Bani Adam atau Bani Monyet?

“Manusia sekarang adalah bentuk sempurna dari sisa-sisa kehidupan purbakala yang berkembang dari jenis hominid, bangsa kera (monyet).” (Buku Sejarah SMA)

KUTIPAN di atasadalah penegasan sebuah Buku Sejarah untuk kelas X yang mengacu pada kurikulum 2013. Pendapat itu dikutip dari pernyataan Charles Darwin (1809-1882).  Ditampilkanlah gambar “nenek moyang bangsa Indonesia” berupa sebuah keluarga homo erectus yang mulutnya monyong,  tanpa balutan baju dan celana.

Entah bagaimana prosesnya, mulut kita sekarang tidak monyong, seperti gambar itu?

Konon, seperti dikatakan dalam buku pelajaran ini, kesimpulan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari bangsa kera (sejenis monyet) adalah hasil pendekatan sains. Artinya, secara saintifik terbukti, bahwa manusia adalah keturunan monyet. Lalu dikatakan pula, pendekatan sains berbeda dengan pendekatan agama.

“Agama berada dalam tingkat eksistensial dan transendental (soal rasa, soal hati), sedangkan sains berada dalam tingkat faktual (soal pembuktian empiris). Dengan kata lain, agama dan sains memiliki otonomi masing-masing… Singkatnya, agama dan sains (ilmu pengetahuan) tidak perlu dicampuradukkan.”

Ironis! Dengan UUD 1945 pasal 31 (3), UU No 20/2003 dan No 12/2012 yang menargetkan terbentuknya manusia beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, materi pelajaran seperti itu masih dipertahankan. Konsep “manusia dari monyet” sebenarnya keliru secara keilmuan, baik secara ontologis, epistemologis, dan sekaligus aksiologis.

Secara ontologis, konsep ini hanya mendefinisikan “manusia” sebagai entitas materi semata. Bukti-bukti sejarah manusia hanya dilihat dari aspek tulang belulang.

Itu jelas keliru. Sebab, unsur utama manusia adalah Ruh, yang tidak diakui oleh konsep ilmu sekular sebagai objek ilmu, karena merupakan objek non-inderawi (insensible).

Secara epistemologis, konsep manusia dari monyet itu pun keliru. Sama sekali tidak ada bukti empiris dan rasional, bahwa manusia dari monyet.

Hingga kini, tidak ada bukti ilmuwan bisa mengubah monyet jadi manusia. Silakan kuliahkan monyet sampai ketingkat doktoral, tak akan dia berubah jadi manusia.

Atau, jika kita mau, kawinkanlah monyet dengan manusia terpandai. Tak akan lahir anak monyet berakal dan beradab.

Sejarah manusia dahulu kala, hanya bisa dipastikan melalui berita yang benar (khabar shadiq). Semua rekayasa objek purbakala hanya menghasilkan kesimpulan ke tingkat dugaan (dhan).

Sebagian ilmuwan merujuk kepada tingkat persamaan struktur gen manusia dan simpanse yang mencapai 99 persen. Toh, yang 1 persen itu pun tak pernah bisa dipenuhi oleh simpanse. Dengan cara apa pun, monyet tidak pernah jadi manusia.

Secara aksiologis, konsep manusia dari monyet ini pun tak membawa manfaat besar bagi manusia. Hasilnya hanya dugaan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daratan China dan sekitarnya.

Jika hanya begitu kesimpulannya, untuk apa trilyunan rupiah dikucurkan untuk penelitian semacam itu?

****

Sekolah-sekolah dan pesantren Islam sepatutnya memahami dampak negatif dari kurikulum yang memaksa guru dan anak didik berpikir paradoks dan sekular: memisahkan kebenaran agama dan kebenaran sains. Padahal, pandangan ini jelas dalah dan bukan kebenaran saintifik.

Konsep itu hanya anggapan dan dugaan; berasal dari rekayasa berbagai fakta empiris. Tidak ada bukti empiris dan rasional yang memastikan manusia berasal dari monyet.

Pencarian manusia tentang asal-usulnya harusnya merujuk kepada kabar dari Sang Pencipta, Allah SWT. Penolakan wahyu Ilahi sebagai sumber ilmu telah memalingkan manusia dari sejarahnya sendiri.

Manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. Manusia itu Bani Adam, bukan bani monyet, dan kebutuhan primer manusia tertinggi adalah ibadah; bukan makan dan minum.

Untuk beribadah, liya’budun – bukan liya’kulun —  (QS 51:56) itulah, maka manusia dicipta; bukan hidup untuk makan! Sebab kalau hanya “untuk makan”, itu tujuan hidup monyet.

Saat berpuasa, seorang Muslim rela meninggalkan kebutuhan makan-minum, demi ibadah. Seorang Ibu rela menyabung nyawa, demi keselamatan anak tercintanya.

Mujahid ikhlas mengorbankan jiwa, demi cita-cita mulia. Kebutuhan ibadah lebih tinggi daripada kebutuhan jasadiah, makan-minum.

Adam a.s. dicipta dan diturunkan ke dunia untuk menjadi khalifah fil-ardh. Tugasnya, dan para Nabi sesudahnya, menegakkan kalimah Tauhid; agar manusia hanya menyembah Allah semata (QS 16:36); bukan menyembah tuyul atau genderuwo.

Sebagai khalifah, manusia bertugas memakmurkan bumi; bukan merusaknya. Jadi, silakan Anda pilih: Bani Adam atau Bani monyet?*

Direktur Attaqwa College, Depok

HIDAYATULLAH

Ajaran yang Lebih Sempurna daripada Stoikisme

Baru baru ini, populer istilah stoikisme di tengah-tengah masyarakat. Diperbincangkan dalam podcast-podcast yang sedang trending dan mulai dipraktikkan oleh sebagian besar anak muda. Sebuah konsep pemikiran yang ada sejak tahun 108 SM. Konsep ini mengajarkan bagaimana agar manusia mampu menjaga ketenangan dalam berfikir secara rasional. Tidak terlalu memperdulikan apa yang terjadi di luar kendali, serta berfokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan.

Konsep stoikisme mengajarkan tentang keyakinan terhadap apa yang dimiliki oleh diri sendiri kemudian berfokus padanya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Kemudian menyingkirkan pengaruh negatif yang datang dari luar kendali diri. Orang-orang stoikis tidak terlalu memperdulikan bagaimana penilaian manusia kepada diri mereka sehingga mereka hanya fokus melakukan apa yang mereka anggap baik bagi diri mereka.

Orang-orang yang meyakini dan dianggap berhasil menerapkan konsep berpikir ini dalam kehidupan mereka mengakui bahwa cara pandang mereka dalam menjalani hidup menjadi berbeda karena mereka dapat menjadi lebih tenang dan lebih menikmati kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Saudaraku, banyak manusia yang mengaku beriman tapi lebih meyakini konsep-konsep dari ajaran di luar Islam dari pada ajaran-ajaran yang bersumber dari agamanya sendiri, meskipun pesan yang dibawa adalah sama, bahkan tidak sebaik dari ajaran Islam. Tidak sedikit umat Islam lebih condong mengikuti nasihat yang dianggap memiliki basis ilmiah daripada nasihat Islam sendiri yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun ia menyadari bahwa Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri adalah sains dan ilmiah. Waliyadzubillah

Padahal, dalam Islam sendiri mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang lebih sempurna dari apa yang diajarkan oleh filsafat apapun yang ada di dunia ini. Dalam Islam, kita diajarkan tentang sebuah konsep mulia yang bernama “niat” yang merupakan pokok fundamental dalam segala aktivitas yang kita lakukan. Islam mengajarkan agar niat itu dipersembahkan hanya untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala.

Melakukan segala amalan berupa aktivitas mulai dari gerakan batin, fikiran, maupun segala hal yang dilakukan oleh fisik (anggota tubuh), dimulai dengan niat ikhlas untuk meraih keridaan Allah. Maka, apapun komentar, tanggapan, bahkan cemoohan dari manusia, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi hal-hal yang kita lakukan yang diawali dengan niat ikhlas tersebut.

Dan rasakanlah betapa ketenangan hidup yang kau inginkan. Imam As-Syafi’i rahimahullah berkata,

رِضَا النَّاسِ غَايَةٌ لاَ تُدْرَكُ

“Rida manusia merupakan tujuan yang tidak bisa tercapai.”

Senang terhadap pujian manusia

Sebagai manusia, perasaan senang atas pujian seseorang atas diri adalah hal yang manusiawi, asalkan tidak melangkahi batasan-batasan syariat yang telah ditetapkan baik dalam Al-Qur’an maupun sunah.

Namun, sebagian manusia, setelah melakukan suatu tugas, kewajiban, ataupun pemberian kepada seseorang, ucapan ‘terima kasih’ adalah kalimat yang ditunggu-tunggu. Bahkan, oleh penganut konsep stoikisme sekali pun. Karena mereka tidak meletakkan niat suci dari prinsip itu kepada Zat Yang Mahamengetahui, yaitu Allah Ta’ala.

Saudaraku, kadangkala kita mudah terpengaruh dengan pendapat orang lain terhadap diri kita. Pujian dan sanjungan, bahkan cacian dan makian manusia sering menjadi tolak ukur kita melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Akhirnya, kita bekerja, beraktivitas, berbicara, berperilaku, bahkan beramal dan beribadah ditujukan untuk mendapatkan pengakuan berupa pujian dan sanjungan itu. Waliyadzubillah

Sesungguhnya kita menyadari bahwa amal ibadah sangat tergantung pada niat kita ketika hendak melaksanakannya. Karena pahala yang diberikan kepada seorang hamba yang melakukan suatu amal berdasarkan niat yang telah ia ikrarkan.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Namun, alih-alih menghadirkan niat lillah dalam melaksanakan segala hal baik urusan duniawi seperti bekerja ataupun menuntut ilmu, maupun urusan ukhrawi dalam bentuk mengerjakan berbagai amal ibadah, terkadang kita justru menjadikan penilaian manusia sebagai tujuan akhir atas segala urusan tersebut.

Akibatnya, kita sering dirundung masalah hingga bencana sebagai bentuk teguran dari Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya yang sedang ‘jauh’ dari-Nya. Padahal, jika saja segala urusan tersebut disandarkan atas niat untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, tentulah kebahagiaan yang akan diperoleh.

Cercaan manusia dan keniscayaan

Adapun niat untuk mendapatkan pengakuan dari manusia dalam bentuk pujian, ataupun karena takut dari cercaan, maka apapun yang kita dapatkan setelahnya adalah suatu hal yang semu yang dapat berujung pada kekecewaan.

Karena, tidak ada orang yang dapat selamat dari cercaan manusia. Sesempurna apapun akhlaknya, semulia apapun perilakunya, dan sebaik apapun tingkah lakunya. Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak luput dari cercaan dan celaan dari manusia (orang-orang kafir Quraisy).

Nasihat dalam menyikapi keniscayaan cercaan manusia ini dapat kita ambil dari perkataan Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata,

مَنْ قَدَّرَ أَنه يَسْلَمُ مِنْ طَعْنِ النَّاسِ وَعَيْبِهِمْ فَهُوَ مَجْنُون

“Barang siapa yang menyangka ia bisa selamat dari celaan manusia dan cercaan mereka maka ia adalah orang gila.”

(Al-Akhlaq wa As-Siyar fi Mudawaatin Nufuus halaman 17)

Terlalu larut dengan penilaian manusia juga akan memperburuk keadaan pikiran dan batin kita. Sebab, bagaimanapun yang kita lakukan, tetap saja ada manusia yang menilai dari sudut pandang negatif. Semakin kita menjadikan penilaian manusia sebagai ukuran kesuksesan dan keberhasilan, maka semakin dekat pula kita dengan kekecewaan. Imam as-Syafi’i rahimahullah berkata,

“إنّك لا تقدر أن ترضي النّاس كلَّهم، فأصلح ما بينك وبين الله ثمّ لا تبالي بالناس”

“Engkau takkan mampu menyenangkan semua orang. Karena itu, cukup bagimu memperbaiki hubunganmu dengan Allah, dan jangan terlalu peduli dengan penilaian manusia..” (Tawaalii At-Taniis – Ibnu Hajar 168)

Kita hanya perlu memperbaharui niat kita dalam setiap langkah dan aktivitas yang kita lakukan. Niat yang perlu tetap konsisten untuk mendapatkan rida Allah Ta’ala, apapun resiko yang kita hadapi. Bahkan, hingga ke titik resiko yang membahayakan diri kita pun, insyaAllah kita akan tetap berada dalam perlindungan Allah Ta’ala, asalkan kita senantiasa menjaga batasan-batasan syariat Allah. Karena dengan menjaga batasan syariat tersebut, kita juga sedang menjaga Allah. Perhatikan hadis berikut:

عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andai pun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. At Tirmidzi no. 2516, Ahmad dalam kitab Al-Musnad: 1/307)

Kekeliruan niat, penyebab jauh dari Allah

Seringnya berinteraksi dengan manusia dan menghabiskan waktu dalam kesibukan terhadap urusan duniawi perlahan tapi pasti akan menjauhkan kita dari Allah. Apalagi, kesibukan kita dalam urusan duniawi tersebut telah merenggut waktu-waktu terbaik kita dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.

Kadangkala, kita selalu mencari alasan dan pembenaran dari dorongan hasrat duniawi yang terlalu sibuk untuk mendapatkan kesenangan yang semu. Atau yang lebih halus, dengan alasan demi mencari kehidupan yang layak, kemudian kesempatan beribadah (seperti solat duha, tahajud, membaca Al-Qur’an) kita tepis seenaknya, dengan berbagai alasan dan hati pun bergumam “Aku tidak sempat melakukannya, ya Allah.”

Padahal, amal ibadah kepada Allah khususnya amalan-amalan sunah (an-nawafil) adalah kunci agar kita semakin dekat dengan-Nya. Dekatnya kita kepada Allah bahkan akan membuka pintu-pintu kebahagiaan dunia dan akhirat. Lantas, kenapa kita menghindarinya?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ

“Dan tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku, yang lebih aku cintai daripada apa-apa yang telah Aku fardukan kepadanya. Hamba-Ku terus-menerus mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah hingga Aku pun mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia pakai untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia pakai untuk berjalan. Bila ia meminta kepada-Ku, Aku pun pasti memberinya. Dan bila ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pun pasti akan melindunginya.” (HR. Al-Bukhari 6502 Fathul Bârî (11/348)

Ikhlaskan amal dan niatmu!

Ketika berada dalam suatu keadaan dimana hanya ada dua pilihan antara kesuksesan di mata manusia tapi harus melangkahi batasan syariat, atau bertekad memperoleh rida Allah meskipun mendapatkan celaan manusia. Pilihan manakah yang akan kita ambil?

Fenomena terjebak dalam dua pilihan ini seringkali terjadi pada diri kita. Baik dalam memutuskan suatu perkara (cobaan bagi seorang pemimpin), maupun dalam melaksanakan suatu perintah (cobaan bagi yang dipimpin). Contoh konkrit, ketika seorang Bos lebih memilih untuk tetap bekerjasama dengan Pihak Mitra untuk suatu project demi mendapatkan keuntungan besar. Padahal ia tahu bahwa jalan yang akan ditempuh untuk mendapatkan keuntungan itu mau tidak mau harus melanggar ketentuan syariat (seperti ribawi, gharar, dan sebagainya).

Atau seorang anak buah yang mau tak mau harus menjalankan perintah Bos-nya untuk tetap melanjutkan kerja sama tersebut padahal ia tahu bahwa yang akan dikerjakan adalah apa yang dilarang oleh syariat. Maka, dengan alasan kekhawatiran akan celaan manusia, atau kekhawatiran akan kehilangan rezeki, ia pun tetap melakukan pekerjaan itu.

Hilanglah niat “mengerjakan segala hal untuk mendapatkan rida Allah”. Padahal Allah Sang Maha Penyayang akan senantiasa memberikan kita kecukupan selama kita tetap menjaga batasan-batasan agama ini. Perhatikanlah hadis berikut.

عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ كَتَبَ مُعَاوِيَةُ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رضى الله عنها أَنِ اكْتُبِى إِلَىَّ كِتَابًا تُوصِينِى فِيهِ وَلاَ تُكْثِرِى عَلَىَّ. فَكَتَبَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها إِلَى مُعَاوِيَةَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ

Dari seseorang penduduk Madinah, ia berkata bahwa Muawiyah pernah menuliskan surat pada ‘Aisyah, Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata, “Tuliskanlah padaku suatu nasihat untukku dan jangan engkau perbanyak.” ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menuliskan pada Mu’awiyah, “Salamun ‘alaikum (keselamatan semoga tercurahkan untukmu). Amma ba’du. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mencari rida Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari rida manusia, namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia.” (HR. Tirmidzi no. 2414 dan Ibnu Hibban no. 276. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini sahih)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata kepada salah seorang murid beliau yang bernama Yunus bin Abdil A’la,

لَوْ اجْتَهَدْتَ كُلَّ الْجُهْدِ عَلَى أَنْ تُرْضِيَ النَّاسَ كُلَّهُمْ فَلَا سَبِيْلَ، فَأَخْلِصْ عَمَلَكَ وَنِيَّتَكَ لِله عَزَّ وَجَلَّ.

Seandainya engkau bersungguh-sungguh semaksimal mungkin untuk membuat rida manusia seluruhnya, tidak akan mungkin bisa. Oleh karena itu maka ikhlaskanlah amal dan niatmu hanya untuk Allah Azza wa Jalla.” (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid 1 hlm. 31)

Kabar gembira bagi orang yang memiliki niat ikhlas

Telah jelas bagi kita bagaimana keadaan orang-orang yang mengedepankan hasrat untuk mendapatkan pengakuan dan pujian manusia. Mereka tidak akan mendapatkan apapun pada akhirnya, kecuali kekecewaan. Sebaliknya, niat yang selalu dipersembahkan untuk mendapatkan rida dari Allah Ta’ala akab berbuah manis baik di dunia maupun akhirat.

Maka, apakah alasan bagi kita untuk tidak mengikhlaskan niat hanya bagi Allah Ta’ala?

Oleh karena itu, selain mengetahui balasan kebaikan yang didapat oleh orang-orang yang senantiasa mengikhlaskan niatnya lillah dalam setiap aktivitas, tutur kata, dan tingkah lakunya. Penting pula bagi kita, untuk mengetahui akibat yang lebih jauh bagi orang-orang yang mempersembahkan niatnya kepada selain Allah. Sebagaimana firman Allah,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Tidak ada sedikit pun arti suatu amalan tanpa menghadirkan niat lillah dalam setiap amalan tersebut. Apalah artinya suatu amalan yang dikerjakan dengan segala daya dan upaya, namun tanpa niat lillah, kemudian tidak mendapatkan apa pun dari pahala atas amalan tersebut.

Oleh karenanya, amalan yang kita kerjakan dengan niat ikhlas untuk mendapatkan rida Allah (bukan rida manusia) adalah orang yang paling baik agamanya, serta buah dari keikhlasannya tersebut akan berujung pada balasan dengan sebaik-baik balasan dari Allah, yaitu perjumpaan dengan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?” (QS. An-Nisa’ :125)

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi :110)

Demikianlah sekelumit dari gambaran betapa ajaran agama mulia ini begitu sempurna dan sangat komprehensif. Ajaran yang meliputi segala lini kehidupan manusia. Baik dalam perkara duniawi, apalagi perkara ukhrawi. Oleh karenanya, selamilah lebih dalam ajaran agama mulia ini. Rasakan dan sadarilah bahwa lautan ilmu yang bersumber dari Allah Ta’ala sangatlah luas sehingga engkau akan berhenti berdecak kagum dengan segala pernak pernik sains dan teknologi yang dianggap menakjubkan itu. Karena akhirnya engkau menyadari bahwa semua itu berasal dari sumber yang sama, yaitu ilmu Allah Ta’ala yang tertera dalam Al-Qur’an dan Hadis.

Penulis: Fauzan Hidayat, S.T.

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77944-ajaran-yang-lebih-sempurna-daripada-stoikisme.html

Tiga Biang Pembunuhan, Jauhilah!

Agama Islam memperingatkan ancaman berat terhadap pelaku pembunuhan, inilah 3 biangnya yang perlu dijahui

WASIAT akhir seseorang kepada pihak lain tentu mencerminkan aspek yang dia pandang sangat penting bagi kebaikan si penerima wasiat. Hal ini berlaku bagi orangtua kepada anaknya, guru kepada muridnya, dan pemimpin kepada yang dipimpinnya.

Apalagi pesan terakhir seorang Nabi ﷺ kepada umat yang ditinggalnya. Bisa dibayangkan Rasulullah Muhammad ﷺ disifati oleh Allah SWT dalam al-Qur`an sebagai sosok nabi yang “harishun alaikum bil mukminin raufun Rahim”.

Artinya, Nabi Muhammad ﷺ sangat menginginkan kebaikan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin, saat ia menyampaikan wasiatnya. Dengannya, bisa dipastikan poin yang Nabi ﷺ singgung dalam setiap wasiatnya adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan sama sekali oleh umat Islam.

Selanjutnya, di antara wasiat Rasulullah ﷺ adalah yang disampaikan pada peristiwa Haji Wada’ (haji perpisahan) di Padang Arafah, ketika itu. Nabi ﷺ bersabda: 

لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ

“Janganlah sepeninggalku kalian kembali (seperti) orang kafir, sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah ﷺ menegaskan demikian, tentu karena tidak ingin kaum Muslimin mundur kembali sebagaimana masa jahiliah dan berujung kepada lemahnya umat penegak risalah tauhid. Sebab bisa dipastikan pembunuhan non-syar’i yang terjadi baik dalam skala massal maupun individual senantiasa dipicu oleh adanya motif yang berakar dari hawa nafsu semata. Tak heran agama Islam memperingatkan dengan ancaman yang berat dan dosa besar pelaku pembunuhan.

Berikut ini beberapa pemicu beserta penawar yang diterangkan al-Qur’an dan al-Hadits terkait dengan kejahatan pembunuhan selama ini. Di antaranya adalah:

Dengki

Motivasi paling klasik sekaligus pendorong utama terjadinya pembunuhan manusia pertama adalah dengki. Dengki adalah benci karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.

Kisah Qabil yang membunuh saudara sekandungnya Habil adalah bukti atas motivasi jahat ini.  Allah SWT berfirman:

وَٱتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ٱبْنَىْ ءَادَمَ بِٱلْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ ٱلْءَاخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ ٱللَّهُ مِنَ ٱلْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): ‘Aku pasti membunuhmu!’. Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa’.” (QS: al-Maidah [5]: 27).

Diceritakan ayat di atas, secara nyata dua orang bersaudara hendak melaksanakan kurban. Namun ternyata tak semua pengorbanan tersebut diterima di sisi Allah Ta’ala. Allah hanya menerima dari salah satunya yang benar-benar didasari keikhlasan. Qabil bukannya introspeksi diri, ia justru memperturutkan rasa dengkinya hingga memburu rasa puas dengan membunuh saudaranya.

Penyakit hati demikian sebagai pintu gerbang berbagai macam dosa serta cikal bakal segala keburukan. Kadang disangka sepele padahal penyakit dengki mempunyai hulu ledak yang dahsyat dan menghancurkan. Sasaran utamanya bukan kerabat jauh atau tetangga jauh. Tapi dengki ini merusak hubungan dengan orang-orang terdekat, saudara sekandung, tetangga dekat, dan teman dekat.

Ajaran Sesat

Dasarnya sesat, wajar bila penganut ajaran ini melakukan tindakan-tindakan jahat hingga sampai melenyapkan nyawa orang lain, meski orang lain itu bermaksud tulus membantu menyelamatkan dirinya.

Penyakit ini tidak luput dari seluruh penentang nabi dan rasul. Sebentang panjang risalah tauhid ini ditegakkan, sejauh itu pula hadir kelompok yang selalu menentangnya. Manusia-manusia pilihan Allah SWT itu mereka nilai sebagai orang gila atau pendusta. Mereka juga tak sungkan mencap utusan Allah sebagai tukang sihir dan orang yang mengada-ada.

Akibatnya, kehadiran orang-orang baik dan penyeru kebaikan itu malah disangka menganggu ketentraman, mengguncang stabilitas serta mengacaukan situasi dan kondisi yang sebelumnya dianggap mapan. Tak  aneh, kesimpulan asumsi nyeleneh tersebut membuat para pengikut kesesatan senantiasa bertekad mengenyahkan manusia-manusia terbaik dan pilihan itu dari muka bumi, sekalipun.

كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَالْأَحْزَابُ مِنْ بَعْدِهِمْ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ

“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (Rasul) dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap Rasul mereka untuk membunuhnya dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku?” (QS: Ghafir [40]: 5)

Sebagian ahli tafsir menerjemahkan kata “يَأْخُذُوهُ “ dengan “menawannya”, tetapi Imam at-Thabari (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, XXI/353) dan Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, VII/129) menegaskan bahwa kata tersebut bermakna  “membunuhnya”.

Pernyataan Allah di atas mengungkap satu realitas yang tak terbantahkan. Ajaran sesat benar-benar bagian dari pemicu pembunuhan para nabi yang dilanjutkan dengan semangat menghabisi para pewarisnya dengan segala cara. Makar kuffar kepada kaum Muslimin hingga sekarang dapat disaksikan setiap saat. Mereka tidak akan puas hingga orang beriman menanggalkan imannya atau jika tidak harus meninggalkan dunia ini.

 وَلَا يَزَالُونَ يُقَٰتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ ٱسْتَطَٰعُوا۟ ۚ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِۦ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَٰلُهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةِ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS: al-Baqarah [2]: 217)

Serakah

Untuk urusan serakah ini, Nabi ﷺ mengingatkan umatnya. Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah.

Allah SWT bahkan menegaskan:

وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ ٱلنَّاسِ عَلَىٰ حَيَوٰةٍ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ ۚ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِۦ مِنَ ٱلْعَذَابِ أَن يُعَمَّرَ ۗ وَٱللَّهُ بَصِيرٌۢ بِمَا يَعْمَلُونَ

Artinya: Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS: al-Baqarah [2]: 96)

Dalam rangka mengejar dan memburu harta, tak jarang manusia membunuh sesama manusia. Tindakan membegal, merampok dan mencuri  muncul gara-gara tidak puas dengan apa yang dimiliki, tetapi menginginkan pula apa yang dipunyai orang lain. Nabi ﷺ  mengingatkan juga, bahwa dirinya tidak mengkhawatirkan umatnya tertimpa kondisi miskin. Sebaliknya, kondisi melimpahnya hartalah yang Nabi ﷺ khawatirkan. Sebab ia bisa menyuburkan sifat rakus dan semangat untuk berebut harta yang berdampak timbulnya kebencian dan acap berakhir dengan baku bunuh.

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bish shawab.*/Abdul Kholik, LC, Msi

HIDAYATULLAH

Waktu Terlarang Baca Quran, Adakah?

ADAKAH waktu terlarang baca Quran, seperti halnya ada waktu di mana seseorang tidak boleh shalat?

Sebagaimana dikutip dari laman About Islam, Sheikh Ahmad Kutty, dosen senior dan cendekiawan Islam di Institut Islam Toronto, Ontario, Kanada, menyatakan:

Waktu Terlarang Baca Quran: Membaca Alquran menghasilkan pahala yang besar.

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas`ud, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Quran) maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan akan dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan “Alif lam mim” itu satu huruf, tetapi “Alif” itu satu huruf, “Lam” itu satu huruf dan “Mim” itu satu huruf.”  (HR At Tirmidzi)

Waktu Terlarang Baca Quran: Kesimpulan Ulama

Mayoritas ulama tidak menemukan kesalahan dalam mengaji setiap saat, karena teks hadits yang berkaitan dengan waktu-waktu terlarang beribadah hanya mengacu pada Shalat. Jika membaca Quran memang dimaksudkan, itu akan dinyatakan dengan jelas. []

SUMBER: ABOUT ISLAM

ISLAMPOS

Jangan Pernah Tinggalkan Shalat 5 Waktu

SEORANG muslim sebaiknya jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu. Agama seseorang akan tegak jika shalat wajib yang 5 waktu dikerjakan. Sebaliknya, agama seseorang akan runtuh jika shalat wajib 5 waktu ditinggalkan. Karena shalat wajib 5 waktu diibaratkan tiang penopang.

Sebenarnya shalat wajib 5 waktu adalah amalan paling dasar yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dalam kondisi apapun. Oleh karena itu, tanamkan dalam diri, azamkan dengan kuat bahwa jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu bagaimanapun kondisinya.

Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3973. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam hadits ini disebut bahwa shalat dalam agama Islam adalah sebagai tiang penopang yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan Islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat. Maka tak heran jika seorang muslim jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu.

Dari ‘Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima perkara, yaitu : (1) bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) naik haji ke Baitullah -bagi yang mampu-, (5) berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)

Faedah yang bisa kita tarik dari hadits di atas:

1. Dikatakan dalam hadits ini bahwa Islam adalah seperti kubah yang dibangun di atas lima tiang penopang (rukun). Apabila tiang penopang kubah yang terbesar tersebut roboh, maka robohlah kubah Islam.

2. Dalam hadits ini juga disebutkan bahwa rukun-rukun Islam adalah tiang-tiang penopang suatu kubah (bukan tiang biasa). Di situ ada dua kalimat syahadat. Kedua kalimat tersebut adalah rukun. Di situ juga ada shalat dan zakat yang masing-masing sebagai rukun.

Lalu bagaimana mungkin kubah Islam tetap berdiri jika salah satu dari tiang penopang kubah sudah tidak ada, walaupun rukun yang lain masih ada?

3. Rukun atau tiang Islam tadi dimasukkan dalam nama Islam. Artinya, jika hilang sebagian rukun, maka hilanglah nama Islam. Lebih-lebih ini disebut rukun atau tiang penopang, bukan seperti bagian lainnya.

Jangan Pernah Tinggalkan Shalat 5 Waktu

Jangan Pernah Tinggalkan Shalat 5 Waktu
Foto: Freepik

Dalam suatu hadits disebutkan alasan mengapa seorang muslim jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu. Hadits tersebut menjelaskan bahwa shalat wajib merupakan pembeda antara seorang muslim dan seorang kafir. Rasulullah SAW bersabda:

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslami).

Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi dalam bukunya yang berjudul Anda Bertanya Islam Menjawab mengatakan, selama manusia hidup, shalat harus dilakukan. Baik dalam keadaan senang maupun susah. Dalam perjalanan atau pun tidak. Bahkan dalam keadaan sakit atau pun tidak.

Jika kita beralasan tidak dapat melakukan shalat karena tidak bisa berdiri, maka Allah memberikan keringanan shalat dengan cara duduk. Shalat dalam posisi duduk tidak bisa, maka dengan berbaring.

Apabila seseorang masih tidak bisa shalat dengan cara berbaring, dia dapat melaksanakan shalat dengan mata atau pun isyarat jari. Kalau juga tidak bisa melakukan dengan cara itu sedang kita memiliki akal yang sehat, lakukanlah shalat dengan hati dan perasaan.

Seperti itulah ketentuan yang telah Allah berikan kepada kita. Allah memberikan keringanan kepada setiap hamba-Nya untuk melakukan shalat. Jadi, dapat dipastikan bahwa shalat itu benar-benar penting untuk kita laksanakan. Maka jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu apapun hambatannya.

Orang yang meninggalkan shalat dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu:

Pertama, orang yang menolak, ingkar dan melawan perintah shalat dengan mengatakan bahwa tugas melakukan shalat bukan sebagai kewajiban bagi dirinya. Orang semacam ini masuk dalam kelompok kafir.

Jangan Pernah Tinggalkan Shalat 5 Waktu

Kedua, orang yang menggampangkan dan melalaikan shalat, tetapi dia tetap yakin bahwa shalat adalah asas agama dan satu perintah Allah yang wajib dilaksanakannya. Orang yang seperti ini tidak termasuk ke dalam golongan kafir.

Orang yang termasuk dalam kategori kedua, perlu diberi anjuran dan diajak untuk shalat. Dalam penyampaiannya perlu dengan cara yang ramah dan bijaksana. Karena, orang yang seperti itu, dalam hati kecilnya masih tersimpan keimanan, sebab ia yakin bahwa shalat itu kewajiban yang harus dilaksanakan.

Berbeda halnya dengan kategori pertama. Orang tersebut tidak yakin bahwa shalat itu merupakan kewajiban. Sekali pun kita mengajaknya shalat, ia tetap tidak akan mau, sebab dalam pikirannya shalat itu bukanlah kewajibannya.

Jadi, ia akan berpikiran, untuk apa melaksanakan shalat, toh bukan jadi suatu hal yang menguntungkan baginya.

Semoga dengan membaca penjelasan di atas semakin menguatkan iman dan takwa kita sebagai seorang muslim. Sekali lagi, ingat baik-baik, jangan pernah tinggalkan shalat 5 waktu! Wallahu ‘alam. []

5 Manfaat Memberi Makan Kucing dalam Islam

SAHABAT Islampos, pernahkah Anda memikirkan apa manfaat memberi makan kucing? Sebagian besar dari kita mungkin tahu manfaat memelihara kucing. Muslim percaya dengan memberi mereka makan, mereka akan mendapatkan berkah dari Allah. Ini bisa menjadi salah satu amalan kecil dengan pahala besar dalam Islam yang bisa dilakukan secara rutin.

Terkadang ada beberapa kucing berkeliaran di sekitar rumah tanpa mengetahui apa yang mereka butuhkan. Kita mungkin memberi mereka makan tetapi orang lain mungkin tidak mempedulikannya. Namun, sebagai muslim, kita mengetahui bahwa menyayangi kucing merupakan salah satu sunah yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ. Dan, nyatanya, memang banyak manfaat memberi makan kucing jika dilihat dari perspektif ajaran Islam.

Berikut beberapa manfaat memberi makan kucing dalam Islam berdasarkan Al Quran:

1 Manfaat memberi makan kucing: Dapat pahala

Memberi makan kucing adalah perbuatan baik yang mengacu pada amal. Ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa kita harus memperkuat Silaturahim dalam Islam yang memiliki amalan yang hampir sama dengan memberi makan kucing.

Itulah sebabnya sebagian besar Muslim menyebutnya sebagai tindakan amal yang mendatangkan banyak pahala dari Allah. Memang melakukan perbuatan baik seperti memberi makan kucing adalah salah satu perbuatan baik yang harus diikuti oleh setiap Muslim.

Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 261:

لُ الَّذِيْنَ اَمْوَالَهُمْ لِ اللّٰهِ لِ اَنْۢبَتَتْ ابِلَ لِّ لَةٍ ائَةُ اللّٰهُ لِمَنْ اۤءُ اللّٰهُ اسِعٌ لِيْمٌ

“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (mereka yang menabur) sebutir benih (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah: 261)

2 Manfaat memberi makan kucing: Dilindungi Allah

Mendapatkan perlindungan dari Allah adalah salah satu manfaat memberi makan kucing dalam Islam. Muslim percaya bahwa mereka akan dilindungi oleh Allah dari api neraka jika mereka melakukan perbuatan baik seperti memberi makan kucing. Ini bisa menjadi salah satu cara bagaimana mengajarkan anak Anda tentang nilai-nilai Islam .

Memberi makan kucing adalah tindakan yang mengacu pada melakukan perbuatan baik dengan memberikan makanan kepada yang membutuhkan. Beberapa kucing liar biasanya datang ke rumah untuk mencari makanan. Itulah mengapa lebih baik memberi mereka makan sehingga hal-hal baik dapat datang kepada Anda.

Hal itu disebutkan dalam QS Al Insan ayat 9-11:

اِنَّمَا لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا اۤءً لَا ا اِنَّا افُ ا ا ا اللّٰهُ لِكَ الْيَوْمِ لَقّٰىهُمْ اۚ

“(Mereka berkata,) “Sesungguhnya kami memberi makan kamu hanya karena keridhaan Allah. Kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari Anda. Sesungguhnya kami takut (azab) Tuhan kami pada hari (ketika) orang-orang yang mukanya masam penuh kesusahan.” Maka Allah melindungi mereka dari kejahatan hari itu dan memberi mereka kesenangan dan kegembiraan.” (QS Al Insan: 9-11)

3 Manfaat memberi makan kucing: Diakui oleh Allah

Diakui oleh Allah adalah salah satu manfaat memberi makan kucing dalam Islam karena merupakan salah satu perbuatan baik yang dilakukan oleh umat Islam untuk mencari ridho Allah. Muslim percaya bahwa mereka melakukan perbuatan setiap hari yang akan membuat Allah mengenali mereka.

Semua Muslim ingin diakui oleh Allah atas perbuatan baik mereka. Mereka benar-benar sadar bahwa melakukan perbuatan buruk akan membawa mereka ke dalam neraka yang mengerikan. Seperti yang disebutkan dalam QS  Al Mudassir ayat 42-44.

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?” (QS Al Mudassir: 42)

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

“Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,” (QS Al Mudassir: 43)

وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ

“dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin,” (QS Al Mudassir: 44)

4 Manfaat memberi makan kucing: Diselamatkan oleh Allah

Diselamatkan oleh Allah dari sekian banyak siksa neraka adalah salah satu manfaat memberi makan kucing dalam Islam. Muslim percaya bahwa memberi makan kucing dapat disebut sebagai tindakan melakukan perbuatan baik dengan memberi makan orang yang membutuhkan.

Itulah sebabnya umat Islam percaya bahwa mereka akan diselamatkan oleh Allah dari siksaan neraka di akhirat. Sesungguhnya siksaan itu sangat pedih bagi umat Islam yang tidak pernah berbuat kebaikan dengan memberi makan orang lain yang membutuhkan.

Hal itu seperti yang disebutkan dalam QS Al Haqqah ayat 33-35.

إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ

“Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.” (QS Al Haqqah: 33)

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ

“Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” (QS Al Haqqah: 34)

فَلَيْسَ لَهُ الْيَوْمَ هَاهُنَا حَمِيمٌ

“Maka tiada seorang temanpun baginya pada hari ini di sini.” (QS Al Haqqah: 35)

5 Manfaat memberi makan kucing: Meningkatkan Iman

Meningkatkan keimanan di hati kaum muslimin adalah salah satu manfaat memberi makan kucing dalam Islam. Ketika mereka melakukan perbuatan baik seperti memberi makan kucing yang membutuhkan dan kelaparan, mereka akan mendapatkan begitu banyak berkah dari Allah. Ini bisa menjadi salah satu tips mendidik anak dalam Islam sambil belajar tentang iman kepada Allah.

Itu membuat mereka menjadi orang yang bersyukur yang meningkatkan iman mereka kepada Allah. Seperti yang disebutkan dalam QS Yasin ayat 47.

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنُطْعِمُ مَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ أَطْعَمَهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dan apabila dikatakakan kepada mereka: “Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: “Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.” (QS Yasin: 47)

Jadi, itulah beberapa manfaat memberi makan kucing dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an. Sebagian besar Muslim percaya bahwa memberi makan kucing mengacu pada perbuatan baik yang serupa dengan memberi makanan kepada orang lain seperti memberi makan tetangga atau bahkan yang membutuhkan. []

SUMBER: AZ ISLAM

Enam Keutamaan Sholat Berjamaah

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang menjadi pembatas seseorang itu mukmin atau kafir (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Shalat juga menjadi penentu diterima atau tidaknya amalan seseorang (HR Abu Daud).

Shalat memberikan banyak manfaat bagi yang istiqamah menjalankannya. Selain itu, shalat memiliki banyak keutamaan, apalagi jika ditunaikan berjamaah. Satu hal yang perlu diketahui, tidak satu pun ulama yang menyatakan shalat berjamaah hukumnya sunah biasa.

Shalat berjamaah adalah sunah muakadah bagi laki-laki dalam menjalankan shalat lima waktu. Menurut Mazhab Maliki dan Hambali, hukumnya wajib.

Rasulullah bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya. Sungguh aku sangat ingin menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, lalu menyuruh seseorang supaya menyerukan azan, kemudian menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Sementara itu, aku akan pergi mendatangi orang-orang yang tidak shalat berjamaah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR Bukhari Muslim).

Saking pentingnya shalat berjamaah, selain memiliki 27 derajat (HR Muttafaq Alaih), keutamaan lainnya adalah pertama, mendapatkan naungan Allah.

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya. (Salah satunya) adalah seseorang yang hatinya selalu terikat dengan masjid.” (HR Bukhari).

Kedua, diampuni dosa-dosanya. “Barang siapa yang berwudhu untuk shalat, lalu ia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan menuju shalat wajib dan ia melaksanakannya secara bersama-sama atau berjamaah atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR Muslim).

Ketiga, pahalanya senilai pahala ibadah haji. “Barang siapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci menuju shalat wajib, pahalanya seperti pahala orang beribadah haji.” (HR Abu Dawud).

Keempat, dihormati sebagai tamu Allah. “Barang siapa yang berwudhu di rumahnya, lalu memperbaiki wudhunya, kemudian datang ke masjid maka ia sebagai tamu Allah. Dan, menjadi sebuah keharusan bagi yang dikunjungi untuk menghormati tamu.” (HR Ibnu Abi Syaibah).

Kelima, terlindungi dari kejahatan setan. “Sesungguhnya, setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing yang selalu memangsa kambing yang sendirian dan lalai. Maka, waspadalah kalian dalam tinggal di dusun-dusun (sendirian) dan haruslah kalian berjamaah, bermasyarakat, dan ke masjid.” (HR Ahmad).

Keenam, mendapatkan jaminan surga. “Ada tiga orang yang semuanya dijamin oleh Allah, (salah satunya) seseorang yang pergi ke masjid, ia dijamin oleh Allah ketika Ia mewafatkannya dengan memasukkannya ke surga.” (HR Abu Dawud).

Semoga kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa istiqamah menjalankan shalat berjamaah. 

IHRAM

Wasiat Penting bagi Kaum Beriman di Zaman Fitnah

Dengan nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Selawat dan salam serta keberkahan semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, para sahabat, dan pengikut setia beliau. Amma ba’du.

Sesungguhnya di antara perkara paling agung yang seharusnya mendapatkan perhatian di zaman ini, wahai saudara-saudara sekalian, ialah hendaknya seorang insan beribadah kepada Allah Rabbnya Tabaraka Wa Ta’ala di atas bayyinah (bukti). Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَیِّنَةࣲ مِّن رَّبِّهِۦ 

Apakah seorang yang berada di atas bayyinah/ bukti yang berasal dari Rabbnya …” (QS. Muhammad: 14)

Dan hendaknya dia berada di atas nur (cahaya). Allah Ta’ala berfirman,

أَوَمَن كَانَ مَیۡتࣰا فَأَحۡیَیۡنَـٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورࣰا یَمۡشِی بِهِۦ فِی ٱلنَّاسِ

Apakah orang yang dahulunya mati (hatinya) lalu Kami hidupkan dia (dengan iman) dan Kami jadikan untuknya cahaya sehingga dia bisa berjalan di tengah manusia…” (QS. Al-An’am: 122)

Demikian pula, hendaknya dia beragama di atas bashirah (hujjah yang nyata). Allah Ta’ala berfirman,

قُلۡ هَـٰذِهِۦ سَبِیلِیۤ أَدۡعُوۤا۟ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِیرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِیۖ

Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/hujjah yang nyata, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…’” (QS. Yusuf: 108)

Maka, al-bayyinah, nur, dan bashirah ini termasuk perkara yang dapat membantu insan dalam menjalani kehidupan ini agar tetap di atas jalan yang lurus, dan tegar di atasnya sampai mati.

Kebutuhan terhadap hal ini di masa sekarang ini, wahai saudara-saudara sekalian, yang mana banyak hal menjadi rancu/ tercampur aduk dan di masa ini juga terjadi keterasingan/ ghurbah dalam beragama, sebagaimana apa yang memang telah dikehendaki oleh Allah. Maka, hal ini termasuk perkara yang paling penting yang harus diperhatikan dan termasuk sebab paling utama untuk bisa tegar dalam beragama.

Makna-makna ini berporos pada beberapa poin penting;

Pertama: ilmu

Kedua: keyakinan

Ketiga: tsabat/ keteguhan

Seorang akan bisa berada di atas bayyinah, di atas nur, dan bashirah apabila dia memadukan ketiga poin di atas.

Pertama, hendaklah dia beragama dengan landasan ilmu. Yaitu dia beribadah kepada Allah dengan dasar ilmu. Tidaklah dia melakukan atau meninggalkan suatu hal yang berkaitan dengan keyakinan atau ibadah (amalan), melainkan benar-benar berada di atas pondasi ilmu yang orisinil bersumber dari kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengikuti pemahaman para sahabat dan salafus shalih.

Yang kedua, hendaklah dia termasuk orang yang memiliki keyakinan yang kuat, dan ini termasuk perkara yang paling penting dimiliki di zaman ini. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ یَرۡتَابُوا۟

Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. Al-Hujurat: 15)

Pada zaman ini faktor-faktor yang memalingkan dari keyakinan itu sangat banyak. Hal-hal yang mendatangkan keraguan juga merebak. Maka, seyogyanya menjadi suatu hal yang paling harus dikejar di masa ini adalah dengan anda meyakini dengan kuat perkara-perkara yang wajib diyakini. Ini termasuk pondasi bagi anda yang harus anda pegang teguh dalam hidup.

Yang ketiga, hendaklah anda tegar di atas kebenaran ini sampai mati, perkara ini/ urusan dunia ini dekat/ tidak jauh. Dan hidup ini (di dunia) hanya sebentar. Maksud perkara ini dekat, yaitu kita pasti akan meninggalkan dunia ini.

Maka, kami berpesan dengan sangat agar kita tetap tegar. Janganlah jadi orang yang terpedaya sebagaimana orang-orang lain telah terpedaya sehingga dia pun berpaling dari jalan yang benar dan meninggalkan petunjuk yang Allah berikan kepadanya.

Faktor-faktor yang membelokkan dari keteguhan di zaman ini sangat banyak dan hal-hal yang membuat lalai/ terlena itu lebih banyak lagi. Maka, perkara yang hendaknya kita selalu saling berwasiat dengannya wahai saudaraku yang tercinta adalah agar kita harus perhatian dalam hal ini. Yaitu agar kita selalu memperhatikan hal ilmu, perhatian dalam hal keyakinan, dan perhatian dalam hal keteguhan dalam beragama.

Adapun lawan dari ilmu adalah kebodohan. Lawan yang merusak keyakinan adalah berbagai macam syubhat. Faktor yang menggerogoti keteguhan adalah fitnah syahwat. Oleh sebab itu, hendaknya kita cerdik dan cermat menggunakan akal sehat untuk memahami keadaan diri anda sendiri maupun keadaan yang ada pada orang lain.

Dengan melihat banyaknya orang yang berguguran dari jalan yang lurus, maka hal ini menjadi faktor yang mendorong untuk seseorang itu semakin merasa khawatir. Dia merasa takut kalau-kalau dirinya jatuh dalam kesesatan sebagaimana orang lain yang telah jatuh di dalamnya. Hal ini juga semakin membuat dirinya semakin bersandar kepada Allah agar Allah selalu membimbing hatinya dan meneguhkannya.

Karena permasalahan ini sungguh besar dan bukan bersandar kepada daya dan kekuatan atau ilmu dan ijazah yang anda miliki, juga tidak bersandar kepada jabatan, dan kedudukan yang telah anda gapai. Tidak, demi Allah. Urusan ini tidak lain bertumpu semata-mata pada karunia dari Allah, Rabb alam semesta ini. Selain itu, maka hatinya juga semakin besar bergantung kepada Allah. Hendaknya dia bersikap jujur kepada Allah, maka bergembiralah dengan kebaikan yang telah Allah janjikan.

Allah berfirman,

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ فَسَنُیَسِّرُهُۥ لِلۡیُسۡرَىٰ

Adapun orang yang memberi dan bertakwa, serta membenarkan pahala yang terbaik, maka Kami akan mudahkan baginya kemudahan/ kebaikan.” (QS. Al-Lail: 1-7)

Apabila dia jujur kepada Allah niscaya Allah pun akan bersikap jujur kepadanya, artinya Allah akan membantu urusannya. Barangsiapa yang datang kepada Allah dengan berjalan kaki, maka Allah akan datang kepadanya dengan berjalan cepat.

Maka, kita meminta pertolongan kepada Allah, saling membantu dalam kebaikan dan saling menasihati dalam kebenaran. Barangsiapa yang memiliki suatu bentuk kebaikan, memiliki ilmu atau mendapati suatu kebenaran, berpegang dengan sunnah, maka hendaklah dia bersungguh-sungguh dalam menjelaskannya kepada manusia.

Hal ini perlu dilakukan dengan serius.

Di sisi lain, ada sebagian orang yang saleh/baik, tetapi menjauhi kenyataan ini. Ketika melihat pertempuran yang begitu dahsyat antara kebenaran dan kebatilan, antara kekafiran dan keimanan, antara sunnah dan bid’ah yang begitu sengit, maka dia pun hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki keadaan. Maka, hal ini muncul dari kelemahan iman dan termasuk bentuk kedunguan yang seharusnya dijauhi oleh penimba ilmu dan orang yang telah Allah beri taufik kepadanya untuk berjalan di atas jalan ahlus sunnah wal jama’ah.

Berdakwah ilallah, saling menasihati dalam kebenaran. Ini termasuk perkara penting untuk selalu kita perhatikan di zaman ini. Apabila hal ini menjadi perkara penting di masa silam, maka demi Allah, hal ini di masa ini semakin penting dan lebih ditekankan.

Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan diri saya dan kalian di atas kebenaran ini dan semoga Allah mencurahkan taufik kepada kita untuk mengikuti kebenaran dan memberikan kemudahan bagi kita untuk beramal dengan apa-apa yang mendatangkan keridaan-Nya. Wallahu a’lam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita, Muhammad, kepada pengikutnya dan segenap para sahabatnya.

Disampaikan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih Sindi hafizhahullah, guru besar ilmu akidah di Universitas Islam Madinah, saat berceramah Kuwait, 18 Muharrram 1444. Video ini diupload 17 Agustus 2022 di tautan berikut.

***

Penerjemah: Ari Wahyudi, S.Si

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/77896-wasiat-penting-bagi-kaum-beriman-di-zaman-fitnah.html

3 Doa di Pagi Hari yang Pahalanya Besar

DOA sederhana setelah Subuh memberi Anda pahala yang sangat besar! Ucapkan doa di pagi hari ini sebanyak tiga kali!

سْبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ, وَرِضَا نَفْسِهِ, وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ تَلِم

Subhaanallaahi wa bihamdihi: ‘Adada khalqihi, wa ridhaa nafsihi, wa zinata’ arshihi wa midaada kalimaatihi

“Maha Suci Allah, dan Maha Terpuji-lah Dia, sejumlah makhluk ciptaan-Nya, setingkat ridha Diri-Nya, seberat ‘Arsy-Nya, dan sebanyak tinta Kalimat-kalimat-Nya.”

Dari Ummul Mukminin Juwairiyah ra. bahwa, sekali waktu Rasulullah SAW pernah pergi meninggalkan beliau selepas shalat subuh, sementara beliau dalam posisi duduk di tempat shalat beliau sambil terus berdzikir.

Lalu saat kembali pada waktu dhuha (menjelang dzuhur), ternyata Rasulullah SAW masih mendapati beliau tetap duduk berdzikir seperti semula. Maka Rasulullah ﷺ pun bertanya:

”Apakah kamu tetap duduk begini sambil berdzikir seperti saat aku tinggalkan bakda subuh tadi?”

Ummul Mukminin menjawab,”Benar!”

Lalu Rasulullah SAW melanjutkan sabda Beliau:

”Sesungguhnya, setelah meninggalkanmu tadi, Aku telah mengucapkan empat lafal dzikir, sebanyak 3 x, yang bisa mengungguli seluruh dzikir yang kamu baca sejak subuh hari ini, yakni: Subhaanallahi wa bihamdihi, ‘adada khalqihi, wa ridhaa nafsihi, wa zinata ‘arsyihi, wa midaada kalimaatih” (HR. Muslim). []

SUMBER: ABOUT ISLAM

ISLAMPOS

Alasan Perempuan Rentan Terpapar Paham Ekstrimisme

Disadari atau tidak, perempuan rentan terpapar paham ekstrimisme berbasis kekerasan atau aksi terorisme. Tentu tidak pudar dalam ingatan kejadian bom bunuh diri yang terjadi pada salah satu gereja di Surabaya.

Sosok yang membawa bom adalah perempuan sekaligus seorang ibu. Momen yang cukup membuat hati terluka adalah pelaku turut membawa kedua anaknya dalam aksi tersebut.

Tidak berhenti di sana pada 28 Maret 2021 terjadi peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katedral Hati Yesus yang Mahakudus di Makassar. Tidak terlalu berjarak dengan kejadian ini, seorang perempuan melakukan aksi tembak di Mabes Polri, Jakarta.

Tiga paparan kasus di atas hanya bagian kecil dari perempuan terpapar paham ekstrimisme berbasis kesehatan. Di luar dari pada itu, ada perubahan pola yang terjadi.

Peran perempuan dalam aksi terorisme kini tidak lagi sekadar mempersiapkan kebutuhan logistik atau berada di bagian fasilitator. Misalnya menyediakan transportasi, ikut dalam perekrutan hingga aksi penggalangan dana.

Namun saat ini, peran perempuan justru semakin tampak sebagai pelaku utama seperti penyediaan senjata, bom bahkan terjun ke lapangan dalam aksi bunuh diri. Peran perempuan semakin besar dalam aksi ekstrimisme ini.

Kenapa perempuan begitu rentan terpapar paham ekstrimisme? Penulis beberapa waktu yang lalu mendapat kesempatan bertemu dengan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, dan ia menjelaskan ada faktor penyebab kenapa perempuan rentan terpapar.

Menurutnya masih ada salah kaprah di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya bagi perempuan. Dimana, perempuan berpandangan jika dirinya harus manut dan tunduk apa pun yang diucapkan oleh suami.

Selain itu ada istilah yang mengatakan jika istri harus mengikuti suami ke mana pun pergi. Bahkan jika harus diajak ke dalam neraka sekali pun, istri tidak boleh membantah. Paham seperti ini menurut Yenny mesti diubah.

Tidak menjadi manusia yang pasif, Yenny menyebutkan sudah saatnya perempuan pandai untuk memilih serta memilah nilai-nilai apa yang diajarkan pada keluarga. Sudah bukan zamannya menelan bulat-bulat pemahaman yang diterima.

Dan jika pada suatu waktu suami mengajak berbuat hal yang bertentangan dengan agama dan negara, maka sudah menjadi tugas istri untuk menasihati. Berdiskusi dan bertukar pikiran agar suami tidak melancarkan hal yang bertentangan dengan kebenaran.

Di sisi lain ada faktor lain yang menyebabkan perempuan rentan terpapar paham ekstrimisme. Di antaranya budaya patriaki yang begitu kental di masyarakat. Perempuan menjadi ketergantungan secara ekonomi dan sosial pada laki-laki.

Sehingga, bisa saja paham yang dipaksakan oleh suami sebenarnya bertentangan. Namun perempuan tidak bisa berbuat apa-apa karena dirinya tidak mandiri secara finansial maupun keuangan.

Tidak mengerti dan minim informasi terkait radikalisme serta pencegahannya juga menjadi faktor mengapa perempuan rentan terpapar. Karenanya dibutuhkan pesan-pesan damai untuk mencegah datangnya paham ekstrimis berbasis kekerasan.

Dalam ajaran Islam, kekerasan adalah tindakan yang terlarang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme. Di dalam fatwa tersebut, MUI dengan jelas menyatakan jika terorisme adalah haram.

Al-Quran juga menegaskan betul bahwa aksi yang menyakiti hingga menghilangkan nyawa manusia lain, maka dosanya serupa membunuh seluruh manusia di dunia. Hal ini tercantum di dalam Q.S Al-Maidah ayat 32:

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

Menurut Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah/ Markaz Ta’dzim Al-Quran di bawah pengawasan Syaikh Prof Dr Imad Zuhair Hafidz, seorang profesor fakultas Al-Quran Universitas Islam Madinah menyatakan membunuh orang yang tidak bersalah kejahatannya setara dengan membunuh seluruh umat manusia.

Dan sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa serupa dengan menyelamatkan seluruh dunia. Allah SWT telah mengutus para nabi dan Rasul untuk menyebarkan perdamaian dan syariat yang lurus.

Sayangnya di muka bumi ini masih saja orang yang gemar melakukan pertumpahan darah, kerusakan, perampasan harta orang lain dan sebagainya. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika perempuan, perlu memilih dan memilah ajakan yang disampaikan oleh orang lain.

Sekalipun orang tersebut adalah suami, jika mengajak ke arah hal yang tidak baik, maka harus diluruskan dan tidak diikuti. Di sisi lain, ekstrimisme yang berujung pada kekerasan sifatnya haram. Menghilangkan satu nyawa manusia tanpa alasan, dosanya serupa membunuh manusia satu dunia.

Tulisan ini telah dimuat di Bincangmuslimah.com