Waktu Mustajab di Hari Jumat

Mohon jelaskan waktu yang mustajab untuk berdoa di hari jumat. Apakah di sepanjang hari jumat? Atau bagaimana?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lantas beliau bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari 935, Muslim 2006, Ahmad 10574 dan yang lainnya).

Kapan Waktu Mustajab Itu

Hadis di atas menyebutkan bahwa waktu mustajab itu jatuh di hari jumat. Dan itu hanya sesaat. Tanpa menyebutkan batasan, kapan tepatnya waktu itu terjadi.

Ada beberapa pendapat ulama tentang waktu mustajab tersebut. Dari sekian banyak pendapat, ada 2 pendapat yang dianggap lebih kuat (Fathul Bari, 11/199),

Pertama, waktu mustajab itu adalah antara duduknya imam sampaii selesainya shalat jumat.

Pendapat ini berdalil dengan beberapa riwayat berikut,

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Ia berkata, “Abdullah bin  Umar bertanya padaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyebut suatu hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai waktu mustajabnya doa di hari Jumat?” Abu Burdah menjawab, “Iya betul, aku pernah mendengar dari ayahku (Abu Musa), ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِىَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ

“Waktu tersebut adalah antara imam duduk ketika khutbah hingga imam menunaikan shalat Jumat.” (HR. Muslim 2012 dan Abu Daud 1051).

Kemudian disebutkan dalam riwayat lain,  dari Amr bin Auf al-Muzanni Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يَسْأَلُ اللَّهَ الْعَبْدُ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ ) !قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَيَّةُ سَاعَةٍ هِيَ ؟ قَالَ : ( حِينَ تُقَامُ الصَّلَاةُ إِلَى الِانْصِرَافِ مِنْهَا )

Sesungguhnya pada hari jumat terdapat satu waktu, jika para hamba memohon kepada Allah, pasti akan dikabulkan oleh Allah.

Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, waktu kapankah itu?’

Jawab beliau, “Ketika shalat dimulai hingga selesai shalat.”

(HR. Turmudzi 490, Ibn Majah 1138, namun hadis ini dinilai dhaif oleh al-Albani dan Syuaib al-Arnauth).

Kedua, waktu mustajab itu jatuh setelah asar. Ini merupakan pendapat Abdullah bin Sallam, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Imam Ahmad dan beberapa ulama.

Ada beberapa hadis yang mendukung pendapat ini,

  1. Hadis dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ

Di hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah asar. (HR. Ahmad 7631 dan dinilai shahih Syuaib al-Arnauth).

2. Hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Pada hari jumat ada 12 jam. (Diantaranya ada satu waktu, apabila ada seorang muslim yang memohon kepada Allah di waktu itu, niscaya akan Allah berikan. Carilah waktu itu di penghujung hari setelah asar. (HR. Abu Daud 1048, Nasai 1389 dan dishahihkan al-Albani).

3. Hadis dari Abdullah bin Sallam Radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Kami menjumpai adalam kitabullah, bahwa di hari jumat ada satu waktu, apabila ada seorang hamba beriman melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, kemudian memohon kepada Allah, maka Allah akan penuhi permohonannya.”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat kepadaku, ‘Itu hanya sebentar?’

‘Anda benar, hanya sebentar.’ Jawab Abdullah bin Sallam.

Lalu Abdullah bertanya, ‘Kapan waktu itu’

Jawab beliau,

هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ

“Itu adalah waktu di penhujung hari.”

‘Bukankah itu waktu larangan shalat?’

Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَلَى ، إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

“Benar, namun ketika seorang hamba melakukan shalat (di awal asar), lalu dia duduk menunggu shalat berikutnya, dia terhitung sedang melakukan shalat.” (HR. Ibn Majah 1139)

Dari dua pendapat di atas, menunjukkan bahwa pendaat kedua inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Menyibukkan diri dengan Dzikir dan Membaca Al-Qur’an di Hari Jum’at

Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya menyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala.

Memperbanyak membaca Al-Qur’an di hari Jum’at

Dianjurkan bagi orang yang menghadiri shalat Jum’at untuk memperbanyak shalat sunnah, sebanyak yang dia mampu. [1]

Jika selesai dari ibadah shalat sunnah, dia bisa membaca Al-Qur’an, jika memang bisa (mampu) membaca Al-Qur’an. Para ulama telah menyebutkan dianjurkannya membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barangsiapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam Shahihul Jami’ no. 6470)

Yang dimaksud dengan hari Jum’at adalah antara terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Maka di antara dua hal tersebut adalah waktu dianjurkannya membaca surat Al-Kahfi. Sehingga dianjurkannya membaca surat Al-Kahfi tidaklah khusus hanya ketika shalat Jum’at saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian manusia. Jika seseorang membaca surat Al-Kahfi setelah shalat subuh atau setelah shalat ‘ashar, itu pun sudah mencukupi, insyaa Allah. (Lihat Majmu’ Al-Fataawa, 24: 215)

Menyibukkan diri dengan dzikir dan berdoa

Jika tidak mampu membaca Al-Qur’an, hendaknya dia menyibukkan diri berdzikir kepada Allah Ta’ala dan berdoa kepada-Nya. Bertambahlah pahala dari membaca dzikir tersebut karena keutamaan hari Jum’at.

Dianjurkan pula untuk memperbanyak berdoa di sepanjang hari Jum’at tersebut, sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari, dengan penuh harap bersesuaian dengan waktu dikabulkannya doa (waktu ijabah). Waktu ijabah tersebut diperselisihkan oleh para ulama dengan perbedaan pendapat yang banyak sekali. Waktu tersebut diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hari Jum’at, kemudian beliau berkata,

فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Di hari Jum’at terdapat suatu waktu, yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri melaksanakan shalat, kemudian dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari no. 935 dan Muslim 2006)

Wallahu Ta’ala a’lam, dari pendapat-pendapat ulama terkait masalah ini, pendapat yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa waktu tersebut adalah setelah shalat ‘ashar di hari Jum’at. [2]

Memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Para ulama juga menyebutkan dianjurkannya memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum’at. Orang yang sudah hadir di masjid untuk shalat Jum’at, namun tidak berkehendak untuk memperbanyak shalat sunnah, dianjurkan untuk memperbanyak shalawat.

Hali ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ قُبِضَ، وَفِيهِ النَّفْخَةُ، وَفِيهِ الصَّعْقَةُ، فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِيهِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ: قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرِمْتَ – يَقُولُونَ: بَلِيتَ -؟ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ

“Sesungguhnya di antara hari-harimu yang paling utama adalah hari Jum’at, pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu beliau wafat, pada hari itu juga ditiup (sangkakala), dan pada hari itu juga mereka pingsan. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku -karena- shalawat kalian akan disampaikan kepadaku.”

Aus bin Aus berkata, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami bisa disampaikan kepadamu, sementara Anda telah tiada (meninggal)? -atau mereka berkata, “Telah hancur (menjadi tulang belulang).”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi.” (HR. Abu Dawud no. 1047, An-Nasa’i no. 1374, Ibnu Majah no. 1636, dan lain-lain. Dinilai shahih oleh Al-Albani)

Sebagian orang, ketika selesai mengerjakan shalat sunnah, mereka pun mulai mengantuk sampai ketika khatib naik mimbar. Perbuatan semacam ini berarti telah menghalangi dari kebaikan yang sangat banyak, dia pun terlewat dari mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di hari Jum’at. Terdapat hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ إِلَى غَيْرِهِ

“Apabila salah seorang mengantuk di dalam masjid (ketika khutbah Jumat), hendaknya dia pindah tempat duduk ke tempat duduk yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 1119, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Adapun hikmah adanya perintah berpindah tempat adalah agar orang tersebut kemudian bisa menggerakkan badannya untuk mengusir rasa kantuk tersebut. Kemungkinan hikmah yang lain adalah agar seseorang berpindah dari tempat yang telah membuat dia lalai (dengan mengantuk), ke tempat yang baru. Wallahu a’lam. (Lihat Nailul Authar, 3: 284)

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. [3]

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Ingat Allah Hati Menjadi Tenang

MEMANG, kita sering melihat banyak orang yang hidup berkecukupan yang secara nyata-nyatanya mereka adalah tergolong orang-orang yang sering berbuat dosa. Lantas bagaimana halnya dengan adanya keyakinan bahwa balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan?

Orang-orang yang sering terlihat berbuat dosa, namun terlihat nyaman dengan berbagai kepemilikian duniawinya, walau demikian bagaimana dengan kondisi hati mereka? Apakah ada ketenangan di hati mereka? Pasti tidak ada. Karena, hanya dengan berzikir kepada Allah hati menjadi tenteram. Buat apa memiliki kekayaan duniawi kalau hati gelisah, makan tidak tenang, tidur tidak nyenyak.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Radu : 28)

Balasan terbaik bukanlah dengan apa yang ia miliki dari kekayaan duniawi, tetapi semakin dekat kepada Allah, hati yang semakin mantap, yakin dan istiqomah dalam beribadah kepada Allah.

Di saat kita memiliki niatan yang baik, kita lantas dituntun oleh Allah, bersabar dalam berusaha, sehingga saat bertemu dengan rezeki semua dilakukan dengan penuh keberkahan. Ditambah dengan dikeluarkannya sedikit dari rezeki yang kita miliki untuk berjuang di jalan Allah, maka semakin nikmat karunia yang telah Allah berikan ini.

Jangan pernah merasa tidak adanya pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini, karena semua hal yang kita lakukan diawasi dan diperhitungkan oleh Allah untuk diberi balasan bahkan di dunia ini juga, kecuali perbuatan dosa yang segera dimohonkan ampunan-Nya. Semua hal akan dipertanggungjawabkan, karena pada hari perhitungan kelak, anggota tubuh ini akan bersaksi.

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin: 65)

Oleh karena itu, berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah. Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga. Karena, dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, sehingga dia akan sibuk dengan Allah tanpa perlu berakting dan berpura-pura.

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yunus: 61)

Kita tidak tahu sesuatu yang terjadi di masa depan. Saat ujian di sekolah, misalnya, sebagai murid tidak akan pernah tahu materi yang nantinya akan keluar. Sedangkan Allah Maha Tahu apa pun yang akan terjadi di kemudian hari dengan detail. Jadi bergantung saja pada Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh, ikhtiar dengan benar dan baik, dan lakukanlah hal-hal yang Allah sukai, dan berharaplah semua akan dimudahkan. [

INILAH MOZAIK

Mengembalikan Fungsi Masjid di Masa Rasulullah

Masjid Istiqlal meluncurkan program Majelis Mudzakarah, Rabu (2/9) hari ini. Peluncuran yang dilakukan secara virtual ini dipimpin langsung oleh Imam Besar masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar dan Ketua majelis mudzakarah Masjid Istiqlal (M3I), KH Quraish Shihab.

KH Quraish Shihab mengatakan, peluncuran majelis mudzakarah ini merupakan upaya untuk mengingat kembali fungsi masjid seperti yang diterapkan pada masa rasulullah SAW. Mantan menteri Agama ini juga menjelaskan makna dasar dan arti yang terkandung dari majelis mudzakarah.

“Majelis itu memiliki arti mengajak orang yang berbaring untuk duduk, dan mengajak orang yang duduk untuk bergerak, melakukan suatu kegiatan. Majelis ini harus dimaknai sebagai membangunkan yang tidur, mengajak yang tidak aktif untuk aktif, dan segera bangkit untuk melakukan kegiatan,” jelasnya saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal, Rabu (2/9).

“Sedangkan Mudzakarah adalah suatu kata yang menunjukkan kegiatan timbal balik. Diambil dari huruf yang memiliki makna asasi, pertama, jantan, dan kedua, mengingat atau menyebut, memelihara, dan menunjukkan keterlibatkan dua pihak. Maka majelis mudzakarah ini diartikan sebagai tempat yang berisi kegiatan yang melibatkan dua pihak untuk saling mengingatkan, saling menguatkan, dan saling memperkokoh,” ujarnya.

Adapun alasan majelis mudzakarah diluncurkan dari masjid, kata KH Quraish, tak lain untuk mengingatkan kembali fungsi masjid sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Jika pada masanya, Rasulullah memusatkan seluruh kegiatan di masjid, baik sosial, ekonomi, kesenian, kebudayaan, bahkan pemerintahan, maka Majelis Mudzakarah ini akan berfungsi sebagai pengingat dan penyalur ajaran yang telah nabi muhammad SAW berikan.

“Fungsi masjid sangat banyak, meski sekarang fungsi itu sudah dialihkan ke lembaga lain. Walaupun masjid saat ini tidak lagi berfungsi sebagaimana fungsi masjid pada masa Rasulullah, tapi nilai nilai yang diajarkan nabi harus tetap disalurkan, dan itu dapat terwujud melalui mudzakarah yaitu saling ingat-mengingatkan,” jelasnya.

Selain meluncurkan majelis mudzakarah, Masjid Istiqlal juga akan mengadakan beberapa program unggulan lain, seperti program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang akan diadakan secara nasional dan internasional.

Melalui program ini, para peserta akan diberikan sertifikat kader ulama dari Masjid Istiqlal dan sertifikat akademik setara magister jurusan ilmu tafsir dari Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an (PTIQ) Jakarta.

“Program ini bersifat nasional dan kami akan mengundang seluruh pimpinan dari seluruh daerah untuk mengirim utusannya yang insyaAllah akan mampu memimpin umat, dan imam di masjid daerah masing-masing,” ujarnya.  

“Di kesempatan selanjutnya, kami juga akan membuka program PKU level internasional dengan meminta peserta dari komunitas Muslim seluruh dunia, khususnya utusan dari masjid negara di setiap negara. InsyaAllah ini akan kita laksanakan dalam waktu dekat,” tambahnya.

Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Ketua Harian Badan Pelaksana Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar menjelaskan Masjid Istiqlal juga telah menyiapkan rentetan program lain seperti program pendidikan pascatahfidz, majelis pengkajian Masjid Istiqlal, lembaga pengkajian dan pengembangan ekonomi umat, sharing bersama ulama dan umara, juga workshop imam-imam besar masjid negara dari seluruh dunia.

“Kita akan terus mengadakan program dan kegiatan, baik online maupun offline, dan berharap agar masyarakat dapat terus berpartisipasi dan mendukung program-program yang ada,” tutupnya.  

Peresmian Majelis Mudzakarah Masjid Istiqlal (M3I) ini juga dihadiri oleh Imam Islamic Center of New York, KH Syamsi Ali, Guru Besar UIN Jakarta, KH Said Aqil Husin Al Munawwar, Dosen Monash University, Nadisyah Hosen dan sejumlah tokoh islam lainnya.

IHRAM



Mengapa Husain Cucu Nabi SAW Bawa Keluarga Saat Dibantai?

usain cucu Nabi SAW dibantai bersama keluarga di Karbala

Mengapa Sayidina Husain  RA membawa serta keluarganya dalam ekspedisi ke kufah? Bukankah hal itu membawa keluarganya pada bahaya? Pertanyaan itu lah yang sering muncul dari waktu ke waktu khususnya pada 10 Muharam atau peringatan tragedi Karbala. 

Pada hari itu, cucu Nabi Muhammad yakni Husain  bin Ali dibantai bersama pengikutnya di Karbala oleh tentara penguasa Umayah kala itu yakni Yazid bin Muawiyah. Lalu mengapa Husain  harus membawa keluarganya? 

Peneliti Pemikiran Islam, Mohamed Fathi Al Nady, mengatakan apa yang dilakukan Husain  dengan membawa keluarganya ke Karbala adalah hal normal.  

“Dia membawa keluarganya bersamanya karena dia tak dapat menjamin keamanan mereka di tempat lain, seandainya dia berhasil merebut kekuasaan di Kufah, umat Islam akan membalas dendam dengan merugikan keluarganya dimanapun mereka berada. Jadi tampaknya lebih baik dan lebih aman bahwa mereka (keluarga Husain ) menemaninya dalam perjalanan,” kata Fathi Al Nady seperti dilansir About Islam pada Jumat (28/8).  

Al Nady menjelaskan bahwa yang memperkuat pandangan itu adalah bahwa Husain  mempercayai janji-janji kaum Kufah untuk mendukungnya. 

Al Nady mengatakan orang-orang Kufah mengirimkan surat yang menegaskan dukungan untuk tujuan Husain . Bahkan jelas Al Nady berdasarkan laporan sejarah bahwa 12 ribu orang bersenjata dari Kufah menyatakan kesiapan membela Husain  saat tiba. 

“Jadi dia (Husain ) percaya bahwa mereka (kaum Kufah) akan dapat melindunginya dan membantunya menegakan aturannya. Sayangnya seperti dituliskan buku- buku sejarah, orang Kufah tak menerima tantangan ini dan mereka mengecewakan Husain dalam perjuangan melawan tirani dan kediktatoran Yazid bin Muawiyah. Dan pengkhianatan itu menyebabkan pembunuhan tragis Husain dan pengikutnya,” katanya.

Sumber: https://aboutislam.net/shariah/special-coverage-shariah/al-hussein-took-family-karbala/

KHASANAH REPUBLIKA

Halalkah Mengonsumsi Kepiting?

Bagi penyuka seafood, kepiting tentu bukan sesuatu yang asing. Bahkan, bisa jadi kepiting merupakan menu favorit. Dari sisi cita rasa, daging kepiting memang sangat lezat. Hanya saja, tak sedikit Muslim yang mempertanyakan status kehalalan kepiting. Maklum, banyak yang mengira kepiting termasuk hewan yang hidup di dua alam dan beracun pula. Anda juga mempertanyakannya?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah menerbitkan fatwa mengenai hal ini. Intinya, MUI menyatakan kepiting halal, kecuali yang beracun. Pada rapat Komisi Fatwa MUI, 15 Juni 2002,  Dr Sulistiono, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, menjelaskan, ada empat jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarrica, Scylla olivacea, dan Scylla pararnarnosain. Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut ‘kepiting’.

Dalam makalah berjudul “Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylla spp)”, yang disampaikan waktu itu, Sulistiono mengatakan, kepiting adalah jenis binatang air karena bernapas dengan insang, berhabitat di air, dan tidak akan mengeluarkan telur di darat melainkan di air karena ia memerlukan oksigen dari air.

Kepiting, termasuk keempat jenis di atas, ada yang hidup di air tawar saja, di air laut saja, dan hidup di air laut dan tawar. “Jadi, tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam (laut dan darat),” ujar Sulistiono.

Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa kepiting ini beracun? Nah, ini juga perlu diluruskan. Sebagian besar jenis kepiting justru tidak beracun, kecuali kepiting kelapa yang banyak ditemukan di perairan Maluku.  Di sisi lain, seperti dikatakan pakar pangan halal Dr H Anton Apriyantono, tidak ada satu nas pun, baik dari Alquran maupun hadis, yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam.

Yang ada adalah pengharaman kodok, yang kebetulan hidup di dua alam. Mungkin, kata Anton, para ulama terdahulu menyimpulkan keharaman hewan yang hidup di dua alam berdasarkan qiyas (logika kesetaraan) terhadap kodok dan hewan buas seperti buaya yang menurut pemahaman mereka hidup di dua alam.

Komisi Fatwa MUI pun, kata Anton, telah melakukan kajian mengenai status kehalalan hewan yang hidup di dua alam. Kesimpulannya, tidak ada dasar nas yang mengharamkan hewan yang hidup di dua alam. “Itu sebabnya, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa bahwa kepiting itu halal,” kata Anton yang pernah menjadi anggota Tim Penyempurnaan SK Menteri Agama tentang pedoman pemeriksaan kehalalan makanan.  

Sebetulnya, lanjut mantan menteri pertanian ini, tidaklah tepat alasan kepiting haram  dikarenakan punya capit. “Bagaimana dengan ikan lele yang punya patil?” ucapnya retoris.

Dalam surah al-A’raf ayat 157 disebutkan, Allah mengharamkan makanan yang khabaits (buruk dan menjijikkan). Nah, atas dasar inilah kemudian Imam Syafii mengharamkan kepiting, penyu, dan lain-lain, sebagaimana termaktub dalam buku Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.

Tapi, menurut Anton, masalah khabaits ini juga masih bisa diperdebatkan. Sebab, sebagian besar orang tidak memandang kepiting sebagai makanan yang khabaits. Itulah sebabnya, Komisi Fatwa MUI menghalalkannya. “Lagi pula, definisi hewan yang hidup di dua alam juga masih diperdebatkan.”

IHRAM



Ketinggalan Puasa Tasua, Bolehkah Puasa Sehari Asyura Saja?

Setelah tahu Yahudi dan Nasrani juga mengagungkan hari asyura, Rasulullah tak ingin hanya puasa sehari di tanggal 10 Muharram. Beliau berazzam menambah satu hari puasa lagi di tanggal 9 Muharram, yakni puasa tasua.

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan orang agar berpuasa padanya, mereka berkata, “Ya Rasulullah, ia adalah suatu hari yang dibesarkan oleh orang Yahudi dan Nasrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika datang tahun depan, insya Allah kita berpuasa juga pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Maka belum lagi datang tahun berikutnya itu, Rasulullah SAW pun wafat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Yang menjadi pertanyaan, ada kalanya seorang muslim baru tahu bahwa puasa tasua adalah sunnah. Ada pula yang lupa bahwa Jumat kemarin adalah tanggal 9 Muharram sehingga tidak puasa tasua. Nah, bolehkah puasa asyura jika pada 9 Muharram tidak menjalankan puasa tasua? Bolehkah puasa asyura jika ketinggalan puasa tasua?

Boleh Puasa Asyura Tanpa Puasa Tasua

Tidak ada satu pun ulama yang mengharamkannya. Boleh bagi seorang muslim puasa sehari saja di tanggal 10 Muharram. Yakni puasa asyura. Dan insya Allah ia tetap mendapatkan keutamaannya yaitu Allah mengampuni dosanya setahun sebelumnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya tentang puasa asyura.

سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

Rasulullah ditanya tentang puasa asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

Namun yang lebih utama adalah tidak hanya puasa di tanggal 10 Muharram, namun menambahkan puasa sehari sebelumnya. Yakni puasa tasua. Jika puasa tasua terlewat, bisa menambahkannya dengan puasa tanggal 11 Muharram. Sehingga, puasanya tidak sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hanya puasa sehari di tanggal 10 Muharram.

Tingkatan Puasa Asyura

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa puasa asyura memiliki tiga tingkatan.

Pertama, berpuasa selama tiga hari, yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Kedua, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Ketiga, berpuasa pada hari kesepuluh saja ,” tulis Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah.

Dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan jika seseorang berpuasa Asyura tanpa Tasu’a, disunnahkan baginya –menurut mazhab Syafi’i- berpuasa pula pada tanggal 11 Muharram. Bahkan Imam Syafi’i sendiri dalam kitab Al Umm dan Al Imlaa’ menyatakan kesunnahan berpuasa pada tiga hari tersebut sekaligus.

Semoga Allah mudahkan kita menjalankan puasa asyura dan Allah ampuni dosa kita setahun sebelumnya. Juga Allah mudahkan kita mengirinya dengan puasa tasua (9 Muharram) atau puasa 11 Muharram. Penjelasan lengkap mulai keutamaan hingga tata cara puasa asyura bisa dibaca di artikel Niat Puasa Asyura. Wallahu a’lam bish shawab.

[Muchlisin BK/BersamaDakwah]

Rasa Takutmu Pada Akhirat adalah Penyelamatmu!

Allah Swt berfirman :

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لِّمَنۡ خَافَ عَذَابَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.” (QS.Hud:103)

Salah satu pegangan orang-orang Sholeh adalah selalu mengingat akhirat. Dalam melangkah, dalam berbuat, dalam menentukan keputusan, semuanya dipertimbangkan berdasarkan rasa takut kepada kehidupan akhirat.

Rasa khawatir dan “takut” terhadap nasib di akhirat mendorong manusia untuk berhati-hati dan lebih taat kepada Tuhannya.

Mari kita renungkan bersama ayat-ayat dibawah ini :

(1).

يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ

“Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” (QS.An-Nur:37)

(2).

قُلۡ إِنِّيٓ أَخَافُ إِنۡ عَصَيۡتُ رَبِّي عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ

Katakanlah (Muhammad), “Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku.” (QS.Al-An’am:15)

(3).

وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizhalimi (dirugikan).” (QS.Al-Baqarah:281)

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa semakin besar rasa takut kita kepada akhirat maka semakin besar pula dorongan kita untuk taat kepada Allah dan menghindari maksiat.

Ingatlah selalu bahwa kita semua akan kembali pulang ke rumah abadi. Semua hanya tentang waktu, antara saya dan anda tiada yang tau siapa yang akan lebih dulu kembali.

Manfaatkan waktu sebaik mungkin dan jadikanlah akhiratmu sebagai pertimbangan dalam menentukan setiap langkahmu !

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Sifat dan Ciri Firqatun Najiyah

Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan

Pertanyaan:

Siapakah firqatun naajiyah (golongan yang selamat) di zaman ini? Bagaimanakah sifat dan ciri khasnya?

Jawaban:

Al-firqatun naajiyah al-manshurah (golongan yang selamat dan mendapatkan pertolongan) di zaman ini, hingga datangnya hari kiamat, adalah yang dikatakan (dijelaskan) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya masalah ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

إفترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة. وافترقت النصارى على اثنين وسبعين فرقة. وستفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة

“Orang Yahudi berpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Orang Nasrani berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sedangkan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya (terancam) masuk ke dalam neraka kecuali satu golongan saja.”

Para sahabat bertanya,

من هي يارسول الله؟

“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab,

ماكان على مثل ما أنا عليه اليوم وأصحابي

“Mereka adalah golongan yang mana aku dan para sahabatku berpegang teguh padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2641, Hakim 1: 129, dan lain-lain. Lihat Ash-Shahihah no. 203, 204, dan 1492)

Allah Ta’ala mengatakan tentang mereka,

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100)

Di antara sifat mereka adalah: berpegang teguh pada jalan (sunnah) yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Di antara sifat mereka adalah: mereka bersabar di atas kebenaran, tidak berpaling kepada ucapan (pendapat) orang-orang yang menyelisihi mereka, dan mereka tidak mempedulikan celaan orang-orang yang mencela mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ، لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Senantiasa ada sekelompok umatku yang dimenangkan atas kebenaran, tidak akan membahayakan mereka orang yang memusuhi mereka hingga hari kiamat, sedangkan mereka tetap seperti itu” (HR. Muslim no. 1920).

Di antara sifat mereka adalah: mereka mencintai as-salaf ash-shalih [1]memuji mereka, mendoakan mereka, dan berpegang teguh dengan atsar [2] mereka.

Di antara sifat mereka adalah: tidak merendahkan satu pun generasi salaf, baik dari kalangan sahabat atau generasi setelahnya. [3]

Sedangkan di antara sifat golongan yang menyimpang adalah: mereka membenci generasi salaf, membenci manhaj salaf, dan memperingatkan agar menjauhinya. [4] [5]

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Ketika Wanita Muslimah Menikah dengan Lelaki Non Muslim

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah

Soal :

Apabila ada seorang pria yang beragama Nasrani menikah dengan seorang Muslimah, lalu mereka mempunyai anak. Bagaimana status anak tersebut dalam syari’at Islam?

Jawab :

Pernikahan antara seorang lelaki Nasrani dengan seorang Muslimah adalah pernikahan yang batil. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” (QS. Al-Baqarah: 221).

Maka tidak diperbolehkan lelaki kafir menikah dengan seorang wanita Muslimah. Allah Ta’ala juga berfirman :

لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ

“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah: 10).

Apabila lelaki tersebut menikahinya, maka pernikahannya tidak sah dan anak-anaknya adalah anak zina. Dan anak hasil zina itu dinasabkan hanya kepada ibunya, dan tidak boleh dinasabkan kepada bapaknya.

Kecuali apabila pasangan suami istri yang berbeda agama tersebut tidak memahami hukum Islam (tentang tidak bolehnya nikah beda agama), maka ini perkara yang berbeda. Pernikahan mereka tidak sah, namun anak-anak hasil pernikahan mereka boleh dinasabkan kepada bapaknya, disebabkan adanya udzur yaitu kebodohan mereka, karena senggama yang mereka lakukan adalah watho’ syubhah (senggama yang dilakukan atas dasar nikah yang syubhat).

Adapun jika pasangan tersebut sebenarnya sudah mengetahui hukum Islam (dalam masalah ini), akan tetapi mereka bermudah-mudahan (untuk menikah) dan tidak mempedulikan hukum Allah Ta’ala, maka anak-anaknya menjadi anak zina. Dan anak-anaknya dinasabkan hanya kepada ibunya, bukan kepada bapaknya. 

Dan si lelaki ini wajib dijatuhi hukuman had (oleh pemerintah) dikarenakan hubungan biologisnya terhadap perempuan Muslimah tanpa hak. Hukum ini wajib ditegakkan apabila terjadi pada negeri yang punya kemampuan dalam menegakkan hukum islam.

Soal :

Bagaimana jika si lelaki tersebut masuk Islam?

Jawab :

Pertama, mereka harus dipisahkan dahulu. Kemudian jika si lelaki tersebut masuk Islam, maka ia harus menikah ulang dari awal. Jika masuk Islam dan Allah beri ia hidayah kepada Islam, maka ia menikah ulang dari awal.

***

Sumber: website binbaz.or.sa, url: https://bit.ly/2EEB4w2 

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Pemuraja’ah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id