Tanda Cinta Seorang Hamba kepada Allah Sang Pemilik Cinta

Bagaimana mungkin seorang hamba mampu menjalani ketaatan dan mampu meninggalkan kemaksiatan, apabila Allah tak memberikan kemampuan itu kepadanya? Bagaimana bisa seorang hamba mendapatkan karunia ketaatan, tatkala dalam hatinya tiada rasa cinta kepada Dzat yang menganugerahi cinta kepadanya? Kemudian, bagaimana cara seorang hamba bisa mencintai Tuhannya, jikalau berupaya untuk mengenal-Nya saja tidak? (Baca: Tiga Cara Menanam Rasa Cinta Kepada Allah)

Oleh karenanya, para ahli ilmu–termasuk di antaranya adalah Gus Mus–kerap kali menyampaikan bahwa, kewajiban pertama bagi manusia ialah mengenal Allah Swt. (Awwalu wajib ‘alal insan ma’rifatullah). Setelah menjalani tahapan pertama, yakni mengenal Allah, baru kemudian seorang hamba bisa merasakan mahabbah kepada Allah, yang mana salah satu buah dari mahabbah itu ialah ketaatan kepada Allah Swt.

Baik mengenal Allah, mencintai-Nya, maupun taat kepada-Nya memanglah sama-sama penting bagi seorang hamba. Tetapi dengan mencermati ketiga fase yang telah disebutkan, dapat dimengerti bahwa terdapat tali yang menghubungkan antara perkenalan dengan ketaatan, yaitu mahabbah kepada Allah Swt. Pertanyaannya, lantas bagaimana bisa mengetahui bahwa seorang hamba telah menempuh jalan mahabbah menuju Allah?

Melalui kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan beberapa tanda cinta seorang hamba kepada Allah yang di dalam dirinya. Di antara tanda-tanda yang dimaksud ialah, merindukan perjumpaan dengan Dzat yang memberi rasa cinta kepada hamba-Nya, yaitu Allah Swt.

Sebagaimana umumnya yang biasa dirasakan, tatkala seseorang merindukan orang lain, maka tiada jalan lain baginya untuk menebus kerinduan itu selain dengan perjumpaan. Ketika kita merindukan orang lain, maka kita akan mengupayakan berbagai cara supaya bisa berjumpa. Andai pun diminta berjumpa, maka kita tak akan menolak ajakan itu.

Begitu juga ketika seorang hamba merindukan Tuhannya, maka yang paling ia nantikan ialah berjumpa dengan-Nya. Karena seorang hamba sejati tak akan pernah menolak panggilan untuk berjumpa dengan Tuhannya. Sikap demikian juga yang dicontohkan oleh Khalilurrahman: Nabi Ibrahim a.s.

Ketika Malaikat Maut datang menghadap Nabi Ibrahim a.s., atas perintah Allah untuk mencabut ruh, Nabi Ibrahim pun segera melayangkan sanggahan terhadap tujuan kedatangan Malaikat Maut. Nabi Ibrahim berkata, “Hal ra’aita khalilan yumitu khalilahu? (Apakah engkau pernah melihat, seorang kekasih membunuh orang yang dikasihi?)”. Sebagaimana kita tahu, Nabi Ibrahim merupakan orang yang diberi julukan Al-Khalil (kekasih) atau Khalilurrahman (sang kekasih dari Dzat Yang Mahapengasih). Sehingga pantas saja apabila Nabi Ibrahim menyanggah tujuan kedatangan Malaikat Maut dengan ucapan tersebut.

Tidak lama setelah Nabi Ibrahim berkata demikian, kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim. Tanpa perlu Malaikat Maut menjawab pertanyaan tersebut, dengan sendirinya dapat terjawab oleh wahyu Allah yang tidak lain ialah sebuah pertanyaan kebalikan atas sanggahan Nabi Ibrahim. Allah berfirman, “Hal ra’aita muhibban yakrahu liqa’a habibahu? (Adakah engkau menjumpai orang yang mengaku mencintai, tetapi enggan bertemu kekasihnya?)”

Mendapat pertanyaan demikian, Nabi Ibrahim kemudian menyapa kembali Malaikat Maut, seraya berkata, “Wahai Malaikat Maut, cabutlah ruhku sekarang juga!” Karena kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah, maka tak sedikit pun hatinya berpaling dari jalan menuju perjumpaan itu.

Kejadian sebagaimana yang disebutkan di atas tentu tidak dapat kita jumpai, kecuali dari seorang hamba yang benar-benar memiliki rasa cinta kepada Tuhannya, dengan sepenuh hati. Tatkala mengetahui bahwa kematian merupakan sebab dari adanya perjumpaan, maka seketika hatinya bergetar dan tak sedikit pun ada perasaan untuk beralih menuju kekasih yang lain, atau berpaling dari kesempatan berjumpa.

Mungkin saja selama ini kita masih mengira bahwa kematian merupakan saat di mana cinta yang kita rasa itu berhenti. Tetapi nyatanya tidak demikian. Karena tidak bisa dipungkiri bahwasanya kematian merupakan pintu pembuka menuju perjumpaan kepada kekasih yang sesungguhnya. Yang tidak lain adalah realisasi dari rasa cinta kepada Dzat Yang Mahacinta. Walahu a’lam bish shawab.

BINCANG SYARIAH

4 Langkah Setan: Banyak Memandang, Makan, Bicara, dan Bergaul

Empat langkah inilah yang menjadi langkah setan dalam menyesatkan manusia menurut Ibnul Qayyim rahimahullah.

Dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:816), Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

إِمْسَاكُ فُضُوْلِ النَّظَرِ وَالكَلاَمِ وَالطَّعَامِ وَمُخَالَطَةِ النَّاسِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إِنَّمَا يَتَسَلَّطُ عَلَى اِبْنِ آدَمَوَيَنَالُ مِنْهُ غَرَضَهُ مِنْ هَذِهِ الأَبْوَابِ الأَرْبَعَةِ فَإِنَّ فُضُوْلَ النَّظَرِ يَدْعُو إِلَى الإِسْتِحْسَانِ وَوُقُوْعِ صُوْرَةِالمَنْظُوْرِ إِلَيْهِ فِي القَلْبِ وَالإِشْتِغَالِ بِهِ وَالفِكْرَةِ فِي الظَفْرِ بِهِ

“Hendaknya menahan diri dari pandangan yang tak bisa terjaga, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul. Hal-hal ini merupakan empat pintu setan dalam menguasai manusia dan jalan setan mencapai tujuannya. Enggan menundukkan pandangan akan mengantarkan pada menganggap baik (istihsan), yang dilihat akan menancap dalam hati, pikiran pun akan sibuk membayangkannya, hingga berpikiran agar tercapai tujuan.”

Empat hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam poin kesepuluh setelah menyebutkan sembilan kaidah bermanfaat untuk melindungi hamba dari setan dan menyelamatkan dari gangguannya. Lihat Badaa-i’ Al-Fawaid, 2:809-816.

Pertama: Banyak memandang

Contohnya adalah memandang lawan jenis.

Dalam surah An-Nuur sendiri diperintahkan untuk menundukkan pandangan,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُم

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 30)

Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31)

Dalam hadits disebutkan,

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ

“Zina kedua mata adalah dengan melihat.” (HR. Muslim, no. 6925)

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pandangan yang tidak di sengaja. Maka beliau memerintahkanku supaya memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim, no. 2159)

Kedua: Banyak bicara

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ،

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik, ataukah diam.” (HR. Bukhari, no. 6018, 6019, 6136, 6475 dan Muslim, no. 47)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ قاَلَ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

Semoga ibumu kehilanganmu! (Kalimat ini maksudnya adalah untuk memperhatikan ucapan selanjutnya). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.’” (HR. Tirmidzi, no. 2616 dan Ibnu Majah, no. 3973. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadits ini hasan).

Ketiga: Banyak makan

Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, 4:132; Tirmidzi, no. 2380; Ibnu Majah, no. 3349. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa perawi hadits ini tsiqqah, terpercaya).

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Manfaat dari sedikit makan bagi baiknya hati adalah hati akan semakin lembut, pemahaman semakin mantap, jiwa semakin tenang, hawa nafsu jelek tertahan, dan marah semakin terkendali. Hal ini berbeda dengan kondisi seseorang yang banyak makan.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:469)

Keempat: Banyak bergaul

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih)

Adapun bergaul ada beberapa bentuk menurut Ibnul Qayyim dalam Badaai’ Al-Fawaid:

  1. Bergaul seperti orang yang membutuhkan makanan, terus dibutuhkan setiap waktu, contohnya adalah bergaul dengan para ulama.
  2. Bergaul seperti orang yang membutuhkan obat, dibutuhkan ketika sakit saja, contohnya adalah bentuk muamalat, kerja sama, berdiskusi, atau berobat saat sakit.
  3. Bergaul yang malah mendapatkan penyakit, misalnya ada penyakit yang tidak dapat diobati, ada yang kena penyakit bentuk lapar, ada yang kena penyakit panas sehingga tak bisa berbicara.
  4. Bergaul yang malah mendapatkan racun, contohnya adalah bergaul dengan ahli bid’ah dan orang sesat, serta orang yang menyesatkan yang lain dari jalan Allah yang menjadikan sunnah itu bid’ah atau bid’ah itu menjadi sunnah, menjadikan perbuatan baik sebagai kemungkaran dan sebaliknya.

Ibnul Qayyim menjelaskan dalam Badaa-i’ Al-Fawaid (2:824-825), “Siapa yang tersadarkan dengan menjaga diri dari empat hal yang merusak yaitu tidak menjaga pandangan, banyak bicara, banyak makan, dan banyak bergaul, padahal empat hal ini adalah yang merusak alam, lalu ia menempuh sembilan langkah untuk menjaga diri dari godaan setan tersebut, maka ia berarti telah mendapatkan taufik, mencegah dirinya dari pintu Jahannam, dan membuka pintu rahmat.”

Semoga Allah menyelematkan kita dari gangguan setan.

Referensi

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Badaa-i’ Al-Fawaid. Cetakan ketiga, Tahun 1433 H. Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.

Disusun di Darush Sholihin, Selasa, 1 Rabiuts Tsani 1442 H (17 November 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Mahar Rasulullah Saat Menikahi Sayidah Aisyah

Sayidah Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah Saw yang masih perawan. Disebutkan bahwa Rasulullah Saw menikahi Sayidah Aisyah berdasarkan petunjuk dan perintah dari Allah. Ini sebagaimana dikisahkan dalam hadis riwayat Imam Al-Bukhari, dari Sayidah Aisyah, dia berkata;

 قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أريتك قبل أن أتزوجك مرتين، رأيت الملك يحملك في سرقة من حرير، فقلت له: اكشف، فكشف فإذا هي أنت، فقلت: إن يكن هذا من عند الله يمضه، ثم رأيتك يحملك في سرقة من حرير فقلت: اكشف، فكشف، فإذا هي أنت، فقلت: إن يك هذا من عند الله يمضه

Rasulullah Saw berkata; Aku melihatmu dalam mimpi sebelum aku mengawinimu sebanyak dua kali. Aku melihat malaikat membawamu dengan pakaian sutra putih. Aku berkata kepada malaikat; Bukalah, dan kemudian malaikat membukanya, dan ternyata itu adalah kamu. Aku berkata; Jika ini dari Allah, maka Dia akan menjadikannya nyata. Kemudian aku melihat malaikat membawamu dengan pakaian sutra putih. Aku berkata kepada malaikat; Bukalah, dan kemudian malaikat membukanya, dan ternyata itu adalah kamu. Aku berkata; Jika ini dari Allah, maka Dia akan menjadikannya nyata.

Adapun mengenai mahar Rasulullah saat menikahi Sayidah Aisyah, setidaknya terdapat dua pendapat dalam masalah ini. Menurut Ibnu Ishaq, mahar Rasulullah saat menikahi Sayidah Aisyah adalah empat ratus dirham. Ini sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Al-Nadwi dalam kitab Sirah Al-Sayyidah Aisyah Ummu Al-Mukminin berikut;

وجاء في رواية ابن إسحاق أن المهر كان أربعمئة درهم

Disebutkan dalam riwayat Ibnu Ishaq bahwa mahar (Sayidah Aisyah) adalah empat ratus dirham.

Sementara menurut Ibnu Sa’d, mahar Rasulullah Saw saat menikahi Sayidah Aisyah adalah lima ratus dirham. Sulaiman Al-Nadwi dalam kitab Sirah Al-Sayyidah Aisyah Ummu Al-Mukminin menyebutkan sebagai berikut;

وهناك رواية أخرى عند ابن سعد نفسه عن عائشة تقول كان صداق رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنتي عشرة أوقية ونشا، فذلك خمسمئة درهم قالت عائشة: الأوقية أربعون، والنش عشرون

Terdapat satu riwayat menurut Ibnu Sa’d dari Sayidah Aisyah, dia berkata; Mahar Rasulullah Saw adalah dua belas uqiyah dan satu nasya, dan itu setara lima ratus dirham. Sayidah Aisyah berkata; Satu uqiyah sama dengan empat puluh dirham, dan satu nasya sama dengan dua puluh dirham.

BINCANG SYARIAH

Mahar Rasulullah Saat Menikahi Sayyidah Khadijah

Sayyidah Khadijah binti Khuwailid bin Asad merupakan istri pertama Nabi Saw. Menurut kebanyakan para ulama, Nabi Saw menikah dengan Sayidah Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun, dan usia Sayidah Khadijah empat puluh tahun.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab ‘Umdatu al-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari berikut;

قال الزبير: كانت خديجة تدعى في الجاهلية الطاهرة امها فاطمة بنت زائدة بن الاصم والاصم اسمه جندب بن هرم بن رواحة بن حجر بن عبد معيص بن عامر بن لؤي تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم في خمس وعشرين سنة من مولده في قول الجمهور زقال ابو عمر وكانت اذ تزوجها رسول الله صلى الله عليه وسلم بنت اربعين سنة

Al-Zubair berkata; Siti Khadijah di masa jahiliyah disebut dengan thahirah atau perempuan suci. Ibunya adalah Fathimah binti Za-idah bin Al-Asham, dan Al-Asham namanya adalah Jundub bin Haram bin Rawahah bin Hajar bin Abd Mu’ish bin ‘Amir bin Luay. Rasulullah Saw menikahi Khadijah saat usia beliau dua puluh lima tahun menurut pendapat kebanyakan para ulama. Abu Umar berkata; Sementara Siti Khadijah ketika dinikahi Rasulullah Saw berusia empat puluh tahun.

Adapun mengenai mahar Rasulullah Saw saat beliau menikahi Sayidah Khadijah, sebagaimana disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta berkualitas, sepuluh perhiasan dan dua puluh delapan budak. Husain Al-Nuri berkata sebagai berikut;

وَ هُوَ قَدْ خَطَبَهَا مِنْ أَبِيهَا خُوَيْلِدٍ عَلَى مَا تُحِبُّ مِنَ الْمَالِ ثُمَّ نَهَضَ وَرَقَةُ ، وَ كَانَ إِلَى جَانِبِ أَخِيهِ خُوَيْلِدٍ وَ قَالَ : يَزِيدُ مَهْرُهَا الْمُعَجَّلُ دُونَ الْمُؤَجَّلِ أَرْبَعَةَ آلَافِ دِينَارٍ ذَهَباً ، وَ مِائَةَ نَاقَةٍ سُودِ الْحَدَقِ حُمْرِ الْوَبَرِ ، وَ عَشْرَ حُلَلٍ ، وَ ثَمَانِيَةً وَ عِشْرِينَ عَبْداً وَ أَمَةً ، وَ لَيْسَ ذَلِكَ بِكَثِيرٍ عَلَيْكُمْ . قَالَ لَهُ أَبُو طَالِبٍ : رَضِينَا بِذَلِكَ . فَقَالَ خُوَيْلِدٌ : قَدْ رَضِيتُ ، وَ زَوَّجْتُ خَدِيجَةَ بِمُحَمَّدٍ صلى الله عليه و آله فَقَبِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و آله عَقْدَ النِّكَاحِ

Abu Thalib melamar Sayidah Khadijah kepada bapaknya, Khuwailid, berdasarkan mahar yang dikehendaki oleh Sayidah Khadijah. Kemudian waraqah berdiri di samping saudaranya, Khuwailid, sambil berkata; Mahar Khadijah yang disegerakan, bukan ditunda, adalah empat ribu dinar emas, seratus unta yang matanya hitam dan bulunya merah, sepuluh perhiasan, dan dua puluh delapan budak, dan itu tidak banyak bagi kalian. Abu Thalib berkata kepada Waraqah; Kami ridha dengan mahar itu. Khuwailid kemudian berkata; Aku ridha dan aku menikahkan Khadijah dengan Muhammad Saw, dan beliau menerima akad nikah tersebut.

Sementara dalam satu riwayat yang bersumber dari Ibn Hammad disebutkan bahwa mahar Rasulullah Saw saat menikahi Sayidah Khadijah adalah dua belas uqiyah emas. Riwayat ini juga disebutkan oleh Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbad Al-Masail berikut;

وَ عَن ابن حماد أنه قال : بلغني أن رسول الله صلى الله عليه و آله تزوج خديجة على اثنتي عشرة أوقية ذهباً

Dari Ibnu Hammad, dia berkata; Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah Saw menikahi Sayidah Khadijah dengan mahar dua belas uqiyah emas.

BINCANG SYARIAH

Allah di Atas ‘Arsy Ataukah Dekat Bersama Kita?

Kita mengetahui Allah ta’ala menetapkan bahwa Ia istiwa’ di atas ‘Arsy. Dan ini adalah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan merupakan ijma salaf dan imam Ahlussunnah. Tidak ada khilaf di antara mereka.

Dalam tujuh surah, yaitu Al-A’raf ayat 54, surah Yunus ayat 3, surah Ar-Ra’d ayat 2, surah Al-Furqan ayat 59, surah As-Sajdah ayat 4 dan surah Al-Hadid ayat 4, Allah ta’ala berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy.”

Di sisi lain, Allah ta’ala juga berfirman bahwa Ia dekat bersama hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian ketahui.” (QS. Al Hadid: 4).

Allah juga berfirman,

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf : 16).

Ayat-ayat ini disebut juga ayat-ayat ma’iyyahMa’iyyah artinya kebersamaan. Karena ayat-ayat ini menetapkan bahwa Allah dekat bersama hamba-Nya.

Lalu bagaimana memahami hal ini? Allah di atas ‘Arsy ataukah dekat bersama kita?

Simak penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berikut ini. Beliau mengatakan,

“Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana kita mengkompromi antara sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) dengan al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya)?’ Maka kita jawab dari tiga sisi.

Jawaban pertama

Allah ta’ala telah menyifati diri-Nya dengan kedua sifat tersebut, yaitu bahwa Ia Maha Tinggi dan bersama hamba-Nya. Dan tidak mungkin Allah menggabungkan dua hal yang bertentangan pada diri-Nya. Sehingga ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut pada diri-Nya, ini menunjukkan bahwa hal tersebut adalah hal yang bisa dikumpulkan pada diri Allah. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.

Sedangkan Allah ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat yang pertama dan kedua. Allah berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia (Allah) istiwa’ di atas ‘Arsy.”

Untuk sifat yang kedua, Ia berfirman,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

“Dan Dia (Allah) bersama kalian di mana pun kalian berada.”

Ketika Allah mengumpulkan dua sifat tersebut para diri-Nya, ini menunjukkan bahwa dua sifat tersebut tidak bertentangan. Karena dua hal yang bertentangan tidak mungkin bisa digabungkan.

Jawaban kedua

Sifat al ‘Uluw (Maha Tinggi) tidak menafikan sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya). Oleh karena itu, di antara gaya bahasa yang biasa diucapkan oleh orang Arab adalah,

مازلنا نسير و القمر معنا

“Selama kami berjalan, sang rembulan senantiasa bersama kami.”

Atau mereka mengatakan,

مازلنا نسير و النجم الفلاني معنا

“Selama kami berjalan, bintang itu senantiasa bersama kami.”

Bulan itu tinggi, namun disifati “bersama kita” dalam bahasa Arab. Ini sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab al Aqidah al Wasithiyyah. Demikian juga beliau sebutkan hal ini dalam kitab al Fatawa al Hamawiyyah dan kitab-kitab beliau yang lain.

Jawaban ketiga

Jika kita asumsikan bahwa dua sifat di atas itu bertentangan dan mustahil jika diterapkan pada makhluk, maka tidak berarti berlaku hal yang sama pada diri al Khaliq (Allah). Karena Allah itu tidak ada yang semisal dengan-Nya.

Maka tidak boleh meng-qiyas-kan Allah dengan makhluk-Nya. Sesuatu yang mustahil bagi makhluk, tidak berarti itu mustahil juga bagi Allah. Dan sesuatu yang mustahil bagi Allah,  tidak berarti itu mustahil juga bagi makhluk. Bukankah Allah itu tidak tidur dan tidak mengantuk? Sedangkan makhluk tidur dan mengantuk?

Demikian juga, manusia tidak layak disifati dengan At-Takabbur (Maha Agung), sedangkan Allah disifati dengan sifat tersebut dan itu merupakan kesempurnaan bagi Allah.” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 200 – 201).

Beliau juga menjelaskan,

“Tidak layak bagi Allah jika kita memahami bahwa sifat al Ma’iyyah (bersama hamba-Nya) itu artinya Allah bercampur dengan hamba dan menyatu tempatnya dengan hamba, sebagaimana perkataan Jahmiyah.

Oleh karena itu, ketika akidah yang bidah dan sesat ini mulai menyebar, para salaf gencar menjelaskan bahwa,

هو معنا بعلمه

“Allah itu bersama kita dengan ilmu-Nya.”

Mereka menafsirkan al Ma’iyyah dengan kelazimannya, yaitu ilmu. Walaupun kelaziman dari ma’iyyah tidak hanya ilmu saja.

Sebagaimana ini ditegaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Ibnu Katsir, juga ditegaskan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, yaitu bahwa Allah bersama kita dengan ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan-Nya, rububiyah-Nya dan sifat-sifat rububiyah lainnya. Namun para salaf menafsirkan al Ma’iyyah dengan ilmu dalam rangka membantah Jahmiyyah yang mengatakan bahwa dzat Allah bersatu bersama kita.” (Syarah Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah, 201 – 202).

Kesimpulannya, Allah ta’ala Maha Tinggi ber-istiwa’ di atas ‘Arsy, namun juga Ia senantiasa dekat bersama kita dengan ilmu-Nya, yaitu Ia selalu mengetahui apa yang kita lakukan. Ayat-ayat ma’iyyah tidak menunjukkan bahwa dzat Allah ada bersama kita di mana-mana sebagaimana dipahami oleh Jahmiyah. Namun yang dekat bersama kita adalah ilmu Allah. Artinya, Allah  selalu mengetahui apa yang kita lakukan dimana pun dan kapan pun kita berada.

Wallahu a’lam.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/59465-allah-di-atas-arsy-ataukah-dekat-bersama-kita.html

Mendengar Tapi Tuli, Melihat Tapi Buta

Allah Swt Berfirman :

‎أَفَأَنتَ تُسْمِعُ ٱلصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يَعْقِلُونَ

“Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.” (QS.Yunus:42)

Banyak manusia hidup tanpa memiliki kesadaran. Dia mendengar tapi sebenarnya tuli. Itu semua karena hatinya buta dan akalnya lalai, sehingga semua yang ia dengar tidak pernah membuat hatinya tergerak dan akalnya tersadarkan.

Karena pendengaran itu memerlukan dua hal :

1. Sampainya kalimat ke alat pendengaran kita dengan jelas.

2. Apa yang kita dengar harus pula sampai dengan jelas ke akal kita.

Semua teriakan dan seruan kebenaran di dunia tidak akan mempengaruhi orang-orang yang tidak menggunakan akalnya. Karena memahami kebenaran tidak cukup dengan mendengarnya dengan telinga tapi harus siap membuka hati dan menerimanya.

Maka kita dapat memahami dari ayat di atas bahwa banyak manusia yang dianggap bisa mendengar tapi sebenarnya ia tuli. Karena inti dari “mendengar” adalah memahaminya dengan sadar dan dapat diserap oleh akal kita sehingga menghasilkan sesuatu. Apabila mendengar itu hanya suara lewat tanpa kesadaran maka sebenarnya ia tidak sedang mendengar.

‎أَفَأَنتَ تُسْمِعُ ٱلصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يَعْقِلُونَ

“Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti.” (QS.Yunus:42)

Mereka tidak mendengarkan kebenaran yang disampaikan Nabi Saw dengan penuh kesadaran, tapi mereka mendengarnya dengan bergurau dan meremehkan. Maka semua yang mereka dengar tidak bernilai dan tidak dapat berpengaruh dalam jiwa mereka.

Selain pendengaran, begitupula nilai dari pandangan mata adalah ketika apa yang kita pandang mampu memberikan sesuatu ke akal dan kesadaran kita. Sementara orang yang melihat sesuatu hanya dari gambaran luarnya tanpa merenungkannya dalam hati, maka apa bedanya ia dengan orang buta.

وَمِنْهُم مَّن يَنظُرُ إِلَيْكَ ۚ أَفَأَنتَ تَهْدِى ٱلْعُمْىَ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يُبْصِرُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:43)

Dia sedang hidup dalam kondisi kehilangan akal dan kesadaran. Maka walaupun matanya memandang segala sesuatu, tapi sebenarnya ia buta.

‎أَفَأَنتَ تَهْدِى ٱلْعُمْىَ وَلَوْ كَانُوا۟ لَا يُبْصِرُونَ

“apakah dapat kamu memberi petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:43)

Bagaimana kita menuntut seorang buta untuk melihat sesuatu ? Persis seperti itulah apabila kita meminta seseorang yang buta hatinya untuk memahami dan merenungkan sesuatu.

Karena manusia disebut buta hatinya ketika ia tidak mendapatkan manfaat apapun dari apa yang ia lihat.

‎فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS.Al-Haj:46)

Karena itu banyak manusia yang mendengar tapi sebenarnya ia tuli, melihat tapi sebenarnya ia buta.

Semoga kita diselamatkan dari kebutaan hati dan tulinya pendengaran kita dari kebenaran.

KHAZANAH ALQURAN

Salat Anda Terburu-buru? Ini Enam Dampaknya

NABI Muhammad saw memerintahkan kepada seseorang yang melakukan salat secara terburu-terburu agar mengulangi salatnya secara tumakninah, tidak tergesa-gesa, termasuk ketika rukuk, iktidal, dan sujud. Diriwayatkan bahwa Nabi saw, memasuki masjid dan seorang laki-laki lain juga memasuki masjid kemudian mendirikan salat.


Usai salat, laki-laki itu menemui Nabi saw, dan mengucapkan salam. Nabi pun menjawab salamnya, lalu berkata, “Ulangilah salatmu karena kau belum melaksanakannya.” Laki-laki itu pun kembali mengulang salatnya, sampai tiga kali, karena Rasulullah tetap menyuruhnya kembali mengulang salatnya.

Ternyata itu cara Nabi untuk menegur laki-laki itu, karena mendirikan salat dengan tergesa-gesa dan Nabi menganggapnya belum mendirikan salat. Tahukah kita ternyata tumakninah memiliki faedah, khususnya dari kajian medis.

Salat yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa tumakninah bisa membahayakan tubuh karena :

1. Gerakan yang dilakukan secara tiba dan tergesa-gesa akan mengagetkan (shock) jaringan otot.

2. Gerakan yang tiba-tiba dan cepat akan mempercepat peredaran darah dari dan menuju otak serta jantung. Keadaan itu akan membuat aliran darah tersendat, khususnya bagi penderita penyakit jantung atau hipertensi.

3. Sujud dan rukuk yang dilakukan secara tergesa-gesa mungkin dapat menimbulkan rasa sakit karena persendian terkilir. Selain itu, kepala yang ditundukkan dengan cepat bisa menimbulkan kekagetan pada otak.

4. Mengakhirkan salat dan melakukannya setelah makan, terlebih lagi jika dilakukan dengan cepat dan tergesa-gesa, akan merusak sistem pencernaan. Karena makanan yang baru masu tidak dapat diproses oleh sistem percernaan dengan baik.

5. Rukuk dan sujud yang dilakukan secara cepat dan tergesa-gesa bisa menyebabkan nyeri tulang pungggung atau tulang panggul.

6. Salat yang dilakukan secara tergesa-gesa dapat menyobek atau melukai jaringan otot pada leher atau punggung atau bisa melukai pembuluh darah.

Salatlah seakan itu salat terakhir kita, jangan tergesa-gesa walaupun kita tidak bisa benar-benar khusyuk, setidaknya kita menikmati gerakan demi gerakan dari salat. Dan salat merupakan waktu untuk kita menyampaikan semua keluh kesah pada-Nya, bagaimana Allah akan mendengarkan kita dalam doa-doa yang kita panjatkan, kalau waktu bertemu dengan-Nya saja kita begitu terburu-buru mengakhirinya.[Chairunnisa Dhiee]

INILAH MOZAIK

Kemenag Bantah Isu Pembatasan Usia Haji 50 Tahun

Kementerian Agama (Kemenag) membantah isu yang berkembang terkait pembatasan usia untuk haji 2021 dengan usia maksimal 50 tahun. Kemenag menegaskan mekanisme soal haji belum disampaikan oleh otoritas haji di Arab Saudi. 

“Di masyarakat beredar untuk haji dibatasi untuk usia 50 tahun, ini sama sekali tidak benar karena belum ada informasi resmi sama sekali dari otoritas di Saudi,” kata Plt Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Oman Fathurrahman saat rapat bersama Komisi VIII DPR RI, Senin (23/11).

Kemenag masih belum mendapatkan kejelasan dari pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan Ibadah Haji pada 2021. Dalam hal ini, Kemenag sudah melakukan pertemuan dengan pemerintah Arab Saudi untuk menanyakan penyelenggaraan Ibadah Haji 2021. 

Oman mengaku sudah bertanya pada pemerintah Saudi. Ia menanyakan apakah pembatasan usia 18-50 tahun sebagaimana diterapkan pada umroh juga diterapkan pada 2021. Kemudian, ia juga bertanya soal kuota.

“Jawabnya, ‘semuanya terlalu dini’ , jawabannya itu saja sambil geleng geleng kepala,” kata Oman.

Terlepas dari itu, Kemenag pun menyiapkan tiga skenario atau opsi terkait haji 2021. Pertama, pemberangkatan kuota penuh dilakukan jika Arab Saudi membuka penyelenggaraan haji dan wabah tertangani.

Kedua, jamaah haji diberangkatkan dengan kuota terbatas. Opsi ini diambil jika kuota sudah diperoleh, namun wabah masih berlanjut. Kebijakan pemerintah Arab Saudi menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Opsi terakhir adalah batal memberangkatkan apabila kuota tidak dibuka atau pemerintah Arab Saudi hanya membuka haji untuk lingkup terbatas.

IHRAM

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu‘anhum (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillahamma ba’du.

Alhamdulillah, telah kami sebutkan riwayat tentang wakaf Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum di serial artikel sebelumnya.

Berikut ini beberapa riwayat tentang wakaf para sahabat selain Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum [1].

Wakaf Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Al Humaidi menuturkan, ‘Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah dan Mesir kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi pent.).’” (As-Sunan Al-Kubra 11900).

Aisyah putri Sa’ad radhiyallahu ‘anha berkata tentang wakaf ayahnya berupa rumah, “Sedekah ayahku adalah waqaf yang tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, dan tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf 14).

Namun, wakaf beliau sempat akan dijadikan harta waris oleh sebagian ahli waris beliau, lalu masalah tersebut diangkat ke Marwan, sang gubernur Madinah saat itu, lalu Gubernur tersebut mengumpulkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka radhiyallahu ‘anhum pun memutuskan bahwa harta itu adalah harta wakaf Sa’ad  radhiyallahu ‘anhu.

Wakaf Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu pernah mewakafkan rumahnya.” (Sahihul Bukhari).

Beliau menyatakan kepada putrinya agar ia menempati rumah tersebut tanpa merugikan dan dirugikan, lalu jika suaminya sudah bisa mencukupi kebutuhannya, maka ia tidak berhak lagi menempati rumah tersebut.

Al-Baihaqi berkata, “Al-Humaidi berkata, ‘Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya yang ada di Mekah (Al-Haramiyyah), rumahnya di Mesir, serta hartanya di Madinah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).” (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ibnu Umar mewakafkan jatah rumah yang didapatkan dari Umar, sebagai tempat tinggal bagi keluarga Abdullah yang membutuhkan.” (Shahihul Bukhari).

Wakaf Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu

Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Baqi’ dan rumahnya yang berada di sebelah masjid (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu

Berkata Al-Baihaqi, “Al-Humaidi berkata,‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu mewakafkan tanahnya di kota Thaif, serta mewakafkan rumahnya di Mekah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).’” (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya bahwa, “Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah, tidak dijual, dan tidak diwariskan. Dan wakafnya itu masyhur.” (Ahkamul Auqaf).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang wakaf Khalid yang lainnya,

وَأَمَّا خَالِدٌ : فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ الله

“Dan adapun Khalid, maka sesungguhnya kalian menzalimi Khalid [2], beliau telah mewakafkan baju besinya dan peralatan perangnya di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wakaf Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu

Disebutkan oleh Ibnu Syabbah bahwa beliau (Hakim bin Hizam) radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (Taariikhul Madiinah).

Wakaf Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah Al-Munawwarah.

Al-Bukhari berkata, “Anas mewakafkan sebuah rumah, beliau pun dahulu jika mendatangi rumah tersebut, singgah padanya.” (Shahihul Bukhari).

Wakaf Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

Ibnu Syabbah menyebutkan dengan sanadnya sampai Nu’aim bin Abdullah berkata,

“Saya mempersaksikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mewakafkan tanahnya.” (Taariikhul Madiinah).

Wakaf ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya kepada Hasyim bin Ahmad bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membeli rumah, dan menuliskan (catatan) saat membelinya,

“Sesungguhnya saya membeli rumah dan berniat sesuai dengan tujuanku dalam membelinya: diantaranya untuk tempat tinggal si A dan untuk keturunannya yang masih hidup setelahnya, dan untuk tempat tinggal si B (tak ada keterangan: ‘dan untuk keturunannya’), kemudian setelah itu dikembalikan kepada keluarga Abu Bakr.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhum

Al-Khashshaf meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anha menyedekahkan rumahnya dalam bentuk wakaf,  tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, dan tak boleh diwariskan (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya dari Musa bin Ya’qub, dari bibinya, dari bapaknya berkata,

“Saya mempersaksikan sedekah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk sedekah wakaf, tak boleh dijual, dan tak boleh dihibahkan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Bisyr bahwa beliau menyebutkan tentang wakaf Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu berupa wakaf kepada budak, anak-anaknya, serta anak dari anak-anaknya, tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Manbat Al-Muzani berkata,

“Saya mempersaksikan sedekah Shafiyyah bintu Huyaiy radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampent.) berupa wakaf rumahnya untuk Bani Abdan, tak boleh dijual serta tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Jabir bin Abdullah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Salim Maula Tsabit, dari Amr bin Abdullah berkata,

“Saya memasuki rumah Muhammad bin Jabir bin Abdullah, maka sayapun mengatakan, ‘Kebun mu ada di tempat ini dan itu.’ Muhammad bin Jabir berkata, ‘Kebun itu wakaf dari bapakku (Jabir), tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan.’” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Sa’ad bin ‘Ubadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf menyebutkan bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sebagian hartanya, tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abu Su’ad Al-Juhani berkata,

“’Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu menjadikan saya sebagai saksi atas rumah yang disedekahkan sebagai wakaf,  tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan, untuk anaknya, dan anak dari anaknya, lalu jika mereka telah tiada, maka kepada orang yang paling dekat denganku …”. (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Abu Arwa Ad-Dausi radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abu Masurah berkata, “Saya mempersaksikan Abu Arwa Ad-Dausi radhiyallahu ‘anhu mewakafkan lahan, tak boleh dijual serta tak boleh diwariskan selamanya.” (Ahkamul Auqaf).

Sanad-sanad dari riwayat di atas, meski tidak lepas dari kritikan, namun kemasyhurannya menunjukkan bahwa masalah wakaf adalah masalah yang dikenal luas di kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Renungan

Mereka, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, adalah teladan umat ini, karena mereka adalah umat terbaik dari seluruh umat para Rasul ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”  (QS. Ali-Imran: 110).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik (umat) manusia adalah kurunku, kemudian orang-orang yang setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Para pembaca, persembahkan wakaf dari diri anda kepada Allah ta’ala, Tuhan alam semesta, baik banyak atau sedikit wakaf anda tersebut, agar anda berada dalam barisan orang-orang yang shaleh dengan mengikuti jalan salafus shalih, mendapatkan pahala amal jariah, sebagai umur kedua anda setelah anda meninggal dunia, serta sebagai salah satu bukti dari kebaikan iman Anda.

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimu shalihat.

Penulis: Sa’id Abu Ukasyah

Catatan Kaki

[1] Diintisarikan dari almoslim.net.

[2] Mereka meminta kepada Khalid zakat mal baju besi dan peralatan perangnya karena menyangka bahwa barang-barang itu adalah barang dagangan Khalid radhiyallahu ‘anhu.

[3] Bahwa aslinya adalah حائط yang bisa bermakna dinding, namun juga bisa bermakna kebun, wallahu a’lam. Mungkin makna “kebun” lah yang lebih mendekati kebenaran.

MUSLIM.or.id

Bagaimana Seharusnya Membela Nabi?

Setiap muslim -apalagi ulama- pasti geram dan marah terhadap penghinaan kepada Nabi Muhammad yang harus kita cintai lebih dari orang tua, istri, anak bahkan diri kita sendiri.

Siapapun yang mencela Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam maka dia kafir dan pedang terhunus pantas untuknya, sebagaimana dijelaskan secara bagus oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Ash Sharimul Maslul ala Syatimi Rasul (Pedang Terhunus Tuk Penghina Rasul).

Namun perlu digarisbawahi bahwa penegakan hukum tersebut adalah wilayah pemimpin bukan individu orang. Para ulama menegaskan: “Tidak boleh menegakkan hukum had kecuali bagi imam atau perwakilannya”. (Syarh Shahih Muslim, An Nawawi, 11/193-194).

Sebab, jika penerapan hukum diserahkan kepada individu orang maka yang terjadi adalah kekacauan dan kerusakan yang lebih besar.

Syaikh Abdur Rahman bin Yahya Al-Mu’allimi mengatakan: “Sebesar apapun kita mencintai kebenaran. Namun kita jangan membela kebenaran kecuali dengan cara yang benar”. (Majmu Muallafat wa Atsar Asy Syaikh, 4/6).

Begitupun kita, kita sangat cinta kepada Nabi. Kita geram dan marah terhadap penghina Nabi. Namun membela Nabi harus dengan cara yg benar, tidak serampangan dan emosi, asal bunuh, demonstrasi dan lain sebagainya.

Lantas, bagaimana cara kita membela Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dengan benar yang bisa kita lakukan?

  1. Mempelajari sirah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
  2. Meneladani aqidah, ibadah dan akhlak Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
  3. Menyebarkan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
  4. Berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
  5. Membela Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan ilmu dari hujatan kepada beliau, sunnah beliau hadits beliau.
  6. Untuk para pemimpin, bisa dengan memboikot produk negara penghina Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

Ingat, saat di Mekkah dulu Nabi kita shallallahu’alaihi wa sallam sudah dicela dan dihina oleh kaum kafirin dengan berbagai celaan; gila, tukang syair, penyihir dan lain sebagainya, Namun Nabi sabar dan tidak membalasnya secara serampangan, beliau tidak terbawa oleh emosi, beliau terus berjuang dan berdakwah hingga Allah meninggikan agama ini dan menghancurkan para Penghina Nabi.

Ingatlah, siapapun yang menghina Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya dia berhadapan dan menyatakan perang dengan Allah. Dan Allah berjanji akan menghancurkan siapapun yang menghina NabiNya. Kita tunggu saja.

___

Penulis: Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi

Artikel Muslimah.or.id