Hukum Membaca Kitab Suci Selain Al-Qur’an

Apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an? Kitab suci yang diturunkan Allah ada 4, Yaitu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As, Kitab Zabur kepada Nabi Daud As, Injil kepada Nabi Isa As, dan Al-Qur’an Al-Karim kepada Baginda Rasulullah saw. 

Di samping itu, Allah juga menurunkan kitab suci, namun versi lembaran. Model ini sering disebut dengan nomenklatur Suhuf, sebagaimana yang terdokumentasi dalam Firman-Nya pada surat Al-A’la akhir ayat, yaitu Suhuf untuk Nabi Ibrahim As dan Nabi Musa As. 

Lalu berpahalakah ketika kita membaca kitab suci lain? Atau apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an?

Hukum Membaca Kitab Suci Selain Al-Qur’an

Dalam persoalan ini, ulama terbagi dalam dua pendapat. Pertama, ulama mengatakan bahwa membaca kitab suci agama lain tidak berpahala, karena kitab suci lain sudah banyak perubahan yang justru berlawanan dengan nilai asalnya. Bahkan beberapa Ulama tidak suka jika ada orang yang membacanya.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah;

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ النَّظَرُ فِي كُتُبِ أَهْل الْكِتَابِ، نَقَل ابْنُ عَابِدِينَ قَوْل عَبْدِ الْغَنِيِّ النَّابُلْسِيِّ: نُهِينَا عَنِ النَّظَرِ فِي شَيْءٍ مِنَ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل، سَوَاءٌ نَقَلَهَا إِلَيْنَا الْكُفَّارُ أَوْ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ. وَسُئِل أَحْمَدُ عَنْ قِرَاءَةِ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل وَالزَّبُورِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَغَضِبَ، وَظَاهِرُهُ الإِْنْكَارُ  وَذَكَرَهُ الْقَاضِي ، وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى فِي يَدِ عُمَرَ قِطْعَةً مِنَ التَّوْرَاةِ غَضِبَ وَقَال: أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً.

“Menurut Madzhab Hanafi dan Syafi’i, mengkaji kitab suci selain Alquran itu tidak diperbolehkan. Ibnu Abidin menukil pernyataannya Abdul ghoni al-nabulisi yang mana belum menyatakan bahwa kita ini dilarang untuk mengkaji kitab Taurat dan Injil, baik kitab tersebut itu dibawakan oleh orang kafir ataupun orang mereka yang telah mualaf. 

Imam Ahmad ditanya mengenai hukum membaca Taurat Injil dan Zabur dan kitab suci yang lainnya maka beliau itu marah dan ini jelas bahwa beliau mengingkari untuk melakukan hal demikian. 

Yang demikian dituturkan oleh Al qodi, dan beliau ini bertendensi pada hadis yang menyatakan bahwasanya ketika Rasulullah SAW itu melihat selembaran Kitab Taurat di tangannya Sayyidina Umar beliau itu tidak suka seraya berkata “Bukankah aku telah membawa kitab suci yang lebih dari itu?”. (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 34 halaman 184) 

Pendapat serupa [tidak berpahala] juga dikatakan oleh Madzhab Syafi’i. Simak penjelasan lanjutan tersebut; 

قِرَاءَةُ الْكُتُبِ السَّمَاوِيَّةِ: نَصَّ الْحَنَابِلَةُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ النَّظَرُ فِي كُتُبِ أَهْل الْكِتَابِ؛ لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضِبَ حِينَ رَأَى مَعَ عُمَرَ صَحِيفَةً مِنَ التَّوْرَاةِ. وَمِثْل الْحَنَابِلَةِ الشَّافِعِيَّةُ حَيْثُ نَصُّوا عَلَى عَدَمِ جَوَازِ الاِسْتِئْجَارِ لِتَعْلِيمِ التَّوْرَاةِ وَالإِْنْجِيل وَعَدُّوهُ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ.

Menurut mazhab Hambali membaca kitab suci selain Alquran itu tidak boleh, karena Rasulullah SAW itu marah ketika Sayyidina Umar itu memegang selembaran dari kitab Taurat.

Mazhab Syafi’i juga berpandangan serupa dengan mazhab Hambali Di mana mereka itu tidak memperbolehkan untuk menyewakan kitab Taurat dan Injil untuk dipelajari.” (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz 33 halaman 65) 

Yang demikian adalah dalam konteks kitab suci lain, karena membaca pahala tanpa tahu maknanya atau dengan tanpa tujuan belajar itu hanyalah Al-Qur’an saja. Bahkan dalam membaca hadis sendiri itu diperselisihkan oleh para Ulama, Imam Al-Suyuthi dalam Alfiyyah hadis-nya menyenandungkan;

٦٠٦ – وَهَلْ يُثَابُ قَارِئُ الآثَارِ … كَقَارِئِ الْقُرْآنِ: خُلْفٌ جَارِي

“Apakah membaca hadis itu berpahala seperti halnya membaca al-quran? Ulama’ berbeda pandangan dengannya“. (Nadzm al-Durar fi Ilm al-Atsar,  halaman 95)

Lebih jelas lagi, Syaikhu Masyayikhina Hasan Masyat menyatakan bahwa hal ini memang menjadi titik perbedaan Al-Qur’an dan hadis. Dalam anotasinya pada nadzam tal’at -anwar yang berbunyi;

ومنهه تلاوة للجنب # في كل حرف منه عشرا أوجب

“(Di antara perbedaan Al-Qur’an dan hadis adalah) bahwa al-qur’an dilarang untuk dibaca oleh orang yang berjunub, dan juga membacanya itu mendapatkan pahala, di setiap hurufnya ada 10.”

Adapun dalil yang menjadi landasan tidak berpahala membaca kita suci agama lain ialah hadis Rasulullah Saw sendiri, yang juga melarang untuk membaca kitab suci lain.  Beliau Saw  bersabda;

أن عمر بن الخطاب جاء إلى الرسول صلى الله عليه ‏وسلم فقال: يا رسول الله إني مررت بأخ لي من بني قريظة، فكتب لي جوامع من التوراة ‏ألا أعرضها عليك؟ قال: فتغير وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال عمر: ‏رضينا بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى الله عليه وسلم رسولاً. قال: فسري عن ‏رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: والذي نفس محمد بيده. لو أصبح فيكم موسى ثم ‏اتبعتموه وتركتموني لضللتم، أنتم حظي من الأمم، وأنا حظكم من النبيين

 “Umar bin Khatab pernah datang pada Nabi ia berkata: “Wahai Rasulullah aku bertemu dengan saudaraku dari kabilah Bani Quraizhah lalu ia menulis beberapa ayat dari kitab Taurat, apakah aku tunjukkan padamu?” Abdullah bin Tsabit berkata, 

“Maka berubahlah wajah Nabi.” Umar berkata, “Aku ridha Allah sebagai Tuhan, dan Islam sebagai agamaku, Muhammad sebagai Rasulku.” Abdullah bin Tsabit berkata, “Nabi gembira mendengar itu.” 

Nabi berkata, “Demi Allah, kalau kalian bertemu Musa lalu kalian mengikutinya niscaya kalian tersesat. Kalian adalah bagian umatku. Dan aku adalah Nabi kalian.” (Hadits riwayat Ahmad,)

Lalu bagaimana hukumnya ketika kita mengkaji kitab mereka dengan tujuan kontra narasi atas pandangan mereka? Ini adalah pendapat yang kedua, yang mengatakan bahwa hukumnya ialah diperbolehkan. terlebih atau  terkhusus bagi mereka yang imannya sudah kuat. Dijelaskan;

وَبَعْدَ أَنْ ذَكَرَ ابْنُ حَجَرٍ رِوَايَاتٍ مُتَعَدِّدَةً لِلْحَدِيثِ بِطُرُقٍ مُخْتَلِفَةٍ قَال: وَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ كَرَاهِيَةَ ذَلِكَ لِلتَّنْزِيهِ لاَ لِلتَّحْرِيمِ، ثُمَّ قَال: وَالأَْوْلَى فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ التَّفْرِقَةُ بَيْنَ مَنْ لَمْ يَتَمَكَّنْ وَيَصِيرُ مِنَ الرَّاسِخِينَ فِي الإِْيمَانِ، فَلاَ يَجُوزُ لَهُ النَّظَرُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ بِخِلاَفِ الرَّاسِخِ فَيَجُوزُ لَهُ، وَلاَ سِيَّمَا عِنْدَ الاِحْتِيَاجِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى الْمُخَالِفِ، وَيَدُل عَلَى ذَلِكَ نَقْل الأَْئِمَّةِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا مِنَ التَّوْرَاةِ، وَإِلْزَامُهُمُ الْيَهُودَ بِالتَّصْدِيقِ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يَسْتَخْرِجُونَهُ مِنْ كِتَابِهِمْ، وَلَوْلاَ اعْتِقَادُهُمْ جَوَازَ النَّظَرِ فِيهِ لَمَا فَعَلُوهُ وَتَوَارَدُوا عَلَيْهِ، وَغَضَبُ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَدُل عَلَى التَّحْرِيمِ، فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ يَغْضَبُ مِنْ فِعْل الْمَكْرُوهِ، وَمِنْ فِعْل مَا هُوَ خِلاَفُ الأَْوْلَى إِذَا صَدَرَ مِمَّنْ لاَ يَلِيقُ مِنْهُ ذَلِكَ، كَغَضَبِهِ مِنْ تَطْوِيل مُعَاذٍ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْقِرَاءَةِ، وَقَدْ يَغْضَبُ مِمَّنْ يَقَعُ مِنْهُ تَقْصِيرٌ فِي فَهْمِ الأَْمْرِ الْوَاضِحِ مِثْل الَّذِي سَأَل عَنْ لُقَطَةِ الإِْبِل.

“Setelah Ibnu Hajar meriwayatkan beberapa hadis terkait kitab suci lain dengan berbagai sanad, beliau menyatakan bahwasanya yang sesuai itu adalah makruh tanzih bukan makruh Tahrim bagi mereka yang mempelajari kitab suci lain. 

Kemudian Ibnu Hajar Al-Asqalani itu membedakan antara orang yang kuat imannya dan yang tidak, maka bagi mereka yang kurang begitu kuat imannya itu tidak diperbolehkan untuk mengkaji kitab suci lain. 

Lain halnya dengan orang yang sudah kuat imannya, apalagi jika tujuannya itu adalah untuk memberikan kontra narasi kepada mereka, Maka tujuan ini di legitimasi oleh para ulama. 

Hal ini dibuktikan dengan sikap para ulama Salaf atau mutaakhirin yang  mengutip dari Taurat, seperti halnya pasal tentang kebenarannya Rasulullah SAW yang tertera dalam kitab mereka, Andaikata paradigma mereka itu tidak memperbolehkan tentunya mereka tidak akan mengikutinya. 

Adapun terkait marahnya Rasulullah SAW itu tidaklah menunjukkan hukum haram, karena sesungguhnya Rasulullah SAW itu terkadang marah juga karena ada pekerjaan makruh itu dilakukan atau juga perkara yang hukumnya khilaful Aula ketika dilakukan oleh seseorang yang tidak pantas untuk melakukannya. 

Contohnya adalah seperti marahnya Rasulullah SAW atas salat subuhnya sahabat Muad yang membaca surat panjang dan kadang pula Rasulullah SAW marah itu karena terjadi kecerobohan dalam memahami suatu perkara yang sudah jelas seperti halnya konteks pertanyaan terkait penemuan unta.  (Al-Mausu’ah al-fiqhiyyah al-kuwaitiyyah,  Juz 34 halaman 185).

Kesimpulan

Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya membaca kitab suci selain Alquran itu tidak diperbolehkan karena isinya itu sudah mengalami perubahan dari nilai aslinya, maka karena membacanya itu tidak diperbolehkan tentunya ini tidak akan mendapatkan pahala ketika membacanya. 

Akan tetapi ada pengecualiaan, bahwa orang yang telah kuat imannya, jika mereka mempelajari kitab suci lain dengan tujuan untuk memberikan kontra narasi maka kepada mereka itu diperbolehkan. 

Demikian penjelasan terkait apa hukum membaca kitab suci selain Al-Qur’an? Wallahu a’lam bi al-shawab.

BINCANG SYARIAH

Apakah Pajak dan Zakat Sama dalam Islam?

Masyarakat sering membuat persamaan antara zakat dan pajak. Mereka beranggapan bahwa zakat adalah pajak tidak resmi yang diberlakukan oleh agama Islam kepada setiap muslim. Lantas, apakah pajak dan zakat sama dalam Islam?

Dalam literatur kitab fikih dijumpai beberapa keterangan yang menjelaskan bahwasanya pajak tidak sama dengan zakat. Zakat adalah salah satu dari rukun Islam, sehingga apabila seseorang mengingkari kewajiban zakat, maka dia menjadi kafir. 

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 5, halaman 331 berikut,

وجوب الزكاة معلوم من دين الله تعالى ضرورة فمن جحد وجوبها فقد كذب الله وكذب رسوله صلى الله عليه وسلم فحكم بكفره 

Artinya : “Kewajiban zakat adalah ajaran agama Allah yang telah diketahui secara jelas dan pasti. Karena itu, siapa yang mengingkari kewajiban zakat, maka dia telah mendustakan Allah dan mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga ia dihukumi kafir.” 

Sementara itu, pajak dibayarkan menurut undang-undang perpajakan yang berlaku dalam sebuah negara. Pajak adalah harta yang ditarik oleh pemerintah untuk membiayai anggaran yang berkaitan dengan pembangunan dan kepentingan negara. Sehingga, bagi masyarakat yang telah dikenai kewajiban diharuskan untuk membayar pajak pada waktu yang telah ditetapkan. 

Sebagaimana dalam keterangan kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 271 berikut

, من الحقوق الواجبات شرعا على كل غنى وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العارى وما يقى بدنه من مبيح تيمم وإطعام الجائع وفك أسير مسلم وكذا ذمى بتفصيله وعمارة سور بلد وكفاية القائمين بحفظها والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شىء فيه أو منع متوليه ولو ظلما فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جاز للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضى وصرفه فى مصارفه.

Artinya : “Termasuk dari kewajiban kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang kaya yang memiliki harta lebih dari kecukupan waktu satu tahun baginya dan keluarganya, maka dia harus menutupi aurat orang telanjang, memberi makan orang yang kelaparan, membebaskan tawanan muslim dan kafir dzimmi, membangun fasilitas negara dan orang-orang yang bertugas menjaganya, mengurus musibah yang menimpa umat Islam dan selain itu, jika kebutuhan itu tidak terpenuhi dengan adanya zakat, nazar, kafarat, wakaf , wasiat, dan bagian lain dari uang kas negara. 

Jika orang kaya tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan, maka pemerintah boleh mengambil dari mereka ketika diperlukan dan menggunakannya untuk kepentingan negara.”

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pajak tidak sama dengan zakat. Zakat adalah salah satu dari rukun Islam, sehingga apabila seseorang mengingkari kewajiban zakat, maka dia menjadi kafir. Pajak adalah harta yang ditarik oleh pemerintah untuk membiayai anggaran yang berkaitan dengan pembangunan dan kepentingan negara. 

Demikian penjelasan mengenai jawaban  apakah sama antara zakat dan pajak dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

BINCANG SYARIAH

Istikamah, Anugerah Terindah

Segala puji bagi Allah Ta’ala, Rabb yang telah menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita agar kita beriman dan istikamah di atas ketaatan kepada-Nya. Selawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi terakhir dan kekasih Ar-Rahman, sang pembawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama yang ada. Amma ba’du.

Saudara-saudaraku sekalian.

Kita hidup di zaman yang penuh dengan cobaan dari Allah Al-‘Aziz Al-Hakim. Cobaan dan ujian yang menyelimuti umat manusia ibarat derasnya hujan yang menyirami bumi, bahkan terkadang bergelombang menyerang silih berganti bak ombak lautan yang menerjang tepi-tepi pantai. Mahasuci Allah dari melakukan perbuatan yang sia-sia. Sesungguhnya, dengan ujian dan musibah yang mendera manusia akan menampakkan kepada kita siapakah orang yang tegar di atas jalan-Nya, dan siapakah orang-orang yang berjatuhan dan melenceng dari jalan-Nya yang lurus.

Istikamah merupakan sebuah perkara yang sangat mulia, yang tak akan ditemukan jawabannya, kecuali dari jawaban seorang utusan Rabb semesta alam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahih-nya,

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي أُسَامَةَ غَيْرَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ

“Dari Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi. Dia berkata, ‘Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepada saya suatu ucapan di dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada seorang pun sesudah Anda.’ Sedangkan dalam penuturan Abu Usamah dengan ungkapan, “orang selain Anda.’ Beliau (Rasulullah) menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah, kemudian istikamahlah.”” (HR. Muslim dalam Kitab Al-Iman, lihat Syarh Nawawi [2: 91-92])

Sebuah perkara yang sangat agung dan tidak bisa diremehkan, sampai-sampai Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan tatkala menjelaskan firman Allah Ta’ala,

فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ

Istikamahlah Engkau sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu.” (QS. Huud : 112)

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan, “Tidaklah turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam keseluruhan Al-Qur’an suatu ayat yang lebih berat dan lebih sulit bagi beliau daripada ayat ini.” (lihat Syarh Nawawi [2: 92])

Sampai-sampai sebagian ulama sebagaimana dinukil oleh Abu Al-Qasim Al-Qusyairi rahimahullah mengatakan,

الِاسْتِقَامَة لَا يُطِيقهَا إِلَّا الْأَكَابِر

“Tidak ada yang bisa benar-benar istikamah, melainkan orang-orang besar.” (Disebutkan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim [2: 92])

Oleh sebab itu ikhwah sekalian, semoga Allah Ta’ala meneguhkan kita di atas jalan-Nya, marilah barang sejenak kita mengingat besarnya nikmat yang Allah Ta’ala karuniakan kepada Ahlussunnah yang tetap tegak di atas kebenaran di antara berbagai golongan yang menyimpang dari jalan-Nya. Inilah nikmat teragung dan anugerah terindah yang menjadi cita-cita setiap mukmin.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُون

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istikamah, akan turun kepada mereka para malaikat seraya mengatakan, ‘Janganlah kalian takut dan jangan sedih, dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepada kalian.’” (QS. Fusshilat: 30)

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas (QS. Fusshilat : 30) adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah Ta’ala dan beriman kepada-Nya, lalu istikamah dan tidak berpaling dari tauhid. Mereka konsisten dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sampai akhirnya mereka meninggal dalam keadaan itu. (lihat Syarh Nawawi [2: 92])

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mengakui dan mengikrarkan keimanan mereka. Mereka rida akan rububiyah Allah Ta’ala serta pasrah kepada perintah-Nya. Kemudian mereka istikamah di atas jalan yang lurus dengan ilmu dan amal mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan kabar gembira di dalam kehidupan dunia dan di akhirat (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman [2: 1037-1038])

Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ’anhu mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas (yang artinya), “Kemudian mereka tetap istikamah”, maka beliau mengatakan, “Artinya mereka tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” Diriwayatkan pula dari beliau, “Yaitu mereka tidak berpaling kepada sesembahan selain-Nya.” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali di dalam Jami’ al-‘Ulum, hal. 260)

Ali bin Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma tentang makna firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah, kemudian mereka istikamah’, beliau mengatakan, ‘Yaitu mereka istikamah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah bebankan.’” Sedangkan Abu Al-‘Aliyah mengatakan, “Kemudian (setelah mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’) maka mereka pun mengikhlaskan kepada-Nya agama dan amal.” Qatadah mengatakan, “Mereka istikamah di atas ketaatan kepada Allah.” Diriwayatkan pula dari Hasan Al-Bashri, apabila beliau membaca ayat ini maka beliau berdoa, “Allahumma anta Rabbuna farzuqnal istiqomah.” (Ya Allah, engkaulah Rabb kami, karuniakanlah rezeki keistikamahan kepada kami.) (Jami’ Al-‘Ulum, hal. 260)

Jangan Lupakan Allah!

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang hamba. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Bukankah telah Aku berikan kepadamu pendengaran, penglihatan, harta, dan anak? Aku tundukkan untukmu binatang ternak dan tanam-tanaman. Aku tinggalkan kamu dalam keadaan menjadi pemimpin dan mendapatkan seperempat hasil rampasan perang. Apakah dulu kamu mengira akan bertemu dengan-Ku pada hari ini?” Orang itu menjawab, “Tidak.” Allah pun berkata, “Kalau begitu pada hari ini Aku pun melupakanmu.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “Hadis sahih gharib.”, lihat Al-Ba’ts karya Ibnu Abi Dawud, hal. 36-37)

Faedah Hadis

Hadis ini mengingatkan kita tentang dahsyatnya hari kiamat. Betapa butuhnya seorang hamba terhadap pertolongan Allah Ta’ala ketika itu. Akan tetapi, pertolongan Allah itu hanya akan diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasul dan mengamalkan ajarannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِی فَإِنَّ لَهُۥ مَعِیشَةࣰ ضَنكࣰا وَنَحۡشُرُهُۥ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ أَعۡمَىٰ

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۤ أَعۡمَىٰ وَقَدۡ كُنتُ بَصِیرࣰا

قَالَ كَذَ ٰ⁠لِكَ أَتَتۡكَ ءَایَـٰتُنَا فَنَسِیتَهَاۖ وَكَذَ ٰ⁠لِكَ ٱلۡیَوۡمَ تُنسَىٰ

Barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata, ‘Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku bisa melihat?’ (Allah menjawab), ‘Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya. Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan.’” (QS. Thaha: 124-126)

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan makna ‘peringatan-Ku’ di dalam ayat di atas. Beliau berkata, “Artinya [barangsiapa yang berpaling] dari agama-Ku, tidak membaca Kitab-Ku, dan tidak mengamalkan isi ajarannya. Ada juga yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah keterangan-keterangan yang telah Aku turunkan. Namun, bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud peringatan ini adalah [keberadaan] Rasul, karena peringatan itu datang melalui perantara beliau.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 157])

Sebagian ulama berkata, “Tidaklah seorang pun yang berpaling dari peringatan Rabbnya, kecuali waktu yang dilaluinya semakin menambah gelap (buruk) keadaan dirinya, mencerai-beraikan urusan rezekinya, dan membuatnya selalu mengalami kesempitan di dalam hidupnya.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 157])

Adapun maksud dari “Maka, pada hari ini kamu pun dilupakan”; Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dibiarkan dalam keadaan tersiksa, yaitu di dalam neraka Jahannam.” (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [14: 158])

Di dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقِیلَ ٱلۡیَوۡمَ نَنسَىٰكُمۡ كَمَا نَسِیتُمۡ لِقَاۤءَ یَوۡمِكُمۡ هَـٰذَا وَمَأۡوَىٰكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّـٰصِرِینَ

Dan dikatakan, ‘Pada hari ini Kami melupakan kalian sebagaimana halnya dahulu kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini. Tempat tinggal untuk kalian adalah neraka. Sama sekali tidak ada bagi kalian seorang penolong.” (QS. Al-Jatsiyah: 34)

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari “kalian melupakan pertemuan dengan hari kalian ini” adalah kalian meninggalkan amal untuk akhirat. (lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [19: 173])

Penulis: Ari Wahyudi

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/72154-istikamah-anugerah-terindah.html

Apa Tugas Malaikat Jibril Pada Saat Ini?

Apa tugas malaikat Jibril pada saat ini? Para malaikat adalah hamba Allah swt. yang dibebani untuk melaksanakan ibadah, dan mereka senantiasa tunduk dan merendahkan diri kepada Allah swt. secara sempurna, dengan tidak pernah melanggar perintah-Nya serta mengerjakan segala apa yang diperintahkan oleh-Nya. Dan, salah satu kewajiban orang Islam adalah mengimani nama-nama mereka sebatas yang diketahui namanya.

Begitu pula mengimani sebatas pengetahuan tentang tugas mereka masing-masing. Mereka mempunyai jasad, sebagaimana ada yang memiliki dua sayap, ada yang tiga sayap dan empat, bahkan ada yang lebih banyak lagi dari itu. Ini tentunya sebagai sanggahan bagi orang yang mengira bahwa malaikat hanya sekedar ruh.

Di antara tugas-tugas malaikat adalah mereka menulis semua yang terjadi pada semua manusia berupa perkataan dan perbuatan, baik yang tampak ataupun tersembunyi. Catatan mereka terperinci bukan sekedar catatan global.

Kemudian diantara tugas-tugas lain malaikat adalah menjaga umat manusia, menyertainya dan menyerukan kepada kebajikan, menjadi duta antara Allah dengan hamba-Nya, menguatkan orang-orang mukmin dan berperang bersama mereka, mencabut ruh ketika wafat, menanyai mayit di dalam kuburnya lalu memberinya nikmat atau menyiksanya, mengembalikan ruh kedalam jasad dan meniupkannya dalam bentuk sebelumnya,menuntun ahli surga dan membagikan rezeki kepada mereka, dan menjadi juru kunci neraka.

Di dalam al-Qur’an telah disebutkan bahwa setiap malaikat memiliki kedudukan masing-masing. Allah berfirman dalam QS. al-Saffat[37]:164:

وَمَامِنَّاۤ اِلَّا لَهٗ مَقَامٌ مَّعْلُوْمٌ 

Artinya: “Dan tidak satu pun di antara kami (malaikat) melainkan masing-masing mempunyai kedudukan tertentu.” (QS. As-Saffat [37]: 164).

Lalu Apa Tugas Jibril Waktu Nabi Muhammad Saw Masih Hidup?

Jika kita telisik, term Jibril berakar pada huruf Jim-ba-ra’. Menurut pakar, akar kata ini memiliki arti asal “Abdullah (hamba Allah)”. Pendapat ini senada dengan pendapat Ibnu ‘Asyur. Sedangkan dalam bahasa Ibrani Jibril disebut dengan “Gabriel” yang berarti “Pahlawan Tuhan” dikatakan juga sebagai “Jabr El” yang bermakna “Kekuatan Tuhan”.

Jibril adalah malaikat yang paling masyhur. Tetapi, yang jelas, Malaikat Jibril ditugaskan untuk menyampaikan wahyu dan melakukan tugas-tugas lainnya.

Syahdan, kita tahu, hampir semua ustadz mengatakan bahwa Jibril merupakan salah satu malaikat yang sangat dicintai oleh Allah swt. Ini terlihat dalam beberapa ayat al-Qur’an bahwa Allah swt. menyandingkan nama Jibril dengan asma-Nya.

Salah satunya terdapat dalam surah al-Baqarah [2]: 97;

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ بِاِذْنِ اللّٰهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَّبُشْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Barang siapa menjadi musuh Jibril maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 97). 

Jibril dalam pandangan umum mempunyai tugas untuk menyampaikan wahyu atau risalah kenabian kepada para Nabi dan utusan, sehingga dengan tugas yang selalu berhubungan dengan orang-orang yang mulia itu pula Jibril diberi dengan beberapa gelar yang mulia pula seperti gelar rasulun karim (utusan yang mulia) dan lain sebagainya.

Sekurang-kurangnya, tugas Malaikat Jibril waktu masa kenabian diantaranya: Membantu Siti Maryam, membantu Nabi Ibrahim, mengazab kaum Nabi Lut, menyumpal mulut Firaun, membela Rasulullah, menurunkan dan mengajarkan al-Qur’an, mengajarkan agama, mengajarkan shalat, menyampaikan kabar dan salam, menemani Rasulullah Isra’ Mi’raj.

Namun demikian, Sebagai malaikat yang menurut pandangan umum bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi, tak sedikit pula yang bertanya-tanya apakah Jibril sudah tidak mempunyai tugas lagi pasca wafatnya Nabi Muhammad saw? Apa Jibril sudah jadi malaikat pengangguran yang menunggu datangnya hari kiamat?

Apa Tugas Malaikat Jibril Pada Saat Ini?

Pasca wafatnya Rasulullah saw. sebagai Khatam al-Nabiyyin (penutup para Nabi) yang hal itu menjadi tanda bahwa berakhir pula tugas Jibril sebagai pembawa wahyu. Akan tetapi, malaikat Jibril masih mempunyai tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh Allah swt. Diantara tugas-tugasnya pasca kenabian adalah.

Pertama, Malaikat Jibril ditugaskan untuk mendampingi mereka yang sedang mengalami sakaratul maut dalam keadaan suci. Ia ditugaskan untuk membawa rahmat dan kemudahan bagi orang sekarat dalam keadaan suci untuk menghormatinya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitab Mu’jam al-Kabir: “Diriwayatkan dari Maimunah binti Sa’ad berkata: Saya berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah orang yang sedang Junub boleh tidur? Nabi menjawab; 

“Saya senang bila seorang yang junub tidur setelah ia berwudhu terlebih dahulu, karena saya khawatir bila ia dicabut nyawa, sedangkan Malaikat Jibril tak mau mendatanginya.” (HR. Thabrani).

Kedua, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada empat malaikat yang diberi tugas untuk mengelola dunia. Dari empat malaikat tersebut adalah Jibril yang salah satu tugasnya adalah mengurusi angin, Mikail mengurusi urusan hujan dan tumbuh-tumbuhan, dan Izrail diberi tugas mencabut nyawa.

Sedang Israfil diberi tugas untuk menyampaikan perintah kepada mereka. Salah satunya adalah riwayat al-Baihaqi dari Ibnu Sabit.

Empat panglima malaikat yang mengurusi urusan dunia. Ibnu Abi Hatin dan Abu Syekh meriwayatkan dalam kitab Al-Uzamah dan Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Ibnu Sabit ia berkata;

“Empat Malaikat yang mengurusi urusan dunia yaitu Jibril, Mikail, Malaikat maut, dan Israfil. Jibril diserahi untuk mengatur angin dan para tentara, Mikail diserahi untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan, Malaikat maut diserahi untuk mencabut nyawa, sedangkan Israfil diserahi tugas menyampaikan perintah kepada mereka.” (HR. al-Baihaqi No. 294).

Ketiga, Sebuah riwayat menyebutkan bahwa malaikat Jibril ditugaskan untuk memenuhi dan menahan hajat manusia. Dalam sebuah riwayat Imam al-Baihaqi dari Sabit dikatakan bahwa Allah mendelegasikan Jibril untuk mengurusi hajat manusia. Apabila orang mukmin berdoa, Allah menahan Jibril sejenak untuk mengabulkan doanya.

Hal ini terjadi karena Allah senang mendengarkan lantunan doa orang mukmin. Lain halnya apabila yang berdoa adalah orang kafir, maka Allah langsung menginstruksikan kepada Jibril untuk segera memenuhinya.

Keempat, Malaikat Jibril masih turun ke bumi untuk menyambut Lailatul-Qadar. Hal ini terekam jelas dalam surah al-Qadr [97]: 4. Allah Swt. berfirman:

تَنَزَّلُ الْمَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ ۚ مِّنْ كُلِّ اَمْرٍ 

Artinya: “Pada malam itu turun para malaikat dan Roh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.” (QS. Al-Qadr [97]: 4).

Rupanya, di kalangan mufassir mayoritas menafsirkan kata ruḥ dalam ayat di atas adalah malaikat Jibril yang menjabat sebagai pemimpin dari banyaknya malaikat yang turun pada malam lailatul-Qadar.

Menurut Wahbah al-Zuhaili, Lailatul-Qadar adalah malam kemuliaan yang mana malam itu malam penentuan takdir umat manusia oleh Allah selama satu tahun kedepannya, seperti rezeki, kematian, dan sebagainya, lalu kemudian diserahkan urusannya kepada empat malaikat yang mengatur urusan-urusan dunia yaitu Jibril, Mikail, Izrail dan Israfil.

Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata ruh tersebut adalah Jibril dan begitulah penafsiran yang populer dikalangan para mufassir.

Kelima, tugas malaikat Jibril yang terakhir adalah senantiasa menyeru para penduduk langit di kala Allah swt, menunjukkan cinta-Nya kepada hamba-Nya, sebagaimana pelajaran dari Nabi Muhammad saw., dari Abu Hurairah ra: 

“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Abd al-Aziz bin Muḥammad dari Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, jibril dipanggil: 

Sesungguhnya Aku mencintai si fulan maka cintailah ia, lalu ia (jibril) berseru di langit, maka turunlah kecintaan untuknya di kalangan penduduk bumi. Itulah yang disebut dalam firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96). 

Sedangkan jika Allah membenci seorang hamba dipanggillah jibril (sesungguhnya Aku membenci si fulan) lalu jibril berseru di langit kemudian turunlah kebencian itu ke bumi. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Abd al-Raḥman bin Abdullah bin Dinar meriwayatkan dari ayahnya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi saw, seperti hadiṣ ini.” (HR. Tirmiẓi No. 3085).

Yang dimaksud dengan kecintaan kepada Allah adalah kecintaan yang mengandung konsekuensi ketaatan dan penghambaan diri kepada Allah. dan ketundukkan, beribadah hanya kepada-Nya serta tidak menyekutukan-Nya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa cerita yang selama ini diketahui masyarakat yang mengatakan bahwa pasca Rasulullah saw. wafat, tugas malaikat Jibril telah selesai itu tidaklah benar, melainkan tetap mengemban tugas sampai sekarang. Hanya saja tugasnya berbeda, dalam hal ini antara masa kenabian dan pasca kenabian berbeda. 

Sekian penjelasan apa tugas Malaikat Jibril pada saat ini? Wallahu a’lam bishawab.

BINCANG SYARIAH

Membangun Madrasah Ramah Anak

Diriwayatkan dari al-Bukhari, Muslim, dan at-Thabrani bahwa Rasulullah SAW bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah Islam (kesucian), tinggal orang tuanya yang meyahudikan, mengkristenkan atau bahkan memajusikannya.” Hadis tentang kondisi suci anak yang baru dilahirkan ini dinilai sahih oleh kebanyakan para ulama. Menurut Afif Taftazani, hadis ini berbicara mengenai kondisi fitrah manusia yang suci sejak lahir dan kaitannya dengan lingkungan yang membentuknya di kemudian hari. Dalam Annihayah, Ibnu al-Athir menafsirkan kata fitrah pada hadis ini sebagai kondisi yang memungkinkan seseorang siap untuk menerima kebenaran dan ketaatan.

Dengan kata-kata lain, menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, anak itu ibarat kertas kosong tinggal pulpen lingkungan yang menuliskan di atasnya warna merah, hitam, putih atau warna lainnya. Dengan meminjam bahasa Locke, anak ialah tabula rasa, tinggal elemen-elemen keluarga dan lingkungan yang akan membentuk dan mewarnainnya. Lebih jauh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menafsirkan bahwa fitrah kemanusiaan itu pada awalnya ialah kecondongan untuk mengenali Sang Maha Pencipta. Agar kondisi fitrah ini tetap terjaga, maka pendidikan di keluarga, lingkungan, dan masyarakatlah yang memiliki peranan yang sangat penting.

Sedari awal, Rasulullah SAW sering mencontohkan bagaimana menjadi sosok ayah yang baik bagi anak-anaknya. Ketika melihat ada sahabatnya Ubaid bin Umair yang tidak pernah sedikit  pun mencium anak-anaknya, Rasul SAW mencontohkan kasih sayang dan pujiannya terhadap putrinya, Fathimah RA. Rasul SAW bersabda, “celakalah orang yang selama hidupnya tidak pernah mencium anaknya.” (Bihar al-Anwar).

‘Mencium’ tidak hanya dimaknai secara ‘apa adanya’, tetapi juga bisa lebih luas daripada arti hafiyahnya. ‘Mencium’ anak merupakan simbol daripada bentuk kasih sayang yang mendalam. Dengan ibarat lain, ‘mencium’ dalam redaksi hadis di atas bisa ditafsirkan sebagai keharusan bagi orang tua untuk menghadirkan kenyamanan, kedamaian, dan kasih sayang antara anggota keluarga.

Hal demikian karena persoalan inti dalam hubungannya dengan pendidikan anak ialah keharusan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dan nyaman, lingkungan yang ramah anak dengan tidak adanya kekerasan, diskriminasi dan hal-hal lain yang mengganggu stabilitas emosi mereka. Karena itu lingkungan tempat terbentuknya anak harus kondusif dan nyaman bagi perkembangan jiwanya.

Ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan mendidik anak agar berhasil. Yang pertama ialah lingkungan keluarga, terutama ibu. Pepatah Arab mengatakan, ‘Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya’. Anak adalah sosok unik yang membutuhkan kehidupan damai. Ibu adalah tempat yang kondusif untuk itu. Ulama besar sekaliber Thabataba’i yang hafal Alquran sejak umur tujuh tahun tak lepas dari asuhan ibu yang mendidiknya.

Menurut cerita, ibunya sangat berhati-hati dalam soal makanan yang dikonsumsi anaknya. Tidak hanya soal gizi dan nutrisi, namun juga sumbernya didapat dari cara halal atau tidak, dari syubhat atau bukan. Ada pepatah yang mengatakan, “Beritahu saya apa yang anda makan, akan saya beritahu siapa anda sebenarnya.” Dengan demikian, makanan ialah salah satu pembentuk kepribadian anak. Memberi makanan haram atau syubhat sama saja dengan memasukkan ketidakberkahan ke dalam pribadi sang anak yang akibatnya justru akan menghalangi datangnya cahaya keilahian dalam pribadinya dan dampaknya ketidakmungkinannya untuk dapat menerima kebenaran dengan baik.

Kedua, lingkungan sekolah. Di sekolah, selain di rumah, yang dibutuhkan sang anak adalah role model yang akan mengisi kepribadiannya. Adanya tindak kekerasan di sekolah dan lain sebagainya terjadi karena adanya pendidikan dengan cara kekerasan dan memosisikan anak sebagai robot dan pihak yang bersalah. Kekerasan ini kemungkinan diakibatkan dari ketidakmengertian dan ketidakpahaman akan suara hati sang anak.

Al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad menegaskan perlunya mendengar suara hati anak yang dididik (shoutu qulubihim) agar tercapainya pendidikan yang sempurna. Guru ataupun orang tua tak perlu banyak menjadi orang yang ingin selalu didengarkan ceramah-ceramahnya, nasihat-nasihatnya dan seterusnya. Tetapi sebaliknya, guru harus mampu mendengar suara hati sang anak, mendengar keluh kesahnya, memperhatikan semangatnya dan seterusnya. Guru yang baik ialah guru yang lebih sering mendengarkan ketimbang didengarkan.

Ketiga, lingkungan masyarakat. Tentunya untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan anak, semua elemen masyarakat perlu turut andil. Tontonan televisi harus menekankan pada tayangan yang ramah anak. Apa yang didengar, dilihat dan diperhatikan anak akan membentuk kepribadiannya. Bagaimana jadinya pribadi anak yang sehari-harinya melihat berita kekerasan, korupsi pejabat, konflik pemerintah, perceraian para artis dan berita-berita negatif lainnya. Kondisi ini tentu sangat mengganggu kepribadian mereka. Singkatnya, mereka harus dijejali berita-berita yang positif agar memiliki kepribadian yang positif bagi lingkungan.

Anak adalah investasi akhirat. Masuk tidaknya orang tua ke surga ditentukan dari berhasil atau tidak mendidik anak. Rasulullah SAW sering menceritakan perihal orang tua yang tidak jadi masuk surga lantaran mereka tidak bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Untuk menghindari itu, Rasul SAW menegaskan, “mendidik anak satu jam lebih baik daripada bersedekah satu shaa.” (HR. Thabrani)

Allahu A’lam.

BINCANG SYARIAH

Kemuliaan dan Amalan Bulan Sya’ban

Dalam kalender Islam, umat muslim saat ini sudah memasuki bulan Sya’ban. Bulan Sya’ban merupakan bulan kedelapan dalam sistem kalender Islam dan berada di pertengahan Rajab dan Ramadhan.

Dalam bahasa Arab Sya’ban bartinya berpencar. Kata berpencar diambil ketika pada masa itu, kaum Arab biasa pergi memencar, keluar mencari air untuk kebutuhan mereka. Bulan Sya’ban juga bisa diartikan merekah atau muncul dari kedalaman karena bulan Sya’ban berada di antara dua bulan yang mulia.

Sebagaimana bulan Rajab, Sya’ban merupakan bulan penuh kebaikan. Rasulullah menyebutkan bahwa bulan Sya’ban sering dilupakan oleh manusia. Alasannya karena bulan Sya’ban berada di antara dua bulan mulia yang banyak dicari keberkahannya oleh umat muslim.

Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan di mana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad).

Dalam kitab “Ma Dza fi Sya’ban?” karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyebutkan setidaknya terdapat tiga peristiwa penting yang berimbas pada kehidupan beragama bagi seorang muslim.

Pertama, peralihan Kiblat. Peralihan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya’ban.

Menurut Al-Qurthubi ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 144 dalam kitab Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’an dengan mengutip pendapat Abu Hatim al-Basti mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengalihkan kiblat pada malam Selasa bulan Sya’ban yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban.

Peralihan kiblat merupakan hal yang paling ditunggu oleh Rasulullah karena berhubungan dengan ibadah umat muslim, bahkan diceritakan bahwa Rasulullah berdiri menghadap langit setiap hari untuk menunggu turunnya wahyu perihal peralihan kiblat itu.

Allah berfirman, “Sungguh Kami melihat wajahmu kerap menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (al-Baqarah:144)

Ka’bah merupakan kiblat yang mampu menyatukan meskipun menyalahi kiblat dari orang-orang Yahudi. Allah telah mengabulkan permohonan Rasulullah, dan umat muslim mulai menjalankan ibadah dengan arah kiblat yang baru. Kiblat ini merupakan suatu kebenaran yang datang dari Allah.

Kedua, penyerahan catatan amal manusia secara menyeluruh.

Pada bulan Sya’ban semua amal manusia diserahkan kepada Allah SWT. Dari hadits dari riwayat An-Nasa’i, meriwayatkan dialog Usamah bin Zaid dan Nabi Muhammad SAW, “Wahai Nabi, aku tidak melihatmu berpuasa di bulan-bulan lain sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban? Kemudian Rasulullah SAW menjawab: Banyak manusia yang lalai di bulan Sya’ban. Pada bulan itu semua amal diserahkan kepada Allah SWT. Dan aku suka ketika amalku diserahkan kepada Allah, aku dalam keadaan puasa.”

Yang dimaksud dengan penyerahan amal ialah penyerahan seluruh rekapitulasi amal kita secara penuh kepada Allah. Terdapat beberapa waktu tertentu yang menjadi waktu penyerahan amal kepada Allah selain bulan Sya’ban, yaitu setiap siang, malam, setiap pekan.

Ada juga beberapa amal yang diserahkan langsung kepada Allah tanpa menunggu waktu-waktu tersebut, yaitu catatan amal shalat lima waktu. Namun di bulan Sya’ban semua amalan diserahkan kepada Allah secara keseluruhan.

Ketiga, turunnya ayat yang menganjurkan umat muslim untuk bershalawat.

Bulan Sya’ban juga dikenal sebagai bulan shalawat. Karena pada bulan tersebut ayat tentang anjuran shalawat diturunkan, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (al-Ahzab ayat 56)

Dalam ayat ini mengingatkan tentang kesempurnaan dan tingginya derajad yang dimiliki Rasulullah dihadapan umatnya bahkan di sisi Allah SWT. Allah memuji Nabi Muhammad di hadapan para malaikat, karena Allah mencintai Rasulullah serta para malaikat yang didekatkan pun memuji Beliau serta mendoakannya.

Shalawat tersebut merupakan bentuk penghormatan dan kecintaan kepada Beliau serta untuk menambah kebaikan kita, menghapuskan kesalahan kita. Ucapan shalawat dan salam yang terbaik adalah yang Beliau ajarkan kepada para sahabatnya, yaitu yang biasa kita baca dalam tasyahud.

Karena itulah, selain memperbanyak puasa, amal kebaikan lainnya yang tidak kalah pentingnya di bulan ini adalah bershalawat. Banyak keutamaan shalawat yang sudah dijabarkan dalam berbagai hadist Nabi.

Semoga dalam menyambut bulan Sya’ban ini kita tetap istiqamah dalam ibadah. Ketika seluruh amal kita diserahkan kepada Allah, kita berada dalam keadaan yang sempurna menjalankan ibadah hanya mengharap ridha Allah.

ISLAMKAFFAH

3 Nasihat Sayyidina Ali dalam Menjalani Kehidupan

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat yang tidak pernah mengenyam pendidikan jahiliyah karena sejak masa kecilnya beliau tinggal bersama dan dapat bimbingan langsung dari Rasulullah SAW dia adalah putra dari paman Nabi yang bernama Abu Thalib begitu mulianya kedudukan Sayyidina Ali sehingga Nabi SAW bersabda tentangnya :

أنا مَدِينَةُ العلمِ وعليٌّ بابُها فمَنْ أرادَ المدينةَ فَلْيَأْتِها من قِبَلِ البابِ

Artinya: “aku adalah (ibarat) kota Ilmu dan Ali adalah pintunya, barang siapa yang hendak medapatkan ilmuku maka datangilah melalui melalui pintu itu” (HR. Al-Hakim At-Thabrani dari Ibnu Abas dan Jabir).

Maka tidak salah jika kita hendak memperdalam Islam melalui pesan, ucapan dan tindakan Sayyidina Ali sebagai rujukan pembuka sebelum mempelajari khazanah Islam lebih luas. Dalam kesempatan ini, kami akan membicarakan salah satu dari sekian banyak ucapan Sayyidina Ali berikut :

إن من نعيم الدنيا يكفيك الإسلام نعمة، وإن من الشغل يكفيك الطاعة شغلا، وإن من العبرة يكفيك الموت عبرة

Artinya: “dari sebagian banyak nikmat dunia, cukuplah Islam sebagai nikmat bagimu. Dari sekian banyak kesibukan, cukuplah ketaatan sebagai kesibukan bagimu. Dan dari sekian banyak pelajaran kematian sebagai pelajaran bagimu”

Ucapan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib ini adalah nasehat berharga sekaligus  pelajaran untuk kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari :

Pertama, menjadikan Islam sebagai nikmat yang terbesar

Tentu, kenikmatan apapun sejatinya tak ada artinya jika seseorag tidak akan memeluk Islam menjadi Muslim. Nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat banyak harta, nikmat memiliki anak istri, nikmat jabatan dan lainnya. Hal itu tidak akan berarti tanpa adanya nikmat Islam. Sebab, semua nikmat tersebut semuanya bersifat semu dan sementara. Semua itu akan meninggalkan atau ditinggalkan manusia. Saat aja menjemput tidak akan ada lagi nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat banyak harta, nikmat memiliki anak istri, nikmat jabatan dll itu Semua akan berakhir. Yang tersisah jika seorang itu Muslim tinggal nikmat islam yang akan terus mengiringinnya sampai dia menghadap Allah SWT pada hari akhir nanti.

Karena itu, alangkah rugi orang yang tidak memeluk Islam. Alangkah rugi pula orang yang telah memeluk Islam tetapi menyia-nyiakan keberislamannya. Karena itu mari kita gunakan nikmat Islam yang telah dianugerahkan Allah ini dengan sebaik baiknya, mari kita berusaha menjadi Muslim sejati, yakni Muslim yang benar-benar bertaqwa  kepada Allah SWT.

Orang yang tidak akan jauh dari Islam tidak akan memperoleh ketenangan dalam hidupnya. Kehidupan akan terasa hampa karena jauh dari penciptanyadan kebahagiaan di akhirat tidak akan didaptkan, justru dia akan sengsara di akhirat karena mati dalam keadaan kekafiran. Inilah yang disebut dengan celaka didunia dan akhirat lihatlah penyesalan apa yang diucapkan oleh orang-orang kafir di akhirat kelak. Allah SWT berfirman :

رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ كَانُوْا مُسْلِمِيْنَ

Artinya : “Orang-orang yang kufur itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. (QS. Al-Hijr : 2).

Kedua, menjadikan ketaatan sebagai kesibukan kita di dunia.

Banyak sekali kesibukan kita di dunia ini. banyak waktu yang kita habiskan dalam urusan-urusan yang menguras fikiran, tenaga dan biaya. Kesibukan kita itu mungkin ada yang memberikan manfaat dan tidak menutup kemungkinan juga banyak urusan yang tidak bemanfaat dan akhirnya menyebabkan kesia-siaan belaka.

Karena itu menurut Sayyidina Ali, diantara banyaknya kesibukan dan urusan kita di dunia ini jadilah ketaatan kebada Allah SWTsebagai urusan terbesar. Urusan penting dan kesibukan kita setiap hari. Jadikanlah setiap detik nafas kita, detak jantung kita, getar kalbu kita, pandangan mata kita, pendengaran telinga kita, kata yang meluncur dari lisan kita, gerak tangan kita dan ayunan langkah kita, semua itu  benar-benar dalam rangka ketaatan kita kepada Allah.  Tidak ada sedikitpun. tersisa waktu kita untuk bermaksiat  kepada-Nya. Itulah sejatinya aktiftas yang selalu mengisi kesibukan kita di dunia ini.

Jaminan Allah SWT kepada orang orang di dunia ini sibuk dalam urusan ketaatan kepada-Nya, maka di akhirat kelak dia akan sibuk dalam kebahagiaan Allah SWT berfirman

اِنَّ اَصْحٰبَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِيْ شُغُلٍ فٰكِهُوْنَ ۚ

Artinya : Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu berada dalam kesibukan (sehingga tidak sempat berpikir tentang penghuni neraka) lagi bersenang-senang

Ketiga, menjadikan kematian sebagai pelajaran yang paling berharga.

Setiap bulan, setiap minggu, bahkan mungkin setiap hari kita menyaksikan saudara-saudara dipanggil menghadap Allah. Ini adalah sebuah pelajaran, bahwa kita juga akan mengalami hal yang sama. Nasehat Sayyidina Ali menyuruh kita agar menjadikan kematian sebagai pelajaran yang paling berharga dan kita harus banyak mengingat mati serta mengambil ibrah (pelajaran) dari setiap kematian. Betapapun banyak pelajaran (ilmu) yang kita pelajari hingga kita menjadi seorang ahli ilmu, tentu semua itu tidak bermakna apa-apa jika membuat kita melupakan kematian yang menjadi pintu gerbang menuju alam akhirat, hari penentuan apakah kita akan menjadi penduduk surga atau  penduduk neraka. Karena itu, setiap pelajaran yang kita ambil dari berbagai majelis ilmu semestinya selalu mengingatkan kita satu hal yaitu kematian

Semakin banyak pelajaran yang banyak kita ambil semakin membuat kita ingat akan mati. Semakin banyak kita mengiangat mati maka semakin zuhud kita terhadap dunia, maka tidaklah dia bertambah dekat disisi Allah SWT melainkan semakin jauh dari-Nya.

Ketika kita semakin zuhud terhadap dunia, maka orientasi hidup kita pun semakin mengarah  kepada akhirat dengan selalu mempersiapkan bekal untuk menghadap-Nya. tentu kita pun memahami kata-kata penuh hikmah dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shidiq RA di mana dalam suatu riwayat beliau berpesan: “siapa saja yang masuk kubur tanpa bekal dia seperti orang yang mengarungi lautan tanpa kapal.” Ungkapan ini bermakna, siapa saja yang meninggalkan dunia ini dan masuk kedalam alam barzakh, sementara dia tidak membawa amal shalih, maka dia pasti akan tenggelam dalam lautan alam azabnya.

Mari kita selalu mengingat dan mengamalkan Tiga Nasehat dari Sayyidina Ali  tadi. Mari kita jadikan firman Allah SWT ini sebagai pegangan dan pedoman hidup kita :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.

ISLAMKAFFAH

Allahu Akbar! Tokoh Pastor Terkemuka di Amerika Serikat Hilarion Heagy Masuk Islam

Hilarion Heagy masuk Islam dengan penuh kesadaran

Pastor Hilarion Heagy, seorang agamawan Katolik terkemuka yang berbasis di Amerika Serikat telah masuk Islam.

Melansir laman middleeastmonitor.com Heagy menjelaskan keputusannya menjadi mualaf bagi dia bukan berpindah keyakinan tetapi kembali ke Islam dan seperti pulang ke rumah.

Heagy yang tinggal di Kalifornia ini sebelumnya menganut Ortodoks Rusia, bergabung dengan Gereja Ortodoks Antiokhia sekitar 2003, sebelum berangkat pada tahun 2007 dan beralih ke Gereja Katolik Timur. 

Dia lulus dari Biara Kebangkitan Suci di St Nazianz di Wisconsin untuk menjadi pendeta Katolik Bizantium dan baru-baru ini mengumumkan rencana untuk mendirikan Biara Kristen Timur di California. 

Namun, dalam unggahan blognya sendiri, Heagy yang sekarang dikenal sebagai Said Abdul Latif berkata setelah puluhan tahun merasa tertarik pada Islam dalam berbagai tingkatan dan akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam.

“Karena saya telah memeluk Islam, maka saya harus pergi karena selama ini saya tinggal di biara Katolik. Seseorang tidak bisa menjadi pastur, pendera dan Muslim secara bersamaan,”ujar dia. 

Heagy yang kini lebih dikenal sebagai Abdul Latif menjelaskan bahwa menjadi mualaf adalah tentang pertaubatannya adalah tentang kembali ke timur dan kembali ke identitas asalnya. Hal tersebut menurut dia sesuai dengan firman Allah SWT surat Al Araf ayat 172,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَننْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar di hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” 

“Karena alasan inilah para mualaf sering tidak berbicara banyak tentang berpindah keyakinan tetapi menyebutnya dengan kata ‘kembali’ ke Islam, sebuah  keyakinan asal kita. Sebuah proses panjang untuk Kembali,” tulis dia dalam blognya.

Menanggapi tulisan dalam blog tersebut, sebuah artikel baru-baru ini oleh Catholic.com berjudul “Perjalanan Sedih ‘Pendeta Muslim.’  Berita tentang penerimaan mantan pendeta itu terhadap Islam juga mendapat reaksi beragam di media sosial, dengan umat Islam menyambutnya ke dalam iman dan beberapa orang Kristen menghukumnya karena murtad.

Sumber middleeastmonitor

Hidup Saling Mendoakan

Begitulah orang beriman, hidup saling mendoakan kebaikan.

Di antara akhlak orang beriman adalah saling mendoakan di antara sesama. Tentu saja mendoakan kebaikan.

Mendoakan di sini tak hanya ketika saudara kita sedang dalam kondisi tak baik, tetapi juga ketika kondisinya baik. Mendoakan di sini juga bukan hanya dilakukan setiap kali selesai ibadah, seperti shalat, tetapi juga di luar ibadah. Misalkan ketika kita bertemu dengan sesama mukmin, mengucapkan salam.

Ucapan salam, yakni kalimat “assalamu ‘alaikum”, memiliki arti “semoga keselamatan atau kesejahteraan dilimpahkan kepada Anda”. Salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yakni Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), dalam sebuah cerita disebutkan punya kebiasaan mengucapkan salam kepada orang yang bertemu dengannya, di mana pun itu.

Sebagaimana dikisahkan oleh ath-Thufail bin Ubay bin Ka’ab, setiap kali Abdullah bin Umar pergi ke pasar, tidaklah dia melewati seorang penjual kecuali pasti mengucapkan salam kepadanya.

Disebutkan dalam kitab al-Muwatha’ karya Imam Malik, suatu ketika ath-Thufail bertanya, “Apa yang akan Anda kerjakan di pasar sebenarnya? Anda tidak menjual sesuatu, tidak pula menanyakan harga sesuatu barang untuk dibeli, tidak pula bekerja mencari rezeki di pasar itu, atau sekadar duduk santai di pasar. Duduk sajalah di sini, dan mari kami bercakap-cakap.”

Abdullah bin Umar lalu berkata, “Hai Abu Bathn (julukan ath-Thufail), sesungguhnya kita pergi ke pasar itu adalah untuk menyebarkan salam dan kita mengucapkan salam kepada siapa saja yang bertemu dengan kita.”

Dengan ucapan salam, seseorang berarti mendoakan kebaikan berupa keselamatan.

Salam artinya doa keselamatan. Dengan ucapan salam, seseorang berarti mendoakan kebaikan berupa keselamatan. Mendoakan orang yang secara fisik tidak bertemu saja sangat dianjurkan, apalagi saat bertemu secara fisik.

Dalam hadis disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang Muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama Muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, ‘Dan bagimu juga kebaikan yang sama’.” (HR Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang Muslim untuk saudaranya (sesama Muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa mustajabah. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus, sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diutus tersebut akan mengucapkan, ‘Amin, dan kamu juga akan mendapatkan seperti itu’.” (HR Muslim).

Adapun bagi orang yang disalami, berkewajiban untuk menjawabnya, yang berarti menjawab doanya dengan mendoakan balik kebaikan untuknya. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Hak sesama Muslim ada lima: membalas salamnya, menjenguknya ketika ia sakit, mengikuti jenazahnya yang dibawa ke kuburan, memenuhi undangannya, dan ber-tasymit ketika ia bersin.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Saling mendoakan kebaikan yang berarti saling berharap agar masing-masing mendapatkan kebaikan dan terhindar dari keburukan pada hari itu dan seterusnya. Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi ke depannya.

Kita hanya selalu berharap kebaikan, dan itu selain kita usahakan sendiri, juga kita berdoa kepada Allah SWT dan mengharapkan doa dari orang lain. Dengan kita mengucapkan salam, lalu orang lain menjawab salam kita, selain kita mendoakannya, dia juga mendoakan kita.

Begitulah orang beriman, hidup saling mendoakan kebaikan.

Wallahu a’lam.

REPUBLIKA

Kisah Doa Mustajab Imam Baqi

Berkah doa Imam Baqi, tangan seorang anak yang dirantai algojo ini terlepas dan akhirnya terbebas dari sandera

ABDURRAHMAN bin Ahmad menuturkan dari ayahnya bahwa seorang perempuan datang menemui Baqi bin Makhlad (Imam Baqi bin Makhlad, red). Dia berkata, “Anakku kini menjadi sandera dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Seandainya engkau menunjukkan kepadaku orang yang bersedia menebusnya, tentu aku sangat senang.”

“Baik” kata Baqi, “Pulanglah dan jangan kembali sebelum aku selidiki perkara anakmu.”

Kemudian Baqi diam sejenak sambil menggerakkan bibirnya. Selang beberapa hari kemudian, datang perempuan itu bersama anaknya. Anak itu bercerita, “Aku tengah berada di hadapan raja. Ketika aku melakukan pekerjaanku, tali rantaiku putus.”

Dia menyebutkan waktu dan hari peristiwa aneh itu terjadi. Tenyata bertepatan dengan waktu Imam Baqi berdoa.

Anak itu melanjutkan ceritanya, “Kemudian algojo berteriak ke arahku. Dia melihat apa yang terjadi dan tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. Dia panggilkan pandai besi dan menyuruhnya merantaiku kembali. Setelah selesai dan aku kembali berjalan, ternyata tali rantai itu putus lagi. Orang-orang tercengang dan memanggil para pendeta. Aku ditanya mereka, “Apakah kamu mempunyai ibu?”

“Ya,” jawabku.

Mereka kemudian berkata, “Doa ibumu terkabul. Allah telah membebaskanmu sehingga tidak mungkin bagi kami untuk merantaimu. Mereka memberiku bekal dan menyuruhku pulang,” kutipnya.* (dalam himpunan kisah-kisah pilihan dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala dan Tarikh Al-Islam, karya ulama besar Imam  Adz-Dzahabi disusun Dr. Sulaiman Al-Asyqar, Pustaka Al-Kautsar).

HIDAYATULLAH