Saat Abu Bakar Perintahkan Zaid Mengumpulkan Alquran

Sejarah mencatat penulisan Alquranul Karim telah melewati tiga periode, yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW, pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu, dan pada masa Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu.

Dikutip dari buku Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i karya Abu Ya’la Kurnaedi, pengumpulan Alquran pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu disebabkan syahidnya para qari pada Perang Yamamah. Jumlahnya sekitar 50 qari, termasuk Salim maula Abu Hudzaifah. Perang tersebut terjadi pada tahun 12 Hijriyah. 

Karena itulah sang Khalifah memerintahkan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf. Kekhawatiran akan hilangnya Alquran dengan sebab kematian hufazh (para hafizh atau penghafal Alquran) melandasi tindakan ini. Imam al-Bukhari meriwayatkan kisah pengumpulan tersebut dalam shahih-nya. 

Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu berkata: “Abu Bakar memanggilku saat kami berada di medan Yamamah (setelah diketahui tentang gugurnya tujuh puluh hufazh) dan ketika itu terlihat Umar duduk di sisinya. 

Lalu Abu Bakar berkata: “Tadi Umar menemuiku dan berkata: ‘Pertempuran di Yamamah itu amat mengerikan dan begitu dahsyat sampai para hufazh berguguran, dan aku khawatir hal ini berlanjut pada kelompok muslimin lainnya sehingga banyak ayat yang hilang. Karena itu, menurut pendapatku, sebaiknya engkau mengumpulkan Alquran.”

Maka aku (Abu Bakar) menanggapi: “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah?”

Namun Umar bersikeras: “Demi Allah, itu lebih baik.”

Kemudian tidak henti-hentinya Umar berusaha meyakinkanku, hingga Allah melapangkan dada ini untuk sesuatu yang lebih dahulu dilapangkan oleh-Nya kepada Umar, dan aku melihat pada perkara tersebut sebagaimana yang dia lihat. 

Abu Bakar pun berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda yang cerdas, dan tidaklah aku berprasangka buruk kepadamu. Kamulah salah seorang penulis wahyu Rasulullah, maka telitilah Alquran dan kumpulkan (ayat-ayatnya).”

Demi Allah, seandainya aku (Zaid) diperintahkan untuk memindahkan gunung di antara gunung-gunung, niscaya ia tidak seberat apa yang diperintahkannya ini. Lantas aku berkata: “Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?”

Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, itu lebih baik.” Kemudian tiada henti-hentinya Abu Bakar berusaha meyakinkanku sampai Allah melapangkan dada ini untuk sesuatu yang lebih dahulu dilapangkan oleh-Nya kepada Abu Bakar dan Umar. 

IHRAM

Hukum Ibadah ketika Tercampur dengan Riya’

Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

Apa hukum ibadah ketika tercampur dengan riya’?

Jawaban:

Hukum suatu ibadah ketika tercampur dengan riya’ itu ada tiga kondisi (keadaan).

Kondisi pertama

Jika faktor pendorong ibadah tersebut sejak awal (sejak asalnya) adalah murni riya’. Misalnya ada orang yang mendirikan salat dalam rangka riya’ di depan manusia (sejak awal niat pertama), agar manusia memuji salatnya. Hal semacam ini membatalkan ibadahnya.

Kondisi kedua

Jika riya’ tersebut muncul di tengah-tengah pelaksanaan suatu ibadah. Maksudnya, faktor pendorong ibadah tersebut pada awalnya adalah ikhlas untuk Allah Ta’ala. Kemudian muncullah riya’ di tengah-tengah ibadah. Maka, ibadah semacam ini tidak lepas dari dua bentuk.

Bentuk pertama, jika bagian awal ibadah tidak berkaitan dengan bagian akhir ibadah. Maka, bagian pertama ibadah tersebut tetap sah, sedangkan bagian akhirnya yang batal.

Contoh:

Ada seseorang yang memiliki uang 100 riyal dan ingin menyedekahkannya. Dia pun menyedekahkan 50 riyal pertama dengan ikhlas. Kemudian muncullah riya’ ketika dia menyedekahkan 50 riyal sisanya. Maka, sedekah 50 riyal pertama adalah sedekah yang sah dan diterima. Sedangkan sedekah 50 riyal sisanya adalah sedekah yang batil, karena ikhlas tersebut kemudian tercampuri dengan riya’.

Bentuk kedua, jika bagian awal ibadah berkaitan dengan bagian akhir ibadah. Jika seseorang mendapati kondisi semacam ini, dia tidak terlepas dari dua keadaan:

Pertama, dia berusaha kuat menolak dan tidak merasa tenang dengan munculnya riya’ tersebut, bahkan dia menentang dan membenci riya’ tersebut. Dalam kondisi semacam ini, riya’ tersebut tidak berpengaruh sama sekali (terhadap ibadahnya). Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ

Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” (HR. Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127)

Kedua, dia merasa tenang saja dengan munculnya riya’ tersebut dan tidak berusaha menolaknya (menghilangkannya). Maka, dalam kondisi semacam ini, batallah semua ibadahnya, karena bagian awal ibadah berkaitan dengan bagian akhir ibadah.

Contoh:

Seseorang memulai salat dengan ikhlas kepada Allah Ta’ala. Kemudian muncullah riya’ ketika rakaat kedua (dan dia tidak berusaha menghilangkan riya’ tersebut, pent.). Maka, batallah salatnya seluruhnya, karena bagian awal ibadah berkaitan dengan bagian akhir ibadah.

Kondisi ketiga

Ketika riya’ tersebut muncul setelah selesai melaksanakan suatu ibadah, maka hal itu tidak berpengaruh dan tidak membatalkan ibadahnya. Karena ibadah tersebut diselesaikan secara sah, sehingga tidaklah dirusak dengan dengan munculnya riya’ yang datang setelah ibadah berakhir.

Tidaklah termasuk riya’ ketika seseorang merasa gembira ketika dia mengetahui bahwa orang lain mengetahui ibadah yang dia lakukan. Karena hal ini hanyalah muncul setelah selesai melaksanakan suatu ibadah. Bukan pula termasuk riya’ ketika seseorang merasa gembira (bahagia) dengan melaksanakan suatu ketaatan, karena hal itu adalah bukti keimanannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ فَذَلِكُمْ الْمُؤْمِنُ

Barangsiapa yang kebaikan yang dia lakukan membuatnya lapang dan bahagia, dan keburukannya membuatnya penat dan susah, maka dia adalah seorang mukmin.” (HR. Tirmidzi no. 2165)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga ditanya tentang hal tersebut (yaitu orang yang melaksanakan suatu ibadah, namun orang lain tahu dan memujinya, pent.) dan bersabda,

تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ

Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mukmin.” (HR. Muslim no. 2642)

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/69756-hukum-ibadah-ketika-tercampur-dengan-riya.html