Fikih Wakaf (Bag. 1): Pengertian, Hukum, dan Dalil Pensyariatannya

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Agama yang tidak hanya memperhatikan gerak-gerik pemeluknya saja, akan tetapi juga memperhatikan harta mereka. Islam mengajarkan bahwa di dalam harta yang dimiliki oleh seorang muslim, terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan. Islam juga mengajarkan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang sejatinya hanyalah titipan dan karunia dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid: 7)

Pada ayat di atas, Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa harta yang kita miliki sejatinya hanyalah titipan dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, di dalam mengumpulkan serta mengelola harta yang kita miliki, maka harus tunduk dan patuh kepada syariat yang telah diajarkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Allah perintahkan kita untuk bersedekah dan Allah janjikan juga pahala yang besar bagi siapa saja yang rela mengeluarkan hartanya di jalan Allah Ta’ala.

Di antara beragam jenis ibadah harta yang telah Islam ajarkan kepada kita terdapat satu jenis amal ibadah yang menjadi kekhususan umat ini. Di mana menurut sebagian ulama, ibadah harta tersebut belum dikenal oleh masyarakat jahiliah dahulu kala, dan baru ada ketika Islam ini datang melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Amal tersebut wahai saudaraku adalah wakaf.

Pada artikel ini dan beberapa artikel berikutnya, insyaAllah akan kita pelajari lebih lanjut dasar-dasar fikih dalam masalah wakaf, baik itu pengertiannya, hukumnya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan wakaf dan mungkin sebagian dari kita belum memahami dengan baik duduk perkaranya. Wabillahittaufik.

Definisi wakaf

Secara bahasa, wakaf merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari kata (وقف) “waqafa” yang memiliki makna “berhentinya sesuatu atau tertahan atau berdiri di tempat.” Sehingga ‘wakaf’ secara bahasa dapat dimaknai juga dengan “menahan hak milik harta dengan cara diwakafkan untuk tujuan tertentu.”

Adapun secara istilah syariat, maka para ulama memiliki beberapa pandangan berbeda tentangnya. Di dalam kitab Fikih Muyassar, secara ringkas wakaf dimaknai dengan,

“Menahan asalnya dan mengalirkan manfaatnya.”

atau dengan lebih mendetailnya bisa kita artikan dengan,

“Menahan hak milik atas materi/fisik harta benda dari pewakaf, dengan tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya untuk kebaikan umat Islam, kepentingan agama, dan/atau kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh pewakaf.”

Contohnya:

Si A memiliki sebidang tanah dengan luas 500 meter, lalu ia serahkan hak kepemilikannya kepada Allah Ta’ala melalui sebuah yayasan atau instansi untuk kemudian dimanfaatkan oleh kaum muslimin. Baik itu untuk masjid, sekolah, pusat kesehatan, atau lain sebagainya.

Hukum wakaf dan dalil pensyariatannya

Wakaf hukumnya adalah sunah dan sangat dianjurkan untuk diamalkan oleh kaum muslimin. Dalil pensyariatannya terdapat di dalam Al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Yang pertama, dalil-dalil yang menganjurkan untuk melakukan kebaikan secara umum. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Hajj: 77)

Allah Ta’ala juga berfirman,

لَنْ تَنَا لُوا الْبِرَّ حَتّٰى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِه عَلِيْمٌ

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran: 92)

Seorang muslim tidak akan meraih kebaikan yang sempurna serta derajat kemuliaan yang tinggi, kecuali apabila telah menginfakkan dan menyedekahkan sebagian dari harta kekayaan yang paling dicintainya. Dan wakaf merupakan salah satu contoh infak harta yang paling baik, karena fisik harta yang diinfakkannya tersebut tak akan habis dan lekang oleh waktu, namun manfaatnya dan pahalanya terus mengalir, bahkan ketika pelakunya telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda mengenai keutamaan sedekah ini,

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له

Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir),  ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631)

Menurut para ulama, pahala mengalir yang disebutkan dalam hadis ini cenderung mengarah pada masalah wakaf, karena benda yang diwakafkan akan langgeng dan utuh. Karena yang disedekahkan hanyalah manfaatnya saja, adapun fisik hartanya, maka tidak bisa dimiliki dan dipindahtangankan. Berbeda dengan selain wakaf, di mana barang yang sudah disedekahkan kepada orang lain, maka akan menjadi hak penuh bagi penerimanya, baik fisik barangnya maupun manfaatnya. Penerimanya tersebut bebas menjualnya, atau bahkan memakainya sampai habis tanpa sisa.

Dalil dari hadis yang menunjukkan syariat wakaf ini juga terdapat dalam riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ فَقَالَ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا

Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu mendapat bagian lahan di Khaibar, lalu dia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta pendapat beliau tentang tanah (lahan) tersebut dengan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku mendapatkan lahan di Khaibar di mana aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih bernilai selain itu. Maka, apa yang engkau perintahkan tentang tanah tersebut?’ Maka, beliau berkata, ‘Jika kamu mau, kamu tahan (pelihara) pepohonannya, lalu kamu dapat bersedekah dengan (hasil buah)nya.’ Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Maka ‘Umar mensedekahkannya di mana tidak dijualnya, tidak dihibahkan, dan juga tidak diwariskan. Namun, dia mensedekahkannya untuk para fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, fisabilillah, ibnu sabil, dan untuk menjamu tamu. Dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakan darinya dengan cara yang ma’ruf (benar) dan untuk memberi makan orang lain, bukan bermaksud menimbunnya.’ Perawi berkata, ‘Kemudian aku ceritakan hadis ini kepada Ibnu Sirin, maka dia berkata, ‘Ghoiru muta’atstsal malan (artinya: tidak mengambil harta anak yatim untuk menggabungkannya dengan hartanya).” (HR. Bukhari no. 2737 dan Muslim no. 1632)

Setelah menyebutkan hadis di atas, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah menukil ijma’ ulama tentang bolehnya wakaf ini,

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ لَا نَعْلَمُ بَيْنَ الْمُتَقَدِّمِينَ مِنْهُمْ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا فِي إِجَازَةِ وَقْفِ الْأَرَضِينَ وَغَيْرِ ذَلِكَ

“Dan (hadis ini) menjadi landasan amal menurut ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dan juga selain mereka. Dan kami tidak menemukan adanya perselisihan di antara ulama terdahulu tentang dibolehkannya wakaf tanah dan juga yang lainnya.” (Disebutkan dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi no. 1375)

Wallahu A’lam bisshawab.

[Bersambung]

Sumber: https://muslim.or.id/91136-fikih-wakaf-bag-1-pengertian-hukum-dan-dalil-pensyariatannya.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

Hukum Jual Beli Mushaf Bertanda Wakaf

السؤال

تبيع بعض المحلات التجارية هنا في مصر مصاحف المدينة النبوية التي يصدرها مجمع الملك فهد في السعودية ، وبعض المصاحف مكتوب فيها تنبيهات مثل : هدية الملك لحجاج بيت الله الحرام ، وقف لله تعالى ولا يجوز بيعه ، فهل يجوز شراء هذه المصاحف على الرغم من وجود ما يشير إلى أنها ” هدية ووقف لا يجوز بيعه “ ؟

Pertanyaan:

Beberapa toko di Mesir menjual mushaf Madinah yang diterbitkan Kompleks Percetakan al-Quran Raja Fahad di Arab Saudi. Di sebagian mushaf itu tertulis peringatan, seperti “Hadiah Raja kepada para jemaah haji di Baitullah al-Haram. Wakaf untuk Allah, tidak boleh dijual.” Bolehkah membeli mushaf seperti ini meskipun sudah ada pemberitahuan bahwa itu adalah hadiah dan wakaf yang tidak boleh dijual?

ملخص الجواب

والحاصل : أن الإذن في شراء مثل هذه المصاحف الموقوفة مقيد بأن تبقى عنده وقفا ، وألا يغير شرط الواقف ، متى كان وقفها على جهة خاصة ، وأمكن تنفيذه ، وإلا جعله في أقرب مصرف إلى شرط الواقف الأول . فإن لم يعين جهة الوقف ، وهذا هو الغالب ، خاصة على الجديد منها : فله أن ينتفع بها بنفسه ، أو بغيره ، لكن على جهة الانتفاع بالوقف ، لا التملك . والله أعلم .

Ringkasan Jawaban:

Kesimpulannya, bahwa kebolehan membeli mushaf wakaf seperti ini terikat dengan keharusan untuk tetap menjadikan statusnya sebagai barang wakaf dan tidak boleh mengubah syarat yang ditetapkan oleh wakif yang pertama, jika memang wakafnya adalah untuk maksud tertentu dan bisa dijalankan. Jika tidak bisa, maka harus digunakan untuk maksud yang paling mendekati syarat yang ditetapkan oleh wakif yang pertama. Apabila maksud wakafnya tidak ditetapkan secara spesifik —dan umumnya seperti ini— khususnya pada mushaf-mushaf yang terbaru, maka ia boleh memanfaatkan mushaf itu untuk dirinya sendiri atau orang lain sesuai dengan maksud wakaf tersebut tanpa memilikinya. Allah Yang lebih Mengetahui.

الجواب

الحمد لله.

أولا :

من أحكام الوقف في الإسلام : أنه لا يجوز بيعه ، ويدل على هذا من السنة : أن النبي صلى الله عليه وسلم لما أشار على عمر بن الخطاب رضي الله عنه أن يوقف نصيبه من خيبر قال له : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، لَا يُبَاعُ ، وَلَا يُوهَبُ ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ ) رواه البخاري (3764) ، ومسلم (1633) .

قال النووي رحمه الله في شرح صحيح مسلم :

”وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل عَلَى أَنَّ الْوَقْف لَا يُبَاع وَلَا يُوهَب وَلَا يُورَث“ انتهى .

Jawaban:

Alhamdulillah. Pertama, bahwa di antara hukum wakaf dalam Islam adalah tidak boleh menjualnya. Hal ini ditunjukkan oleh Sunah ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengarahkan Umar bin Khattab —Semoga Allah Meridainya— untuk mewakafkan bagian tanahnya di Khaibar, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadanya, “Sedekahkah tanahnya, tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan, tetapi hasilnya yang dimanfaatkan.” (HR. Bukhari (3764) dan Muslim (1633)). An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim bahwa dalam hadis ini terdapat dalil bahwa wakaf tidak dapat dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Selesai kutipan.

وجاء في ” الموسوعة الفقهية “ (44/ 202) : ” يَحْرُمُ بَيْعُ الْوَقْفِ وَلا يَصِحُّ “ انتهى .

وسئل الشيخ عبد المحسن العباد حفظه الله :

” رأيت أحد الباعة يبيع كتاباً مكتوباً عليه : وقف لله تعالى ، فهل يجوز له ذلك ؟

فأجاب : لا يجوز بيع ما هو موقوف “ انتهى .

http://ar.islamway.net/fatwa/29820

Disebutkan dalam al-Mausūʿah al-Fiqhiyyah (44/202) bahwa haram dan tidak sah hukumnya menjual wakaf. Selesai kutipan. Syekh Abdul Muhsin al-Abbad —Semoga Allah Menjaganya— pernah ditanya, “Saya pernah melihat seorang pedagang menjual kitab yang tertulis padanya ‘Wakaf untuk Allah Subẖānahu wa Taʿālā’, apakah dia boleh melakukan hal itu?” Beliau menjawab, “Tidak boleh menjual sesuatu yang diwakafkan.” Selesai kutipan. http://ar.islamway.net/fatwa/29820

ثانيا :

إذا تقرر أن المصاحف الموقوفة ، ومثلها الكتب ، وسائر أنواع ما يوقف : لا يجوز بيعها ولا شراؤها ؛ فالذي ينبغي هو نصح أصحاب هذه المحلات ، ويبين لهم أنه لا يجوز لهم المتاجرة في هذه المصاحف .

ونظرا لأن الواقف لهذه المصاحف أراد بذلك أن ينتفع المسلمون بالقراءة فيها ، فلا حرج على المسلم من شراء هذه المصاحف ، بنية استنقاذها ممن غصبها من مستحقها ، وتاجر فيها ، ولا حرج عليه في الاستفادة منها بنفسه ، أو إعطائها لغيره ممن يستفيد منها ؛ فإنه يحقق بذلك مقصود الواقف لها ، ولكنها تنتقل إلى المشتري لها على أنها وقف ، فلا يجوز له بيعها بعد ذلك ؛ بل ولا يجوز له أن يغير شرط الواقف لها إذا كان قد وقفها على جهة خاصة ، وأمكنه أن يرده إليها .

Kedua, jika sudah dipastikan bahwa mushaf-mushaf tersebut adalah wakaf, begitu juga dengan kitab-kitab dan semua hal lain yang diwakafkan, maka tidak boleh diperjualbelikan. Yang seyogianya dilakukan adalah menasihati pemilik toko tersebut dan menjelaskan kepada mereka bahwa mereka tidak boleh memperdagangkan mushaf-mushaf tersebut. Menimbang bahwa wakif mushaf-mushaf tersebut menginginkan agar umat Islam membacanya, maka tidak mengapa jika ada seorang muslim membeli mushaf ini dengan niat ‘menyelamatkannya’ dari ‘orang yang merampas’ hak wakaf itu kepada orang yang berhak menerimanya. 

Orang yang memperdagangkannya boleh memanfaatkannya untuk dirinya sendiri atau memberikannya kepada orang lain yang akan akan memanfaatkannya, karena dengan itu terpenuhi maksud yang diinginkan oleh si wakif. Hanya saja, perpindahan mushaf itu kepada pembeli tetaplah berstatus sebagai wakaf, dan setelah itu ia tidak boleh dijual lagi, bahkan dia tidak boleh mengubah syarat yang telah ditetapkan wakif, jika memang dia telah mewakafkannya untuk maksud tertentu dan masih mungkin untuk dilaksanakan demikian.

فإذا لم يمكنه أن يرده إلى الجهة المعينة التي وقفها عليها الواقف الأول ، فإنه يصرفها في أقرب الجهات إليها ؛ فإذا كان قد وقف المصحف على مسجد معين ـ مثلا ـ وجب عليه أن يرده إليه ، متى استنقذه من بائعه ؛ فإذا تعذر ذلك ، وضعها في مسجد آخر ، يحتاج إليها .

قال القاضي أبو يعلى ، رحمه الله :

” ويكون الشراء في الحقيقة استنقاذا وفداء وغير ممتنع أن يقع العقد على وجه الاستنقاذ ؛ فيكون جائزا في حق الباذل للعوض ، وهو ممنوع منه في حق الآخذ ، بدليل فك الأسير من أيدي المشركين بعوض يُبذل لهم ، فهو استنقاذ وفداء مباح من جهة الباذل ، ومحرم من جهة الآخذ“ انتهى، من ”الأحكام السلطانية“ (206) .

وينظر : ”الكافي“ (2/7) .

Jika ia tidak mampu mengembalikannya kepada maksud spesifik yang diinginkan si wakif pertama, maka ia harus mengalihkannya untuk maksud lain yang paling mendekati maksud tersebut. Jadi, jika dia si wakif mewakafkannya untuk masjid tertentu —misalnya— maka ia harus mengembalikannya ke masjid tersebut, setelah ia mendapatkannya dari si penjual. Jika dia tidak mungkin melakukannya, maka dia harus meletakkannya di masjid lain yang memerlukannya. 

Al-Qāḏī Abu Yaʿlā —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa pembelian semacam ini hakikatnya adalah suatu bentuk ‘penyelamatan’ dan ‘penebusan’ (wakaf tersebut), dan sah-sah saja jika akad tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkannya, sehingga hukumnya boleh bagi orang yang membayar harganya untuk itu. Yang terlarang adalah bagi orang yang mengambilnya darinya. Dalilnya adalah bolehnya membebaskan tawanan perang dari tangan orang-orang musyrik dengan ganti rugi yang dibayarkan kepada mereka. Ini adalah penyelamatan dan penebusan yang dibolehkan bagi orang yang mengeluarkan ganti rugi tersebut, tetapi terlarang bagi orang yang mengambilnya. Selesai kutipan dari al-Aẖkām as-Sulṯāniyyah (206). Lihat: Kāfī (2/7).

وسئل ابن حجر الهيتمي الفقيه الشافعي رحمه الله عَنْ شَخْصٍ اشْتَرَى كِتَابًا مَثَلًا مِنْ شَخْصٍ مَعَ عِلْمِ الْمُشْتَرِي أَوْ غَلَبَةِ ظَنِّهِ بِقَرَائِنِ الْأَحْوَالِ أَنَّ هَذَا الْكِتَابَ مَوْقُوفٌ فَهَلْ يَصِحُّ شِرَاءُ هَذَا الشَّخْصِ الْمَذْكُورِ إذَا قَصَدَ بِشِرَاءِ هَذَا الْكِتَابِ اسْتِخْرَاجَهُ وَاسْتِنْقَاذَ الْوَقْفِ مِنْ الِاسْتِيلَاءِ عَلَيْهِ وَانْدِرَاسِهِ بِتَدَاوُلِ الْأَيْدِي عَلَيْهِ بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ …. إلخ ؟

فَأَجَابَ: ”إنْ عَلِمَ الْوَقْفَ كَانَ شِرَاؤُهُ افْتِدَاءً .

وَإِنْ ظَنَّهُ : صَحَّ شِرَاؤُهُ ظَاهِرًا وَأُدِيرَتْ عَلَيْهِ جَمِيعُ الْأَحْكَامِ ؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْيَدِ الْمِلْكُ فَيُعْمَلُ بِهِ حَتَّى يُوجَدَ مَا يَرْفَعُهُ وَمُجَرَّدُ ظَنِّ الْمُشْتَرِي وَإِنْ اعْتَضَدَ بِقَرَائِنَ لَا يَرْفَعُهُ “ .

انتهى من ”الفتاوى الفقهية الكبرى“ (3/126) .

Ibnu Hajar al-Haitami —Semoga Allah Merahmatinya—, seorang ahli fikih mazhab Syafii, pernah ditanya tentang seseorang yang membeli kitab —misalnya— dari seseorang, sedangkan si pembelinya mengetahui —atau berdasarkan dugaan kuat dengan berbagai indikasi yang ada— bahwa kitab tersebut adalah wakaf, apakah sah orang tersebut membelinya jika dengan membeli kitab ini ia bermaksud untuk membebaskannya dan menyelamatkan harta wakaf tersebut dari kepemilikan orang dan kerusakan karena beralih tangan dalam jual beli … dan seterusnya? 

Beliau —Semoga Allah Merahmatinya— menjawab bahwa jika memang diketahui itu barang wakaf, maka pembeliannya itu adalah penebusan. Adapun jika berdasarkan dugaan, maka pembelian jelas sah dan semua hukum-hukum yang terkait berlaku padanya, karena pada asalnya barang yang di tangan seseorang adalah miliknya, sehingga berlaku demikian sampai ada hal yang mengangkat status tersebut. Semata-mata dugaan pembeli, walaupun ada indikasi-indikasinya, tidak bisa mengangkat status tersebut. Selesai kutipan dari al-Fatāwā al-Fiqhiyyah al-Kubrā (3/126).

وقال الشيخ عبد الله العقيل ، رحمه الله :

” الوقف لا يجوز بيعه ولا شراؤه ، ولا يحل أخذ ثمنه ، لكن شراء الكتاب الموقوف ؛ استنقاذا لينتفع به لحاجته إليه ، بشرط بقائه على وقفيته وعدم تملكه ، ولا يمنعه أهله إذا استغنى عنه- أرجو أن لا بأس به بالنسبة للمشتري ، وأما البائع : فلا يحل له الثمن ، وليس هذا ببيع وشراء حقيقي ، ولكنه استنقاذ كما تقدم. واللَّه أعلم“ انتهى.

Syekh Abdullah al-ʿAqīl —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa wakaf tidak boleh diperjualbelikan dan tidak halal mengambil uang (hasil jual belinya). Namun membeli kitab wakaf dalam rangka menyelamatkannya agar bisa dimanfaatkan karena dia sendiri butuh, dengan syarat tetap menjaga statusnya sebagai barang wakaf dan tidak memilikinya secara pribadi, dan keluarganya tidak menghalanginya (untuk dimanfaatkan) jika dia sudah tidak membutuhkannya, maka saya berharap tidak ada dosa bagi si pembeli. Adapun bagi si penjual, maka uang (hasil jual belinya) tidak halal. Ini bukanlah jual beli secara hakiki, melainkan menyelamatkan (wakaf), seperti yang dijelaskan sebelumnya. Allah Yang lebih Mengetahui. Selesai kutipan.

Sumber:

islamqa.info/ar/answers/228079/حكم-بيع-وشراء-المصاحف-الموقوفة

PDF sumber artikel.

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu‘anhum (Bag. 4)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillahamma ba’du.

Alhamdulillah, telah kami sebutkan riwayat tentang wakaf Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum di serial artikel sebelumnya.

Berikut ini beberapa riwayat tentang wakaf para sahabat selain Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum [1].

Wakaf Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Al Humaidi menuturkan, ‘Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah dan Mesir kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi pent.).’” (As-Sunan Al-Kubra 11900).

Aisyah putri Sa’ad radhiyallahu ‘anha berkata tentang wakaf ayahnya berupa rumah, “Sedekah ayahku adalah waqaf yang tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, dan tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf 14).

Namun, wakaf beliau sempat akan dijadikan harta waris oleh sebagian ahli waris beliau, lalu masalah tersebut diangkat ke Marwan, sang gubernur Madinah saat itu, lalu Gubernur tersebut mengumpulkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka radhiyallahu ‘anhum pun memutuskan bahwa harta itu adalah harta wakaf Sa’ad  radhiyallahu ‘anhu.

Wakaf Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu pernah mewakafkan rumahnya.” (Sahihul Bukhari).

Beliau menyatakan kepada putrinya agar ia menempati rumah tersebut tanpa merugikan dan dirugikan, lalu jika suaminya sudah bisa mencukupi kebutuhannya, maka ia tidak berhak lagi menempati rumah tersebut.

Al-Baihaqi berkata, “Al-Humaidi berkata, ‘Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya yang ada di Mekah (Al-Haramiyyah), rumahnya di Mesir, serta hartanya di Madinah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).” (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum

Al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ibnu Umar mewakafkan jatah rumah yang didapatkan dari Umar, sebagai tempat tinggal bagi keluarga Abdullah yang membutuhkan.” (Shahihul Bukhari).

Wakaf Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu

Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Baqi’ dan rumahnya yang berada di sebelah masjid (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu

Berkata Al-Baihaqi, “Al-Humaidi berkata,‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu mewakafkan tanahnya di kota Thaif, serta mewakafkan rumahnya di Mekah kepada anaknya, dan wakaf tersebut masih ada sampai sekarang (di zaman Al-Humaidi,  pent.).’” (As-Sunan Al-Kubra).

Wakaf Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya bahwa, “Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah, tidak dijual, dan tidak diwariskan. Dan wakafnya itu masyhur.” (Ahkamul Auqaf).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang wakaf Khalid yang lainnya,

وَأَمَّا خَالِدٌ : فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ الله

“Dan adapun Khalid, maka sesungguhnya kalian menzalimi Khalid [2], beliau telah mewakafkan baju besinya dan peralatan perangnya di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wakaf Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu

Disebutkan oleh Ibnu Syabbah bahwa beliau (Hakim bin Hizam) radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (Taariikhul Madiinah).

Wakaf Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mewakafkan rumahnya di Madinah Al-Munawwarah.

Al-Bukhari berkata, “Anas mewakafkan sebuah rumah, beliau pun dahulu jika mendatangi rumah tersebut, singgah padanya.” (Shahihul Bukhari).

Wakaf Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

Ibnu Syabbah menyebutkan dengan sanadnya sampai Nu’aim bin Abdullah berkata,

“Saya mempersaksikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mewakafkan tanahnya.” (Taariikhul Madiinah).

Wakaf ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya kepada Hasyim bin Ahmad bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha membeli rumah, dan menuliskan (catatan) saat membelinya,

“Sesungguhnya saya membeli rumah dan berniat sesuai dengan tujuanku dalam membelinya: diantaranya untuk tempat tinggal si A dan untuk keturunannya yang masih hidup setelahnya, dan untuk tempat tinggal si B (tak ada keterangan: ‘dan untuk keturunannya’), kemudian setelah itu dikembalikan kepada keluarga Abu Bakr.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhum

Al-Khashshaf meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anha menyedekahkan rumahnya dalam bentuk wakaf,  tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, dan tak boleh diwariskan (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya dari Musa bin Ya’qub, dari bibinya, dari bapaknya berkata,

“Saya mempersaksikan sedekah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk sedekah wakaf, tak boleh dijual, dan tak boleh dihibahkan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Bisyr bahwa beliau menyebutkan tentang wakaf Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu berupa wakaf kepada budak, anak-anaknya, serta anak dari anak-anaknya, tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Manbat Al-Muzani berkata,

“Saya mempersaksikan sedekah Shafiyyah bintu Huyaiy radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampent.) berupa wakaf rumahnya untuk Bani Abdan, tak boleh dijual serta tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Jabir bin Abdullah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Salim Maula Tsabit, dari Amr bin Abdullah berkata,

“Saya memasuki rumah Muhammad bin Jabir bin Abdullah, maka sayapun mengatakan, ‘Kebun mu ada di tempat ini dan itu.’ Muhammad bin Jabir berkata, ‘Kebun itu wakaf dari bapakku (Jabir), tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan.’” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Sa’ad bin ‘Ubadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf menyebutkan bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu mewakafkan sebagian hartanya, tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan.” (Ahkamul Auqaf).

Wakaf ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abu Su’ad Al-Juhani berkata,

“’Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu menjadikan saya sebagai saksi atas rumah yang disedekahkan sebagai wakaf,  tak boleh dijual, tak boleh dihibahkan, serta tak boleh diwariskan, untuk anaknya, dan anak dari anaknya, lalu jika mereka telah tiada, maka kepada orang yang paling dekat denganku …”. (Ahkamul Auqaf).

Wakaf Abu Arwa Ad-Dausi radhiyallahu ‘anhu

Al-Khashshaf meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abu Masurah berkata, “Saya mempersaksikan Abu Arwa Ad-Dausi radhiyallahu ‘anhu mewakafkan lahan, tak boleh dijual serta tak boleh diwariskan selamanya.” (Ahkamul Auqaf).

Sanad-sanad dari riwayat di atas, meski tidak lepas dari kritikan, namun kemasyhurannya menunjukkan bahwa masalah wakaf adalah masalah yang dikenal luas di kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Renungan

Mereka, para sahabat radhiyallahu ‘anhum, adalah teladan umat ini, karena mereka adalah umat terbaik dari seluruh umat para Rasul ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”  (QS. Ali-Imran: 110).

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik (umat) manusia adalah kurunku, kemudian orang-orang yang setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Para pembaca, persembahkan wakaf dari diri anda kepada Allah ta’ala, Tuhan alam semesta, baik banyak atau sedikit wakaf anda tersebut, agar anda berada dalam barisan orang-orang yang shaleh dengan mengikuti jalan salafus shalih, mendapatkan pahala amal jariah, sebagai umur kedua anda setelah anda meninggal dunia, serta sebagai salah satu bukti dari kebaikan iman Anda.

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimu shalihat.

Penulis: Sa’id Abu Ukasyah

Catatan Kaki

[1] Diintisarikan dari almoslim.net.

[2] Mereka meminta kepada Khalid zakat mal baju besi dan peralatan perangnya karena menyangka bahwa barang-barang itu adalah barang dagangan Khalid radhiyallahu ‘anhu.

[3] Bahwa aslinya adalah حائط yang bisa bermakna dinding, namun juga bisa bermakna kebun, wallahu a’lam. Mungkin makna “kebun” lah yang lebih mendekati kebenaran.

MUSLIM.or.id

Masjid Wakaf Dibongkar Untuk Renovasi, Apakah Pahala Masih Mengalir?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang masjid wakaf dibongkar untuk renovasi, apakah pahala masih mengalir?
selamat membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Ustadz dan keluarga selalu dalam kebaikan dan lindungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ustadz, jika kita berwakaf kemudian hasil dari wakafnya itu dibongkar dan direnovasi. Apakah kita tidak mendapatkan pahala lagi? Apakah pahalanya hilang karena diganti dengan renovasi itu? Terimakasih

(Disampaikan oleh Fulan, penanya dari grup Hijrah Diaries Putri)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Bismillah walhamdu lillah wash shalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shahbihi waman waalaah.

Berwakaf adalah termasuk amalan mulia, bahkan akan mengiringi seseorang walau dia sudah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

‘Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya’.
[HR Muslim no. 1631 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

إنَّ مِمّا يلحقُ المؤمنَ من عملِهِ وحسناتِه بعدَ موتِه عِلمًا علَّمَه ونشرَه وولدًا صالحًا ترَكَه ومُصحفًا ورَّثَه أو مسجِدًا بناهُ أو بيتًا لابنِ السَّبيلِ بناهُ أو نَهرًا أجراهُ أو صدَقةً أخرجَها من مالِه في صِحَّتِه وحياتِه يَلحَقُهُ من بعدِ موتِهِ.

‘Sesungguhnya kebaikan yang akan mengiringi seorang mukmin setelah ia meninggal adalah; ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Alquran yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah yang ia bangun untuk ibnu sabil, sungai yang ia alirkan, sedekah yang ia keluarkan dari hartanya di masa sehat dan masa hidupnya, semuanya akan mengiringinya setelah meninggal.’
[Lihat Shahih Ibnu Majah no. 200 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Nah, bagaimana kalau misalkan bangunan yang diwakafkan itu direnovasi? apakah waqif (yang berwaqaf) sudah tidak mendapatkan pahala lagi darinya?

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi mengatakan,

لا مانع من هدم المسجد القديم وتعميره على الطراز الحديث ؛ لما في ذلك من المصلحة العامة لأهل القرية وغيرهم ، وأما الذين بنوا الأول فأجرهم كامل ولا ينقطع بتجديده.

‘Tidak mengapa untuk merobohkan Masjid yang lama untuk dibangun dengan model yang baru. Karena ada maslahat di dalamnya baik untuk penduduk desa tersebut maupun yang selain mereka. Dan adapun mereka yang membangun bangunan yang pertama, maka pahala mereka adalah sempurna dan tak terputus karena adanya renovasi tersebut’.
[Fatawa Lajnah Daimah 6/232-233]

Maka hendaknya dijelaskan dengan baik-baik kepada waqif bahwa renovasi tersebut Insya Allah tidaklah memutus pahalanya.

Semoga bermanfaat.
Wallahu Tabaaraka wa Ta’ala A’lam.
Wa Akhiru da’waanaa anil hamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Dijawab oleh:
Ustadz Fajar Basuki, Lc. حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Wakafkan Jam Masjid untuk masjid dan musholah. Dapatkan jam masjid itu di sini!

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 2)

Baca artikel sebelumnya di Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 1)

Bismillah,

walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Dalil wakaf dari As-Sunnah [1]

Seluruh dalil yang menunjukkan keutamaan dan dorongan bersedekah, maka otomatis berkonsekuensi menunjukkan keutamaan wakaf [2]. Hal ini karena wakaf termasuk bentuk sedekah yang paling bisa diharapkan pahala besarnya dan termasuk paling bermanfaat.

Banyak hadis yang mendorong untuk berwakaf, di antaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة: إلا من صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له

“Jika seorang mati, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, yaitu: dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Di antara ulama ada orang yang mentafsirkan “shadaqah jariyah” itu khusus wakaf, di antaranya adalah An-Nawawi rahimahullah. Hal ini karena shadaqah jariyah termasuk amalan yang tidak terputus pahalanya, dan tidak mungkin sebuah sedekah terus mengalir pahalanya kecuali dengan mewakafkan sesuatu yang tahan lama dengan cara mengeluarkan dari kepemilikan waqif, tidak boleh dimilikinya. Karena harta wakaf adalah milik Allah semata, guna diambil manfaatnya oleh kaum muslimin dalam jangka panjang.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadis di atas,

وكذلك الصدقة الجارية وهي الوقف

“Dan demikian pula shadaqah jariyah, yaitu wakaf.” [3]

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam menjelaskan hadis di atas juga berkata,

وفيه دليل لصحة أصل الوقف وعظيم ثوابه

“Dalam hadis di atas terdapat dalil sahnya amalan wakaf dan juga pahalanya yang besar.”

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سبع يجري للعبد أجرهنّ وهو في قبره بعد موته: من عَلّم علماً، أو أجرى نهراً، أو حفر بئراً، أو غرس نخلاً، أو بنى مسجداً، أو ورّث مصحفاً، أو ترك ولداً يستغفر له بعد موته

“Tujuh kebaikan seorang muslim yang pahalanya akan terus mengalir meskipun ia telah berada di kuburnya setelah ia meninggal dunia, yaitu seseorang yang mengajarkan ilmu (syar’i), menyalurkan air sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf Al-Quran dan meninggalkan anak yang memohonkan ampun untuknya ketika ia sudah meninggal.” (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Hadis pokok sebagai dasar definisi wakaf adalah hadits berikut ini.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ ؟ قَالَ : ” إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا “. قَالَ : فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ ، وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، وَالضَّيْفِ، لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwa Umar bin Al-Khaththab mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar. Dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta arahan beliau tentang harta tersebut. Umar berkata,

‘Wahai Rasulullah, saya mendapatkan sebidang lahan tanaman (dari harta rampasan) di Khaibar, saya tidak pernah sekalipun mendapatkan harta sebagus lahan tanaman ini sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku terhadap lahan tersebut?’

Beliau bersabda, ‘Jika Engkau mau, Engkau tahan lahan tersebut (dari dimiliki [4]) dan Engkau sedekahkan (hasil tanaman)-nya’.

Ibnu Umar berkata, ‘Lalu Umar pun mewakafkannya, yang mana tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan olehnya.’

(Namun) Umar mewakafkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, jihad fi sabilillah, musafir (yang kehabisan bekal), dan untuk menjamu tamu.

Tidak berdosa bagi pengurus wakaf tanah tersebut untuk memakan dari (hasil tanaman)-nya dengan cara yang baik [5], dan memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan [6].” (HR. Al-Bukhari, Kitab Asy-Syuruth, Bab Asy-Syuruth fi Al-Waqf (2737))

Penjelasan:

Hadis ini merupakan dalil pokok tentang hakikat amalan wakaf, karena di dalamnya terdapat penjelasan tentang definisi wakaf.

Dalam hadis ini, terdapat kisah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu yang mendapatkan harta rampasan perang berupa sebidang lahan tanaman di daerah Khaibar, sebuah daerah 160 kilometer utara dari Kota Madinah, dan daerah Khaibar adalah daerah pertanian.

Lahan tanaman milik Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu tersebut adalah harta termahal yang pernah dia miliki dan sebelumnya dia tidak pernah memiliki harta semahal lahan tersebut.

Di sisi lain, para sahabat radhiyallahu’anhum berlomba-lomba untuk mengumpulkan amalan yang bisa menjadi tabungan mereka di akhirat, apalagi amalan yang sifatnya mengalir pahalanya, meskipun setelah pelakunya meninggal dunia.

Demikian gemarnya para sahabat berwakaf, sehingga dahulu mayoritas sahabat yang memiliki kemampuan harta, tidaklah mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berwakaf.

Singkat kisah, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu’anhu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta arahan, dengan harapan besar Umar mendapatkan kebaikan yang dimaksud dalam firman Allah Ta’ala,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran: 92)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kepada Umar bentuk sedekah yang tergolong amalan terbaik, yaitu wakaf, dengan cara menahan lahan tersebut dari dimiliki, karena barang wakaf itu kepemilikannya kembali kepada Allah Ta’ala semata. Sehingga lahan tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwariskan, diharapkan dengan ditahan, lahan tersebut akan tetap terjaga terus, disisi lain Umar menyedekahkan hasil tanamannya untuk dimanfaatkan oleh kaum muslimin.

Umar pun mengikuti arahan Utusan Allah yang paling mulia ini dengan mewakafkannya untuk orang-orang fakir, kerabat, untuk membebaskan budak, membantu mujahidin dalam berjihad fi sabilillah, musafir yang kehabisan bekal, dan untuk keperluan menjamu tamu, karena menjamu tamu termasuk bagian dari keimanan kepada Allah Ta’ala.

Dikarenakan wakaf itu membutuhkan orang yang mampu mengurus dan menjaganya, maka perlunya keringanan baginya demi lancarnya kepengurusan lahan tersebut, yaitu dalam bentuk pengurus tersebut dibolehkan memakan hasil tanaman lahan itu dengan baik sesuai dengan adat masyarakat setempat, dan dibolehkan juga memberi makan teman/tamunya tanpa berlebihan, seperlunya dan tidak mengambilnya untuk dimiliki dan tidak pula untuk disimpan (ditimbun) [7].

[Bersambung]

***

Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id

Wakaf: Amalan Para Sahabat radhiyallahu’anhum (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du

Definisi Wakaf

Makna bahasa

Ahli bahasa dan ulama rahimahumullah bersepakat bahwa kata “waqfun” (wakaf) secara bahasa merupakan kata benda dengan mengandung makna ismi maf’ul (objek), yaitu “mauquf” artinya sesuatu yang diwakafkan.

Makna istilah syar’i

Kata “wakaf” menurut mereka secara etimologi bermakna “menahan” dan “mencegah”.

Al-Munawi berkata dalam At-Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif,

Al-Waqfu secara bahasa bermakna menahan (mencegah). Dan secara syar’I bermakna,

حبس المملوك وتسبيل منفعته مع بقاء عينه ودوام الانتفاع به

“Menahan/mencegah aset kepemilikan dan membuka pemanfaatannnya (di jalan Allah), disertai tetapnya harta tersebut dan bisa dimanfaatkan secara terus menerus.”  [1]

Tentunya wakaf ini dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Dari penjelasan ini tampaklah hubungan antara makna bahasa dengan makna syar’i, bahwa wakaf adalah menahan aset yang diwakafkan dan mencegah aset tersebut dari dimiliki, diwariskan, dijual, diberikan, dan berlaku hukum selainnya dari hukum-hukum yang terkait dengannya. [2]

Seseorang yang merdeka, memiliki harta yang akan diwakafkan, berakal sehat, baligh, dan rasyid  (baik dalam membelanjakan hartanya, tidak boros) [3], apabila dia dengan sukarela telah mengucapkan ucapan wakaf atau melakukan sesuatu yang menunjukkan tindakan wakaf, maka berarti wakaf telah sah. Dan juga berlaku hukum-hukum wakaf dan hal itu tidak membutuhkan izin Hakim dan pernyataan menerima dari pihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih).

Apabila telah sah wakaf tersebut, maka pada obyek wakaf tersebut tidak boleh dilakukan segala bentuk muamalah yang dapat menghilangkan status wakafnya.

Wajib bagi waqif (orang yang berwakaf) untuk menunjuk nazhir (pengurus wakaf) agar wakaf tidak terlantar atau musnah. Namun apabila waqif tidak menunjuk nazhir, maka kepengurusan wakaf diserahkan kepada mauquf ‘alaih, jika mauquf ‘alaih adalah orang atau golongan tertentu (mu’ayyan). [4]

Rukun Wakaf

Ulama rahimahumullah menjelaskan bahwa rukun wakaf itu ada empat [5], yaitu:

Rukun pertamawaqif (orang yang berwakaf), yaitu seseorang yang merdeka, memiliki harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh, dan rasyid (baik dalam membelanjakan hartanya), dan sukarela (tidak dipaksa) dalam berwakaf.

Rukun keduaobyek yang yang diwakafkan (mauquf), yaitu harta tertentu (‘ain) yang mubah pemanfaatannya, dimiliki oleh waqif tatkala mewakafkan, diketahui dengan jelas ketika diwakafkan, pemanfaatannya tahan lama, tidak boleh dimiliki, tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual, dan tidak boleh diberikan, karena kepemilikannya telah kembali kepada Allah. [6]

Rukun ketigapihak yang berhak menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih), yaitu:

  • Mu’ayyan (orang tertentu, seorang atau lebih, yaitu sekolompok tertentu yang masih bisa dibatasi). Contoh: untuk kemaslahatan anak-anak waqif dan kerabatnya [7]. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf ahli (dzurri) [8].
  • Ghairu mu’ayyan (untuk kemaslahatan umum yang tidak bisa dibatasi). Contoh mushaf Al-Qur’an Al-Karim untuk kaum muslimin, ulama, para ustadz, masjid, rumah sakit, sumur, sekolah, orang-orang faqir miskin [9]. Dan ini jenis wakafnya disebut wakaf khairi.

Rukun keempatsighot (ungkapan akad wakaf), yaitu sebuah ucapan atau perbuatan (yang sesuai dengan adat setempat), dengan itu waqif mewajibkan akad wakaf atas dirinya.

Jumhur ulama menyatakan bahwa sekedar ucapan mewakafkan sesuatu, atau tindakan mencegah suatu aset dari dimiliki yang diiringi dengan niat wakaf, maka ini menyebabkan wakaf berlaku seketika itu juga.

Sebagian ulama ada yang menambahkan rukun kelima, yaitu:

Rukun kelimanazhir (pengurus wakaf), disyaratkan nazhir seorang yang amanah, jujur, dan memiliki pengalaman serta kemampuan mengurus wakaf dan kemaslahatannya [10].

Hikmah Wakaf

Syariat wakaf mengandung hikmah yang demikian besar. Di antaranya adalah memperpanjang masa kebaikan, memperbanyak pahala, serta jaminan sosial bagi fakir miskin, ulama, dan para ustadz. Juga mempererat tali persaudaraan Islam antara orang kaya dan fakir miskin, faktor yang menyebabkan kaum muslimin saling berlomba dalam membuat program wakaf, serta menampakkan keindahan agama Islam. Hal ini karena wakaf adalah kekhususan Islam dan tidak ada di ajaran agama lainnya [11].

Disyariatkannya Wakaf dan Hukum Wakaf

Hukum wakaf menurut jumhur ulama adalah sunnah [12].

Seluruh dalil yang menunjukkan kepada keutamaan dan dorongan bersedekah, maka otomatis berkonsekuensi menunjukkan keutamaan wakaf. Karena wakaf termasuk bentuk sedekah yang paling bisa diharapkan pahala besarnya dan termasuk sedekah paling bermanfaat [13].

Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

Dalil wakaf dari Al-Qur’an Al-Karim

Firman Allah Ta’ala,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali-‘Imran: 92)

Firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)

Firman Allah Ta’ala,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. (QS. Al-Baqarah: 267)

[Bersambung]

***

Penulis: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah

Artikel: Muslim.or.id


Tertarik Wakaf Jam Masjid untuk masjid atau musholah di sekitar rumah Anda? Silakan dapatkan jam masjidnya di sini!

Bolehkah Wakaf Dengan Uang yang Akan Dibelikan Tanah

Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Bismillah, ustadz mau tanya.
Dalam sebuah poster penggalangan dana untuk wakaf sebuah sekolah disitu tertulis titip wakaf yang nilainya tertulis disitu harga permeter tanah tersebut. Apakah maksud dari titip wakaf tersebut ustadz, apakah diperbolehkan dalam Islam?
Mohon penjelasannya, Jazakallahu khoyron.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Titip wakaf hanya sebuah pilihan diksi kalimat, pada hakikatnya ia adalah wakaf dengan uang, kemudian uang yang terkumpul ini dibelikan sesuatu atau benda yang bersifat permanen. Seperti untuk beli Mushaf al-Quran, atau sepenggal tanah atau bagian kecil dari bangunan masjid, dan semisalnya yang mengandung kemanfaatan untuk umat serta bersifat permanen.

Bagaimana hukumnya?
Para ulama berbeda pendapat tentang wakaf jenis ini, pendapat terpilih dan terkuat tentang wakaf dengan uang tunai adalah boleh. Alasannya karena memiliki maksud yang sama serta manfaatnya bersifat permanen (tidak mudah habis/hilang).

Ibnu Abidin rahimahullah pernah mengatakan dalam hasyiyahnya,

وإن الدراهم لا تتعين بالتعيين، فهي وإن كانت لا ينتفع بها مع بقاء عينها لكن بدلها قائم مقامها لعدم تعينها، فكأنها باقية ولا شك في كونها من المنقول

“Dinar tidak mungkin tetap, maka walaupun ia tidak bisa dimanfaatkan dengan cara mempertahankan zatnya, akan tetapi penggantinya (badal) menempati posisinya, karena dia tidak bisa dipertahankan. Seolah dia tetap. Dan semua tahu bahwa uang termasuk barang mudah berubah.”
(lihat Hasyiah Ibnu Abdin, 4/364).

Dan inilah yang menjadi keputusan Majma’ al Fiqh al-Islamy ad-Dauly no. 140 tahun 2004,

وقف النقود جائز شرعاً، لأن المقصد الشرعي من الوقف وهو حبس الأصل وتسبيل المنفعة متحقق فيها ؛ ولأن النقود لا تتعين بالتعيين وإنما تقوم أبدالها مقامها.

“Wakaf uang tunai boleh secara syariat, karena tujuan syariat dalam wakaf bisa diwujudkan, yaitu ‘mempertahankan harta pokok dan mendayagunakan manfaatnya’. Dan keberadaan uang tunai tidak tetap zatnya, namun dijadikan benda lain yang menggantikan posisinya.

يجوز وقف النقود للقرض الحسن، وللاستثمار إما بطريق مباشر، أو بمشاركة عدد من الواقفين في صندوق واحد، أو عن طريق إصدار أسهم نقدية وقفية تشجيعاً على الوقف، وتحقيقاً للمشاركة الجماعية فيه

Boleh wakaf dalam bentuk uang untuk diberikan dalam bentuk utang (al-Qardh al-Hasan), atau diinvestasikan, baik secara langsung atau melalui kerja sama sejumlah pemberi wakaf, di kotak donasi yang sama. Atau dengan menerbitkan saham tunai untuk wakaf sebagai motivasi untuk wakaf, dan mewujudkan kerja sama masyarakat di dalamnya.”

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 20 Muharram 1442 H / 08 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM


Amalmu Tidak Terhenti dengan Kematianmu

Kita diperintahkan oleh Allah swt untuk selalu berlomba dalam beramal. Semua amal itu akan tercatat dengan detail dan kelak akan kembali kepada kita.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ

Dan katakanlah, “Beramal-lah kalian, maka Allah akan melihat amalmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” (QS.At-Taubah:105)

Namun yang ingin kita kaji hari ini adalah bahwa ternyata amal itu tidak terhenti dengan kematian. Manusia masih bisa beramal setelah kematiannya.

Lalu bagaimana cara agar kita selalu dapat transfer pahala setelah kematian kita?

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa amal manusia yang dicatat adalah amalan ketika ia hidup dan setelah ia mati.

Allah swt berfirman,

وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas.” (QS.Ya-Sin:12)

يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ

“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS.Al-Qiyamah:13)

Semua yang kita lakukan di masa hidup meliputi ibadah, sosial dan apapun bentuk kebaikannya akan tercatat rapi.

Lalu bagaimana bentuk amal yang tetap mengalir setelah kematian kita?

Ada kebaikan-kebaikan yang memiliki efek jangka panjang.

Seperti nasehatmu kepada saudaramu…

Perbuatan baikmu yang menjadi inspirasi bagi orang lain…

Buku yang kau tulis…

Sesuatu yang kau wakafkan..

Sumur yang kau gali dan terus bermanfaat bagi manusia..

Sesuatu yang kita tinggalkan bisa menjadi sumber pahala setelah kematian kita. Asal bisa terus memberi kebaikan dan manfaat bagi manusia.

Dalam sebuah riwayat disebutkan,

“Siapa yang melakukan kebaikan akan memperoleh pahala kebaikan tersebut dan mendapat pahala orang yang terinspirasi oleh kebaikan tersebut hingga hari kiamat.

Dan apabila seseorang berbuat keburukan maka akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang terinspirasi dari perbuatannya hingga hari kiamat.

Ayo kita berlomba selama masih ada kesempatan sebelum ajal tiba. Perbanyak investasi amal yang akan terus mengalirkan pahala bahkan setelah kematian kita.

Bangunlah fasilitas umum yang memberi manfaat bagi orang banyak. Sebarkan inspirasi-inspirasi kebaikan agar semakin banyak orang yang terdorong untuk berbuat baik.

Dan di waktu yang sama, jangan pernah kau tinggalkan contoh perbuatan yang buruk, karena sampai kapanpun keburukan yang menjadi ide bagi orang lain itu akan mengalir walau kita telah mati.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Anda ingin wakafkan Jam Masjid untuk masjid atau musholah? Klik di sini!

Sejarah Wakaf dalam Islam

Disyariatkan Setelah Nabi SAW di Madinah

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW di Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia berkata:

Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.

Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).

Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.

Praktek Wakaf Menjadi Lebih Luas pada Masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah

Semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Perkembangan Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.

Manfaat Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni.

Pada Orde Al-Dzahir Bibers Perwakafan dapat Dibagi Menjadi Tiga Katagori

Pendapat negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.

Undang Undang Pembukuan Wakaf

Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.

Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya.

Sampai jumpa di artikel berikutnya, terima kasih.

UMMA

——————————-

Tertarik untuk Wakaf Jam Masjid? Silakan kunjungi Toko Albani!

Milenial, Inilah 5 Hal Penting yang Harus Kamu Lakukan Sebelum Ajal Menjemput

Milenial, menjalani hidup di dunia tidak akan ada habisnya. Bukan hanya masalah dan kedukaan yang akan kita hadapi, tapi juga berbagai macam kebahagiaan akan kita temui. Di balik lelahnya bekerja, ada kebahagiaan mendapatkan penghasilan, mendapatkan jabatan, atau bahkan penghargaan maupun prestasi. Di balik masalah rumah tangga, selalu ada kebahagiaan dari kasih sayang orang tua, suami atau istri, bahkan juga anak-anak. Semua silih berganti, antara suka dan duka. Begitulah di semua aspek kehidupan akan kita rasakan.

Sayangnya, hidup di dunia tidaklah lama. Rata-rata manusia zaman sekarang ini hidup sampai dengan usia rata-rata 70 tahun. Setelah usia tersebut, tentu kehidupan kita di dunia selesai dan akan memasuki fase baru kehidupan selanjutnya di akhirat. Bagi umat Islam, tentu hal ini tidak bisa dipungkiri karena kelak akan datang masanya, dan mau tidak mau, kita harus siap.

Karena kehidupan dunia ini hanyalah sebentar dan sementara, ada beberapa hal yang harus kita persiapkan, mengingat waktu berakhirnya usia hidup manusia tidak ada yang tahu dan tidak harus menunggu tua untuk kembali kepada-Nya. Sebelum usiamu berakhir, berikut adalah hal-hal penting yang harus dilakukan.

1.Milenial, Yuk kerja keras mengejar tujuan

Setiap dari kita, tentunya memiliki tujuan hidup yang ingin dicapai. Tujuan hidup seperti kompas yang mengarahkan perjalanan kita di dunia. Karena kita tidak pernah tahu kapan usia kita akan berakhir, maka kejar dan kerja keras lah dalam mencapai tujuan tersebut. Kadang penyesalan selalu datang di akhir, untuk itu lakukanlah sebaik mungkin dari sekarang sebelum menyesal saat kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun tujuan tersebut belum tercapai saat kita sudah tutup usia, setidaknya kita sudah berusaha keras untuk mencapainya.

Mulai dari, sekarang tentukan tujuan hidup kita dan pastikan bahwa tujuan tersebut adalah hal yang realistis bisa kita capai. Kerahkan seluruh energi dan segenap pikiran kita untuk bisa mencapai tujuan hidup tersebut.

Milenial, jangan terlena apa yang kita dapatkan dan nikmati hari ini. Kadang hal inilah yang membuat kita lupa kalau kita harus mempersiapkan hal yang lebih besar dimasa depan dan akhirat nanti.

2.Apa manfaat yang akan kita tinggalkan di dunia?

Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah menyampaikan bahwa manusia bertugas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Khalifah yang memiliki arti sebagai pemimpin, juga memiliki arti untuk memberikan manfaat, mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia di lingkup sosial, dan tentunya tidak berbuat kerusakan.

Seandainya kita sudah tidak ada lagi di dunia, sebenarnya kita sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk memberikan manfaat lagi. Untuk itu, kita bisa melakukannya sejak saat kita masih hidup di dunia. Perbanyaklah berbuat kebaikan, tinggalkanlah banyak manfaat dari pekerjaan yang kita jalani atau, berkaryalah dengan potensi yang kita miliki. Kelak jika usia kita berakhir, manfaat dan karya kita masih tinggal di dunia. Orang-orang akan masih terus merasakan manfaat dari apa yang kita hasilkan.

Contoh saja para pahlawan di Indonesia, para penulis buku, penemu ilmu pengetahuan, pencipta teknologi, dsb. Kita tinggal memilih, apa manfaat dan karya yang ingin kita tinggalkan dari potensi yang kita miliki.

3. Jangan meninggalkan beban untuk orang terdekat

Milenial, sekiranya tidak bisa meninggalkan manfaat dan karya saat meninggalkan dunia ini, janganlah kita meninggalkan beban berat pada orang lain. Misalnya, meninggalkan hutang yang besar dan tidak ada kemampuan untuk membayarkannya. Untuk itu, hal-hal seperti ini perlu dipikirkan agar kita tidak membuat beban berat orang lain yang ditinggalkan.

4.Pastikan jaminan hidup bagi anak atau keluarga yang ditinggalkan

Dalam Surat Annisa, ayat 9, disampaikan oleh Allah bahwa, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Artinya, janganlah kita meninggalkan keluarga khususnya anak-anak dalam keadaan yang lemah dan tanpa persiapan apapun. Bagi yang sudah berkeluarga, memiliki anak atau tanggungan hidup lainnya, pastikan kita meninggal dalam keadaan meninggalkan jaminan untuk mereka. Mulai dari sekarang, kita bisa mulai menabung, atau mengikuti berbagai program untuk mempersiapkan kebutuhan untuk masa depannya.

5.Milenial, Yuk siapkan bekal akhirat

Sebaik-baik persiapan kita meninggalkan dunia adalah mempersiapkan pahala untuk bekal akhirat. Pahala amal kebajikan adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan kita dari masa depan akhirat yang kelam dan penuh siksaan. Karena penilaian Allah pada manusia adalah pada amal dan ketaqwaanya, tidak ada yang lain. Itulah yang memustuskan akan berakhir kemana kehidupan manusia, di Surga atau Neraka.

Untuk itu, mulai dari sekarang, sebelum usia kita berakhir, laksanakanlah seluruh perintah Allah, laksanakanlah kehidupan kita sesuai dengan nilai dasar Islam, dan berbuatlah kebajikan sesuai dengan kemampuan maksimal kita. Beribadahlah seolah besok usia kita akan berakhir dan tidak ada kesempatan lagi untuk memperbaiki diri.

Salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan bekal akhirat adalah mempersiapkan pahala jariah. Walaupun kita sudah tidak ada di dunia, tapi manfaatnya masih terus berjalan, dan pahala masih akan terus mengalir kepada kita. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan dalam hadist, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak shalih yang selalu didoakan orang tuanya.” (HR. Muslim).

Para ulama, menjelaskan sedekah jariah sama istilahnya dengan berwakaf. Berwakaf adalah menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah.

Wakaf adalah Solusi

Milenial, dengan wakaf ada banyak hal yang bisa dibangun atau dibentuk dan memberikan produktifitas tersendiri. Misalnya saja, wakaf untuk pendirian rumah sakit, sekolah, masjid, bahkan kebun. Selama nilai pokok wakaf tersebut tidak berubah dan aset tersebut terus digunakan untuk kemaslahatan ummat, maka pahala tersebut juga akan terus mengalir pada kita, walaupun sudah tidak ada lagi di dunia.

Misalnya saja wakaf yang pernah dilakukan oleh Abdurrahman Bin Auf di masa Rasulullah dulu. Ia memberikan kekayaannya untuk dijadikan summur yang digunakan oleh banyak sekali masyarakat dan tanah di sekitarnya juga dijadikan sebagai lahan produktif seperti kurma dan aset lainnya. Bisa kita bayangkan, bagaimana aliran kebaikan dan pahala yang terus mengalir padanya hingga sekarang, walaupun sudah berumur ribuan tahun.

Adakah kita juga terpanggil untuk melaksanakan ibadah wakaf? Dengan nominal 10.000 rupiah, kita sudah bisa mulai berwakaf dan sedikit demi sedikit mencicil bekal untuk akhirat, sebelum usia kita berakhir. Selamat bersiap diri!

ZAKATorid

————————————-

Tertarik mewakafkan Jam Masjid, silakan order di sini!