mereka. Selain itu, karena hal tersebut dapat melemahkan perdagangan kaum muslimin dan merusak barang dagangan mereka serta tidak juga membuatnya laris, jika seorang muslim menjadikan hal-hal itu menjadi kebiasaannya.

Adapun jika sebab-sebab yang menjadikannya dia berpaling seperti tersebut diatas, maka hendaklah dia menasihati saudaranya (pedagang -ed) itu dengan memperbaiki kekurangannya tersebut. Apabila dia mau menerima nasihat tersebut, maka Alhamdulillah, dan jika tidak maka dia boleh berpaling darinya menuju ke orang lain, sekalipun kepada orang kafir yang terdapat manfaat dalam interaksi dengannya jujur.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu “alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa Nomor 3323, Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi”i>

 

Oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Read more https://pengusahamuslim.com/145-tanya-jawab-jual-beli-dengan-orang-kafir-sementara-ada-pedagang-muslim.html

Hukum Menjual Barang/Produk Cacat

Pertanyaan: Saya membeli sebuah mobil dan mendapati adanya kerusakan yang parah. Saya lalu menjualnya tanpa memberitahukan cacat tersebut kepada pembeli. Apakah hal ini termasuk al-ghisy (penipuan) atau tidak?

Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab:

Ya. Ini tergolong al-ghisy (penipuan). Dan telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu “alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”

Anda wajib meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta”ala dan bertaubat kepada-Nya. Hendaknya Anda segera menyampaikan dan memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada mobil itu, untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima mobil itu apa adanya, ed.) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya Anda membuat kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat itu, atau mobil itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.

Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas namanya sesuai nilai cacat itu.

Hanya Allah Subhanahu wa Ta”ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta”ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu “alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Wakil: Abdur Razzaq “Afifi

Anggota: “Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu”ud

(Fatawa Al-Lajnah, 13/204, pertanyaan ke-7 dari fatwa no. 1843)

Pertanyaan: Apa hukumnya menjual barang, yang seseorang membelinya dari pabrik dalam keadaan maghsyusyah (ada cacat tapi tidak diberitahukan)?

Al-Lajnah menjawab:

Bila dia ingin menjualnya dalam keadaan tahu bahwa barang itu cacat, dia wajib untuk menjelaskannya kepada pembeli bahwa barang itu ada cacatnya. Bila dia tidak menjelaskannya, maka dia berdosa, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu “alaihi wa sallam:

“Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”

Hanya Allah Subhanahu wa Ta”ala-lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta”ala semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu “alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau.

 

Oleh: Al Lajnah Ad Daimah

Read more https://pengusahamuslim.com/576-tanya-jawab-hukum-menjual-barangproduk-cacat.html

Jalan Perjuangan Masih Tersisa

Masihkah ingat beberapa hari yang lalu? Ketika setelah buka puasa terakhir di penghujung bulan Ramadhan, gema takbir pun mulai terdengar. Dari segala penjuru orang mengumandangkan “Allahu Akbar”. Hari kemenangan, itulah ungkapan orang  akan hari lebaran.  Kemenangan dari perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan, berhasil menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Esoknya, setelah menunaikan sholat Iedul Fitri beramai-ramai di lapangan, kita pun bersalam-salaman, sambil mengucapkan “minal aidin wal faizin” walaupun banyak yang salah mengartikannya. Mereka menganggap bahasa arab itu artinya “mohon ma’af lahir dan batin”. Ungkapan itu sebenarnya adalah ucapan selamat pada orang lain, bukan ucapan permintaan maaf. Arti “minal aidin wal faizin” yang sebenarnya adalah, semoga anda termasuk para pemenang dan dapat merayakan hari lebaran”.

Hari kebahagiaan telah tiba, yaitu hari raya iedul fitri. Memang pantas itu disebutkan hari kebahagiaan bagi orang yang berpuasa. Karena, itulah janji Rasulullah bagi mereka, beliau bersabda: “Bagi orang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan, gembira ketika mereka berbuka puasa, dan gembira saat mereka bertemu dengan Allah Ta’ala kelak” (HR. Bukhari). Ketika berbuka puasa kita diperintahkan makan dan minum, tidak boleh terus melanjutkan puasa sampai subuh. Begitu juga pada hari Iedul fitri diwajibkan makan minum, maksudnya adalah diharamkan berpuasa di hari bahagia tersebut.

Akan tetapi, perjalanan dan perjuangan hidup kita masih berlanjut. Kemenangan yang kedua, yaitu saat berjumpa dengan Allah Ta’ala masih suatu rahasia. Kita belum tahu apa yang akan dialami semasa hidup kita sebelum ajal menjemput nyawa. Kemenangan di hari hari akhir puasa ini bukanlah final. Ini hanyalah ibarat ujian harian atau ujian semesteran. Masih ada ujian besar yang menanti di depan, hari yang membuktikan menang atau kalah. Yaitu, hari kematian.

Ibadah kita belum selesai dengan berakhirnya Ramadhan. Karena,  Ramadhan hanyalah waktu, ia akan datang dan pergi menghampiri kita. Kitalah orang yang berperan di dalamnya. Bukan Ramadahan yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala, akan tetapi, kitalah yang dimintai perhitungan dari seluruh amalan kita.

Allah Ta’ala memerintahkan Rasulnya:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Maknanya: “Beribadahlah kepada Allah sampai datang ajal yang pasti akan datang menjemputmu” (QS. Al Hijr: 99)

Masih banyak kewajiban yang harus ditunaikan selama hidup ini. Dan banyak pantangan yang harus dihindari agar pahala yang telah kita simpan sebagai bekal tidak hancur dimusnahkan dosa.

Sungguh amat rugi lah orang yang membawa pahalanya di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, akan tetapi semua pahala itu hancur menjadi debu yang diterbangkan angin.  Merekalah yang mencampuri ibadahnya dengan perbuatan kesyirikan, menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadahnya.

Juga, amat rugilah, orang yang memikul pahala shalat, puasa, sedekah dan lain-lain, namun dihadapan Allah Ta’ala pahala tersebut malah dihadiahkan kepada orang lain sampai habis. Merekalah orang yang suka menzolimi orang lain selama di dunia, menyakiti orang lain dengan ucapannya, sikap dan perbuatannya.

Jadi, apa guna kemenangan puasa saat itu, jika “piala” kemenangan itu tidak sanggup kita jaga keawetannya sampai hari kematian menjelang. Inilah tugas kita yang masih tersisa, yaitu tugas menjaga amalan tetap berharga di hadapan Allah Ta’ala kelak di hari Kiamat. Agar kita dapat memperoleh surga dan dihindarkan dari neraka.

Itulah kemenangan hakiki, yang disebutkan Allah Ta’ala,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Maknanya: “Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 185)

Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)

Read more https://pengusahamuslim.com/4087-jalan-perjuangan-masih-tersisa.html

Amalan Lenyap di Akhirat karena Mencari Dunia saja

ALLAH Taala berfirman, “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mumin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa: 19)

Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di Iaanatul Mustafid, 2/92-93)

Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya. Ibnu Abbas radhiyallahu anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau radhiyallahu anhu- mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”

Ibnu Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.

Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlas dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Quran Al Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)

INILAH MOZAIK